Bagian 149 Sarang Ular BerbisaHeba iri dengan mahar yang diberikan Amran untuk istrinya. Tak tanggung-tanggun sebuah jeep warna hitam mengilat kini sudah menjadi hak milik Maira. Sebab istri pertama Asad itu bahkan sampai sekarang satu mobil dibagi dua pula dengan Gia. Bagaimana mungkin seorang Maira yang baru saja masuk bisa mendapatkan fasilitas sedemikian mewah, bahkan Amran saja belum pernah memberikan barang mahal untuknya. Seharusnya ia berbakti dulu pada ibunya, baru menyayangi istrinya.“Kau tidak ada rencanakah untuk memberikanku mobil baru?” tanya Heba pada suaminya. Semua sudah kembali ke kamar masing-masing. Asad lebih banyak menghabiskan malam dengan istri pertamanya. Mengingat usianya sudah tak lagi muda sebenarnya untuk menikahi Gia yang bahkan umurnya di bawah Naima. “Untuk apa, Heba Sayang. Apa mobil pintu geser ke samping itu kurang untukmu?” “Mobil itu bukan hanya untukku, kan? Tapi untuk istri mudamu iya juga,” gerutu ibu Amran. “Iya, tapi, kan, yang lebih ban
Bagian 150 Salah Tujuan “Kupikir menikah bukanlah hal yang sulit. Ternyata sangat sulit untuk dikerjakan,” keluh Maira di dalam kamar hotelnya. Suaminya sosok yang semuanya terlalu ingin terlihat mewah. Bahkan hotel tempat mereka menginap saja tidak tanggung-tanggung yang dipesan. Amran juga ingin menyampaian keinginannya untuk liburan ke luar negeri. Namun, untuk yang satu itu Maira menolak dengan tegas. Bagaimana mungkin bisa liburan sementara sudah satu minggu pekerjaan mereka hanya jalan-jalan saja. Amran tertawa puas setiap hari, sedangkan polisi wanita itu tersenyum dengan penuh kepalusan. Tidak hanya sampai di sana saja, putra Heba itu juga menyita ponsel istrinya selama bulan madu. Katanya supaya tidak ada yang mengganggu. Pertanyaannya, diganggu dalam hal apa? Menghubungi keluarga Maira terutama Ali apakah termasuk unsur yang mengganggu? “Hah, pusing kepalaku. Rasanya biarlah aku menangkap penjahat daripada terjebak dengan anak manja ini.” Putri Ali memasang senyum palsu
Bagian 151 Bujuk Rayu Ola datang menemui Nyonya Heba di pagi hari. Setelah dua minggu Maira menikah ia tak sabar ingin menagih janji istri gubernur itu untuk menempatkan dirinya di dalam rumah. Terserah walau jadi yang kedua pun tak apa. Ola berjanji tidak akan menuntut banyak dari Maira. Lagi pula mereka dahulu bersahabat, ia yakin pasti Maira akan menerima kehadiran dirinya. Menghamba gadis asal Mesir itu layaknya pengemis cinta. Heba sampai risih dibuatnya.“Kau ini, sabar dulu! Baru juga dua minggu putraku menikah sudah mau kau masuk dalam rumah tangganya. Bisa mengamuk Maira nanti di rumah ini.” Sang nyonya utama sudah mulai mengenal watak menantunya, meski demikian ia tetap tak mau mengalah. Perempuan tak bernasab adalah hinaan yang paling sering Heba lontarkan. “Lalu harus berapa lama aku menunggu, Nyonya. Engkau sudah berjanji padaku?” bujuk Ola tak menyerah. Padahal Amran belum pernah bertemu dengan dirinya. “Tunggulah paling tidak dua atau satu tahunlah paling cepat. Nan
Bagian 152 Rumah Tempat Pulang Maira meninggalkan Amran sendirian di proyek. Bukan tugasnya sebagai polisi untuk mengawasi hal-hal seperti itu. Tak peduli ia walau ada izin dari suaminya atau tidak. Semua perkataan Amran bagai angin lewat saja di telinganya. Kehidupan pernikahan yang tidak sehat, karena sudah salah niat dari awal. Putri pertama Ali itu mulai berjalan dan mencoba mencari Fahmi serta Naina. Dengan berbekal foto usang ia bertanya pada orang-orang di pasar yang keadaanya tidak jauh berbeda miskinnya. Tidak tahu, tidak kenal, atau sudah lama tidak terlihat begitulah reaksi orang-orang ketika Maira mencari seseorang. Memang keberadaan Fahmi serta Naina di sana seperti satu dari jutaan pasir di pantai. Tak menyerah, wanita bermata biru itu masih saja berjalan. Hingga ia berpapasan dengan dua orang yang membuang Fahmi di tengah padang pasir. Mereka berdua pernah berurusan dengan Maira saat membagikan paket makanan. Dua lelaki tersebut membenci gaya kepemimpinan wanita itu
Bagian 153 Mulai Jenuh maaf telat ya🙏🙏 baru bisa ngetik Terhitung sudah tiga bulan Maira menjalani biduk rumah tangga yang apa-apa serba sendiri dan serba mendapatkan tekanan dari segala sisi. Jika tak ingat dengan tujuan asal, ia sudah menjerit dan mengajukan gugatan. Nafkah lahir tak pernah Amran hiraukan, katanya kebutuhan makan dan minum sudah disediakan ayahnya. Mengenai pakaian juga ia sudah belikan walau tak cocok untuk Maira kenakan sebab lebih mirip terlihat seperti badut. Selebihnya nihil. Putri pertama Ali selalu menggunakan uang gajinya sendiri. Sejak kejadian kentang gorengnya dilempar oleh Heba, Maira tak mau lagi makan satu meja dengan keluarga itu. Mulai dari makan pagi, ia akan pergi kerja lebih dahulu, siang sudah jelas ia mendapat jatah makanan yang sama dengan para pekerja yang Masya Allah, kalau Maira tak protes pada Amran, maka gizi pekerja tersebut tidak layak sama sekali. Malam sebelum sampai di rumah ia sudah makan terlebih dahulu. Heba tidak peduli sama
Bagian 154Hakim yang Tidak Adil “Kau ini sudahlah tolol, bodoh pula. Di mana otakmu, Amran?” Heba memaki putra satu-satunya. Ia tak habis pikir, menjaga satu proyek saja sudah tak becus, apalagi kalau diberikan proyek-proyek lainnya. “Sudah, tak ada gunanya marah-marah. Aku akan hubungi Harun sesegera mungkin. Harus dia yang menjadi hakim dalam kasus ini. Maira pasti akan memperkarakannya.” Asad bergerak cepat menghubungi adiknya. “Ibu, maaf. Tapi aku tak tahan melihat uang sebanyak itu. Jadi sebagian aku masukkan ke dalam kantong, dan …” Terjeda perkataan Amran. “Dan apa?” tanya Heba agar lebih jelas. “Aku berikan pada Ola. Dia cantik, jadi aku tak bisa berkata tidak padanya.” Amran menundukkan pandangan. Heba menghela napas dibuatnya. Asad apalagi, punya anak hanya satu perangai luar biasa. Itu pun harus didapatkan dengan program bertahun-tahun lamanya. “Ya Allah, kau, ya ampun, otakmu memang tak ada atau bagaimana?” Heba duduk dan menepuk dadanya berkali-kali. Ola sudah terl
Bagian 155 Main Gila Benar saja, sidang yang membuat Maira duduk sebagai seorang saksi berlangsung sangat lama dan seperti mengulur-ngulur waktu. Sampai jenuh wanita itu dibuatnya. Belum lagi proyek tetap berjalan dan bahan-bahan yang dibeli juga atas pengawasannya. Menumpuk pekerjaan Maira, hingga tujuan utamanya untuk mengawasi keluarga Asad ia lupakan tanpa sengaja. Termasuk pula Amran. Ia lebih sering tidak peduli dengan suaminya. Tidur hanya sebatas melepas lelah di ranjang saja. Tidak ada pelukan, deep talk, atau aktifitas apa pun yang bisa mengeratkan hubungan dua orang itu. Maira ketika pulang sudah sangat lelah luar biasa. Dia juga seorang perempuan yang terkena tamu bulanan dan butuh istirahat. Tak terasa tiga bulan sudah sidang berjalan. Dan keputusan hakim akhirnya menjatuhkan bahwa mandor bersalah karena tuduhan menggelapkan uang. Maira seperti merasa ada yang aneh dengan semuanya. Amran tidak sedikit pun pernah dipanggil sebagai saksi. Namun, semua bukti memang menga
Bagian 156 Masih Berharap “Sayang, kenapa tak masuk ke rumah, hari sudah malam, anak-anak juga sudah tidur. Tak takut kena angin yang panas?” tanya Gu ketika Ali merenung di depan rumah. Lelaki yang masih terlihat tegap di usia 50 tahun lebih itu hanya ingin duduk di sana saja tanpa melakukan apa-apa. Jujur saja ia sangat merindukan Maira. Jarak mereka tidaklah jauh. Namun, ada saja kendala bagi mereka berdua untuk bertemu. Video call hanya sebatas mendengar dan menatap dari jauh saja. “Tidak apa-apa, kau tidurlah duluan dengan Zahra. Perasaanku malam ini tidak enak. Takutnya terjadi sesuatu dengan Maira,” ucap Ali sambil menarik napas. “Pikirkan yang baik-baik saja. Apa pun yang terjadi di sana, semoga putri kita kuat. Kalau ada yang aneh, tentu kita tahu. Siapa yang tak mengenal Gubernur Asad, bukan?” “Yang terlihat senang dari luar belum tentu bahagia. Aku merasa ada hal besar yang ditutupi Maira padaku. Semoga hanya prasangka saja.” Ali mengela napas panjang. Gu masuk ke kama