Naima didandani tak ubahnya pelacur. Lipstik merah, pipi merona, bulu mata lentik dan tak luput baju yang hanya menutupi tubuh bagian atas. Ditambah rok yang sangat mini sekian senti di atas lutut. Kedinginan? Tentu saja, hari itu salju turun tak menentu, sebentar lebat sebentar mereda.“Jadilah kau santapan beruang lapar.” Seorang tentara wanita melempar Naima ke dalam kamar khusus. Mengerikan sekali, ada gambar-gambar terbuka, ada borgol, ada cambuk, yang bahkan gadis itu tak mengerti apa gunanya. Ia hanya menangis sesenggukan. Gadis berambut kemerahan itu mengambil selimut lalu menutupi tubuhnya yang sangat terasa dingin. Namun, bukan itu yang ia takutkan. Melainkan, ketika pintu terbuka dan masuklah seorang anak laki-laki yang raut wajahnya seperti kebingungan. Matanya ditutup kain hitam dan jalannya sedikit terhuyung.“Selamat bersenang-senang, kawan. Nanti gantian denganku, ya.” Tentara yang tubuhnya tinggi itu menepuk bahu Sultan. Lalu penutup matanya dibuka. Adik Gu telah dibe
Gu mengaduk segelas cokelat panas dalam gelas. Sudah sebulan lebih ia menanti dengan penuh ketidak pastian. Bahkan ia telah menghitung banyaknya butiran salju yang turun. Demi mengisi rasa bosan, terkadang wanita yang sedang hamil anak kedua itu membuat orang-orangan salju di halaman belakang. Tepat di atas makam lelaki yang ia bunuh. Mayat itu membeku seperti daging di dalam frezer. “Lama sekali ayahmu pulang, Nak. Apa terjadi sesuatu dengannya di dalam sana.” Gu menyesap cokelat yang sudah mulai dingin. Saat minuman itu sampai di mulutnya, langsung ia semburkan ketika pintu belakang terbuka tiba-tiba. Sosok yang ia rindukan muncul tiba-tiba. “Assalammualaikum, maaf, membuatmu terkejut. Kau dari tadi dipanggil tidak menyahut juga.” Ali muncul dengan menggandeng tangan Sultan juga Naima. Gu langsung menghamburkan diri dalam pelukan lelaki itu. Namun, secepatnya Ali tepis lagi, mereka tak punya banyak waktu untuk berduaan. Harus segera sampai di perbatasan dan masuk dalam terowongan
Empat orang itu masuk ke dalam rumah yang telah ditinggalkan selama hampir dua bulan lamanya. Rumah Gu berdebu, lekas saja ia meminta bantuan orang lain untuk membersihkan dan memasak. Ia sudah tak punya daya dan kekuatan lagi untuk melakukan apa pun. Ali dan Gu masuk dalam kamar sebentar saja. Berniat menukar baju, lalu mengurus Sultan juga Naima yang sangat tidak mungkin akan tinggal satu rumah bersama. Namun, suara pecahan piring terdengar hingga membuat keduanya terpaksa berlarian. “Apa yang kau lakukan, Sultan?” Gu menarik tangan adiknya, ia memecahkan piring lalu mendekatkan pecahan itu ke leher Naima. Di dalam camp, Sultan diajarkan agar tak pernah berbuat baik terhadap perempuan muslim walau itu anak kecil. Tadi Naima bersin dan mengucapkan alhamdulillah. Satu kata yang jelas sekali bahwa gadis berambut merah itu muslimah yang berbahaya. “Aku ingin membunuhnya. Darah umah muslim itu murah di tanganku.” Tangan Sultan diputar hingga berada di tubuh bagian belakangnya. Ali mela
Naima diajak ke pusat perbelanjaan baju muslimah oleh Gu. Berhubung di dalam toko itu isinya hanya perempuan semua, Ali memutuskan untuk menunggu di luar. Ia tertidur sebentar, merebahkan kepalanya di sandaran mobil. Letih? Tentu saja, jangan ditanya lagi. Tak ingat lelaki bermata abu-abu itu kapan ia tidur tenang sejak dua bulan lalu. Namun, baru sebentar ia terbangun lagi. Bayangan Naima dan Sultan dalam satu selimut berdua itu benar-benar menggangu pikirannya. “Dia tak ingat apa yang terjadi pada dirinya,” ucap Gu saat Ali mempertanyakan jawaban Naima. Ditambah pula Sultan yang merasa gelap setelah pengaruh obat itu. Keduanya anak kecil yang sama-sama jadi korban. Hanya saja yang Ali takutkan kalau misalnya Naima hamil, bagaimana pula anak itu akan menghadapi dunia? Sedangkan …. “Sakit kepalaku dibuatnya,” gumam Ali sendirian. Ini bahkan lebih rumit daripada masalahnya dulu. Saat Gu tertimpa masalah demikian, wanita bermata biru itu sudah memasuki usia cukup untuk menikah dan aka
Musim salju akhirnya berganti juga. Naima merasa bisa bernapas dengan lega. Sekolah pun kembali dibuka. Begitu juga dengan Ali dan Gu, mereka kembali pada urusan pekerjaan masing-masing. Maira diantar ke rumah kakek neneknya, dan Naima tak mungkin rasanya dibiarkan termenung seorang diri di rumah. Gadis itu harus diberi semangat agar terus menatap indahnya masa depan walau masa lalu sangatlah terpuruk. “Aku antar saja dia ke tempat belajar, yang usianya sepantaran. Kasihan kalau dia mengenang kejadian itu terus,” ujar Ali ketika telah mengantar istrinya sampai di rumah sakit. Wanita bermata biru itu hanya mengangguk saja. Apa pun demi kembalinya Naima jadi lebih ceria tidak masalah. Lagi pula keduanya sudah berkomitmen untuk menjadi wali bagi gadis berambut kemerahan itu. Ali dan Naima sampai di satu majelis yang isinya hanya perempuan saja, termasuk pula ustadzah, tukang bersih-bersih kecuali penjaga pagar. Ali mengantar gadis itu ke ruang guru. Ia daftarkan dan serahkan Naima agar
Hari bergati menjadi minggu, juga bulan. Naima masih betah dengan dunianya sendiri. Ia dipancing untuk berbicara baru akan mengeluarkan suaranya. Dan seperti biasa, hanya ketika bersama Ali dan Gu ia bisa tersenyum, sedangkan Maira ia perlakukan seperti adiknya sendiri. Teman? Gadis yang mulai beranjak dewasa itu tak memilikinya. Ia takut mengecewakan orang lain, juga takut mengecewakan hatinya sendiri. Rasa percaya dirinya terkikis habis akibat peristiwa mengerikan itu. Meski demikian indeks prestasi di dalam kelas terus menanjak, berbanding terbalik dengan kehidupan sosialnya sebagai manusia terkhusus sebagai muslimah. Di rumah Gu memberikan test pack pada Naima, gadis itu tak mengerti untuk apa guna benda tipis dan digunakan saat berada di kamar mandi. Gu hanya memintanya untuk menurut saja. Ali menunggu di kamar dengan harap-harap cemas, apalagi istrinya. Rasanya tak mungkin kalau Sultan di usia sepuluh tahun sudah punya benih yang bagus. Naima menyerahkan benda yang telah mempe
“Kita bukan teman,” jawab Naima tanpa mau memandang wajah Sultan. Adik laki-laki Gu sedikit bingung, sebab yang ia ingat gadis di depan matanya disebut sebagai temannya saat ia masih kecil sekali. “Siapa, Naima?” tanya Gu setelah keluar dari kamar mandi. Wanita bermata biru itu mengintip dari dapur, lalu berjalan ke depan. Ia lihat di depan sana Sultan telah datang dengan penampilan yang sangat menyegarkan di musim panas yang terik dan menantang. “Kak,” ucap Sultan, senyum adik laki-laki Gu merekah. Wajahnya tak lagi beringas seperti dulu. Di usianya yang 11 tahun ia terlihat sama seperti anak-anak lainnya. Gu menyuruh adiknya masuk, wanita itu memeluknya sebentar, mengacak-acak rambut dan mencubit pipi Sultan. Rindu? Jangan tanya lagi, keduanya sama-sama terlihat senang, hanya Naima saja yang tidak. Gadis itu berdiri di depan pintu masuk tanpa tahu harus berbuat apa lagi. Ia masih takut dan tak ada satu pun ingatannya yang memudar. Menyadari hal itu, Gu meminta Naima untuk masuk k
Kedua orang tua angkat Ali telah tutup usia, Dokter Yusuf menutup mata di tahun pertama Naima kuliah, lalu setahun kemudian Alana menyusul pula. Terputus sudah nasab keluarga Firdaus di dunia ini. Begitulah hidup, ada yang bisa melanjutkan keturunan, ada pula yang tidak sekuat apa pun mencoba. Namun, setidaknya, mereka semua telah ridho dalam menjalani takdir.Tinggalah Naima seorang diri di rumah itu. Ia masih belum mau menikah. Kini di tahun ketiga, kuliahnya sebentar lagi selesai. Usianya sudah 20 tahun dan sedang mekar-mekarnya sebagai seorang perempuan. Bukan satu dua orang yang mencoba meminangnya melalui Ali. Namun, jika dari bibir gadis itu berkata tidak maka tak akan terjadi pernikahan. Ditambah ia yatim piatu, maka ia yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Akan berbeda cerita jika Ali ayahnya, mungkin akan ia paksa menikah dengan laki-laki baik, soal cinta bisa tumbuh belakangan. “Aku tak butuh cinta, aku tak butuh teman, aku hanya perlu jadi diriku sendiri. Hidup dal