Bagian 165 Simpul Kehidupan “Ola, aku ingin bicara padamu.” Usai makan pagi dengan keributan, lelaki manja tersebut mendekati istrinya yang cantik, jelita, bermata indah, tetapi … luar biasa jalan hidupnya. “Katakan saja, kapan aku tidak pernah menuruti kata-katamu?” Ola menyimpan cincin emas bertakhtakan berlian dalam sebuah box lalu menukar dengan model yang lain. Selama menikah dengan Amran, ia sudah dapatkan kemewahan yang dulu tidak dihiraukan oleh Maira. Baju, sepatu, tas yang dulu diberikan oleh Amran untuk putri Ali, kini sudah menjadi miliknya. Apakah Ola bahagia? Tentu saja, karena baginya selain memiliki hati Amran, juga harus memiliki waktu, dan uangnya. Tiga hal itu tidak pernah dimiliki oleh mantan sahabatnya yang kini bebas melajang. “Ayah benar-benar ingin anak lelaki dariku, bukan karena dia tak suka anak perempuan.” Amran memegang tangan istrinya yang halus dan harum. Jika ditanya apakah dia mencintai Ola, jawabannya iya. Namun, Maira tetap tersimpan di sudut hat
Bagian 166 Sandiwara Fahmi membagi tim menjadi tiga. Empat orang dibagi dua lagi untuk menyelidiki hal yang lain, sedangkan dirinya sendiri memilih berangkat menggunakan motor menuju kota tempatnya tinggal dulu. Ia dan Maira hanya berbeda alat transportasi saja walau tujuannya sama.Pemuda berdarah India itu memang memiliki dendam pribadi dengan tangan kanan Harun. Siapa tangan kiri hakim itu? Ia belum tahu, nanti akan dicari seiring berjalannya waktu. Sebab seingatnya ketika dibuang ke tengah padang pasir ada dua orang yang melakukan kejahatan tersebut. Setidaknya Fahmi harus tahu apa yang menjadi penyebab ia sampai harus dibuang di tempat yang kering dari sumber air. Lokasi terakhir yang ditulis oleh Maira pada selembar kertas menunjukkan bahwa tangan kanan Harun yang bernama Barza sering duduk-duduk santai di suatu gang yang sangat sepi. Maka tempat itu menjadi tujuannya. Pemuda tersebut menggunakan sorban, sebab musim panas akan segera berganti menjadi salju, dan kepala terkad
Bagian 167 Makan Cinta Dua bola mata Maira dan Fahmi sama-sama tak percaya atas apa yang mereka lihat di depannya. Sebuah pemukiman orang miskin yang luasnya jauh berkali-kali lipat dari pemukiman Fahmi dulunya. Ragam anak-anak mengais sampah untuk mencari makan, belum lagi orang tua renta yang berjalan sangat kepayahan. Ibu-ibu yang bahkan bajunya sudah robek dan ditambal sana sini, persis keadaan umat muslim dulu ketika masa-masa Islam baru tumbuh dan mendapatkan penyerangan di sana-sini. “Ini tidak mungkin,” ucap Maira yang membuka kacamatanya.“Bagiku mungkin, aku saja dulu pernah tinggal di tempat seperti ini,” Fahmi menarik napas panjang. Teringat dengan sulitnya hidup dulu jangankan untuk makan, bertemu air bersih saja bagaikan menemukan emas. “Rekam dan dokumentasikan tempat ini. Kirim kepada temanmu yang ahli IT sebagai bukti. Akan kita gunakan di waktu yang tepat!” tegas Maira, satu demi satu kejahatan Asad akan ia kuliti. Tiga bulan waktu yang diberikan, sekarang sudah
Bagian 168Gejolak Hati Asad mengamuk di dalam rumahnya. Kursi makan, sofa, guci, dan piring ia pecahkan semuanya. Gia meringkuk ketakutan di dalam kamar, Heba tak tahu harus berbuat apa, sedangkan Hakim Harun hanya diam membiarkan kakaknya melampiaskan kemarahan yang begitu memuncak. Bukan karena ulah Amran. Meliankan kedatangan mendadak Khalifah dan Gubernur Latif tiba-tiba ke wilayahnya dan dijumpai sudah satu tempat yang dua hari lalu didatangi oleh Maira juga Fahmi. “Sudah aku tutupi baik-baik selama ini. Sudah aku suap para polisi dan semua petugas, sampai hartaku tinggal setengah. Tapi kenapa bisa ketahuan juga?” Lelaki tua itu seharusnya sadar dengan umur. Marah-marah di usia udzur takutnya dia mati mendadak dan tak sempat bertaubat lagi. “Pasti kita kecolongan. Ada yang diam-diam mengunjungi tempat itu.” Harun duduk di sebelah kakaknya. Setelah suaminya selesai marah-marah baru Heba berani bergabung. Sedangkan rumah yang kotor itu akan menjadi urusan Gia nantinya, istri m
Bagian 169 Teror Untuk Sebuah Nyawa “Namanya, Fahmi Idris, Tuan Harun. Dia polisi baru jadi, satu wilayah dengan Humaira, si perempuan bermulut tajam itu.” Barza menyerahkan beberapa foto Fahmi yang ia dapatkan berkat menyewa jasa seorang ahli IT. “Ada hubungan mereka berdua?” “Sejauh ini tidak ada, Tuan. Fahmi bergerak sendirian. Dan asal kau tahu, dia ini dulu anak kecil yang kau suruh buang ke padang pasir.” “Oh, yang beberapa tahun lalu dibawa Maira karena perutnya lapar itu?” tanya Hakim Harun, ingatannya akan kejadian ketika ia dipermalukan itu sangat membekas di hati. Barza mengangguk. “Bukankah kau kusuruh untuk membuangnya di tengah padang pasir sampai dia mati kehausan. Tolol! Ternyata kau tak menjalankan pekerjaanmu dengan baik. Ini namanya kita kecolongan dua kali. Pergi Maira datang Fahmi, tak habis-habis urusan kita dengan tikus kecil seperti ini. Kau lihat akibatnya, kakakku rugi tak tanggung jumlahnya. Bodoh, makan dan minum saja yang kau tahu.” Keluar sudah tabi
Bagian 170 Licik Maira turun dari mobilnya. Sultan menoleh dan tersenyum. Seharusnya keponakannya itu datang menggunakan baju seragam atau paling tidak gamis hitam. Namun, yang ada di depannya kini Maira yang dulu imut-imut dan kerap meminta dibelikan es krim padanya. Sultan seperti mengulang masa lajangnya dulu. Begitu juga dengan anggota yang lain mereka ingin tertawa sedikit, tapi tak berani mengingat pangkat Maira dua tingkat di atas mereka. “Mana gamismu? Ya Allah, Maira,” tanya Sultan ketika melihat keponakannya menggunakan baju tidur, memang kainnya tebal dan longgar, tetapi coraknya jadi tidak matching dengan Maira yang keras kepala. “Tak sempat memikirkan itu, aku buru-buru ke sini takut meninggalkan moment penting,” jawab Maira. Untung saja dia bisa menyambar jaket tebal, kaus kaki, kerudung dan penutup wajah. “Ya, ya, keponakanku yang imut-imut, mau minta dibelikan es krim apa?” Sultan menepuk kepala Maira berkali-kali, persis ketika ia masih gadis kecil. “Ah, aku tak
Bagian 171 Mengumpulkan Bukti Fahmi dan Musa terus mengendarai motor dengan kecepatan tinggi hingga ke batas kota. Mereka berburu dengan waktu atau lebih tepatnya khawatir ada yang mengikuti dari belakang. Tak bisa bohong, pasti pergerakan mereka sudah mulai ada yang curiga. Maira memang hanya pembimbing, tapi tak mungkin juga wanita itu hanya diam saja tanpa melakukan apa pun. Kejadian matinya tahanan di dalam penjara tentu akan ia cari tahu sampai dapat. “Pekerjaan kita ini menantang nyawa sekali ya, kalau dipikir-pikir. Yang kita hadapi sekelas Gubernur Asad. Aku tak yakin tim kita masih utuh dalam tiga bulan ke depan,” ujar Musa ketika Fahmi baru menghentikan motornya. Mereka telah sampai di satu tempat yang ditengarai sebagai tempat tinggal si mandor bernama Hamzah. “Berdoa saja, kalau memang usia kita berakhir dalam amar ma’ruf nahi mungkar semoga menjadi jalan buat selamat dari api neraka,” jawab Fahmi. Dua petugas polisi berpakaian bebas itu mulai mencari keberadaan rumah
Bagian 172 Dua Sahabat Maira bangun pagi agak terlambat. Tadi malam ia pulang diam-diam, pun ketahuan oleh Ali, tidurnya jadi terlambat dan semua serba terakhir. Tak bisa bohong, wanita itu mulai berpikir keras tentang keterlibatan Ola. Mungkin terjadi sebab ia sudah masuk dalam lingkaran keluarga Asad. Gia saja terkena percikannya apalagi bekas sahabatnya yang pada dasarnya licik itu.“Hati-hati di jalan, Maira. Percayalah sejak tim itu dibentuk hidupmu tidak baik-baik saja, apalagi ketika mereka sadar kau masih ikut campur urusan keluarga gubernur,” ucap Ali pada putrinya. Wanita itu menggangguk mengiyakan kata ayahnya. Iya naik ke mobil tapi turun lagi. Mahar dari Amran itu dipikir-pikir memang mewah dan terlihat mencolok, orang sudah tahu yang di dalam sana pasti Maira. Agak susah jadinya polisi wanita itu bergerak. “Ayah, tukar mobil, ya,” pinta Maira pada Ali. Lelaki bermata abu-abu itu heran, mobil miliknya sudah tua tetapi mesinnya masih bagus, berbeda dengan milik putrinya