Bagian 176Kabar Buruk Heba koma, jantungnya bahkan dipasang ring karena terkena serangan parah. Tak kuat wanita paruh baya itu membayangkan kalau dirinya akan dipenjara atau dihukum mati. Sebab terputus nikmat dunia akan membuatnya tak cantik lagi, tak dipandang, bahkan dihina di mata orang lain. Asad memperhatikan istri pertamanya dari luar ruangan. Tak ada orang lain lagi yang bisa diandalkan di rumah itu. Gubernur yang tengah terancam kasus besar itu akhirnya meminta Gia untuk menunggu kakak madunya, setiap hari. Wanita penakut itu menurut saja, ia bawa baju dan tinggal di sana sebagai pihak keluarga. Waktu yang terus berjalan membuat Heba tak terasa sudah berbaring dua minggu saja di ranjang rumah sakit. “Ibu, bagaimana keadaan Ibu Heba?” tanya Maira yang mengunjungi Gia, ia tak berniat menjenguk Heba karena urusannya sudah terlampau banyak. “Masih belum ada perkembangan, Maira. Kau sendiri bagaimana? Baik-baik saja, bukan? Sejak kasus penangkapan itu Ibu belum sempat berbica
Bagian 177Black Box Fahmi nekat mencuri black box milik Ola agar bukti bisa segera didapatkan. Namun, terlebih dahulu ia meminta tolong pada Maira agar mengajak wanita itu berbicara empat mata saja tanpa didampingi apa dan siapa pun. Tak banyak waktu yang diberikan oleh putri pertama Ali itu, hanya 15 menit saja ia bisa menahan Ola. Dan dalam waktu singkat tersebut dimanfaatkan Oleh putra Naina untuk mendownload semua data yang diperlukan. Mobil Ola dibuka dengan rapi tanpa ada jejak pencurian sama sekali. “Sudah kau dapatkan?” tanya Maira pada Fahi. Mereka pergi berdua lagi karena empat yang lain sedang sibuk bekerja. Gosip tentang kedekatan keduanya masih bisa ditekan entah sampai kapan. “Sudah, terima kasih karena telah menolongku,” jawab Fahmi. Di dalam saku baju sebelah kanannya ada copian data black box milik Ola. “Hm, ya sudah kita kembali dan lihat secepatnya rekaman itu. Segera ringkus saja Ola agar satu demi satu tugas kita selesai. Waktu yang tersisa tak sampai dua bul
Bagian 178 Menepati Janji Ponsel Maira berdering, wanita bermata biru itu bangun dan melihatnya, panggilan masuk dari Amran. Tak ia hiraukan, lalu lanjut ke kamar mandi untuk cuci muka, sikat gigi, dan wudhu. Selesai, terlihat tiga panggilan tak terjawab dari mantan suaminya. “Sepertinya ada yang penting, nanti sajalah.” Maira mendahulukan kewajiban pada Rabb-nya. Pagi lambat terbit dan walau masih gelap, polisi wanita itu masih harus beraktifitas. Sembari memakai seragam dan menyisir rambutnya ia menghubungi Amran kembali. Maira harus cepat sebab sebentar lagi Gia akan kembali ke rumah sakit menjaga Heba. “Ada apa, Amran, sepertinya penting sampai kau berulang kali menghubungiku?” tanya Maira ketika panggilannya sudah diangkat. Ia menyimak dengan baik, sepertinya Amran begitu sulit untuk mengatakan sebuah berita buruk. “Bohong! Jangan main-main kau denganku!” Jatuh sisir di tangan Maira. Wanita itu suaranya sampai terdengar ke luar kamar. Hira melihat apa yang terjadi dengan kak
Bagian 179 Pembalasan Jenazah Gia didorong oleh Fahmi dan Maira, kemudian mereka masuk di ruangan khusus, di mana biasanya penyidik mencari sidik jari atau temuan apa saja pada jenazah korban pembunuhan yang belum terungkap. Hanya Maira yang bisa memeriksa tubuh Gia, karena keberadaan polisi perempuan yang amat sedikit. “Kau keluarlah, biarkan aku sendiri. Awasi yang lain,” pinta Maira pada Fahmi dengan suara berat. Mengerti bagaimana perasaan wanita itu, Fahmi keluar. Ia tak pulang atau ke mana-mana, menunggu di luar ruangan, mana tahu Maira membutuhkan bantuannya.Putri pertama Ali memakai sarung tangan berwarna putih tulang. ia membuka kain kafan yang menutupi tubuh Gia. Perlahan-lahan agar jenazah tetapi terjaga raganya. Ada perasaan senang melihat ibu mertuanya begitu ditampakkan kesholihannya ketika tiada, tetapi urusan di dunia belum selesai bagi Maira. Tentu ia akan mengejar pembunuhnya siapa pun itu. “Tenanglah, Ibu di sana, di sini aku akan menghukum pembunuhmu. Aku yaki
Bagian 180Kehilangan “Aku hanya mencoba menesehatinya, agar tak meninggalkan anak dan suaminya sendirian. Tapi dia tak terima dan menamparku sangat kuat. Lalu kami pun jadi kehilangan kendali, tiba-tiba saja rem mobil tidak berfungsi dan setir mobil jadi berputar-putar. Mungkin ada hantu yang lewat,” jawab Maira ketika ditanyai oleh pihak kepolisian. Kepalanya diplester akibat hantaman tadi. Ia tak sendiran, Fahmi menunggu di tempat yang agak jauh.“Bukankah kau ini juga polisi?” Mereka masih menggali keterangan dari Maira, sebab Ola sudah tak bisa diselamatkan, mati terpanggang dan terlambat untuk ditolong. “Kami sama-sama polisi. Dia ini istri dari suamiku dulu. Aku kasihan dengan rumah tangga mereka yang baru seumur jagung sudah ingin berpisah. Kalau bisa jangan terulang lagi kesalahan yang pernah aku lakukan dulu.” Maira menjawab sepolos mungkin. Padahal matanya saja sudah mengisyaratkan bahwa ia puas dengan caranya mengakhiri hidup Ola. Lalu seorang polisi lain datang berbisik
Bagian 181 Tak Tepat Waktu “Mau ke mana, Nak?” tanya Ali ketika melihat Maira menggunakan seragam lengkap, dengan rompi, sepatu safety, pisau, pistol laras pendek, HT, penutup wajah khusus, juga helm, seperti akan perang menggerebek sarang musuh. Biasanya dalam kondisi berbahaya seperti yang diisyaratkan Maira sekarang, jarang-jarang polisi wanita diterjunkan, kecuali sudah tidak ada petugas laki-laki.“Ke pusat pemerintahan, mungkin lama akan pulang, atau tak kembali lagi.” Tanpa beban Maira mengatakan hal demikian. Seolah-olah orang tuanya rela ditinggalkan begitu saja. “Ada urusan apa?” Ali mengorek keterangan selengkap-lengkapnya. “Masih urusan lama. Aku pergi dulu, Ayah, jaga ibu dan adik-adik di rumah.” Padahal tak perlu mengatakan hal itu juga Ali sudah menjaga keluarganya dengan baik.Ali hanya memandang kepergian putrinya saja di pagi buta ketika orang-orang belum berangkat ke masjid. Ya, mereka harus berkejaran dengan waktu, selagi keluarga Gubernur Asad disibukkan denga
Bagian 182 Jalan-Jalan ‘Ya Allah, lindungilah hamba dari godaan daun muda yang mengajak hamba berumah tangga. Dia ini sedang lucu-lucunya, takut main-main saja,’ gumam Maira dalam hati. Sudah 30 menit berlalu dari sejak Fahmi, anggap saja melamarnya secara tak resmi dan putri Ali masih saja bungkam. Ada sedikit rasa tak percaya diri dalam hatinya. Mengingat ia janda, cerai pula bukan ditinggal mati, sedangkan Fahmi masih lajang, dan masih berhak sekali mendapatkan yang masih gadis. Diamnya Maira pun entah ditafsirkan apa oleh Fahmi. Tak ada yang tahu, yang jelas tatapan matanya lurus ke depan. Baru saja Maira ingin menjawab peryataan Fahmi yang belum sampai satu jam. Namun, mata biru itu melihat kedatangan beberapa mobil dan motor ke arah mereka. Datang sudah yang disangka tak hadir hari ini. Pemilihan tempat yang tepat, kalau mati tinggal kubur di antara salju. Untung saja semuanya memakai pakaian siap tempur. “Jaga diri baik-baik, kita kedatangan mobil asing,” ucap Maira dari HT
Bagian 183 Menikah? Tiga hari sudah Fahmi dan rekan-rekannya ada di rumah Khalifah. Mereka mempertanggungjawabkan semua yang dibawa, terutama sang pemimpim tim. Maira sendiri di hari pertama sudah diajak pulang oleh ayah dan pamannya. Fahmi jadi memikirkan wanita itu sedikit, tetapi lekas ia fokus pada tumpukan pekerjaan di depan mata. Tim penyidik didatangkan untuk memeriksa kebenaran berkas tersebut. Lalu mereka pun diterjunkan untuk pergi ke rumah Gubernur Asad, agar semuanya lebih terang benderang. “Kau ini yang pernah pergi dengan Gubernur Latief, bukan? Waktu menemukan pemukiman orang msikin di wilayah yang kita kunjungi?” tanya Khalifah pada Fahmi. Akhirnya tumpukan berkas itu selesai juga diperiksa. Tinggal menunggu kedatangan Gubernur Asad memenuhi panggilan pemimpin di atas pemimpin. “Iya, benar,” jawab Fahmi. Ia ingin berdiri tetapi ditahan terlebih dahulu oleh sang pemimpin. Tertarik lelaki yang usianya lebih tua dariapada Ali itu untuk menjodohkan Fahmi pada putrinya
Bagian 195 Home Sweet Home Maira melebarkan bola matanya, dua bulan menikah dengan Fahmi berat badannya sudah bertambah empat kilogram. Bayangkan kalau setahun jadi berapa, dan ia pun jadi bertambah gemuk dan gemuk saja. Bagaimana tidak, masakan milik Fahmi jauh lebih enak daripada masakannya. Awal mulanya Maira letih melihat cara memasak orang India yang begitu rumit dan banyak sekali proses yang harus dilalui. Wajar saja kalau dapurnya besar. Lama-lama dicoba makanan itu enak sekali rasanya. Terus-terusan dimasak oleh Fahmi ditambah pula ekstra kentang goreng yang merupakan makanan favorit Maira dari kecil. Sedikti demi sedikit dimakan, enak, tambah lagi, begitu saja terus sampai perut Maira yang kemarin-kemarin rata, mulai menggembung. “Ya Allah, sebentar lagi akan ada lipatan lemak di mana-mana.” Putri Ali memandang cermin di kamarnya. Ia naikkan seragam kepolisian dan benar celana yang longgar itu mulai teras sesak. Ia tarik napas baru terlihat ramping lagi seperti dulu, tapi
Bagian 194 Bersama Zahra Maira tiba-tiba memeluk suaminya karena rasa bahagia yang membuncah dalam dadanya. Dulu, jangankan rayuan, membaca doa saja Amran tak pernah ingat. Untung saja tidak ada jejak yang tertinggal dalam diri Maira dulu sehingga tak perlu repot-repot mengurus anak seorang diri. Fahmi terkejut dengan reaki istrinya. Tentu saja reaksi yang menimbulkan aksi. Lelaki itu tek henti-hentinya menyentuh puncak kepala Maira, wanita yang ia cintai sejak masih ingusan.Diam saja Fahmi, hanya sampai di sana lalu tidak ada pergerakan fluktuatif yang menunjukkan grafik peningkatan amat pesat. Maira jadi bertanya-tanya sendiri. Mengapa suaminya jadi berubah lagi, padahal tadi rayuan maut sudah dilontarkan, giliran dia sudah menyerah, malah membeku di musim panas. Payah sekali Fahmi. ‘Apa aku harus memulai terlebih dahulu?’ tanya putri Ali di dalam hatinya. Ia menjauh sejenak dari pelukan Fahmi, tapi tak bisa, lelaki itu masih mendekapnya sangat erat. “Sesak napas aku lama-lama,
Bagian 193 Gombal Fahmi menyodorkan minuman dingin untuk istrinya. Satu botol besar, dan habis sekali napas oleh Maira. Tertegun lelaki itu melihat cara makan dan minum Maira. 11 12 dengan Naima, hanya saja putri Ali lebih mudah gendut, karena itu ia menjaga makan. Namun, untuk hari ini tidak ada kata diet. Maira makan semua yang ada di meja. “Kau lapar?” tanya Fahmi daripada tak ada bahan yang dibicarakan. “Tinggal batu saja yang belum aku makan,” jawab Maira, ia merobek bungkusan cokelat dan sekali hap sudah tinggal setengah batang. “Wow,” gumam Fahmi. “Mau aku belikan kentang?” tawarnya. Wajar Maira lapar, jadi pengantin kemarin ia susah buka mulut karena pengaruh kerudung dan riasan. Terus waktu berjalan sampai pagi ia sibuk mengatur lalu lintas dan bertengkar dengan suaminya. Semua kegiatan itu membutuhkan tenaga ekstra. “Dua bungkus,” ujar Maira. Fahmi pun lekas pergi, agak jauh sedikit penjual kentang goreng itu tapi ia datangi saja karena cinta. Setengah jam kemudian tig
Bagian 192 Terlalu Polos Selesai shalat Maghrib, Fahmi tak langsung pulang. Jujur saja dia agak takut dengan istrinya. Termenung lelaki itu di dalam masjid, duduk bersila, kepala ditundukkan, mata terpejam, seolah-olah sedang dzikir panjang, padahal hatinya sedang memikirkan Maira. Untuk kali ini dia memang tak bisa tenang, sekali ini dzikirnya tak fokus. “Kupikir dia kan pemalu seperti gadis-gadis yang ada dalam cerita,” gumam lelaki berdarah India itu perlahan. Malu kalau didengar orang lain. “Apa karena dia sudah janda, jadi pengalamannya lebih banyak, dan tak sabar untuk mengulanginya? Begitukah? Aduh mana aku minus ilmu hal-hal begitu. Apakah aku terlalu polos jadi laki-laki?” Putra Naina menggaruk kepalanya yang tak gatal.“Tak bisa, tak boleh seperti ini. Walau bagaimanapun aku adalah pemimpin. Aku harus jadi yang, aduh, Ya Allah kenapa kepalaku jadi pusing. Aku harus terlihat pemberani dan tegas di matanya. Sudah cukup di kantor dia jadi atasanku jangan sampai di rumah jug
Bagian 191 Gak ada Judul Khalifah memberikan penghargaan bagi para polisi juga tentara yang jujur dan amanah dalam mengemban tugas. Tentu saja nama Humaira dan lima orang timnya disebutkan. Barisan telah disusun, untuk polisi perempuan sangat sedikit sekali jumlahnya, dan baru dibuka penerimaan besar-besaran setelah berhasil membuang semua pengaruh Ex Gubernur Asad yang telah tewas. Satu demi satu mereka maju menerima penghargaan. Fahmi dan empat polisi yang lain naik pangkat satu tingkat, sedangkan Maira mendapatkan lencana kesetiaan walau pangkat tidak bertambah. Seharusnya semuanya pulang, tapi tidak dengan lima polisi yang pernah dikumpulkan jadi satu oleh Maira itu. Mereka berkumpul mengenang masa-masa indah ketika masih bertugas bersama-sama. Sekarang sudah kembali ke kota masing-masing. Maira melihat mereka dari jauh, walau bagaimanapun dia masih punya perhitungan pada Fahmi juga Musa. Kenapa Musa? Terserah dia, karena ikut-ikutan mengelabuhinya. “Ehm.” Kedatangan Maira me
Bagian 10 Benang Merah Ali menelan kekecewaan saat ke rumah Fahmi. Ternyata orangnya tidak ada. Ia pun tak berniat masuk ke rumah ketika kepala keluarga itu tidak ada di tempat. Sudahlah lelah, jauh, musim panas lagi. Sang kapten yang seharusnya sudah pensiun itu pun kembali ke kotanya. Menaiki kereta api super cepat. Beruntungnya di musim panas, siang sangat lama daripada malam, walau angin yang bertiup jadi ikut-ikutan panas. Beberapa jam kemudian ia sampai di pemberhentian kotanya, dan bertemu dengan teman lamanya lagi yang sama-sama kecewa—Hamdan.“Kenapa mukamu ditekuk begitu?” tanya Ali yang langsung menghampiri temannya. “Yang dicari tak ada di rumah,” jawab Hamdan. Mereka memang tak selemah orang-orang tua pada umumnya, tetapi kalau disuruh bepergian dan yang dicari tak ada juga, lelah terasa tubuh mereka. “Sama kalau begitu. Sudah lelah pergi ke sana, salahku juga, kenapa tak memberi tahu dulu.” Ali menarik napas panjang. Ia melirik jam tangannya, Dzuhur masih panjang sek
Bagian 189 Pertandingan Sepak Bola Pagi-pagi selepas Shubuh Maira sudah siap dengan seragam lengkapnya, minus rompi anti peluru saja, pistol dan HT turut serta ia bawa. Ia ada pekerjaan penting dari pagi sampai sore, makan dan sholat di sana saja. Namun, sebelum pergi ia sempat berpamitan pada Ali yang memandangnya agak berbeda pagi itu. “Ayah pergi menonton sepak bola nanti?” tanya Maira. “Tidak, Ayah sudah cukup tua untuk urusan itu, biar yang muda-muda saja.” “Terus rapi sekali pagi ini, Ayah mau pergi ke mana?” Agak curiga Maira. “Ada urusan penting, demi keluarga ini juga.” Ali menyembunyikan tujuannya hari itu pada putrinya. Jika Maira tahu sedang dicarikan jodoh, bisa-bisa ia mengelak lagi. “Oh, kabari bagaimana hasilnya, ya. Aku pergi dulu.“ Pagi itu Maira menggunakan mobil polisi karena tugas besar yang ia emban. Maira memimpin tim untuk menjaga keamanan pertandingan sepak bola di salah satu stadion olahraga. Putri Ali mengawasi di tempat duduk khusus perempuan, yang
Bagian 188 Pengorbanan Seorang Ayah. Gu dan tiga putrinya pulang ke kota tempat tinggal mereka menggunakan kereta cepat. Di dalam kendaraan ekpres itu, Maira hanya diam membisu memandang salju yang terus turun dari langit. Salju sebentar lagi akan berhenti, dan Hira kembali sekolah menyelesaikan pendidikannya, lalu Zahra yang masuk pendidian tingkat pertama. Maira sendiri? Tetap bekerja. Kantor tempatnya mengabdi juga mengalami revolusi besar-besaran, imbas dari kasus Gubernur Asad. Jadi sampai musim panas nanti putri Ali akan sangat sibuk. Namun, tak mengapa, dia jadi bisa melupakan Fahmi. “Kau pasti sudah kembali hidup di kota asalmu. Semoga kita tak akan pernah berjumpa lagi,” gumam Maira dalam keheningan. Ibu dan dua adik kandungnya sedang terlelap, jadi polisi wanita itu menjaga mereka dengan baik. Masalah luka hatinya, ia yakin akan membaik dengan sendirinya. Sampai juga empat perempuan beda generasi itu di stasiun. Tadinya Gu ingin menelepon Ali untuk menjemput mereka. Na
Bagian 187 Selesai Fahmi dan Maira membuka matanya perlahan-lahan ketika dua ember air dingin disiramkan ke wajah mereka. Dingin di tengah musim salju yang masih turun. Mereka saling melihat diri masing-masing. Tubuh keduanya terikat dan berada di sebuah gedung kosong juga luas. “Maira, Fahmi. Kalian dua parasit pengganggu, gara-gara kalian, saudaraku banyak yang tewas ditembak.” Lelaki itu duduk di depan keduanya. “Ya, kematian sebenarnya terlalu mudah buat kalian, tapi aku yakin di alam kubur juga kalian kena cambuk malaikat,” jawab putri Ali, sedangkan Fahmi berusaha membuka ikatan di tangannya.“Bawa mereka ke dalam mobil. Terlalu banyak bicara, bosan aku mendengarnya.” Perintah suruhan Harun. Lalu dua orang itu diangkat dalam keadaan terikat dan dimasukkan ke dalam mobil. Sebuah alat berat datang dari belakang hendak menghancurkan mobil Maira dan orangnya di dalam sekalian. Para pesuruh Harun sudah bepergian dan tinggal supir alat berat itu saja dan satu orang pengawas.“Ast