Hari bergati menjadi minggu, juga bulan. Naima masih betah dengan dunianya sendiri. Ia dipancing untuk berbicara baru akan mengeluarkan suaranya. Dan seperti biasa, hanya ketika bersama Ali dan Gu ia bisa tersenyum, sedangkan Maira ia perlakukan seperti adiknya sendiri. Teman? Gadis yang mulai beranjak dewasa itu tak memilikinya. Ia takut mengecewakan orang lain, juga takut mengecewakan hatinya sendiri. Rasa percaya dirinya terkikis habis akibat peristiwa mengerikan itu. Meski demikian indeks prestasi di dalam kelas terus menanjak, berbanding terbalik dengan kehidupan sosialnya sebagai manusia terkhusus sebagai muslimah. Di rumah Gu memberikan test pack pada Naima, gadis itu tak mengerti untuk apa guna benda tipis dan digunakan saat berada di kamar mandi. Gu hanya memintanya untuk menurut saja. Ali menunggu di kamar dengan harap-harap cemas, apalagi istrinya. Rasanya tak mungkin kalau Sultan di usia sepuluh tahun sudah punya benih yang bagus. Naima menyerahkan benda yang telah mempe
“Kita bukan teman,” jawab Naima tanpa mau memandang wajah Sultan. Adik laki-laki Gu sedikit bingung, sebab yang ia ingat gadis di depan matanya disebut sebagai temannya saat ia masih kecil sekali. “Siapa, Naima?” tanya Gu setelah keluar dari kamar mandi. Wanita bermata biru itu mengintip dari dapur, lalu berjalan ke depan. Ia lihat di depan sana Sultan telah datang dengan penampilan yang sangat menyegarkan di musim panas yang terik dan menantang. “Kak,” ucap Sultan, senyum adik laki-laki Gu merekah. Wajahnya tak lagi beringas seperti dulu. Di usianya yang 11 tahun ia terlihat sama seperti anak-anak lainnya. Gu menyuruh adiknya masuk, wanita itu memeluknya sebentar, mengacak-acak rambut dan mencubit pipi Sultan. Rindu? Jangan tanya lagi, keduanya sama-sama terlihat senang, hanya Naima saja yang tidak. Gadis itu berdiri di depan pintu masuk tanpa tahu harus berbuat apa lagi. Ia masih takut dan tak ada satu pun ingatannya yang memudar. Menyadari hal itu, Gu meminta Naima untuk masuk k
Kedua orang tua angkat Ali telah tutup usia, Dokter Yusuf menutup mata di tahun pertama Naima kuliah, lalu setahun kemudian Alana menyusul pula. Terputus sudah nasab keluarga Firdaus di dunia ini. Begitulah hidup, ada yang bisa melanjutkan keturunan, ada pula yang tidak sekuat apa pun mencoba. Namun, setidaknya, mereka semua telah ridho dalam menjalani takdir.Tinggalah Naima seorang diri di rumah itu. Ia masih belum mau menikah. Kini di tahun ketiga, kuliahnya sebentar lagi selesai. Usianya sudah 20 tahun dan sedang mekar-mekarnya sebagai seorang perempuan. Bukan satu dua orang yang mencoba meminangnya melalui Ali. Namun, jika dari bibir gadis itu berkata tidak maka tak akan terjadi pernikahan. Ditambah ia yatim piatu, maka ia yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Akan berbeda cerita jika Ali ayahnya, mungkin akan ia paksa menikah dengan laki-laki baik, soal cinta bisa tumbuh belakangan. “Aku tak butuh cinta, aku tak butuh teman, aku hanya perlu jadi diriku sendiri. Hidup dal
Pagi-pagi buta usai shalat Shubuh, Naima langsung bergegas pergi menunggu bus ke satu tempat yang cukup sunyi. Di dalam sana hanya ada dia dan dua wanita lainnya. Sengaja gadis itu pergi duluan agar tak kena cegat para petugas. Ia bisa mengendap-endap ketika pergantian penjaga. Maklum saja, di Syam ketika perempuan keluar sendirian tanpa tujuan yang jelas akan disuruh pulang, dan tentu saja nanti Naima akan dilaporkan pada Ali.Perjalanan hanya setengah jam saja ke tempat yang ia tuju, setelah itu ia turun dan melirik ke kiri dan kanan. Tiga petugas yang semuanya laki-laki nampak kelelahan dan kesempatan itulah yang digunakan Naima untuk menuju sebuah hutan yang ada sungai besar di bawahnya. Tanpa gadis itu sadari ia bisa berlari kencang menghindari kejaran petugas karena ia sering berkejar-kerajan dengan kucing. Naima tertawa sendiri ketika ia berhasil menyusup tanpa ketahuan. Begitulah ia membangun kebahagiaannya sendiri, dan tak akan mengizinkan siapa pun untuk masuk untuk menghanc
“Kau sudah siap?” tanya Ali pada adik iparnya—Sultan. Lelaki yang baru berusia 17 tahun itu sudah berpenampilan rapi di rumah Gu. “Insya Allah, siap, bertemu dengan calon istri,” jawab pemuda itu. “Sayang, sini sebentar tolong.” Gu berpura-pura memanggil Ali, ada yang harus ia tanyakan terlebih dahulu. Rencana ini terlalu mendadak ia terima. Sedangkan wanita bermata biru itu tahu bagaimana karkater Naima yang dingin dan pendiam. Gu mengambil baju balita, anak keempatnya akan ia bawa ke rumah Naima, sedangkan si kembar dijaga oleh Maira. “Kenapa?” “Apa tak salah menjodohkan mereka berdua? Apa kau pikir Naima akan menerima begitu saja? Ingat, kita ini bukan kedua orang tuanya. Dia itu dikatakan merdeka sekali tidak juga, tapi kita pun tak ada hak menentukan siapa jodohnya.” “Lebih baik dia aku jodohkan, daripada pemerintah yang menjodohkannya. Asal pilih tahu-tahu lelaki yang didapatkan tidak baik,” jawab Ali. “Bukan begitu. Kau tak ingatkah sama sekali bagaimana mereka berdua saa
“Biar aku saja yang berbicara dengan Naima. Kau jangan ambil bagian dulu, ya. Dia hanya perlu ditenangkan sebentar saja,” ujar Gu ketika sudah sampai di rumah. “Apa aku terlalu keras tadi dengannya?” “Sangat,” jawab wanita itu. Ali pun duduk dan menarik napas panjang. Ia melirik ke arah Sultan yang wajahnya menyimpan banyak pertanyaan. Ingin diberi tahu tentang masa lalu ia takut adik iparnya tak percaya lalu terjadi sesuatu. Sebab hal itu menimpa mereka berdua saat masih sama-sama kecil. Berbeda dengan Ali dan Gu yang sudah sangat dewasa dan sudah bisa mengendalikan emosi. “Bagaimana denganmu, Sultan?” Ali membuyarkan lamunan adik iparnya. “Aku jujur saja, takut melihatnya. Sepertinya aku …” Segan pemuda berambut lurus itu mengatakan hal sejujurnya. “Tak apa, kami paham. Sudah selesai perjodohan ini. Kau bisa mencari calon istrimu sendiri. Katakan saja kalau sudah berjumpa, nanti kami akan lamarkan untukmu, ya.” Gu membuka sepatu anaknya dan membiarkan putra keempat mereka berma
Sultan tak lagi memikirkan bagaimana Naima. Sebab ia lihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa gadis itu baik-baik saja dan tidak kekurangan satu apa pun. Justru ia mendapatkan pengawalan ketat dari kakak iparnya. Hingga pemuda bergigi rapi itu akhirnya memutuskan untuk mencari jodoh wanita lain saja. Ia malas menunggu sesuatu yang tak pasti. “Semoga suatu hari nanti kau menemukan jodoh yang tepat, dan lebih baik daripada aku,” ucap pemuda itu sambil memakai baju.Ketegangan antara dua negara Balrus dan Syam memang semakin menjadi. Kadang kala salah satunya tertangkap sedang menyusup dan tentu saja berakhir dengan kematian. Terkadang pula bom ditemukan di tempat keramaian. Entah bagaimana cara mereka menyusup selalu saja ada yang terlewat. Seperti siang itu, ketika sebuah bom dengan daya ledak tinggi ditemukan di salah satu gedung pemerintahan. Di sana arsip semua perempuan tersimpan, petugasnya pun hampir 100% perempuan. Sultan pun diterjunkan di sana. Satu tim evakuasi diturunkan,
Naima menikmati hari-harinya sebagai guru TK. Ia tak lagi canggung dan berbaur dengan orang lain. Bahkan ketika harus berinteraksi dengan para orang tua dalam hal ini selalu diwakili oleh para ibu. Meski demikian setelah pulang dari bekerja gadis tersebut akan kembali lagi pada dunianya sendiri, di dalam rumah dan bermain bersama Sin juga San. Ia tahu diawasi oleh orang suruhan pamannya. Namun, ia hanya diam saja dan meminta dua serigalanya untuk tak sembarang menyerang orang, atau sanksi tegas akan diambil oleh Ali. Waktu demi waktu yang berjalan dalam kesendiriaan Naima hingga tak terasa pertukaran dari musim gugur ke musim panas tiba juga. Bersamaan dengan itu ia mendapat telepon dari Gu. Wanita bermata biru tersebut mengabarkan akan ada pernikahan di tempatnya, dan ia mengatakan bahwa rumah mendiang Dokter Yusuf juga Alana akan ditempati mengingat Naima lebih memilih tinggal di perbatasan. “Siapa yang menikah, Bibi, apa pernikahan kedua Paman?” tanya gadis berambut kemerahan it