Bagian 175 Serangan Jantung Lima buah lubang kuburan akhirnya digali di tanah milik Heba. Satu jasad si gadis calon madu yang baunya menyeruak, sisanya sudah menjadi tulang belulang, perkiraan matinya sudah lama. Salah satu tulang itu merupakan kematian pembantu saat Maira baru menikah dulu. Sebuah pisau ditemukan terkubur di dalam sana. Semua barang bukti diserahkan oleh Fahmi ke kepolisian wilayah setempat. Tugas mereka hanya memberi tahu orang-orang tentang kejahatan yang tersembunyi itu. “Apakah aman menyerahkan pada mereka?” tanya Fahmi pada Maira. “Kita tidak punya pilihan lain, lagi pula umat sudah tahu, kalau mereka berani menutupi tentu saja akan mengundang murka khalifah dan mereka akan dikenakan sanksi. Iya kalau hanya pemecatan, jika terbukti mereka melakuan kejahatan lain tentu akan digali semuanya sampai mendapatkan hukuman yang pantas.” Maira memandang satu demi satu jasad dan tulang yang dimasukkan dalam kantung jenazah, di bawa masuk dalam mobil milik kepolisian,
Bagian 176Kabar Buruk Heba koma, jantungnya bahkan dipasang ring karena terkena serangan parah. Tak kuat wanita paruh baya itu membayangkan kalau dirinya akan dipenjara atau dihukum mati. Sebab terputus nikmat dunia akan membuatnya tak cantik lagi, tak dipandang, bahkan dihina di mata orang lain. Asad memperhatikan istri pertamanya dari luar ruangan. Tak ada orang lain lagi yang bisa diandalkan di rumah itu. Gubernur yang tengah terancam kasus besar itu akhirnya meminta Gia untuk menunggu kakak madunya, setiap hari. Wanita penakut itu menurut saja, ia bawa baju dan tinggal di sana sebagai pihak keluarga. Waktu yang terus berjalan membuat Heba tak terasa sudah berbaring dua minggu saja di ranjang rumah sakit. “Ibu, bagaimana keadaan Ibu Heba?” tanya Maira yang mengunjungi Gia, ia tak berniat menjenguk Heba karena urusannya sudah terlampau banyak. “Masih belum ada perkembangan, Maira. Kau sendiri bagaimana? Baik-baik saja, bukan? Sejak kasus penangkapan itu Ibu belum sempat berbica
Bagian 177Black Box Fahmi nekat mencuri black box milik Ola agar bukti bisa segera didapatkan. Namun, terlebih dahulu ia meminta tolong pada Maira agar mengajak wanita itu berbicara empat mata saja tanpa didampingi apa dan siapa pun. Tak banyak waktu yang diberikan oleh putri pertama Ali itu, hanya 15 menit saja ia bisa menahan Ola. Dan dalam waktu singkat tersebut dimanfaatkan Oleh putra Naina untuk mendownload semua data yang diperlukan. Mobil Ola dibuka dengan rapi tanpa ada jejak pencurian sama sekali. “Sudah kau dapatkan?” tanya Maira pada Fahi. Mereka pergi berdua lagi karena empat yang lain sedang sibuk bekerja. Gosip tentang kedekatan keduanya masih bisa ditekan entah sampai kapan. “Sudah, terima kasih karena telah menolongku,” jawab Fahmi. Di dalam saku baju sebelah kanannya ada copian data black box milik Ola. “Hm, ya sudah kita kembali dan lihat secepatnya rekaman itu. Segera ringkus saja Ola agar satu demi satu tugas kita selesai. Waktu yang tersisa tak sampai dua bul
Bagian 178 Menepati Janji Ponsel Maira berdering, wanita bermata biru itu bangun dan melihatnya, panggilan masuk dari Amran. Tak ia hiraukan, lalu lanjut ke kamar mandi untuk cuci muka, sikat gigi, dan wudhu. Selesai, terlihat tiga panggilan tak terjawab dari mantan suaminya. “Sepertinya ada yang penting, nanti sajalah.” Maira mendahulukan kewajiban pada Rabb-nya. Pagi lambat terbit dan walau masih gelap, polisi wanita itu masih harus beraktifitas. Sembari memakai seragam dan menyisir rambutnya ia menghubungi Amran kembali. Maira harus cepat sebab sebentar lagi Gia akan kembali ke rumah sakit menjaga Heba. “Ada apa, Amran, sepertinya penting sampai kau berulang kali menghubungiku?” tanya Maira ketika panggilannya sudah diangkat. Ia menyimak dengan baik, sepertinya Amran begitu sulit untuk mengatakan sebuah berita buruk. “Bohong! Jangan main-main kau denganku!” Jatuh sisir di tangan Maira. Wanita itu suaranya sampai terdengar ke luar kamar. Hira melihat apa yang terjadi dengan kak
Bagian 179 Pembalasan Jenazah Gia didorong oleh Fahmi dan Maira, kemudian mereka masuk di ruangan khusus, di mana biasanya penyidik mencari sidik jari atau temuan apa saja pada jenazah korban pembunuhan yang belum terungkap. Hanya Maira yang bisa memeriksa tubuh Gia, karena keberadaan polisi perempuan yang amat sedikit. “Kau keluarlah, biarkan aku sendiri. Awasi yang lain,” pinta Maira pada Fahmi dengan suara berat. Mengerti bagaimana perasaan wanita itu, Fahmi keluar. Ia tak pulang atau ke mana-mana, menunggu di luar ruangan, mana tahu Maira membutuhkan bantuannya.Putri pertama Ali memakai sarung tangan berwarna putih tulang. ia membuka kain kafan yang menutupi tubuh Gia. Perlahan-lahan agar jenazah tetapi terjaga raganya. Ada perasaan senang melihat ibu mertuanya begitu ditampakkan kesholihannya ketika tiada, tetapi urusan di dunia belum selesai bagi Maira. Tentu ia akan mengejar pembunuhnya siapa pun itu. “Tenanglah, Ibu di sana, di sini aku akan menghukum pembunuhmu. Aku yaki
Bagian 180Kehilangan “Aku hanya mencoba menesehatinya, agar tak meninggalkan anak dan suaminya sendirian. Tapi dia tak terima dan menamparku sangat kuat. Lalu kami pun jadi kehilangan kendali, tiba-tiba saja rem mobil tidak berfungsi dan setir mobil jadi berputar-putar. Mungkin ada hantu yang lewat,” jawab Maira ketika ditanyai oleh pihak kepolisian. Kepalanya diplester akibat hantaman tadi. Ia tak sendiran, Fahmi menunggu di tempat yang agak jauh.“Bukankah kau ini juga polisi?” Mereka masih menggali keterangan dari Maira, sebab Ola sudah tak bisa diselamatkan, mati terpanggang dan terlambat untuk ditolong. “Kami sama-sama polisi. Dia ini istri dari suamiku dulu. Aku kasihan dengan rumah tangga mereka yang baru seumur jagung sudah ingin berpisah. Kalau bisa jangan terulang lagi kesalahan yang pernah aku lakukan dulu.” Maira menjawab sepolos mungkin. Padahal matanya saja sudah mengisyaratkan bahwa ia puas dengan caranya mengakhiri hidup Ola. Lalu seorang polisi lain datang berbisik
Bagian 181 Tak Tepat Waktu “Mau ke mana, Nak?” tanya Ali ketika melihat Maira menggunakan seragam lengkap, dengan rompi, sepatu safety, pisau, pistol laras pendek, HT, penutup wajah khusus, juga helm, seperti akan perang menggerebek sarang musuh. Biasanya dalam kondisi berbahaya seperti yang diisyaratkan Maira sekarang, jarang-jarang polisi wanita diterjunkan, kecuali sudah tidak ada petugas laki-laki.“Ke pusat pemerintahan, mungkin lama akan pulang, atau tak kembali lagi.” Tanpa beban Maira mengatakan hal demikian. Seolah-olah orang tuanya rela ditinggalkan begitu saja. “Ada urusan apa?” Ali mengorek keterangan selengkap-lengkapnya. “Masih urusan lama. Aku pergi dulu, Ayah, jaga ibu dan adik-adik di rumah.” Padahal tak perlu mengatakan hal itu juga Ali sudah menjaga keluarganya dengan baik.Ali hanya memandang kepergian putrinya saja di pagi buta ketika orang-orang belum berangkat ke masjid. Ya, mereka harus berkejaran dengan waktu, selagi keluarga Gubernur Asad disibukkan denga
Bagian 182 Jalan-Jalan ‘Ya Allah, lindungilah hamba dari godaan daun muda yang mengajak hamba berumah tangga. Dia ini sedang lucu-lucunya, takut main-main saja,’ gumam Maira dalam hati. Sudah 30 menit berlalu dari sejak Fahmi, anggap saja melamarnya secara tak resmi dan putri Ali masih saja bungkam. Ada sedikit rasa tak percaya diri dalam hatinya. Mengingat ia janda, cerai pula bukan ditinggal mati, sedangkan Fahmi masih lajang, dan masih berhak sekali mendapatkan yang masih gadis. Diamnya Maira pun entah ditafsirkan apa oleh Fahmi. Tak ada yang tahu, yang jelas tatapan matanya lurus ke depan. Baru saja Maira ingin menjawab peryataan Fahmi yang belum sampai satu jam. Namun, mata biru itu melihat kedatangan beberapa mobil dan motor ke arah mereka. Datang sudah yang disangka tak hadir hari ini. Pemilihan tempat yang tepat, kalau mati tinggal kubur di antara salju. Untung saja semuanya memakai pakaian siap tempur. “Jaga diri baik-baik, kita kedatangan mobil asing,” ucap Maira dari HT