Bagian 160 Kelima Kandidat Di tangan Sultan sudah ada lima kandidat nama yang akan dijadikan tim Maira. Dengan kata lain mereka tidak akan menjadi tentara yang menjaga perbatasan atau dikirim berperang. Melainkan posisi mereka bergeser menangani kejahatan di dalam negeri. Sama baiknya, tergantung niat masing-masing. Hanya saja apakah mereka terima? Lima berkas lengkap yang berisikan nama-nama lelaki itu di antaranya ; Fahmi, Yahya, Musa, Emir, Faiz. Musa dan Emir merupakan yang ahli di bidang IT seperti halnya Afnan dulu. Tiga yang lain memiliki kelebihan di bidang fisik yang akan sangat dibutuhkan Maira. Berkas tersebut dicopy oleh Sultan dan diantar ke rumah Maira. Kini gadis itu membaca satu demi satu profile calon timnya nanti. Terakhir, milik Fahmi ia baca lengkap dengan foto ukuran besar dan kecil. Lama putri pertama Ali itu pandang foto Fahmi. Khas wajah pemuda India dengan hidung mancung dan kulit kecokelatan. Pernah bertemu di kereta, taksi, dan kini jalan menunjukkan ag
Bagian 161 Tak Percaya Maira ditemani oleh ayahnya menghadap gubernur tempat mereka tinggal. Tuan Abdul Latief, begitu nama lengkapnya. Sebelum misi menumpas kejahatan Gubernur Asad dimulai, Maira harus memperoleh otoritas ganda dan tentu saja kepercayaan dari Tuan Latif, tanpa itu ia tidak akan bisa bergerak, tentu resiko ditanggung olehnya. Tuan Abdul Latief bersama keponakannya yang juga seorang tentara memandang dua orang yang begitu mendesak ingin menemuinya, satu laki-laki yang sudah sangat ia kenali, satu lagi putrinya. Jika tidak penting, tidak akan dua orang itu berdiri tegak di depannya. Maira mengenakan seragam kepolisian lengkap dengan penutup wajahnya. “Ehm, bagaimana kalau kita berbicara sambil duduk saja. Tidak enak aku melihat dua tamuku seperti in.” Tuan Latief duduk di atas permadani sedangkan Ali dan Maira berdiri. Namun, dua orang itu kukuh pada pendiriannya. Terpaksa gubernur dan keponakannya itu ikut berdiri juga. Ali mempersilakan putrinya terlebih dahulu be
Bagian 162 Jangan Dipanggil “Tak percaya. Sampai kapan pun aku tak akan percaya kalau aku tak membuktikan sendiri perkataannya,” ucap Maira yang terkejut dengan pengakuan Fahmi tadi. Benar tak percaya, tapi kentang goreng itu terus ia makan sampai hampir habis. Naima yang duduk di sebelah mobil Maira hanya melirik saja. “Apanya yang tak percaya?” tanya istri Sultan. “Yang tadi, polisi tadi itu.” “Yang wajah India itu?” “Iya, dulunya dia itu jelek, hitam, kusam, kurus, tak ada semangat hidup, cengeng lagi. Kenapa sekarang bisa jadi seperti …” Gengsi Maira mengakuinya. “Tampan, gagah, dan pandangan matanya antara ingin melihatmu atau melihat tanah. Astaghfirullah, seperti melihat orang sedang kasmaran aku jadinya.”“Bagaimana orang bisa berubah seperti itu hanya dalam kurun waku kira-kira tiga tahun?” “Asal ada niat dan dananya, semua bisa. Kalau masih tak percaya, cari tahu saja sendiri biar lebih yakin.” “Ide bagus. Besok libur, jadi aku jalan-jalan ke luar kota dulu. Awas sa
Bagian 163 Tak Bisa Menghindar “Inspektur Maira.” Fahmi berlari dan memberi hormat pada atasannya. “Sudah, ini hari libur. Anggap saja aku orang biasa. Maaf aku merepotkanmu,” ucap wanita itu salah tingkah, terlihat dari ujung telapak kakinya yang bergerak-gerak memainkan pasir dari tadi. “Sama sekali tidak. Silakan masuk ke rumah.” Fahmi senang bukan main kakak tercintanya mau datang mengunjungi dirinya. Para ibu yang masih berkumpul di halaman jadi bertanya-tanya. Perempuan mana seorang diri pula berani mendatangi rumah seorang ibu yang anak lelakinya belum menikah. Naina sampai memanggil putranya. Maira masih belum mau masuk, ia melihat-lihat pemandangan tak jelas. “Siapa, Nak?” tanya Naina pada putranya. “Atasanku di kantor, Bu.” “Ooh, begitu. Alasan dia datang ke sini, apa? Bukankah kau bilang di awal minggu baru mulai bekerja?” “Ya, itu yang belum aku cari tahu. Ibu, dia itu, Kak Maira yang beberapa tahun lalu pernah menolong kita. Sekarang dia atasanku di kantor,” ucap
Bagian 164 Jangan Takut “Bagaimana kabar Maira, Paman?” tanya Amran ketika mereka makan pagi bersama. Sebenarnya lelaki itu tak pernah mau melepaskan Maira sebagai istrinya. Namun, Hakim Harun telah mengupayakan segala hal, bahkan sudah mendatangkan ulama yang disegani, tetap saja putri Ali bersikukuh untuk lepas, untungnya ia sama sekali tidak buka mulut pasal perzinahan suaminya. Di satu sisi Ola tak suka suaminya menanyakan mantan yang menjadi duri dalam daging di rumah tangganya. “Dia baik. Bekerja seperti biasa, melayani umat, mengurus kasus-kasus kriminal, terakhir kemarin Paman melihatnya mendorong seorang tua di kursi roda dan membantunya masuk ke dalam bus kota, setelah itu tidak pernah berjumpa lagi.” “Artinya anak itu tidak tertarik dengan keluarga kita lagi, bukan?” tanya Heba. Di antara penghuni istrana ular itu dialah yang paling menyimpan banyak kebencian pada bekas menantunya. “Tidak, dia kerja pulang kerja pulang, mengurus adiknya, sudah itu saja. Hampir setahun
Bagian 165 Simpul Kehidupan “Ola, aku ingin bicara padamu.” Usai makan pagi dengan keributan, lelaki manja tersebut mendekati istrinya yang cantik, jelita, bermata indah, tetapi … luar biasa jalan hidupnya. “Katakan saja, kapan aku tidak pernah menuruti kata-katamu?” Ola menyimpan cincin emas bertakhtakan berlian dalam sebuah box lalu menukar dengan model yang lain. Selama menikah dengan Amran, ia sudah dapatkan kemewahan yang dulu tidak dihiraukan oleh Maira. Baju, sepatu, tas yang dulu diberikan oleh Amran untuk putri Ali, kini sudah menjadi miliknya. Apakah Ola bahagia? Tentu saja, karena baginya selain memiliki hati Amran, juga harus memiliki waktu, dan uangnya. Tiga hal itu tidak pernah dimiliki oleh mantan sahabatnya yang kini bebas melajang. “Ayah benar-benar ingin anak lelaki dariku, bukan karena dia tak suka anak perempuan.” Amran memegang tangan istrinya yang halus dan harum. Jika ditanya apakah dia mencintai Ola, jawabannya iya. Namun, Maira tetap tersimpan di sudut hat
Bagian 166 Sandiwara Fahmi membagi tim menjadi tiga. Empat orang dibagi dua lagi untuk menyelidiki hal yang lain, sedangkan dirinya sendiri memilih berangkat menggunakan motor menuju kota tempatnya tinggal dulu. Ia dan Maira hanya berbeda alat transportasi saja walau tujuannya sama.Pemuda berdarah India itu memang memiliki dendam pribadi dengan tangan kanan Harun. Siapa tangan kiri hakim itu? Ia belum tahu, nanti akan dicari seiring berjalannya waktu. Sebab seingatnya ketika dibuang ke tengah padang pasir ada dua orang yang melakukan kejahatan tersebut. Setidaknya Fahmi harus tahu apa yang menjadi penyebab ia sampai harus dibuang di tempat yang kering dari sumber air. Lokasi terakhir yang ditulis oleh Maira pada selembar kertas menunjukkan bahwa tangan kanan Harun yang bernama Barza sering duduk-duduk santai di suatu gang yang sangat sepi. Maka tempat itu menjadi tujuannya. Pemuda tersebut menggunakan sorban, sebab musim panas akan segera berganti menjadi salju, dan kepala terkad
Bagian 167 Makan Cinta Dua bola mata Maira dan Fahmi sama-sama tak percaya atas apa yang mereka lihat di depannya. Sebuah pemukiman orang miskin yang luasnya jauh berkali-kali lipat dari pemukiman Fahmi dulunya. Ragam anak-anak mengais sampah untuk mencari makan, belum lagi orang tua renta yang berjalan sangat kepayahan. Ibu-ibu yang bahkan bajunya sudah robek dan ditambal sana sini, persis keadaan umat muslim dulu ketika masa-masa Islam baru tumbuh dan mendapatkan penyerangan di sana-sini. “Ini tidak mungkin,” ucap Maira yang membuka kacamatanya.“Bagiku mungkin, aku saja dulu pernah tinggal di tempat seperti ini,” Fahmi menarik napas panjang. Teringat dengan sulitnya hidup dulu jangankan untuk makan, bertemu air bersih saja bagaikan menemukan emas. “Rekam dan dokumentasikan tempat ini. Kirim kepada temanmu yang ahli IT sebagai bukti. Akan kita gunakan di waktu yang tepat!” tegas Maira, satu demi satu kejahatan Asad akan ia kuliti. Tiga bulan waktu yang diberikan, sekarang sudah
Bagian 195 Home Sweet Home Maira melebarkan bola matanya, dua bulan menikah dengan Fahmi berat badannya sudah bertambah empat kilogram. Bayangkan kalau setahun jadi berapa, dan ia pun jadi bertambah gemuk dan gemuk saja. Bagaimana tidak, masakan milik Fahmi jauh lebih enak daripada masakannya. Awal mulanya Maira letih melihat cara memasak orang India yang begitu rumit dan banyak sekali proses yang harus dilalui. Wajar saja kalau dapurnya besar. Lama-lama dicoba makanan itu enak sekali rasanya. Terus-terusan dimasak oleh Fahmi ditambah pula ekstra kentang goreng yang merupakan makanan favorit Maira dari kecil. Sedikti demi sedikit dimakan, enak, tambah lagi, begitu saja terus sampai perut Maira yang kemarin-kemarin rata, mulai menggembung. “Ya Allah, sebentar lagi akan ada lipatan lemak di mana-mana.” Putri Ali memandang cermin di kamarnya. Ia naikkan seragam kepolisian dan benar celana yang longgar itu mulai teras sesak. Ia tarik napas baru terlihat ramping lagi seperti dulu, tapi
Bagian 194 Bersama Zahra Maira tiba-tiba memeluk suaminya karena rasa bahagia yang membuncah dalam dadanya. Dulu, jangankan rayuan, membaca doa saja Amran tak pernah ingat. Untung saja tidak ada jejak yang tertinggal dalam diri Maira dulu sehingga tak perlu repot-repot mengurus anak seorang diri. Fahmi terkejut dengan reaki istrinya. Tentu saja reaksi yang menimbulkan aksi. Lelaki itu tek henti-hentinya menyentuh puncak kepala Maira, wanita yang ia cintai sejak masih ingusan.Diam saja Fahmi, hanya sampai di sana lalu tidak ada pergerakan fluktuatif yang menunjukkan grafik peningkatan amat pesat. Maira jadi bertanya-tanya sendiri. Mengapa suaminya jadi berubah lagi, padahal tadi rayuan maut sudah dilontarkan, giliran dia sudah menyerah, malah membeku di musim panas. Payah sekali Fahmi. ‘Apa aku harus memulai terlebih dahulu?’ tanya putri Ali di dalam hatinya. Ia menjauh sejenak dari pelukan Fahmi, tapi tak bisa, lelaki itu masih mendekapnya sangat erat. “Sesak napas aku lama-lama,
Bagian 193 Gombal Fahmi menyodorkan minuman dingin untuk istrinya. Satu botol besar, dan habis sekali napas oleh Maira. Tertegun lelaki itu melihat cara makan dan minum Maira. 11 12 dengan Naima, hanya saja putri Ali lebih mudah gendut, karena itu ia menjaga makan. Namun, untuk hari ini tidak ada kata diet. Maira makan semua yang ada di meja. “Kau lapar?” tanya Fahmi daripada tak ada bahan yang dibicarakan. “Tinggal batu saja yang belum aku makan,” jawab Maira, ia merobek bungkusan cokelat dan sekali hap sudah tinggal setengah batang. “Wow,” gumam Fahmi. “Mau aku belikan kentang?” tawarnya. Wajar Maira lapar, jadi pengantin kemarin ia susah buka mulut karena pengaruh kerudung dan riasan. Terus waktu berjalan sampai pagi ia sibuk mengatur lalu lintas dan bertengkar dengan suaminya. Semua kegiatan itu membutuhkan tenaga ekstra. “Dua bungkus,” ujar Maira. Fahmi pun lekas pergi, agak jauh sedikit penjual kentang goreng itu tapi ia datangi saja karena cinta. Setengah jam kemudian tig
Bagian 192 Terlalu Polos Selesai shalat Maghrib, Fahmi tak langsung pulang. Jujur saja dia agak takut dengan istrinya. Termenung lelaki itu di dalam masjid, duduk bersila, kepala ditundukkan, mata terpejam, seolah-olah sedang dzikir panjang, padahal hatinya sedang memikirkan Maira. Untuk kali ini dia memang tak bisa tenang, sekali ini dzikirnya tak fokus. “Kupikir dia kan pemalu seperti gadis-gadis yang ada dalam cerita,” gumam lelaki berdarah India itu perlahan. Malu kalau didengar orang lain. “Apa karena dia sudah janda, jadi pengalamannya lebih banyak, dan tak sabar untuk mengulanginya? Begitukah? Aduh mana aku minus ilmu hal-hal begitu. Apakah aku terlalu polos jadi laki-laki?” Putra Naina menggaruk kepalanya yang tak gatal.“Tak bisa, tak boleh seperti ini. Walau bagaimanapun aku adalah pemimpin. Aku harus jadi yang, aduh, Ya Allah kenapa kepalaku jadi pusing. Aku harus terlihat pemberani dan tegas di matanya. Sudah cukup di kantor dia jadi atasanku jangan sampai di rumah jug
Bagian 191 Gak ada Judul Khalifah memberikan penghargaan bagi para polisi juga tentara yang jujur dan amanah dalam mengemban tugas. Tentu saja nama Humaira dan lima orang timnya disebutkan. Barisan telah disusun, untuk polisi perempuan sangat sedikit sekali jumlahnya, dan baru dibuka penerimaan besar-besaran setelah berhasil membuang semua pengaruh Ex Gubernur Asad yang telah tewas. Satu demi satu mereka maju menerima penghargaan. Fahmi dan empat polisi yang lain naik pangkat satu tingkat, sedangkan Maira mendapatkan lencana kesetiaan walau pangkat tidak bertambah. Seharusnya semuanya pulang, tapi tidak dengan lima polisi yang pernah dikumpulkan jadi satu oleh Maira itu. Mereka berkumpul mengenang masa-masa indah ketika masih bertugas bersama-sama. Sekarang sudah kembali ke kota masing-masing. Maira melihat mereka dari jauh, walau bagaimanapun dia masih punya perhitungan pada Fahmi juga Musa. Kenapa Musa? Terserah dia, karena ikut-ikutan mengelabuhinya. “Ehm.” Kedatangan Maira me
Bagian 10 Benang Merah Ali menelan kekecewaan saat ke rumah Fahmi. Ternyata orangnya tidak ada. Ia pun tak berniat masuk ke rumah ketika kepala keluarga itu tidak ada di tempat. Sudahlah lelah, jauh, musim panas lagi. Sang kapten yang seharusnya sudah pensiun itu pun kembali ke kotanya. Menaiki kereta api super cepat. Beruntungnya di musim panas, siang sangat lama daripada malam, walau angin yang bertiup jadi ikut-ikutan panas. Beberapa jam kemudian ia sampai di pemberhentian kotanya, dan bertemu dengan teman lamanya lagi yang sama-sama kecewa—Hamdan.“Kenapa mukamu ditekuk begitu?” tanya Ali yang langsung menghampiri temannya. “Yang dicari tak ada di rumah,” jawab Hamdan. Mereka memang tak selemah orang-orang tua pada umumnya, tetapi kalau disuruh bepergian dan yang dicari tak ada juga, lelah terasa tubuh mereka. “Sama kalau begitu. Sudah lelah pergi ke sana, salahku juga, kenapa tak memberi tahu dulu.” Ali menarik napas panjang. Ia melirik jam tangannya, Dzuhur masih panjang sek
Bagian 189 Pertandingan Sepak Bola Pagi-pagi selepas Shubuh Maira sudah siap dengan seragam lengkapnya, minus rompi anti peluru saja, pistol dan HT turut serta ia bawa. Ia ada pekerjaan penting dari pagi sampai sore, makan dan sholat di sana saja. Namun, sebelum pergi ia sempat berpamitan pada Ali yang memandangnya agak berbeda pagi itu. “Ayah pergi menonton sepak bola nanti?” tanya Maira. “Tidak, Ayah sudah cukup tua untuk urusan itu, biar yang muda-muda saja.” “Terus rapi sekali pagi ini, Ayah mau pergi ke mana?” Agak curiga Maira. “Ada urusan penting, demi keluarga ini juga.” Ali menyembunyikan tujuannya hari itu pada putrinya. Jika Maira tahu sedang dicarikan jodoh, bisa-bisa ia mengelak lagi. “Oh, kabari bagaimana hasilnya, ya. Aku pergi dulu.“ Pagi itu Maira menggunakan mobil polisi karena tugas besar yang ia emban. Maira memimpin tim untuk menjaga keamanan pertandingan sepak bola di salah satu stadion olahraga. Putri Ali mengawasi di tempat duduk khusus perempuan, yang
Bagian 188 Pengorbanan Seorang Ayah. Gu dan tiga putrinya pulang ke kota tempat tinggal mereka menggunakan kereta cepat. Di dalam kendaraan ekpres itu, Maira hanya diam membisu memandang salju yang terus turun dari langit. Salju sebentar lagi akan berhenti, dan Hira kembali sekolah menyelesaikan pendidikannya, lalu Zahra yang masuk pendidian tingkat pertama. Maira sendiri? Tetap bekerja. Kantor tempatnya mengabdi juga mengalami revolusi besar-besaran, imbas dari kasus Gubernur Asad. Jadi sampai musim panas nanti putri Ali akan sangat sibuk. Namun, tak mengapa, dia jadi bisa melupakan Fahmi. “Kau pasti sudah kembali hidup di kota asalmu. Semoga kita tak akan pernah berjumpa lagi,” gumam Maira dalam keheningan. Ibu dan dua adik kandungnya sedang terlelap, jadi polisi wanita itu menjaga mereka dengan baik. Masalah luka hatinya, ia yakin akan membaik dengan sendirinya. Sampai juga empat perempuan beda generasi itu di stasiun. Tadinya Gu ingin menelepon Ali untuk menjemput mereka. Na
Bagian 187 Selesai Fahmi dan Maira membuka matanya perlahan-lahan ketika dua ember air dingin disiramkan ke wajah mereka. Dingin di tengah musim salju yang masih turun. Mereka saling melihat diri masing-masing. Tubuh keduanya terikat dan berada di sebuah gedung kosong juga luas. “Maira, Fahmi. Kalian dua parasit pengganggu, gara-gara kalian, saudaraku banyak yang tewas ditembak.” Lelaki itu duduk di depan keduanya. “Ya, kematian sebenarnya terlalu mudah buat kalian, tapi aku yakin di alam kubur juga kalian kena cambuk malaikat,” jawab putri Ali, sedangkan Fahmi berusaha membuka ikatan di tangannya.“Bawa mereka ke dalam mobil. Terlalu banyak bicara, bosan aku mendengarnya.” Perintah suruhan Harun. Lalu dua orang itu diangkat dalam keadaan terikat dan dimasukkan ke dalam mobil. Sebuah alat berat datang dari belakang hendak menghancurkan mobil Maira dan orangnya di dalam sekalian. Para pesuruh Harun sudah bepergian dan tinggal supir alat berat itu saja dan satu orang pengawas.“Ast