“Biar aku saja yang berbicara dengan Naima. Kau jangan ambil bagian dulu, ya. Dia hanya perlu ditenangkan sebentar saja,” ujar Gu ketika sudah sampai di rumah. “Apa aku terlalu keras tadi dengannya?” “Sangat,” jawab wanita itu. Ali pun duduk dan menarik napas panjang. Ia melirik ke arah Sultan yang wajahnya menyimpan banyak pertanyaan. Ingin diberi tahu tentang masa lalu ia takut adik iparnya tak percaya lalu terjadi sesuatu. Sebab hal itu menimpa mereka berdua saat masih sama-sama kecil. Berbeda dengan Ali dan Gu yang sudah sangat dewasa dan sudah bisa mengendalikan emosi. “Bagaimana denganmu, Sultan?” Ali membuyarkan lamunan adik iparnya. “Aku jujur saja, takut melihatnya. Sepertinya aku …” Segan pemuda berambut lurus itu mengatakan hal sejujurnya. “Tak apa, kami paham. Sudah selesai perjodohan ini. Kau bisa mencari calon istrimu sendiri. Katakan saja kalau sudah berjumpa, nanti kami akan lamarkan untukmu, ya.” Gu membuka sepatu anaknya dan membiarkan putra keempat mereka berma
Sultan tak lagi memikirkan bagaimana Naima. Sebab ia lihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa gadis itu baik-baik saja dan tidak kekurangan satu apa pun. Justru ia mendapatkan pengawalan ketat dari kakak iparnya. Hingga pemuda bergigi rapi itu akhirnya memutuskan untuk mencari jodoh wanita lain saja. Ia malas menunggu sesuatu yang tak pasti. “Semoga suatu hari nanti kau menemukan jodoh yang tepat, dan lebih baik daripada aku,” ucap pemuda itu sambil memakai baju.Ketegangan antara dua negara Balrus dan Syam memang semakin menjadi. Kadang kala salah satunya tertangkap sedang menyusup dan tentu saja berakhir dengan kematian. Terkadang pula bom ditemukan di tempat keramaian. Entah bagaimana cara mereka menyusup selalu saja ada yang terlewat. Seperti siang itu, ketika sebuah bom dengan daya ledak tinggi ditemukan di salah satu gedung pemerintahan. Di sana arsip semua perempuan tersimpan, petugasnya pun hampir 100% perempuan. Sultan pun diterjunkan di sana. Satu tim evakuasi diturunkan,
Naima menikmati hari-harinya sebagai guru TK. Ia tak lagi canggung dan berbaur dengan orang lain. Bahkan ketika harus berinteraksi dengan para orang tua dalam hal ini selalu diwakili oleh para ibu. Meski demikian setelah pulang dari bekerja gadis tersebut akan kembali lagi pada dunianya sendiri, di dalam rumah dan bermain bersama Sin juga San. Ia tahu diawasi oleh orang suruhan pamannya. Namun, ia hanya diam saja dan meminta dua serigalanya untuk tak sembarang menyerang orang, atau sanksi tegas akan diambil oleh Ali. Waktu demi waktu yang berjalan dalam kesendiriaan Naima hingga tak terasa pertukaran dari musim gugur ke musim panas tiba juga. Bersamaan dengan itu ia mendapat telepon dari Gu. Wanita bermata biru tersebut mengabarkan akan ada pernikahan di tempatnya, dan ia mengatakan bahwa rumah mendiang Dokter Yusuf juga Alana akan ditempati mengingat Naima lebih memilih tinggal di perbatasan. “Siapa yang menikah, Bibi, apa pernikahan kedua Paman?” tanya gadis berambut kemerahan it
Jika Sultan dan Halimah sedang menikmati masa-masa manis bulan madu. Berbeda pula dengan Naima, di musim salju yang akhirnya tiba lagi, ia meringkuk ketakutan di dalam kamarnya. Ia tahan air mata agar tak menetes di pipi. Gadis itu teringat dengan peristiwa kelam di masa lalu, saat itu sangat dingin dan ia dijadikan bahan bakar untuk tubuh laki-laki. Pria itu pula kini tengah berdekap mesra dengan pasangan halalnya. Sementara Naima setengah mati berdamai dengan trauma sejak bertahun-tahun lalu tak pernah berhasil. Isak tangis yang ia tahan akhirnya pecah juga. Tidak ada orang lain di rumah tersebut selain dua serigala penjaga Sin dan San. Pendengaran mereka tajam, serigala kembar itu paham jika tuannya sedang bersedih. Mereka pun masuk dari belakang melalui pintu bagian bawah yang muat untuk ukuran tubuh mereka. Lalu berlari di mana tuannya sedang meringkuk. Mereka melakukan hal yang biasa dibuat oleh serigala. Yaitu menghangatkan tubuh satu sama lain sebagai penenang. Sin dan San b
Dimitri Alras—seorang penembak jitu asal Negara Balrus, dipanggil oleh seseorang dengan pangkat yang lebih tinggi daripada dirinya. Pemuda itu berusia 26 tahun dan merupakan satu anak didikan camp konsentrasi di atas Sultan juga Naima. Ia merupakan penembak terbaik di kesatuannya. Pernah membunuh sebanyak lima puluh tentara muslim, bahkan jarak tembaknya cukup jauh. Hampir dua kilometer ia bisa menembak dengan tepat. Ia belum menikah, sebab mencari gadis yang berbeda dari Balrus. Kebanyakan dari mereka memang cantik, tapi juga sangat mencintai uang. Tidak ada uang tidak ada cinta. Dimitri memasang sikap hormat, lalu atasannya memerintahkan untuk istirahat di tempat. Tidak hanya ia saja yang ada di sana. Selain pemuda dengan mata setajam serigala itu ada tiga orang lainnya. Dua di antaranya mata-mata dan salah satunya yang mengatur pergerakan mereka. Empat orang tersebut akan ditugaskan untuk menyusup ke Negeri Syam. Peperangan yang sudah sangat lama itu harus segera berakhir dengan k
Naima pergi ke rumah sakit menggunakan bus selesai mengajar. Bibinya—Gulaisha Amira telah melahirkan anak kelima dengan selamat dan proses normal kemarin malam. Anak yang dilahirkan laki-laki lagi. Dengan membawa buah tangan gadis berambut kemerahan itu masuk ke ruangan di mana hanya ada ibu, bayi dan Maira saja. Ali sendiri akan menjemput istrinya ketika sudah diperbolehkan pulang, sebab ia harus menjaga rumah dan mengurus anak-anaknya yang lain. “Naima, sini, Sayang, Masuk.” Gu tahu siapa yang datang terlihat dari gesture gadis itu yang malu-malu. Padahal tidak ada orang lain di sana selain ia dan Maira. “Kak, mau coba gendong adik bayinya.” Maira menyodorkan adiknya pada Naima. “Eh, jangan, Kakak takut nantik adiknya jatuh.” Dua tangan Naima menolak menimang bayi yang masih terlelap itu. “Merawat bayi serigala saja kau berani. Seharusnya dengan adik bayi lebih berani lagi. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak menggigit.” Gu tidak menggunakan kerudung dan cadarnya di sana
“Dimitri. Katakan padaku, sudah berapa lama kau mangkir dari tugas? Kau terpikat dengan seorang wanita?” tanya seorang mata-mata lain yang muncul di belakang lelaki dengan tatapan mata tajam itu. “Iya, ada masalah?” Dimitri berbalik. Ia melihat seseorang tengah menodongkan pistol ke arahnya. “Kalau begitu tugasmu sudah selesai sampai di sini. Selamat tinggal, penkhianat.” Dor! Meleset, Dimitri masih sempat menghindar, lalu ia pun mengambil senapan kedap suara miliknya. Ia lesatkan beberapa kali ke arah lawannya. Mereka berdua baku tembak di dekat rumah Naima. Sama-sama menggunakan peredam suara hingga keributannya tidak terdengar oleh telinga manusia biasa. Namun, tidak dengan telinga dua serigala peliharaan Naima. “Sin, San. Kalian ke mana?” Naima ikut berlari ketika dua serigalanya bertingkah sangat aneh. Gadis itu tak menyadari bahwa ada kejadian menegangkan yang bisa saja merenggut nyawanya. San berhenti di balik pohon, giginya menggeram dan taringnya dipamerkan. Ia melihat d
Dimitri tak sampai menjalani rawat inap karena lukanya, hanya perlu penanganan yang lebih baik dan setelah itu ia boleh pulang. Sambil menunggu kakinya sembuh ia berjalan menggunakan tongkat kembali ke rumahnya. Ingin sekali ia menemui Naima dan mengucapkan terima kasih, tetapi tubuhnya letih dan ia butuh istirahat. Penembak jitu tersebut merebahkan diri di kamarnya, hingga tak terasa waktu terus berputar dan malam pun tiba. Dimitri sendiri sekarang keyakinannya tak jelas. Menganut Islam tapi tak terhitung Muslim karena main-main saja, dan demi kepentingan sebagai penyusup dulu. Lalu pada keyakinannya yang dulu? Ia sendiri tak yakin apa yang pernah ia lakukan sebagai simbol memiliki Tuhan. “Pentingkah kita memiliki agama? Bukankan tanpa agama kita masih bisa hidup?” gumam lelaki itu di dalam kamar ketika tak bisa memejamkan mata lagi. Yang ia tahu kebanyakan di Negeri Syam penduduknya muslim. “Tapi yang aku tahu kau itu muslim taat seperti kebanyakan orang-orang di sini. Ah, sudahla