Baik Naima atau pun Sultan sama-sama menjalani hidup dalam kesendirian. Enam bulan pasca ditinggal oleh Halimah, pemuda itu masih enggan untuk membuka hati. Naima apalagi, jangan ditanyakan. Ia kerap kali merasa minder jika harus bertemu dengan lelaki lain. Padahal Gu dan Ali sampai rela mengenalkan lagi seseorang yang pantas dan akan menerima Naima apa adanya. Selain itu gadis pemilik dua ekor serigala tersebut masih ingin mengunjungi rumah peninggalakan lelaki yang ia anggap suaminya—Dimitri. “Apa tak bisa aku yang muslimah ini pergi ke sana, Paman?” tanya Naima pada Ali. “Kau mau jadi pergedel di sana. Digilir dari satu laki-laki ke yang lain sampai kau mati membusuk seperti di camp dulu?” Ali melempar pertanyaan itu kembali pada anak angkatnya. Gadis itu ingin membantah dengan mengatakan bahwa yang menyakitinya di camp ialah Sultan sedangkan yang baik dengannya justru tentara Balrus, tetapi ia sudah berjanji pada mendiang Halimah untuk memaafkan kejadian itu. Naima tak membantah
Gu membantu suaminya memakai baju perang lengkap termasuk pula dengan rompi anti peluru keluaran terbaru. Ali memandang Gu sambil tertawa setiap sebentar. Wajah wanita yang kini sudah memasuki kepala empat itu terlihat sangat lucu ketika sedang marah. Penyebab kemarahan Gu tak lain tak bukan ialah ketika membuka pesan masuk dari Anastasya di ponsel suaminya. Padahal isinya hanyalah gambar-gambar tentang lokasi yang sangat penting. “Masih marah?” tanya Ali pada Gu yang cemberut. “Masih juga bertanya.” Sengaja Gu memasang ikat pinggang Ali sangat erat sampai perut lelaki itu tertekan sangat kuat. “Aku bahkan tak pernah berjumpa dengannya. Kau ini curigaan saja terus.” Heran Ali mengapa istrinya marah pada hal yang tak wajar.“Memang belum pernah jumpa. Tapi dari foto profilenya dia itu cantik, pilot pesawat tempur lagi. Kurang sempurna apa coba Anastasya itu.” Gu menjauh dari suaminya yang sudah berpakaian lengkap. “Dengar, aku tak ada hubungan apa-apa dengannya. Dia tahu nomorku da
Sultan berlarian bersama dua ekor serigala Naima. Terhitung sudah satu minggu sudah mereka baku tembak yang tidak main-main. Ali dan adik iparnya telah terpisah. Sedikit demi sedikit wilayah berhasil mereka dapatkan walau untuk menggapai camp konsentrasi masih sangat jauh. Meski demikian korban yang berjatuhan dari dua belah pihak tidak bisa dikatakan sedikit. Sin dan San memelankan langkah kaki mereka. Ada dua tentara Balrus yang menggunakan motor mengejar Sultan sambil menembak lelaki itu. Rompi anti peluru milik Sultan nyaris rusak dan sedikit lagi mengenai organ vital di bagian dalam. San berbelok, ia langsung melompat di atas motor, peluru yang dilesatkan ke atas tubuhnya tersangkut di rompi anti peluru. Binatang buas itu kemudian menggigit kepala yang ditutup helm khusus. Ia gigit bagian mana saja yang bisa diraih. Leher, tangan, kaki atau mana saja yang bisa dikoyak dengan gigi tajamnya. Salah satu tentara Balrus yang lain mencoba untuk menembak San. Namun, dari kejauhan Sult
Naima bangun pagi-pagi sekali. Ia mengurus rumah itu semuanya mulai dari menyapu, memasak dan mencuci baju. Sedangkan Maira sendiri sedang ada ujian akhir hingga butuh konsentrasi untuk menjawab pertanyaan yang sudah pasti sangat sulit. Gadis bermata biru itu lebih mewarisi ketangkasan Ali daripada kecerdasan Gu. Terhitung sudah dua bulan lebih mereka ditinggalkan, berbagai berita juga sudah didengarkan untuk mendapatkan kabar dari orang-orang tercinta. Peperangan itu disiarkan oleh banyak stasiun televisi dari berbagai macam negara. Semua beranggapan Syam akan kalah sebab sedikitnya armada perang yang dimiliki. Saat sedang menyiapkan sarapan untuk adik-adiknya, tiba-tiba saja Gu bangun sambil memegang perutnya. Kandungan wanita tersebut memang sudah memasuki bulannya dan hanya menunggu hari untuk anak keenamnya menatap dunia. Terang saja Naima langsung meletakkan peralatan masak melihat bibinya kesakitan. “Sudah waktunya, Naima. Telepon ambulance saja, kau tak usah ikut lagi, urus
“Siapa mereka, Kapten. Apa di pihak kita?” tanya Sultan pada Ali. “Ya, katanya begitu. Kita lihat saja.” Ali dan anggota yang lainnya fokus menatap ke langit. Di sana ada dua pesawat tempur entah dari seri dan generasi keberapa, mereka yang di bawah sana tidak tahu. Dua pesawat itu datang dari sisi kanan, lalu dari sisi kiri pula datang empat pesawat tempur lainnya. “Empat itu punya siapa?” Reihan, seumur hidup ia tak pernah melihat pesawat tempur melintas. Bibirnya tak henti-henti mengatakan kata takjub. “Kau tanya aku, aku tanya siapa.” Ali pun tidak tahu sama sekali bahwa akan ada bantuan yang datang padanya. Dua pesawat dari sisi kanan yang dikendarai oleh Anastasya dan Ling, berpisah. Satu ke sisi kiri dan satu ke sisi kanan. Pilot perempuan yang datang membantu Ali dan timnya mengeluarkan senapan mesin yang tertanam pada sayap. Lengkap dengan manuver dan putaran yang membuat mereka di bawah sana takjub tak henti-hentinya. “This is dogfight,” ucap Ali. Sebuah istilah untuk m
“Nice wolf, they belong tho whom?” tanya Alan pada Ali ketika memasuki lift menuju ruang bawah tanah, dan juga beberapa tentara lain. Mereka di antaranya ; Sultan, Reihan, juga Afnan. “My step daughter. Her name Naima,” jawab Ali. “I hope she doesn’t look like your wife.” “My wife rise and protect her. They are nice women, you just know little bit about them.” “Oh, sorry.” Alan tak suka berdebat jadi, sosok maskulin itu mengiyakan saja apa kata Ali. “Dia ini mengerti bahasa kita tidak, ya? Dari tadi berbahasa Inggris terus?” Afnan berbicara pada Sultan. “Mungkin tak tahu. Tapi aku bukan penasaran hal itu. Aku ingin tahu dia ini laki-laki atau perempuan ya?” jawab Sultan tanpa rasa bersalah, sebab ia yakin Alan tak paham dengan bahasa mereka. “Aku perempuan. Hanya saja lebih suka terlihat tampan,” sahut Alan ketika lift telah berhenti. Pintu besi itu bergeser dan terlihatlah beberapa ilmuwan sedang mengangkat senjata mereka. “Tembak! Kalian tahu di tempat ini tidak boleh ada me
Ali, Sultan, juga yang lainnya mulai menyusun rencana untuk menaklukkan camp konsentrasi. Satu orang diutus untuk mematai-matai di dekat wilayah itu. Ali sengaja tak mengirim Sultan, sebab takut ada yang tak beres dengan adik iparnya. Adik Gu sejak tinggal di Balrus mulai merasakan sedikit demi sedikit ingatannya kembali. Reihan pun pergi, awalnya ia ingin mengajak salah satu serigala Naima. Namun, baik Sin atau San tak ada yang mau patuh padanya, padahal lelaki itu membawa pluit pemberian gadis pujaan hatinya. “Rasa-rasanya aku pernah ke sini waktu kecil. Iya, sekelebat ingatan dalam mimpi selalu datang,” ucap Sultan sambil menunggu kedatangan Reihan. Ali dengar tapi tak mau menanggapi, persis seperti dirinya dulu saat mengeksekusi mati ayahnya sendiri. “Jangan terlalu dipikirkan. Kita ada pekerjaan penting di sini. Ingat, tujuan kita untuk menaklukkan wilayah ini supaya tak terus-menerus melakukan kedzoliman pada umat muslim.” Ali menghalau pikiran Sultan yang mulai tak bisa diken
Bagian 106 Rindu yang Disambut Sudah tiga bulan usia Zahra. Anak keenam Ali dan Gu lebih sering bersama Naima dibandingkan ibunya. Sebab Gu masih harus pula mengurus anak-anaknya yang lain. Meski telah dibantu Naima juga Maira tetap saja kerepotan ketika ditinggal oleh Ali. Zahra bersama ibunya hanya ketika menyusui saja. Tak bisa dipungkiri bahwa kuat sudah ikatan antara Naima dan Zahra. “Jadi anakku saja, ya, kalau begitu,” ucap Naima pada Zahra yang baru saja terlelap. “Mana bisa. Ibu kandungnya masih ada,” jawab Gu yang baru saja menutup panggilan dari suaminya. Ali mengatakan bahwa timnya akan segera menuju camp konsentrasi. “Bibi, kan, sudah punya banyak anak. Bahkan bisa punya anak lagi dengan Paman. Satu ini saja untukku. Ya Allah, sudah telanjur sayang.” Gadis berambut kemerahan itu menahan tangannya dari mencubit pipi Zahra. “Ya, kau masih bisa menikah lagi. Masih muda, Bibi yang sudah 40 tahun lebih saja masih semangat punya anak. Masak kau mau menyerah begitu saja.”