Bagian 179 Pembalasan Jenazah Gia didorong oleh Fahmi dan Maira, kemudian mereka masuk di ruangan khusus, di mana biasanya penyidik mencari sidik jari atau temuan apa saja pada jenazah korban pembunuhan yang belum terungkap. Hanya Maira yang bisa memeriksa tubuh Gia, karena keberadaan polisi perempuan yang amat sedikit. “Kau keluarlah, biarkan aku sendiri. Awasi yang lain,” pinta Maira pada Fahmi dengan suara berat. Mengerti bagaimana perasaan wanita itu, Fahmi keluar. Ia tak pulang atau ke mana-mana, menunggu di luar ruangan, mana tahu Maira membutuhkan bantuannya.Putri pertama Ali memakai sarung tangan berwarna putih tulang. ia membuka kain kafan yang menutupi tubuh Gia. Perlahan-lahan agar jenazah tetapi terjaga raganya. Ada perasaan senang melihat ibu mertuanya begitu ditampakkan kesholihannya ketika tiada, tetapi urusan di dunia belum selesai bagi Maira. Tentu ia akan mengejar pembunuhnya siapa pun itu. “Tenanglah, Ibu di sana, di sini aku akan menghukum pembunuhmu. Aku yaki
Bagian 180Kehilangan “Aku hanya mencoba menesehatinya, agar tak meninggalkan anak dan suaminya sendirian. Tapi dia tak terima dan menamparku sangat kuat. Lalu kami pun jadi kehilangan kendali, tiba-tiba saja rem mobil tidak berfungsi dan setir mobil jadi berputar-putar. Mungkin ada hantu yang lewat,” jawab Maira ketika ditanyai oleh pihak kepolisian. Kepalanya diplester akibat hantaman tadi. Ia tak sendiran, Fahmi menunggu di tempat yang agak jauh.“Bukankah kau ini juga polisi?” Mereka masih menggali keterangan dari Maira, sebab Ola sudah tak bisa diselamatkan, mati terpanggang dan terlambat untuk ditolong. “Kami sama-sama polisi. Dia ini istri dari suamiku dulu. Aku kasihan dengan rumah tangga mereka yang baru seumur jagung sudah ingin berpisah. Kalau bisa jangan terulang lagi kesalahan yang pernah aku lakukan dulu.” Maira menjawab sepolos mungkin. Padahal matanya saja sudah mengisyaratkan bahwa ia puas dengan caranya mengakhiri hidup Ola. Lalu seorang polisi lain datang berbisik
Bagian 181 Tak Tepat Waktu “Mau ke mana, Nak?” tanya Ali ketika melihat Maira menggunakan seragam lengkap, dengan rompi, sepatu safety, pisau, pistol laras pendek, HT, penutup wajah khusus, juga helm, seperti akan perang menggerebek sarang musuh. Biasanya dalam kondisi berbahaya seperti yang diisyaratkan Maira sekarang, jarang-jarang polisi wanita diterjunkan, kecuali sudah tidak ada petugas laki-laki.“Ke pusat pemerintahan, mungkin lama akan pulang, atau tak kembali lagi.” Tanpa beban Maira mengatakan hal demikian. Seolah-olah orang tuanya rela ditinggalkan begitu saja. “Ada urusan apa?” Ali mengorek keterangan selengkap-lengkapnya. “Masih urusan lama. Aku pergi dulu, Ayah, jaga ibu dan adik-adik di rumah.” Padahal tak perlu mengatakan hal itu juga Ali sudah menjaga keluarganya dengan baik.Ali hanya memandang kepergian putrinya saja di pagi buta ketika orang-orang belum berangkat ke masjid. Ya, mereka harus berkejaran dengan waktu, selagi keluarga Gubernur Asad disibukkan denga
Bagian 182 Jalan-Jalan ‘Ya Allah, lindungilah hamba dari godaan daun muda yang mengajak hamba berumah tangga. Dia ini sedang lucu-lucunya, takut main-main saja,’ gumam Maira dalam hati. Sudah 30 menit berlalu dari sejak Fahmi, anggap saja melamarnya secara tak resmi dan putri Ali masih saja bungkam. Ada sedikit rasa tak percaya diri dalam hatinya. Mengingat ia janda, cerai pula bukan ditinggal mati, sedangkan Fahmi masih lajang, dan masih berhak sekali mendapatkan yang masih gadis. Diamnya Maira pun entah ditafsirkan apa oleh Fahmi. Tak ada yang tahu, yang jelas tatapan matanya lurus ke depan. Baru saja Maira ingin menjawab peryataan Fahmi yang belum sampai satu jam. Namun, mata biru itu melihat kedatangan beberapa mobil dan motor ke arah mereka. Datang sudah yang disangka tak hadir hari ini. Pemilihan tempat yang tepat, kalau mati tinggal kubur di antara salju. Untung saja semuanya memakai pakaian siap tempur. “Jaga diri baik-baik, kita kedatangan mobil asing,” ucap Maira dari HT
Bagian 183 Menikah? Tiga hari sudah Fahmi dan rekan-rekannya ada di rumah Khalifah. Mereka mempertanggungjawabkan semua yang dibawa, terutama sang pemimpim tim. Maira sendiri di hari pertama sudah diajak pulang oleh ayah dan pamannya. Fahmi jadi memikirkan wanita itu sedikit, tetapi lekas ia fokus pada tumpukan pekerjaan di depan mata. Tim penyidik didatangkan untuk memeriksa kebenaran berkas tersebut. Lalu mereka pun diterjunkan untuk pergi ke rumah Gubernur Asad, agar semuanya lebih terang benderang. “Kau ini yang pernah pergi dengan Gubernur Latief, bukan? Waktu menemukan pemukiman orang msikin di wilayah yang kita kunjungi?” tanya Khalifah pada Fahmi. Akhirnya tumpukan berkas itu selesai juga diperiksa. Tinggal menunggu kedatangan Gubernur Asad memenuhi panggilan pemimpin di atas pemimpin. “Iya, benar,” jawab Fahmi. Ia ingin berdiri tetapi ditahan terlebih dahulu oleh sang pemimpin. Tertarik lelaki yang usianya lebih tua dariapada Ali itu untuk menjodohkan Fahmi pada putrinya
Bagian 184 Kesal “Kenapa kakak pembina kita tidak datang, ya? Apa tidak diundang oleh Musa?” tanya Yahya sembari memperhatikan Ali yang hadir bersama istri dan lima anaknya, empat, satu disangka anak Maira. “Khalifah sudah mengundang ayah beserta istri dan anaknya, jadi tidak perlu kerja dua kali. Mungkin karena jarak yang jauh jadi malas bepergian. Yang aku perhatikan sudah satu minggu lebih dia tak keluar rumah. Kupikir memang sudah selesai tugas kita, tetapi ternyata ke kantor saja tidak ada,” jawab Fahmi. Segitu usahanya mencari tahu keadaan kakak tercintanya. Selain atas dasar cinta, ternyata pemuda itu juga ingin memberi tahu pada dunia bahwa Maira yang membimbing mereka sampai sejauh ini.Lima polisi baru menetas itu diberikan penghargaan oleh Khalifah, tetapi tidak dengan Maira. Padahal wanita itu juga ikut babak belur, dan paling banyak usahanya mengungkapkan kasus Gubernur Asad. Sekilas tidak terlihat adil, tetapi diam-diam di belakang, khalifah telah membayar sejumlah ua
Bagian 185 Yang Tersisa Gubernur Asad telah ditahan. Ia tak mengingkari semua kejahatan yang telah ia sembunyikan sangat rapat selama hampir puluhan tahun lamanya. Namun, lelaki yang telah ditinggal mati dua istrinya itu tak juga mau menyebut nama Hakim Harun, meski hakim lain telah menekannya berkali-kali agar jujur menyebut semua nama yang terlibat. Saudara dan semua polisi ia sebutkan, dan sidang telah selesai, tinggal menanti hukuman saja. Ex Gubernur Asad dijatuhi hukuman mati, karena tindak kejahatannya tak hanya mencuri saja, melainkan menghilangkan nyawa orang lain demi menutupi tindakannya. Barza telah terlebih dahulu dihukum gantung. Kerabat lain yang tidak ikut andil dalam tindak pembunuhan, serta polisi yang turut menilap uang umat, tidak dikenakan hukuman mati, melainkan potong sebelah tangan. Tak bisa dihindari lagi karena kasus itu mencuat ke tengah-tengah umat. Rumah besar ex gubernur Asad yang ditengarai dibangun menggunakan harta bersama, termasuk mobil, perhiasa
Bagian 186 Pengejaran TerakhirSesuai dengan alamat yang diberikan oleh Amran, ditemukan sudah tiga titik yang terlihat aneh aktifitasnya. Enam orang itu dibagi menjadi tiga tim. Masing-masing terdiri dari dua orang. Inginnya Maira pergi dengan Musa, agar tak bertemu dengan Fahmi. Namun, Musa justru menghindar dari orang sepertinya yang jelas sekali sedang uring-uringan. Jadilah dua orang polis itu seperti batu yang tak bisa bicara di dalam mobil. Ditambah pula salju di akhir musim yang masih menetes. Tadinya Maira serupa kulkas empat pintu, kini sudah bertambah menjadi enam pula. Fahmi tak berani buka suara. Umpatan tak tahu malu masih melekat kuat dalam ingatannya. Nanti saja ia selesaikan ketika urusan terakhir ini betul-betul sudah beres. “Ehm. Aku sudah meminta bantuan kepolisian wilayah setempat. Mereka orang-orang baru, jadi masih bisa dipercaya.” Akhirnya kulkas itu berbicara juga setelah beberapa jam membisu. Fahmi tak menjawab, ia mengangguk saja, takut yang keluar justr