“Kita bukan teman,” jawab Naima tanpa mau memandang wajah Sultan. Adik laki-laki Gu sedikit bingung, sebab yang ia ingat gadis di depan matanya disebut sebagai temannya saat ia masih kecil sekali. “Siapa, Naima?” tanya Gu setelah keluar dari kamar mandi. Wanita bermata biru itu mengintip dari dapur, lalu berjalan ke depan. Ia lihat di depan sana Sultan telah datang dengan penampilan yang sangat menyegarkan di musim panas yang terik dan menantang. “Kak,” ucap Sultan, senyum adik laki-laki Gu merekah. Wajahnya tak lagi beringas seperti dulu. Di usianya yang 11 tahun ia terlihat sama seperti anak-anak lainnya. Gu menyuruh adiknya masuk, wanita itu memeluknya sebentar, mengacak-acak rambut dan mencubit pipi Sultan. Rindu? Jangan tanya lagi, keduanya sama-sama terlihat senang, hanya Naima saja yang tidak. Gadis itu berdiri di depan pintu masuk tanpa tahu harus berbuat apa lagi. Ia masih takut dan tak ada satu pun ingatannya yang memudar. Menyadari hal itu, Gu meminta Naima untuk masuk k
Kedua orang tua angkat Ali telah tutup usia, Dokter Yusuf menutup mata di tahun pertama Naima kuliah, lalu setahun kemudian Alana menyusul pula. Terputus sudah nasab keluarga Firdaus di dunia ini. Begitulah hidup, ada yang bisa melanjutkan keturunan, ada pula yang tidak sekuat apa pun mencoba. Namun, setidaknya, mereka semua telah ridho dalam menjalani takdir.Tinggalah Naima seorang diri di rumah itu. Ia masih belum mau menikah. Kini di tahun ketiga, kuliahnya sebentar lagi selesai. Usianya sudah 20 tahun dan sedang mekar-mekarnya sebagai seorang perempuan. Bukan satu dua orang yang mencoba meminangnya melalui Ali. Namun, jika dari bibir gadis itu berkata tidak maka tak akan terjadi pernikahan. Ditambah ia yatim piatu, maka ia yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Akan berbeda cerita jika Ali ayahnya, mungkin akan ia paksa menikah dengan laki-laki baik, soal cinta bisa tumbuh belakangan. “Aku tak butuh cinta, aku tak butuh teman, aku hanya perlu jadi diriku sendiri. Hidup dal
Pagi-pagi buta usai shalat Shubuh, Naima langsung bergegas pergi menunggu bus ke satu tempat yang cukup sunyi. Di dalam sana hanya ada dia dan dua wanita lainnya. Sengaja gadis itu pergi duluan agar tak kena cegat para petugas. Ia bisa mengendap-endap ketika pergantian penjaga. Maklum saja, di Syam ketika perempuan keluar sendirian tanpa tujuan yang jelas akan disuruh pulang, dan tentu saja nanti Naima akan dilaporkan pada Ali.Perjalanan hanya setengah jam saja ke tempat yang ia tuju, setelah itu ia turun dan melirik ke kiri dan kanan. Tiga petugas yang semuanya laki-laki nampak kelelahan dan kesempatan itulah yang digunakan Naima untuk menuju sebuah hutan yang ada sungai besar di bawahnya. Tanpa gadis itu sadari ia bisa berlari kencang menghindari kejaran petugas karena ia sering berkejar-kerajan dengan kucing. Naima tertawa sendiri ketika ia berhasil menyusup tanpa ketahuan. Begitulah ia membangun kebahagiaannya sendiri, dan tak akan mengizinkan siapa pun untuk masuk untuk menghanc
“Kau sudah siap?” tanya Ali pada adik iparnya—Sultan. Lelaki yang baru berusia 17 tahun itu sudah berpenampilan rapi di rumah Gu. “Insya Allah, siap, bertemu dengan calon istri,” jawab pemuda itu. “Sayang, sini sebentar tolong.” Gu berpura-pura memanggil Ali, ada yang harus ia tanyakan terlebih dahulu. Rencana ini terlalu mendadak ia terima. Sedangkan wanita bermata biru itu tahu bagaimana karkater Naima yang dingin dan pendiam. Gu mengambil baju balita, anak keempatnya akan ia bawa ke rumah Naima, sedangkan si kembar dijaga oleh Maira. “Kenapa?” “Apa tak salah menjodohkan mereka berdua? Apa kau pikir Naima akan menerima begitu saja? Ingat, kita ini bukan kedua orang tuanya. Dia itu dikatakan merdeka sekali tidak juga, tapi kita pun tak ada hak menentukan siapa jodohnya.” “Lebih baik dia aku jodohkan, daripada pemerintah yang menjodohkannya. Asal pilih tahu-tahu lelaki yang didapatkan tidak baik,” jawab Ali. “Bukan begitu. Kau tak ingatkah sama sekali bagaimana mereka berdua saa
“Biar aku saja yang berbicara dengan Naima. Kau jangan ambil bagian dulu, ya. Dia hanya perlu ditenangkan sebentar saja,” ujar Gu ketika sudah sampai di rumah. “Apa aku terlalu keras tadi dengannya?” “Sangat,” jawab wanita itu. Ali pun duduk dan menarik napas panjang. Ia melirik ke arah Sultan yang wajahnya menyimpan banyak pertanyaan. Ingin diberi tahu tentang masa lalu ia takut adik iparnya tak percaya lalu terjadi sesuatu. Sebab hal itu menimpa mereka berdua saat masih sama-sama kecil. Berbeda dengan Ali dan Gu yang sudah sangat dewasa dan sudah bisa mengendalikan emosi. “Bagaimana denganmu, Sultan?” Ali membuyarkan lamunan adik iparnya. “Aku jujur saja, takut melihatnya. Sepertinya aku …” Segan pemuda berambut lurus itu mengatakan hal sejujurnya. “Tak apa, kami paham. Sudah selesai perjodohan ini. Kau bisa mencari calon istrimu sendiri. Katakan saja kalau sudah berjumpa, nanti kami akan lamarkan untukmu, ya.” Gu membuka sepatu anaknya dan membiarkan putra keempat mereka berma
Sultan tak lagi memikirkan bagaimana Naima. Sebab ia lihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa gadis itu baik-baik saja dan tidak kekurangan satu apa pun. Justru ia mendapatkan pengawalan ketat dari kakak iparnya. Hingga pemuda bergigi rapi itu akhirnya memutuskan untuk mencari jodoh wanita lain saja. Ia malas menunggu sesuatu yang tak pasti. “Semoga suatu hari nanti kau menemukan jodoh yang tepat, dan lebih baik daripada aku,” ucap pemuda itu sambil memakai baju.Ketegangan antara dua negara Balrus dan Syam memang semakin menjadi. Kadang kala salah satunya tertangkap sedang menyusup dan tentu saja berakhir dengan kematian. Terkadang pula bom ditemukan di tempat keramaian. Entah bagaimana cara mereka menyusup selalu saja ada yang terlewat. Seperti siang itu, ketika sebuah bom dengan daya ledak tinggi ditemukan di salah satu gedung pemerintahan. Di sana arsip semua perempuan tersimpan, petugasnya pun hampir 100% perempuan. Sultan pun diterjunkan di sana. Satu tim evakuasi diturunkan,
Naima menikmati hari-harinya sebagai guru TK. Ia tak lagi canggung dan berbaur dengan orang lain. Bahkan ketika harus berinteraksi dengan para orang tua dalam hal ini selalu diwakili oleh para ibu. Meski demikian setelah pulang dari bekerja gadis tersebut akan kembali lagi pada dunianya sendiri, di dalam rumah dan bermain bersama Sin juga San. Ia tahu diawasi oleh orang suruhan pamannya. Namun, ia hanya diam saja dan meminta dua serigalanya untuk tak sembarang menyerang orang, atau sanksi tegas akan diambil oleh Ali. Waktu demi waktu yang berjalan dalam kesendiriaan Naima hingga tak terasa pertukaran dari musim gugur ke musim panas tiba juga. Bersamaan dengan itu ia mendapat telepon dari Gu. Wanita bermata biru tersebut mengabarkan akan ada pernikahan di tempatnya, dan ia mengatakan bahwa rumah mendiang Dokter Yusuf juga Alana akan ditempati mengingat Naima lebih memilih tinggal di perbatasan. “Siapa yang menikah, Bibi, apa pernikahan kedua Paman?” tanya gadis berambut kemerahan it
Jika Sultan dan Halimah sedang menikmati masa-masa manis bulan madu. Berbeda pula dengan Naima, di musim salju yang akhirnya tiba lagi, ia meringkuk ketakutan di dalam kamarnya. Ia tahan air mata agar tak menetes di pipi. Gadis itu teringat dengan peristiwa kelam di masa lalu, saat itu sangat dingin dan ia dijadikan bahan bakar untuk tubuh laki-laki. Pria itu pula kini tengah berdekap mesra dengan pasangan halalnya. Sementara Naima setengah mati berdamai dengan trauma sejak bertahun-tahun lalu tak pernah berhasil. Isak tangis yang ia tahan akhirnya pecah juga. Tidak ada orang lain di rumah tersebut selain dua serigala penjaga Sin dan San. Pendengaran mereka tajam, serigala kembar itu paham jika tuannya sedang bersedih. Mereka pun masuk dari belakang melalui pintu bagian bawah yang muat untuk ukuran tubuh mereka. Lalu berlari di mana tuannya sedang meringkuk. Mereka melakukan hal yang biasa dibuat oleh serigala. Yaitu menghangatkan tubuh satu sama lain sebagai penenang. Sin dan San b
Bagian 195 Home Sweet Home Maira melebarkan bola matanya, dua bulan menikah dengan Fahmi berat badannya sudah bertambah empat kilogram. Bayangkan kalau setahun jadi berapa, dan ia pun jadi bertambah gemuk dan gemuk saja. Bagaimana tidak, masakan milik Fahmi jauh lebih enak daripada masakannya. Awal mulanya Maira letih melihat cara memasak orang India yang begitu rumit dan banyak sekali proses yang harus dilalui. Wajar saja kalau dapurnya besar. Lama-lama dicoba makanan itu enak sekali rasanya. Terus-terusan dimasak oleh Fahmi ditambah pula ekstra kentang goreng yang merupakan makanan favorit Maira dari kecil. Sedikti demi sedikit dimakan, enak, tambah lagi, begitu saja terus sampai perut Maira yang kemarin-kemarin rata, mulai menggembung. “Ya Allah, sebentar lagi akan ada lipatan lemak di mana-mana.” Putri Ali memandang cermin di kamarnya. Ia naikkan seragam kepolisian dan benar celana yang longgar itu mulai teras sesak. Ia tarik napas baru terlihat ramping lagi seperti dulu, tapi
Bagian 194 Bersama Zahra Maira tiba-tiba memeluk suaminya karena rasa bahagia yang membuncah dalam dadanya. Dulu, jangankan rayuan, membaca doa saja Amran tak pernah ingat. Untung saja tidak ada jejak yang tertinggal dalam diri Maira dulu sehingga tak perlu repot-repot mengurus anak seorang diri. Fahmi terkejut dengan reaki istrinya. Tentu saja reaksi yang menimbulkan aksi. Lelaki itu tek henti-hentinya menyentuh puncak kepala Maira, wanita yang ia cintai sejak masih ingusan.Diam saja Fahmi, hanya sampai di sana lalu tidak ada pergerakan fluktuatif yang menunjukkan grafik peningkatan amat pesat. Maira jadi bertanya-tanya sendiri. Mengapa suaminya jadi berubah lagi, padahal tadi rayuan maut sudah dilontarkan, giliran dia sudah menyerah, malah membeku di musim panas. Payah sekali Fahmi. ‘Apa aku harus memulai terlebih dahulu?’ tanya putri Ali di dalam hatinya. Ia menjauh sejenak dari pelukan Fahmi, tapi tak bisa, lelaki itu masih mendekapnya sangat erat. “Sesak napas aku lama-lama,
Bagian 193 Gombal Fahmi menyodorkan minuman dingin untuk istrinya. Satu botol besar, dan habis sekali napas oleh Maira. Tertegun lelaki itu melihat cara makan dan minum Maira. 11 12 dengan Naima, hanya saja putri Ali lebih mudah gendut, karena itu ia menjaga makan. Namun, untuk hari ini tidak ada kata diet. Maira makan semua yang ada di meja. “Kau lapar?” tanya Fahmi daripada tak ada bahan yang dibicarakan. “Tinggal batu saja yang belum aku makan,” jawab Maira, ia merobek bungkusan cokelat dan sekali hap sudah tinggal setengah batang. “Wow,” gumam Fahmi. “Mau aku belikan kentang?” tawarnya. Wajar Maira lapar, jadi pengantin kemarin ia susah buka mulut karena pengaruh kerudung dan riasan. Terus waktu berjalan sampai pagi ia sibuk mengatur lalu lintas dan bertengkar dengan suaminya. Semua kegiatan itu membutuhkan tenaga ekstra. “Dua bungkus,” ujar Maira. Fahmi pun lekas pergi, agak jauh sedikit penjual kentang goreng itu tapi ia datangi saja karena cinta. Setengah jam kemudian tig
Bagian 192 Terlalu Polos Selesai shalat Maghrib, Fahmi tak langsung pulang. Jujur saja dia agak takut dengan istrinya. Termenung lelaki itu di dalam masjid, duduk bersila, kepala ditundukkan, mata terpejam, seolah-olah sedang dzikir panjang, padahal hatinya sedang memikirkan Maira. Untuk kali ini dia memang tak bisa tenang, sekali ini dzikirnya tak fokus. “Kupikir dia kan pemalu seperti gadis-gadis yang ada dalam cerita,” gumam lelaki berdarah India itu perlahan. Malu kalau didengar orang lain. “Apa karena dia sudah janda, jadi pengalamannya lebih banyak, dan tak sabar untuk mengulanginya? Begitukah? Aduh mana aku minus ilmu hal-hal begitu. Apakah aku terlalu polos jadi laki-laki?” Putra Naina menggaruk kepalanya yang tak gatal.“Tak bisa, tak boleh seperti ini. Walau bagaimanapun aku adalah pemimpin. Aku harus jadi yang, aduh, Ya Allah kenapa kepalaku jadi pusing. Aku harus terlihat pemberani dan tegas di matanya. Sudah cukup di kantor dia jadi atasanku jangan sampai di rumah jug
Bagian 191 Gak ada Judul Khalifah memberikan penghargaan bagi para polisi juga tentara yang jujur dan amanah dalam mengemban tugas. Tentu saja nama Humaira dan lima orang timnya disebutkan. Barisan telah disusun, untuk polisi perempuan sangat sedikit sekali jumlahnya, dan baru dibuka penerimaan besar-besaran setelah berhasil membuang semua pengaruh Ex Gubernur Asad yang telah tewas. Satu demi satu mereka maju menerima penghargaan. Fahmi dan empat polisi yang lain naik pangkat satu tingkat, sedangkan Maira mendapatkan lencana kesetiaan walau pangkat tidak bertambah. Seharusnya semuanya pulang, tapi tidak dengan lima polisi yang pernah dikumpulkan jadi satu oleh Maira itu. Mereka berkumpul mengenang masa-masa indah ketika masih bertugas bersama-sama. Sekarang sudah kembali ke kota masing-masing. Maira melihat mereka dari jauh, walau bagaimanapun dia masih punya perhitungan pada Fahmi juga Musa. Kenapa Musa? Terserah dia, karena ikut-ikutan mengelabuhinya. “Ehm.” Kedatangan Maira me
Bagian 10 Benang Merah Ali menelan kekecewaan saat ke rumah Fahmi. Ternyata orangnya tidak ada. Ia pun tak berniat masuk ke rumah ketika kepala keluarga itu tidak ada di tempat. Sudahlah lelah, jauh, musim panas lagi. Sang kapten yang seharusnya sudah pensiun itu pun kembali ke kotanya. Menaiki kereta api super cepat. Beruntungnya di musim panas, siang sangat lama daripada malam, walau angin yang bertiup jadi ikut-ikutan panas. Beberapa jam kemudian ia sampai di pemberhentian kotanya, dan bertemu dengan teman lamanya lagi yang sama-sama kecewa—Hamdan.“Kenapa mukamu ditekuk begitu?” tanya Ali yang langsung menghampiri temannya. “Yang dicari tak ada di rumah,” jawab Hamdan. Mereka memang tak selemah orang-orang tua pada umumnya, tetapi kalau disuruh bepergian dan yang dicari tak ada juga, lelah terasa tubuh mereka. “Sama kalau begitu. Sudah lelah pergi ke sana, salahku juga, kenapa tak memberi tahu dulu.” Ali menarik napas panjang. Ia melirik jam tangannya, Dzuhur masih panjang sek
Bagian 189 Pertandingan Sepak Bola Pagi-pagi selepas Shubuh Maira sudah siap dengan seragam lengkapnya, minus rompi anti peluru saja, pistol dan HT turut serta ia bawa. Ia ada pekerjaan penting dari pagi sampai sore, makan dan sholat di sana saja. Namun, sebelum pergi ia sempat berpamitan pada Ali yang memandangnya agak berbeda pagi itu. “Ayah pergi menonton sepak bola nanti?” tanya Maira. “Tidak, Ayah sudah cukup tua untuk urusan itu, biar yang muda-muda saja.” “Terus rapi sekali pagi ini, Ayah mau pergi ke mana?” Agak curiga Maira. “Ada urusan penting, demi keluarga ini juga.” Ali menyembunyikan tujuannya hari itu pada putrinya. Jika Maira tahu sedang dicarikan jodoh, bisa-bisa ia mengelak lagi. “Oh, kabari bagaimana hasilnya, ya. Aku pergi dulu.“ Pagi itu Maira menggunakan mobil polisi karena tugas besar yang ia emban. Maira memimpin tim untuk menjaga keamanan pertandingan sepak bola di salah satu stadion olahraga. Putri Ali mengawasi di tempat duduk khusus perempuan, yang
Bagian 188 Pengorbanan Seorang Ayah. Gu dan tiga putrinya pulang ke kota tempat tinggal mereka menggunakan kereta cepat. Di dalam kendaraan ekpres itu, Maira hanya diam membisu memandang salju yang terus turun dari langit. Salju sebentar lagi akan berhenti, dan Hira kembali sekolah menyelesaikan pendidikannya, lalu Zahra yang masuk pendidian tingkat pertama. Maira sendiri? Tetap bekerja. Kantor tempatnya mengabdi juga mengalami revolusi besar-besaran, imbas dari kasus Gubernur Asad. Jadi sampai musim panas nanti putri Ali akan sangat sibuk. Namun, tak mengapa, dia jadi bisa melupakan Fahmi. “Kau pasti sudah kembali hidup di kota asalmu. Semoga kita tak akan pernah berjumpa lagi,” gumam Maira dalam keheningan. Ibu dan dua adik kandungnya sedang terlelap, jadi polisi wanita itu menjaga mereka dengan baik. Masalah luka hatinya, ia yakin akan membaik dengan sendirinya. Sampai juga empat perempuan beda generasi itu di stasiun. Tadinya Gu ingin menelepon Ali untuk menjemput mereka. Na
Bagian 187 Selesai Fahmi dan Maira membuka matanya perlahan-lahan ketika dua ember air dingin disiramkan ke wajah mereka. Dingin di tengah musim salju yang masih turun. Mereka saling melihat diri masing-masing. Tubuh keduanya terikat dan berada di sebuah gedung kosong juga luas. “Maira, Fahmi. Kalian dua parasit pengganggu, gara-gara kalian, saudaraku banyak yang tewas ditembak.” Lelaki itu duduk di depan keduanya. “Ya, kematian sebenarnya terlalu mudah buat kalian, tapi aku yakin di alam kubur juga kalian kena cambuk malaikat,” jawab putri Ali, sedangkan Fahmi berusaha membuka ikatan di tangannya.“Bawa mereka ke dalam mobil. Terlalu banyak bicara, bosan aku mendengarnya.” Perintah suruhan Harun. Lalu dua orang itu diangkat dalam keadaan terikat dan dimasukkan ke dalam mobil. Sebuah alat berat datang dari belakang hendak menghancurkan mobil Maira dan orangnya di dalam sekalian. Para pesuruh Harun sudah bepergian dan tinggal supir alat berat itu saja dan satu orang pengawas.“Ast