Naima sudah tak dijaga lagi oleh tentara di depan rumahnya. Ia berhasil meyakinkan Ali bahwa ia tak akan berbuat nekat untuk kabur atau bahkan bunuh diri. Sebab Naima masih ingin mencari rumah suaminya di sebuah negeri yang rasanya sulit untuk ditaklukkan. Pagi itu ia turun bersama dua serigalanya. Gadis yang masih suci terjaga dari sentuhan lelaki haram itu membawa baju Dimitri yang terakhir kali dipakai oleh suaminya. Ia enduskan pada Sin juga San. Sigap dua serigala kembarnya mencari di mana bau yang sama tersebut. Binatang buas itu berlari kencang. Naima menyusul di belakangnya. Cukup kelelahan gadis berambut kemerahan itu mengejar. Hingga akhirnya Sin juga San berdiri di satu bawah pohon pinus yang sangat jauh, hampir mendekati terowongan tempat Naima pertama kali datang ke negeri Syam. Di bawah pohon itulah Dimitri dikuburkan, dan kini telah tertutup salju tebal pula. “Hai, Suamiku, aku datang.” Naima menepuk-nepuk tumpukan salju itu, kemudian ia duduk di sana menyandarkan tub
Perut Halimah diperiksa oleh Can. Gu pun meminta izin kali ini utuk ikut ke dalam dan sahabatnya memberinya kesempatan. Berulang kali dua dokter kandungan itu saling melirik dan menatap amat dalam pada hasil yang tertera di layar. Lalu keduanya sama-sama mengembuskan napas panjang. Can tak menyangka harus mengatakan kenyataan pahit ketiga kalinya pada pasien yang masih sama. Gu pun begitu, ia paham bagaimana perasaan Halimah dan Sultan yang sudah tiga tahun menanti diberikan buah hati. “Dokter, ada apa? Kenapa hanya diam saja. Kandunganku baik-baik saja, bukan?” tanya Halimah ketika keduanya masih sama-sama dingin bagaikan es. “Ehm, Halimah, kapan terakhir kau minum obat?” tanya Gu sambil mengerjapkan mata berkali-kali. “Siang tadi di rumah Kakak aku juga masih minum obat. Semua saran dari dokter telah aku turuti. Bayiku baik-baik saja, bukan, Kak? Aku tak akan terima kalau yang ketiga kalinya ini kehilangan juga.” Halimah mulai tak bisa menguasai diri. Can kemudian menutup perut p
Naima masih terjebak dengan rutinitas masa lalunya. Ia duduk di sebelah Dimitri dimakamkan. Sambil minum kopi juga memakan roti cokelat. Sudah satu tahun lebih ia seperti itu. Tak mau beranjak dari keadaan, tak mau pula menerima kehadiran lelaki lain. Bukan tidak ada yang mendekatinya selain yang disodorkan Ali. Ada, hanya saja bagi gadis berambut kemerahan itu Dimitri saja yang bisa menerimanya apa adanya. Ia takut jika mengundang lelaki lain lagi, lalu mereka tak terima dengan masa lalu Naima. Kemudian, ia pun mendapatkan malu.Gadis yang masih suci dan terjaga itu beranjak ketika sudah selesai membaca buku. Sejak ditinggal oleh Dimitri ia tak pernah lagi bermain ice skating. Tak punya alasan Naima untuk meliuk-liukkan tubuhnya lagi. Ditambah semakin banyaknya CCTV yang terpasang di perbatasan sejak akhir-akhir ini. Ya, tanda-tanda peperangan nampaknya tak lama lagi akan meletus. Naima berharap Ali bisa setidaknya mengambil sedikit wilayah Balrus termasuk pula di mana suaminya memb
Mengetahui kecelakaan terjadi di jalan, beberapa petugas datang menggunakan mobil menolong Sultan. Apalagi Halimah telah tak sadarkan diri dalam keadaan hamil. Mobil yang ringsek pun diurus belakangan. Sultan tak bisa tenang ketika ia mencoba membangunkan istrinya, wanita itu tak mau membuka mata. Seolah-olah tak ingin bertemu lagi dengan suaminya yang rahasia kotornya telah diketahui. Sampai di rumah sakit penanganan medis darurat pun diberikan oleh Halimah. Darah yang mengalir deras ditangani terlebih dahulu. Wanita itu yang dari dulu fisiknya sudah lemah menjadi bertambah tak berdaya ketika mendapatan luka benturan dan robekan yang tidak main-main. Can pun terpaksa dipanggil ketika harus mengeluarkan bayi yang sudah lama meninggal di dalam rahim Halimah. Sultan mau tak mau harus menandatangani semua prosedur yang harus dikerjakan. Ia juga terluka di bagian kepala. Namun, sekuat tenaga ia tahan demi kesembuhan istrinya. Ali datang menemui adik iparnya, sedangkan Gu tidak bisa ikut
Baik Naima atau pun Sultan sama-sama menjalani hidup dalam kesendirian. Enam bulan pasca ditinggal oleh Halimah, pemuda itu masih enggan untuk membuka hati. Naima apalagi, jangan ditanyakan. Ia kerap kali merasa minder jika harus bertemu dengan lelaki lain. Padahal Gu dan Ali sampai rela mengenalkan lagi seseorang yang pantas dan akan menerima Naima apa adanya. Selain itu gadis pemilik dua ekor serigala tersebut masih ingin mengunjungi rumah peninggalakan lelaki yang ia anggap suaminya—Dimitri. “Apa tak bisa aku yang muslimah ini pergi ke sana, Paman?” tanya Naima pada Ali. “Kau mau jadi pergedel di sana. Digilir dari satu laki-laki ke yang lain sampai kau mati membusuk seperti di camp dulu?” Ali melempar pertanyaan itu kembali pada anak angkatnya. Gadis itu ingin membantah dengan mengatakan bahwa yang menyakitinya di camp ialah Sultan sedangkan yang baik dengannya justru tentara Balrus, tetapi ia sudah berjanji pada mendiang Halimah untuk memaafkan kejadian itu. Naima tak membantah
Gu membantu suaminya memakai baju perang lengkap termasuk pula dengan rompi anti peluru keluaran terbaru. Ali memandang Gu sambil tertawa setiap sebentar. Wajah wanita yang kini sudah memasuki kepala empat itu terlihat sangat lucu ketika sedang marah. Penyebab kemarahan Gu tak lain tak bukan ialah ketika membuka pesan masuk dari Anastasya di ponsel suaminya. Padahal isinya hanyalah gambar-gambar tentang lokasi yang sangat penting. “Masih marah?” tanya Ali pada Gu yang cemberut. “Masih juga bertanya.” Sengaja Gu memasang ikat pinggang Ali sangat erat sampai perut lelaki itu tertekan sangat kuat. “Aku bahkan tak pernah berjumpa dengannya. Kau ini curigaan saja terus.” Heran Ali mengapa istrinya marah pada hal yang tak wajar.“Memang belum pernah jumpa. Tapi dari foto profilenya dia itu cantik, pilot pesawat tempur lagi. Kurang sempurna apa coba Anastasya itu.” Gu menjauh dari suaminya yang sudah berpakaian lengkap. “Dengar, aku tak ada hubungan apa-apa dengannya. Dia tahu nomorku da
Sultan berlarian bersama dua ekor serigala Naima. Terhitung sudah satu minggu sudah mereka baku tembak yang tidak main-main. Ali dan adik iparnya telah terpisah. Sedikit demi sedikit wilayah berhasil mereka dapatkan walau untuk menggapai camp konsentrasi masih sangat jauh. Meski demikian korban yang berjatuhan dari dua belah pihak tidak bisa dikatakan sedikit. Sin dan San memelankan langkah kaki mereka. Ada dua tentara Balrus yang menggunakan motor mengejar Sultan sambil menembak lelaki itu. Rompi anti peluru milik Sultan nyaris rusak dan sedikit lagi mengenai organ vital di bagian dalam. San berbelok, ia langsung melompat di atas motor, peluru yang dilesatkan ke atas tubuhnya tersangkut di rompi anti peluru. Binatang buas itu kemudian menggigit kepala yang ditutup helm khusus. Ia gigit bagian mana saja yang bisa diraih. Leher, tangan, kaki atau mana saja yang bisa dikoyak dengan gigi tajamnya. Salah satu tentara Balrus yang lain mencoba untuk menembak San. Namun, dari kejauhan Sult
Naima bangun pagi-pagi sekali. Ia mengurus rumah itu semuanya mulai dari menyapu, memasak dan mencuci baju. Sedangkan Maira sendiri sedang ada ujian akhir hingga butuh konsentrasi untuk menjawab pertanyaan yang sudah pasti sangat sulit. Gadis bermata biru itu lebih mewarisi ketangkasan Ali daripada kecerdasan Gu. Terhitung sudah dua bulan lebih mereka ditinggalkan, berbagai berita juga sudah didengarkan untuk mendapatkan kabar dari orang-orang tercinta. Peperangan itu disiarkan oleh banyak stasiun televisi dari berbagai macam negara. Semua beranggapan Syam akan kalah sebab sedikitnya armada perang yang dimiliki. Saat sedang menyiapkan sarapan untuk adik-adiknya, tiba-tiba saja Gu bangun sambil memegang perutnya. Kandungan wanita tersebut memang sudah memasuki bulannya dan hanya menunggu hari untuk anak keenamnya menatap dunia. Terang saja Naima langsung meletakkan peralatan masak melihat bibinya kesakitan. “Sudah waktunya, Naima. Telepon ambulance saja, kau tak usah ikut lagi, urus
Bagian 195 Home Sweet Home Maira melebarkan bola matanya, dua bulan menikah dengan Fahmi berat badannya sudah bertambah empat kilogram. Bayangkan kalau setahun jadi berapa, dan ia pun jadi bertambah gemuk dan gemuk saja. Bagaimana tidak, masakan milik Fahmi jauh lebih enak daripada masakannya. Awal mulanya Maira letih melihat cara memasak orang India yang begitu rumit dan banyak sekali proses yang harus dilalui. Wajar saja kalau dapurnya besar. Lama-lama dicoba makanan itu enak sekali rasanya. Terus-terusan dimasak oleh Fahmi ditambah pula ekstra kentang goreng yang merupakan makanan favorit Maira dari kecil. Sedikti demi sedikit dimakan, enak, tambah lagi, begitu saja terus sampai perut Maira yang kemarin-kemarin rata, mulai menggembung. “Ya Allah, sebentar lagi akan ada lipatan lemak di mana-mana.” Putri Ali memandang cermin di kamarnya. Ia naikkan seragam kepolisian dan benar celana yang longgar itu mulai teras sesak. Ia tarik napas baru terlihat ramping lagi seperti dulu, tapi
Bagian 194 Bersama Zahra Maira tiba-tiba memeluk suaminya karena rasa bahagia yang membuncah dalam dadanya. Dulu, jangankan rayuan, membaca doa saja Amran tak pernah ingat. Untung saja tidak ada jejak yang tertinggal dalam diri Maira dulu sehingga tak perlu repot-repot mengurus anak seorang diri. Fahmi terkejut dengan reaki istrinya. Tentu saja reaksi yang menimbulkan aksi. Lelaki itu tek henti-hentinya menyentuh puncak kepala Maira, wanita yang ia cintai sejak masih ingusan.Diam saja Fahmi, hanya sampai di sana lalu tidak ada pergerakan fluktuatif yang menunjukkan grafik peningkatan amat pesat. Maira jadi bertanya-tanya sendiri. Mengapa suaminya jadi berubah lagi, padahal tadi rayuan maut sudah dilontarkan, giliran dia sudah menyerah, malah membeku di musim panas. Payah sekali Fahmi. ‘Apa aku harus memulai terlebih dahulu?’ tanya putri Ali di dalam hatinya. Ia menjauh sejenak dari pelukan Fahmi, tapi tak bisa, lelaki itu masih mendekapnya sangat erat. “Sesak napas aku lama-lama,
Bagian 193 Gombal Fahmi menyodorkan minuman dingin untuk istrinya. Satu botol besar, dan habis sekali napas oleh Maira. Tertegun lelaki itu melihat cara makan dan minum Maira. 11 12 dengan Naima, hanya saja putri Ali lebih mudah gendut, karena itu ia menjaga makan. Namun, untuk hari ini tidak ada kata diet. Maira makan semua yang ada di meja. “Kau lapar?” tanya Fahmi daripada tak ada bahan yang dibicarakan. “Tinggal batu saja yang belum aku makan,” jawab Maira, ia merobek bungkusan cokelat dan sekali hap sudah tinggal setengah batang. “Wow,” gumam Fahmi. “Mau aku belikan kentang?” tawarnya. Wajar Maira lapar, jadi pengantin kemarin ia susah buka mulut karena pengaruh kerudung dan riasan. Terus waktu berjalan sampai pagi ia sibuk mengatur lalu lintas dan bertengkar dengan suaminya. Semua kegiatan itu membutuhkan tenaga ekstra. “Dua bungkus,” ujar Maira. Fahmi pun lekas pergi, agak jauh sedikit penjual kentang goreng itu tapi ia datangi saja karena cinta. Setengah jam kemudian tig
Bagian 192 Terlalu Polos Selesai shalat Maghrib, Fahmi tak langsung pulang. Jujur saja dia agak takut dengan istrinya. Termenung lelaki itu di dalam masjid, duduk bersila, kepala ditundukkan, mata terpejam, seolah-olah sedang dzikir panjang, padahal hatinya sedang memikirkan Maira. Untuk kali ini dia memang tak bisa tenang, sekali ini dzikirnya tak fokus. “Kupikir dia kan pemalu seperti gadis-gadis yang ada dalam cerita,” gumam lelaki berdarah India itu perlahan. Malu kalau didengar orang lain. “Apa karena dia sudah janda, jadi pengalamannya lebih banyak, dan tak sabar untuk mengulanginya? Begitukah? Aduh mana aku minus ilmu hal-hal begitu. Apakah aku terlalu polos jadi laki-laki?” Putra Naina menggaruk kepalanya yang tak gatal.“Tak bisa, tak boleh seperti ini. Walau bagaimanapun aku adalah pemimpin. Aku harus jadi yang, aduh, Ya Allah kenapa kepalaku jadi pusing. Aku harus terlihat pemberani dan tegas di matanya. Sudah cukup di kantor dia jadi atasanku jangan sampai di rumah jug
Bagian 191 Gak ada Judul Khalifah memberikan penghargaan bagi para polisi juga tentara yang jujur dan amanah dalam mengemban tugas. Tentu saja nama Humaira dan lima orang timnya disebutkan. Barisan telah disusun, untuk polisi perempuan sangat sedikit sekali jumlahnya, dan baru dibuka penerimaan besar-besaran setelah berhasil membuang semua pengaruh Ex Gubernur Asad yang telah tewas. Satu demi satu mereka maju menerima penghargaan. Fahmi dan empat polisi yang lain naik pangkat satu tingkat, sedangkan Maira mendapatkan lencana kesetiaan walau pangkat tidak bertambah. Seharusnya semuanya pulang, tapi tidak dengan lima polisi yang pernah dikumpulkan jadi satu oleh Maira itu. Mereka berkumpul mengenang masa-masa indah ketika masih bertugas bersama-sama. Sekarang sudah kembali ke kota masing-masing. Maira melihat mereka dari jauh, walau bagaimanapun dia masih punya perhitungan pada Fahmi juga Musa. Kenapa Musa? Terserah dia, karena ikut-ikutan mengelabuhinya. “Ehm.” Kedatangan Maira me
Bagian 10 Benang Merah Ali menelan kekecewaan saat ke rumah Fahmi. Ternyata orangnya tidak ada. Ia pun tak berniat masuk ke rumah ketika kepala keluarga itu tidak ada di tempat. Sudahlah lelah, jauh, musim panas lagi. Sang kapten yang seharusnya sudah pensiun itu pun kembali ke kotanya. Menaiki kereta api super cepat. Beruntungnya di musim panas, siang sangat lama daripada malam, walau angin yang bertiup jadi ikut-ikutan panas. Beberapa jam kemudian ia sampai di pemberhentian kotanya, dan bertemu dengan teman lamanya lagi yang sama-sama kecewa—Hamdan.“Kenapa mukamu ditekuk begitu?” tanya Ali yang langsung menghampiri temannya. “Yang dicari tak ada di rumah,” jawab Hamdan. Mereka memang tak selemah orang-orang tua pada umumnya, tetapi kalau disuruh bepergian dan yang dicari tak ada juga, lelah terasa tubuh mereka. “Sama kalau begitu. Sudah lelah pergi ke sana, salahku juga, kenapa tak memberi tahu dulu.” Ali menarik napas panjang. Ia melirik jam tangannya, Dzuhur masih panjang sek
Bagian 189 Pertandingan Sepak Bola Pagi-pagi selepas Shubuh Maira sudah siap dengan seragam lengkapnya, minus rompi anti peluru saja, pistol dan HT turut serta ia bawa. Ia ada pekerjaan penting dari pagi sampai sore, makan dan sholat di sana saja. Namun, sebelum pergi ia sempat berpamitan pada Ali yang memandangnya agak berbeda pagi itu. “Ayah pergi menonton sepak bola nanti?” tanya Maira. “Tidak, Ayah sudah cukup tua untuk urusan itu, biar yang muda-muda saja.” “Terus rapi sekali pagi ini, Ayah mau pergi ke mana?” Agak curiga Maira. “Ada urusan penting, demi keluarga ini juga.” Ali menyembunyikan tujuannya hari itu pada putrinya. Jika Maira tahu sedang dicarikan jodoh, bisa-bisa ia mengelak lagi. “Oh, kabari bagaimana hasilnya, ya. Aku pergi dulu.“ Pagi itu Maira menggunakan mobil polisi karena tugas besar yang ia emban. Maira memimpin tim untuk menjaga keamanan pertandingan sepak bola di salah satu stadion olahraga. Putri Ali mengawasi di tempat duduk khusus perempuan, yang
Bagian 188 Pengorbanan Seorang Ayah. Gu dan tiga putrinya pulang ke kota tempat tinggal mereka menggunakan kereta cepat. Di dalam kendaraan ekpres itu, Maira hanya diam membisu memandang salju yang terus turun dari langit. Salju sebentar lagi akan berhenti, dan Hira kembali sekolah menyelesaikan pendidikannya, lalu Zahra yang masuk pendidian tingkat pertama. Maira sendiri? Tetap bekerja. Kantor tempatnya mengabdi juga mengalami revolusi besar-besaran, imbas dari kasus Gubernur Asad. Jadi sampai musim panas nanti putri Ali akan sangat sibuk. Namun, tak mengapa, dia jadi bisa melupakan Fahmi. “Kau pasti sudah kembali hidup di kota asalmu. Semoga kita tak akan pernah berjumpa lagi,” gumam Maira dalam keheningan. Ibu dan dua adik kandungnya sedang terlelap, jadi polisi wanita itu menjaga mereka dengan baik. Masalah luka hatinya, ia yakin akan membaik dengan sendirinya. Sampai juga empat perempuan beda generasi itu di stasiun. Tadinya Gu ingin menelepon Ali untuk menjemput mereka. Na
Bagian 187 Selesai Fahmi dan Maira membuka matanya perlahan-lahan ketika dua ember air dingin disiramkan ke wajah mereka. Dingin di tengah musim salju yang masih turun. Mereka saling melihat diri masing-masing. Tubuh keduanya terikat dan berada di sebuah gedung kosong juga luas. “Maira, Fahmi. Kalian dua parasit pengganggu, gara-gara kalian, saudaraku banyak yang tewas ditembak.” Lelaki itu duduk di depan keduanya. “Ya, kematian sebenarnya terlalu mudah buat kalian, tapi aku yakin di alam kubur juga kalian kena cambuk malaikat,” jawab putri Ali, sedangkan Fahmi berusaha membuka ikatan di tangannya.“Bawa mereka ke dalam mobil. Terlalu banyak bicara, bosan aku mendengarnya.” Perintah suruhan Harun. Lalu dua orang itu diangkat dalam keadaan terikat dan dimasukkan ke dalam mobil. Sebuah alat berat datang dari belakang hendak menghancurkan mobil Maira dan orangnya di dalam sekalian. Para pesuruh Harun sudah bepergian dan tinggal supir alat berat itu saja dan satu orang pengawas.“Ast