Bagian 162 Jangan Dipanggil “Tak percaya. Sampai kapan pun aku tak akan percaya kalau aku tak membuktikan sendiri perkataannya,” ucap Maira yang terkejut dengan pengakuan Fahmi tadi. Benar tak percaya, tapi kentang goreng itu terus ia makan sampai hampir habis. Naima yang duduk di sebelah mobil Maira hanya melirik saja. “Apanya yang tak percaya?” tanya istri Sultan. “Yang tadi, polisi tadi itu.” “Yang wajah India itu?” “Iya, dulunya dia itu jelek, hitam, kusam, kurus, tak ada semangat hidup, cengeng lagi. Kenapa sekarang bisa jadi seperti …” Gengsi Maira mengakuinya. “Tampan, gagah, dan pandangan matanya antara ingin melihatmu atau melihat tanah. Astaghfirullah, seperti melihat orang sedang kasmaran aku jadinya.”“Bagaimana orang bisa berubah seperti itu hanya dalam kurun waku kira-kira tiga tahun?” “Asal ada niat dan dananya, semua bisa. Kalau masih tak percaya, cari tahu saja sendiri biar lebih yakin.” “Ide bagus. Besok libur, jadi aku jalan-jalan ke luar kota dulu. Awas sa
Bagian 163 Tak Bisa Menghindar “Inspektur Maira.” Fahmi berlari dan memberi hormat pada atasannya. “Sudah, ini hari libur. Anggap saja aku orang biasa. Maaf aku merepotkanmu,” ucap wanita itu salah tingkah, terlihat dari ujung telapak kakinya yang bergerak-gerak memainkan pasir dari tadi. “Sama sekali tidak. Silakan masuk ke rumah.” Fahmi senang bukan main kakak tercintanya mau datang mengunjungi dirinya. Para ibu yang masih berkumpul di halaman jadi bertanya-tanya. Perempuan mana seorang diri pula berani mendatangi rumah seorang ibu yang anak lelakinya belum menikah. Naina sampai memanggil putranya. Maira masih belum mau masuk, ia melihat-lihat pemandangan tak jelas. “Siapa, Nak?” tanya Naina pada putranya. “Atasanku di kantor, Bu.” “Ooh, begitu. Alasan dia datang ke sini, apa? Bukankah kau bilang di awal minggu baru mulai bekerja?” “Ya, itu yang belum aku cari tahu. Ibu, dia itu, Kak Maira yang beberapa tahun lalu pernah menolong kita. Sekarang dia atasanku di kantor,” ucap
Bagian 164 Jangan Takut “Bagaimana kabar Maira, Paman?” tanya Amran ketika mereka makan pagi bersama. Sebenarnya lelaki itu tak pernah mau melepaskan Maira sebagai istrinya. Namun, Hakim Harun telah mengupayakan segala hal, bahkan sudah mendatangkan ulama yang disegani, tetap saja putri Ali bersikukuh untuk lepas, untungnya ia sama sekali tidak buka mulut pasal perzinahan suaminya. Di satu sisi Ola tak suka suaminya menanyakan mantan yang menjadi duri dalam daging di rumah tangganya. “Dia baik. Bekerja seperti biasa, melayani umat, mengurus kasus-kasus kriminal, terakhir kemarin Paman melihatnya mendorong seorang tua di kursi roda dan membantunya masuk ke dalam bus kota, setelah itu tidak pernah berjumpa lagi.” “Artinya anak itu tidak tertarik dengan keluarga kita lagi, bukan?” tanya Heba. Di antara penghuni istrana ular itu dialah yang paling menyimpan banyak kebencian pada bekas menantunya. “Tidak, dia kerja pulang kerja pulang, mengurus adiknya, sudah itu saja. Hampir setahun
Bagian 165 Simpul Kehidupan “Ola, aku ingin bicara padamu.” Usai makan pagi dengan keributan, lelaki manja tersebut mendekati istrinya yang cantik, jelita, bermata indah, tetapi … luar biasa jalan hidupnya. “Katakan saja, kapan aku tidak pernah menuruti kata-katamu?” Ola menyimpan cincin emas bertakhtakan berlian dalam sebuah box lalu menukar dengan model yang lain. Selama menikah dengan Amran, ia sudah dapatkan kemewahan yang dulu tidak dihiraukan oleh Maira. Baju, sepatu, tas yang dulu diberikan oleh Amran untuk putri Ali, kini sudah menjadi miliknya. Apakah Ola bahagia? Tentu saja, karena baginya selain memiliki hati Amran, juga harus memiliki waktu, dan uangnya. Tiga hal itu tidak pernah dimiliki oleh mantan sahabatnya yang kini bebas melajang. “Ayah benar-benar ingin anak lelaki dariku, bukan karena dia tak suka anak perempuan.” Amran memegang tangan istrinya yang halus dan harum. Jika ditanya apakah dia mencintai Ola, jawabannya iya. Namun, Maira tetap tersimpan di sudut hat
Bagian 166 Sandiwara Fahmi membagi tim menjadi tiga. Empat orang dibagi dua lagi untuk menyelidiki hal yang lain, sedangkan dirinya sendiri memilih berangkat menggunakan motor menuju kota tempatnya tinggal dulu. Ia dan Maira hanya berbeda alat transportasi saja walau tujuannya sama.Pemuda berdarah India itu memang memiliki dendam pribadi dengan tangan kanan Harun. Siapa tangan kiri hakim itu? Ia belum tahu, nanti akan dicari seiring berjalannya waktu. Sebab seingatnya ketika dibuang ke tengah padang pasir ada dua orang yang melakukan kejahatan tersebut. Setidaknya Fahmi harus tahu apa yang menjadi penyebab ia sampai harus dibuang di tempat yang kering dari sumber air. Lokasi terakhir yang ditulis oleh Maira pada selembar kertas menunjukkan bahwa tangan kanan Harun yang bernama Barza sering duduk-duduk santai di suatu gang yang sangat sepi. Maka tempat itu menjadi tujuannya. Pemuda tersebut menggunakan sorban, sebab musim panas akan segera berganti menjadi salju, dan kepala terkad
Bagian 167 Makan Cinta Dua bola mata Maira dan Fahmi sama-sama tak percaya atas apa yang mereka lihat di depannya. Sebuah pemukiman orang miskin yang luasnya jauh berkali-kali lipat dari pemukiman Fahmi dulunya. Ragam anak-anak mengais sampah untuk mencari makan, belum lagi orang tua renta yang berjalan sangat kepayahan. Ibu-ibu yang bahkan bajunya sudah robek dan ditambal sana sini, persis keadaan umat muslim dulu ketika masa-masa Islam baru tumbuh dan mendapatkan penyerangan di sana-sini. “Ini tidak mungkin,” ucap Maira yang membuka kacamatanya.“Bagiku mungkin, aku saja dulu pernah tinggal di tempat seperti ini,” Fahmi menarik napas panjang. Teringat dengan sulitnya hidup dulu jangankan untuk makan, bertemu air bersih saja bagaikan menemukan emas. “Rekam dan dokumentasikan tempat ini. Kirim kepada temanmu yang ahli IT sebagai bukti. Akan kita gunakan di waktu yang tepat!” tegas Maira, satu demi satu kejahatan Asad akan ia kuliti. Tiga bulan waktu yang diberikan, sekarang sudah
Bagian 168Gejolak Hati Asad mengamuk di dalam rumahnya. Kursi makan, sofa, guci, dan piring ia pecahkan semuanya. Gia meringkuk ketakutan di dalam kamar, Heba tak tahu harus berbuat apa, sedangkan Hakim Harun hanya diam membiarkan kakaknya melampiaskan kemarahan yang begitu memuncak. Bukan karena ulah Amran. Meliankan kedatangan mendadak Khalifah dan Gubernur Latif tiba-tiba ke wilayahnya dan dijumpai sudah satu tempat yang dua hari lalu didatangi oleh Maira juga Fahmi. “Sudah aku tutupi baik-baik selama ini. Sudah aku suap para polisi dan semua petugas, sampai hartaku tinggal setengah. Tapi kenapa bisa ketahuan juga?” Lelaki tua itu seharusnya sadar dengan umur. Marah-marah di usia udzur takutnya dia mati mendadak dan tak sempat bertaubat lagi. “Pasti kita kecolongan. Ada yang diam-diam mengunjungi tempat itu.” Harun duduk di sebelah kakaknya. Setelah suaminya selesai marah-marah baru Heba berani bergabung. Sedangkan rumah yang kotor itu akan menjadi urusan Gia nantinya, istri m
Bagian 169 Teror Untuk Sebuah Nyawa “Namanya, Fahmi Idris, Tuan Harun. Dia polisi baru jadi, satu wilayah dengan Humaira, si perempuan bermulut tajam itu.” Barza menyerahkan beberapa foto Fahmi yang ia dapatkan berkat menyewa jasa seorang ahli IT. “Ada hubungan mereka berdua?” “Sejauh ini tidak ada, Tuan. Fahmi bergerak sendirian. Dan asal kau tahu, dia ini dulu anak kecil yang kau suruh buang ke padang pasir.” “Oh, yang beberapa tahun lalu dibawa Maira karena perutnya lapar itu?” tanya Hakim Harun, ingatannya akan kejadian ketika ia dipermalukan itu sangat membekas di hati. Barza mengangguk. “Bukankah kau kusuruh untuk membuangnya di tengah padang pasir sampai dia mati kehausan. Tolol! Ternyata kau tak menjalankan pekerjaanmu dengan baik. Ini namanya kita kecolongan dua kali. Pergi Maira datang Fahmi, tak habis-habis urusan kita dengan tikus kecil seperti ini. Kau lihat akibatnya, kakakku rugi tak tanggung jumlahnya. Bodoh, makan dan minum saja yang kau tahu.” Keluar sudah tabi