Ali mengunjungi Sultan. Dua lelaki beda generasi itu sedang sibuk membicarakan masalah Naima, perihal siapa itu Haidar dan Dimitri. "Sekalipun dia kafirun, kalau sudah taubat pasti akan mengganti namanya," ucap Sultan."Dia pria yang ditolong oleh Naima, tertembak di perbatasan. Alasan penembakan tidak diketahui karena korban mati diterkam serigala. Jadi kita tak tahu harus bertanya pada siapa. Aku mengkhawatirkan temanmu itu. Dia perempuan sendirian di sana walau punya dua penjaga tangguh." Ali memilih berbicara di luar rumah. Sebab tak enak hati dengan Halimah, takut memicu pertengkaran suami dan istri. "Dia tak pernah mengakui aku sebagai temannya, Kak. Sepertinya dia sangat membenciku walau sampai sekarang aku tak tahu apa salahku." "Tolong pahami dia. Ada luka dalam di hatinya, jadi, ya ... begitulah. Sudahlah kau pikirkan saja istrimu. Kalau bisa kau cari tahu siapa itu Haidar dan Dimitri. Aku takutnya mereka mata-mata yang menyusup lalu Naima jadi korban lagi." "L
“Aku bersungguh-sungguh ingin meminang Naima menjadi istriku, Kapten Ali,” ucap Dimitri memberanikan diri di depan ayah angkat gadis pujaan hatinya. Ia tahu lelaki di depannya bukanlah orang sembarangan. Mereka berasal dari camp yang sama. Bedanya Ali sudah taubat dan Dimitri biasa-biasa saja, tidak menganut Islam tapi juga tidak punya agama lain. Ayah Maira hanya bisa memandang lelaki itu dari ujung rambut sampai ujung kaki saja. Senang karena ada yang menganggap Naima tidak aneh, waswas karena sampai sekarang belum juga ditemukan siapa sebenarnya Dimitri atau Haidar. “Namamu sebenarnya Dimitri atau Haidar?” tanya Ali. “Saat masih menjadi kafirun Dimitri, saat sudah muallaf Haidar,” jawab penembak jitu tersebut. “Lalu mengapa Naima lebih suka memanggilmu Dimitri?” “Karena aku butuh waktu lama untuk melepas nama pemberian kedua orang tuaku. Dan lagi pula Naima lebih mengenalku sebagai Dimitri. “Lebih mengenal? Apa kalian pernah menjalin hubungan di belakangku?” Ali mengintrogasi
Bagian 90 Kehilangan Sultan berjalan menjauh dari arah Ali, Naima, juga Dimitri. Ia enggan terlibat dalam pembicaraan tersebut. Sebab ia sudah tahu jenis perbincangan apa yang akan terjadi. Adik Gu tak menyukainya. Ia yakin Dimitri atau Haidar menyimpan sebuah rahasia besar, hanya saja ia belum tahu apa kenyataannya. Cap abadi di pergelangan tangan mereka berdua menjadi saksi bisu. “Entah kau yang jahat, atau aku yang pernah jahat,” gumam Sultan melepas semua baju khususnya. Wajah dan rambut itu basah karena keringat yang menetes setiap kali menjinakkan bom. Ia kemudian menghidupkan motornya, lalu berjalan lurus menuju rumah. Halimah ia tinggalkan sendirian, istrinya masih betah berbaring di ranjang karena harus bed rest atas perintah dokter. Kandungan wanita itu katanya lemah setelah keguguran beberapa bulan lalu. Sultan menepikan motornya, rumah mendiang orang tua Firdaus mereka tempati daripada dibiarkan kosong begitu saja. Lelaki bergigi rapi itu memasuki rumahnya, kemudian me
Sah. Satu kata yang sangat cukup untuk mewakili bagaimana hubungan Dimitri dan Naima sekarang. Di mata manusia biasa mereka telah menjadi suami dan istri. Ya, semua karena penyamaran penembak jitu tersebut yang sangat ahli. Meski ia tak memihak kedua belah negara manapun sekarang. Namun, keyakinan Dimitri juga tidak ada sama sekali. Entah Tuhan dari sisi mana yang ia percaya. Semua yang ia lakukan hanya agar bisa menikahi Naima saja. Selebihnya rencana panjang untuk melarikan diri akan mulai ia susun. Gu dan Ali meninggalkan rumah di perbatasan ketika akad nikah telah selesai. Tidak ada pesta seperti halnya saat Sultan atau Halimah menikah. Sebab baik Naima dan Dimitri sama-sama tidak suka keramaian. Keheningan merupakan teman terbaik dalam hidup mereka. Sekilas keduanya terlihat cocok, bahkan Naima tak pernah berhenti tersenyum di balik cadarnya. Hanya saja satu hal yang mengganggu isi kepala gadis itu. “Bagaimana kalau dia tahu aku sudah tak perawan lagi? Apa dia akan membatalkan
“Afnan, maaf aku baru saja sampai,” ucap Sultan ketika sampai di camp. “Kau terlambat, kawan,” balas sahabatnya. “Apanya?” “Ini.” Afnan memperlihatkan hasil temuannya. Ia berhasil menyusup ke dalam website yang banyak sekali pengamannya. Kemudian Sultan tercengang. Sebuah foto lama di mana Dimitri berbaris dan memegang senjata, bahkan ketika penembak jitu itu tengah berada di medan perang. “Dia ini bukan sedang berperang di pihak kita, bukan?” tanya Sultan memastikan analisanya. Cap abadi di tangan Dimitri adalah bukti kalau lelaki itu didikan Balrus dan menjadi musuh yang berbahaya bagi umat islam. Lalu mengapa Sultan juga memikinya? “Bukan. Itu foto tiga tahun lalu. Dia di sini baru satu tahun lebih.” “Artinya dia mata-mata?”“Yap. Aku menemukan rencana perjalanan mereka yang disusun rapi dalam sebuah folder. Naima, teman masa kecilmu masuk dalam perangkapnya. Sebentar lagi pasti akan digunakan untuk mengancam Kapten Ali. Lalu, ya, aku kesal padamu.” Afnan mengalihkan pembicar
“Kenapa harus dibunuh langsung?” tanya Gu pada suaminya. Ali pulang sejenak, ia meminta istrinya untuk menemani dan menjelaskan semua hal yang baru saja terjadi pada Naima. Sedangkan lelaki itu sendiria akan menggeledah rumah Dimitri, mencari apa saja yang tertinggal di sana. Sultan sendiri, ia dibantu dua petugas yang lain mengubur penembak jitu tersebut jauh dari kediaman Naima. “Karena dia mata-mata. Kau tahu hukum untuk mata-mata dan penyihir bukan, tidak ada ampun, langsung mati tanpa kesempatan taubat, karena mereka telah membunuh banyak orang dulunya. Dan tingkat kejahatan yang tidak main-main.” jawab Ali. Gu hanya mengangguk saja. Wanita bermata biru tersebut lantas bersiap dan ikut suaminya menuju dekat perbatasan sambil membawa dua anak yang masih kecil. Sepanjang perjalanan, Gu memikirkan bagaimana keadaan Naima. Malang sekali sejak kecil telah kehilangan kedua orang tuanya, lalu perisitwa yang dipaksa menerima karena keadaan. Sekalinya berjumpa dengan cinta sejati, nyat
Dear, Naima, istriku yang sangat cantik bagaikan seorang dewi. Bahkan setelah menikah pun aku tak bisa berhenti untuk menuliskan syair untukmu. Namun, kali ini bukanlah sebuah syair, melainkan sebuah wasiat yang akan kuberikan padamu. Aku harap kau tak marah dan setelah membaca ini akan tetap menganggapku sebagai suamimu. Naima, aku berasal dari Balrus, aku seorang mata-mata yang ditugaskan untuk mencari tahu wilayah di dalam sini. Sayangnya, aku tersihir begitu saja hanya dengan menatap kedua bola matamu. Terutama ketika kau membuka cadar. Kecantikan yang begitu sempurna tanpa cela. Sejak saat itu sudah kutanggalkan semua identitas dan pekerjaan lamaku. Hanya kau yang menjadi tujuan pertama juga terakhirku. Saat menikah denganmu rasanya semua sudah cukup di dalam genggaman tanganku. Lalu jika kau masih menerimaku, aku akan berjanji membawamu pergi dari sini. Naima, aku memang tinggal di Balrus, di sana ada satu buah desa yang sangat sunyi dan cocok denganmu juga aku. Bahkan sebelum
Naima sudah tak dijaga lagi oleh tentara di depan rumahnya. Ia berhasil meyakinkan Ali bahwa ia tak akan berbuat nekat untuk kabur atau bahkan bunuh diri. Sebab Naima masih ingin mencari rumah suaminya di sebuah negeri yang rasanya sulit untuk ditaklukkan. Pagi itu ia turun bersama dua serigalanya. Gadis yang masih suci terjaga dari sentuhan lelaki haram itu membawa baju Dimitri yang terakhir kali dipakai oleh suaminya. Ia enduskan pada Sin juga San. Sigap dua serigala kembarnya mencari di mana bau yang sama tersebut. Binatang buas itu berlari kencang. Naima menyusul di belakangnya. Cukup kelelahan gadis berambut kemerahan itu mengejar. Hingga akhirnya Sin juga San berdiri di satu bawah pohon pinus yang sangat jauh, hampir mendekati terowongan tempat Naima pertama kali datang ke negeri Syam. Di bawah pohon itulah Dimitri dikuburkan, dan kini telah tertutup salju tebal pula. “Hai, Suamiku, aku datang.” Naima menepuk-nepuk tumpukan salju itu, kemudian ia duduk di sana menyandarkan tub
Bagian 195 Home Sweet Home Maira melebarkan bola matanya, dua bulan menikah dengan Fahmi berat badannya sudah bertambah empat kilogram. Bayangkan kalau setahun jadi berapa, dan ia pun jadi bertambah gemuk dan gemuk saja. Bagaimana tidak, masakan milik Fahmi jauh lebih enak daripada masakannya. Awal mulanya Maira letih melihat cara memasak orang India yang begitu rumit dan banyak sekali proses yang harus dilalui. Wajar saja kalau dapurnya besar. Lama-lama dicoba makanan itu enak sekali rasanya. Terus-terusan dimasak oleh Fahmi ditambah pula ekstra kentang goreng yang merupakan makanan favorit Maira dari kecil. Sedikti demi sedikit dimakan, enak, tambah lagi, begitu saja terus sampai perut Maira yang kemarin-kemarin rata, mulai menggembung. “Ya Allah, sebentar lagi akan ada lipatan lemak di mana-mana.” Putri Ali memandang cermin di kamarnya. Ia naikkan seragam kepolisian dan benar celana yang longgar itu mulai teras sesak. Ia tarik napas baru terlihat ramping lagi seperti dulu, tapi
Bagian 194 Bersama Zahra Maira tiba-tiba memeluk suaminya karena rasa bahagia yang membuncah dalam dadanya. Dulu, jangankan rayuan, membaca doa saja Amran tak pernah ingat. Untung saja tidak ada jejak yang tertinggal dalam diri Maira dulu sehingga tak perlu repot-repot mengurus anak seorang diri. Fahmi terkejut dengan reaki istrinya. Tentu saja reaksi yang menimbulkan aksi. Lelaki itu tek henti-hentinya menyentuh puncak kepala Maira, wanita yang ia cintai sejak masih ingusan.Diam saja Fahmi, hanya sampai di sana lalu tidak ada pergerakan fluktuatif yang menunjukkan grafik peningkatan amat pesat. Maira jadi bertanya-tanya sendiri. Mengapa suaminya jadi berubah lagi, padahal tadi rayuan maut sudah dilontarkan, giliran dia sudah menyerah, malah membeku di musim panas. Payah sekali Fahmi. ‘Apa aku harus memulai terlebih dahulu?’ tanya putri Ali di dalam hatinya. Ia menjauh sejenak dari pelukan Fahmi, tapi tak bisa, lelaki itu masih mendekapnya sangat erat. “Sesak napas aku lama-lama,
Bagian 193 Gombal Fahmi menyodorkan minuman dingin untuk istrinya. Satu botol besar, dan habis sekali napas oleh Maira. Tertegun lelaki itu melihat cara makan dan minum Maira. 11 12 dengan Naima, hanya saja putri Ali lebih mudah gendut, karena itu ia menjaga makan. Namun, untuk hari ini tidak ada kata diet. Maira makan semua yang ada di meja. “Kau lapar?” tanya Fahmi daripada tak ada bahan yang dibicarakan. “Tinggal batu saja yang belum aku makan,” jawab Maira, ia merobek bungkusan cokelat dan sekali hap sudah tinggal setengah batang. “Wow,” gumam Fahmi. “Mau aku belikan kentang?” tawarnya. Wajar Maira lapar, jadi pengantin kemarin ia susah buka mulut karena pengaruh kerudung dan riasan. Terus waktu berjalan sampai pagi ia sibuk mengatur lalu lintas dan bertengkar dengan suaminya. Semua kegiatan itu membutuhkan tenaga ekstra. “Dua bungkus,” ujar Maira. Fahmi pun lekas pergi, agak jauh sedikit penjual kentang goreng itu tapi ia datangi saja karena cinta. Setengah jam kemudian tig
Bagian 192 Terlalu Polos Selesai shalat Maghrib, Fahmi tak langsung pulang. Jujur saja dia agak takut dengan istrinya. Termenung lelaki itu di dalam masjid, duduk bersila, kepala ditundukkan, mata terpejam, seolah-olah sedang dzikir panjang, padahal hatinya sedang memikirkan Maira. Untuk kali ini dia memang tak bisa tenang, sekali ini dzikirnya tak fokus. “Kupikir dia kan pemalu seperti gadis-gadis yang ada dalam cerita,” gumam lelaki berdarah India itu perlahan. Malu kalau didengar orang lain. “Apa karena dia sudah janda, jadi pengalamannya lebih banyak, dan tak sabar untuk mengulanginya? Begitukah? Aduh mana aku minus ilmu hal-hal begitu. Apakah aku terlalu polos jadi laki-laki?” Putra Naina menggaruk kepalanya yang tak gatal.“Tak bisa, tak boleh seperti ini. Walau bagaimanapun aku adalah pemimpin. Aku harus jadi yang, aduh, Ya Allah kenapa kepalaku jadi pusing. Aku harus terlihat pemberani dan tegas di matanya. Sudah cukup di kantor dia jadi atasanku jangan sampai di rumah jug
Bagian 191 Gak ada Judul Khalifah memberikan penghargaan bagi para polisi juga tentara yang jujur dan amanah dalam mengemban tugas. Tentu saja nama Humaira dan lima orang timnya disebutkan. Barisan telah disusun, untuk polisi perempuan sangat sedikit sekali jumlahnya, dan baru dibuka penerimaan besar-besaran setelah berhasil membuang semua pengaruh Ex Gubernur Asad yang telah tewas. Satu demi satu mereka maju menerima penghargaan. Fahmi dan empat polisi yang lain naik pangkat satu tingkat, sedangkan Maira mendapatkan lencana kesetiaan walau pangkat tidak bertambah. Seharusnya semuanya pulang, tapi tidak dengan lima polisi yang pernah dikumpulkan jadi satu oleh Maira itu. Mereka berkumpul mengenang masa-masa indah ketika masih bertugas bersama-sama. Sekarang sudah kembali ke kota masing-masing. Maira melihat mereka dari jauh, walau bagaimanapun dia masih punya perhitungan pada Fahmi juga Musa. Kenapa Musa? Terserah dia, karena ikut-ikutan mengelabuhinya. “Ehm.” Kedatangan Maira me
Bagian 10 Benang Merah Ali menelan kekecewaan saat ke rumah Fahmi. Ternyata orangnya tidak ada. Ia pun tak berniat masuk ke rumah ketika kepala keluarga itu tidak ada di tempat. Sudahlah lelah, jauh, musim panas lagi. Sang kapten yang seharusnya sudah pensiun itu pun kembali ke kotanya. Menaiki kereta api super cepat. Beruntungnya di musim panas, siang sangat lama daripada malam, walau angin yang bertiup jadi ikut-ikutan panas. Beberapa jam kemudian ia sampai di pemberhentian kotanya, dan bertemu dengan teman lamanya lagi yang sama-sama kecewa—Hamdan.“Kenapa mukamu ditekuk begitu?” tanya Ali yang langsung menghampiri temannya. “Yang dicari tak ada di rumah,” jawab Hamdan. Mereka memang tak selemah orang-orang tua pada umumnya, tetapi kalau disuruh bepergian dan yang dicari tak ada juga, lelah terasa tubuh mereka. “Sama kalau begitu. Sudah lelah pergi ke sana, salahku juga, kenapa tak memberi tahu dulu.” Ali menarik napas panjang. Ia melirik jam tangannya, Dzuhur masih panjang sek
Bagian 189 Pertandingan Sepak Bola Pagi-pagi selepas Shubuh Maira sudah siap dengan seragam lengkapnya, minus rompi anti peluru saja, pistol dan HT turut serta ia bawa. Ia ada pekerjaan penting dari pagi sampai sore, makan dan sholat di sana saja. Namun, sebelum pergi ia sempat berpamitan pada Ali yang memandangnya agak berbeda pagi itu. “Ayah pergi menonton sepak bola nanti?” tanya Maira. “Tidak, Ayah sudah cukup tua untuk urusan itu, biar yang muda-muda saja.” “Terus rapi sekali pagi ini, Ayah mau pergi ke mana?” Agak curiga Maira. “Ada urusan penting, demi keluarga ini juga.” Ali menyembunyikan tujuannya hari itu pada putrinya. Jika Maira tahu sedang dicarikan jodoh, bisa-bisa ia mengelak lagi. “Oh, kabari bagaimana hasilnya, ya. Aku pergi dulu.“ Pagi itu Maira menggunakan mobil polisi karena tugas besar yang ia emban. Maira memimpin tim untuk menjaga keamanan pertandingan sepak bola di salah satu stadion olahraga. Putri Ali mengawasi di tempat duduk khusus perempuan, yang
Bagian 188 Pengorbanan Seorang Ayah. Gu dan tiga putrinya pulang ke kota tempat tinggal mereka menggunakan kereta cepat. Di dalam kendaraan ekpres itu, Maira hanya diam membisu memandang salju yang terus turun dari langit. Salju sebentar lagi akan berhenti, dan Hira kembali sekolah menyelesaikan pendidikannya, lalu Zahra yang masuk pendidian tingkat pertama. Maira sendiri? Tetap bekerja. Kantor tempatnya mengabdi juga mengalami revolusi besar-besaran, imbas dari kasus Gubernur Asad. Jadi sampai musim panas nanti putri Ali akan sangat sibuk. Namun, tak mengapa, dia jadi bisa melupakan Fahmi. “Kau pasti sudah kembali hidup di kota asalmu. Semoga kita tak akan pernah berjumpa lagi,” gumam Maira dalam keheningan. Ibu dan dua adik kandungnya sedang terlelap, jadi polisi wanita itu menjaga mereka dengan baik. Masalah luka hatinya, ia yakin akan membaik dengan sendirinya. Sampai juga empat perempuan beda generasi itu di stasiun. Tadinya Gu ingin menelepon Ali untuk menjemput mereka. Na
Bagian 187 Selesai Fahmi dan Maira membuka matanya perlahan-lahan ketika dua ember air dingin disiramkan ke wajah mereka. Dingin di tengah musim salju yang masih turun. Mereka saling melihat diri masing-masing. Tubuh keduanya terikat dan berada di sebuah gedung kosong juga luas. “Maira, Fahmi. Kalian dua parasit pengganggu, gara-gara kalian, saudaraku banyak yang tewas ditembak.” Lelaki itu duduk di depan keduanya. “Ya, kematian sebenarnya terlalu mudah buat kalian, tapi aku yakin di alam kubur juga kalian kena cambuk malaikat,” jawab putri Ali, sedangkan Fahmi berusaha membuka ikatan di tangannya.“Bawa mereka ke dalam mobil. Terlalu banyak bicara, bosan aku mendengarnya.” Perintah suruhan Harun. Lalu dua orang itu diangkat dalam keadaan terikat dan dimasukkan ke dalam mobil. Sebuah alat berat datang dari belakang hendak menghancurkan mobil Maira dan orangnya di dalam sekalian. Para pesuruh Harun sudah bepergian dan tinggal supir alat berat itu saja dan satu orang pengawas.“Ast