Bagian 169 Teror Untuk Sebuah Nyawa “Namanya, Fahmi Idris, Tuan Harun. Dia polisi baru jadi, satu wilayah dengan Humaira, si perempuan bermulut tajam itu.” Barza menyerahkan beberapa foto Fahmi yang ia dapatkan berkat menyewa jasa seorang ahli IT. “Ada hubungan mereka berdua?” “Sejauh ini tidak ada, Tuan. Fahmi bergerak sendirian. Dan asal kau tahu, dia ini dulu anak kecil yang kau suruh buang ke padang pasir.” “Oh, yang beberapa tahun lalu dibawa Maira karena perutnya lapar itu?” tanya Hakim Harun, ingatannya akan kejadian ketika ia dipermalukan itu sangat membekas di hati. Barza mengangguk. “Bukankah kau kusuruh untuk membuangnya di tengah padang pasir sampai dia mati kehausan. Tolol! Ternyata kau tak menjalankan pekerjaanmu dengan baik. Ini namanya kita kecolongan dua kali. Pergi Maira datang Fahmi, tak habis-habis urusan kita dengan tikus kecil seperti ini. Kau lihat akibatnya, kakakku rugi tak tanggung jumlahnya. Bodoh, makan dan minum saja yang kau tahu.” Keluar sudah tabi
Bagian 170 Licik Maira turun dari mobilnya. Sultan menoleh dan tersenyum. Seharusnya keponakannya itu datang menggunakan baju seragam atau paling tidak gamis hitam. Namun, yang ada di depannya kini Maira yang dulu imut-imut dan kerap meminta dibelikan es krim padanya. Sultan seperti mengulang masa lajangnya dulu. Begitu juga dengan anggota yang lain mereka ingin tertawa sedikit, tapi tak berani mengingat pangkat Maira dua tingkat di atas mereka. “Mana gamismu? Ya Allah, Maira,” tanya Sultan ketika melihat keponakannya menggunakan baju tidur, memang kainnya tebal dan longgar, tetapi coraknya jadi tidak matching dengan Maira yang keras kepala. “Tak sempat memikirkan itu, aku buru-buru ke sini takut meninggalkan moment penting,” jawab Maira. Untung saja dia bisa menyambar jaket tebal, kaus kaki, kerudung dan penutup wajah. “Ya, ya, keponakanku yang imut-imut, mau minta dibelikan es krim apa?” Sultan menepuk kepala Maira berkali-kali, persis ketika ia masih gadis kecil. “Ah, aku tak
Bagian 171 Mengumpulkan Bukti Fahmi dan Musa terus mengendarai motor dengan kecepatan tinggi hingga ke batas kota. Mereka berburu dengan waktu atau lebih tepatnya khawatir ada yang mengikuti dari belakang. Tak bisa bohong, pasti pergerakan mereka sudah mulai ada yang curiga. Maira memang hanya pembimbing, tapi tak mungkin juga wanita itu hanya diam saja tanpa melakukan apa pun. Kejadian matinya tahanan di dalam penjara tentu akan ia cari tahu sampai dapat. “Pekerjaan kita ini menantang nyawa sekali ya, kalau dipikir-pikir. Yang kita hadapi sekelas Gubernur Asad. Aku tak yakin tim kita masih utuh dalam tiga bulan ke depan,” ujar Musa ketika Fahmi baru menghentikan motornya. Mereka telah sampai di satu tempat yang ditengarai sebagai tempat tinggal si mandor bernama Hamzah. “Berdoa saja, kalau memang usia kita berakhir dalam amar ma’ruf nahi mungkar semoga menjadi jalan buat selamat dari api neraka,” jawab Fahmi. Dua petugas polisi berpakaian bebas itu mulai mencari keberadaan rumah
Bagian 172 Dua Sahabat Maira bangun pagi agak terlambat. Tadi malam ia pulang diam-diam, pun ketahuan oleh Ali, tidurnya jadi terlambat dan semua serba terakhir. Tak bisa bohong, wanita itu mulai berpikir keras tentang keterlibatan Ola. Mungkin terjadi sebab ia sudah masuk dalam lingkaran keluarga Asad. Gia saja terkena percikannya apalagi bekas sahabatnya yang pada dasarnya licik itu.“Hati-hati di jalan, Maira. Percayalah sejak tim itu dibentuk hidupmu tidak baik-baik saja, apalagi ketika mereka sadar kau masih ikut campur urusan keluarga gubernur,” ucap Ali pada putrinya. Wanita itu menggangguk mengiyakan kata ayahnya. Iya naik ke mobil tapi turun lagi. Mahar dari Amran itu dipikir-pikir memang mewah dan terlihat mencolok, orang sudah tahu yang di dalam sana pasti Maira. Agak susah jadinya polisi wanita itu bergerak. “Ayah, tukar mobil, ya,” pinta Maira pada Ali. Lelaki bermata abu-abu itu heran, mobil miliknya sudah tua tetapi mesinnya masih bagus, berbeda dengan milik putrinya
Bagian 173 Bisikan Salju Diam Maira memandang rekaman CCTV yang ia saksikan di dalam kamar sendirian. Terlihat Ola bolak-balik satu tempat dengan sangat mencurigakan. Headset sudah ia maksimalkan volumenya, tetapi memang tidak ada suara yang begitu jelas. Dengan sabar putri pertama Ali menonton rekaman itu, terlihat tampilan CCTV merekam ketika Ola membuka kaca mobil dan di sana ia duduk dengan seorang gadis yang tak dikenal. Arah jalan menantu Asad itu baru saja keluar dari tempat pemukiman orang miskin yang sedang dibangun. “Apa jangan-jangan dia ini anak lelaki tua itu, ya?” gumam Maira sendirian. Lalu mobil tersebut mengarah pada satu wilayah yang sepi, dan citra satelit menangkap wanita Mesir itu berhenti di satu tempat. “Sudah, besok aku lanjutkan, mataku lelah sekali.” Maira menghentikan jalan video tersebut. Sebelum tidur ia melihat ponselnya sejenak. Ada pesan masuk dari nomor yang ia simpan beberapa minggu lalu tetapi baru kali ini berani berkomunikasi dengannya, siapa l
Bagian 174 Menggali SaljuFahmi menghentikan mobi di sebuah gerai makanan yang baru buka. Ia dan kelima petugas, termasuk Maira keluar. Putri pertama Ali duduk sendirian tak berbaur dengan yang lain. Fahmi memesan makanan untuk semuanya. Untuk kakak tercintanya tak tahu harus ia beri apa. Ingin bertanya malu, tak bertanya takut salah pesan. “Sudah selesai belum dia memesan makanan? Lama sekali, aku ingin ke sana, mana perutku sudah lapar,” gumam Maira yang ternyata juga menunggu Fahmi selesai mengoder makanan. “Kakak makan apa, ya? Mau tidak aku pesankan yang sama saja. Tapi waktu di rumah dia makan apa pun yang Ibu berikan. Ya, sudahlah coba saja, semoga tidak ditolak.” Alhasil daripada saling menebak isi hati, Fahmi memesankan makanan yang sama untuk semuanya. Dan tak lama kemudian sepiring makanan hangat datang ke meja Maira. Saking lamanya pesanan dibuat ia jadi tertidur. Begitulah jadinya kalau polisi wanita dibatasi jumlahnya. Putri Ali jadi berbaur bekerja bersama lelaki. Na
Bagian 175 Serangan Jantung Lima buah lubang kuburan akhirnya digali di tanah milik Heba. Satu jasad si gadis calon madu yang baunya menyeruak, sisanya sudah menjadi tulang belulang, perkiraan matinya sudah lama. Salah satu tulang itu merupakan kematian pembantu saat Maira baru menikah dulu. Sebuah pisau ditemukan terkubur di dalam sana. Semua barang bukti diserahkan oleh Fahmi ke kepolisian wilayah setempat. Tugas mereka hanya memberi tahu orang-orang tentang kejahatan yang tersembunyi itu. “Apakah aman menyerahkan pada mereka?” tanya Fahmi pada Maira. “Kita tidak punya pilihan lain, lagi pula umat sudah tahu, kalau mereka berani menutupi tentu saja akan mengundang murka khalifah dan mereka akan dikenakan sanksi. Iya kalau hanya pemecatan, jika terbukti mereka melakuan kejahatan lain tentu akan digali semuanya sampai mendapatkan hukuman yang pantas.” Maira memandang satu demi satu jasad dan tulang yang dimasukkan dalam kantung jenazah, di bawa masuk dalam mobil milik kepolisian,
Bagian 176Kabar Buruk Heba koma, jantungnya bahkan dipasang ring karena terkena serangan parah. Tak kuat wanita paruh baya itu membayangkan kalau dirinya akan dipenjara atau dihukum mati. Sebab terputus nikmat dunia akan membuatnya tak cantik lagi, tak dipandang, bahkan dihina di mata orang lain. Asad memperhatikan istri pertamanya dari luar ruangan. Tak ada orang lain lagi yang bisa diandalkan di rumah itu. Gubernur yang tengah terancam kasus besar itu akhirnya meminta Gia untuk menunggu kakak madunya, setiap hari. Wanita penakut itu menurut saja, ia bawa baju dan tinggal di sana sebagai pihak keluarga. Waktu yang terus berjalan membuat Heba tak terasa sudah berbaring dua minggu saja di ranjang rumah sakit. “Ibu, bagaimana keadaan Ibu Heba?” tanya Maira yang mengunjungi Gia, ia tak berniat menjenguk Heba karena urusannya sudah terlampau banyak. “Masih belum ada perkembangan, Maira. Kau sendiri bagaimana? Baik-baik saja, bukan? Sejak kasus penangkapan itu Ibu belum sempat berbica