“Nice wolf, they belong tho whom?” tanya Alan pada Ali ketika memasuki lift menuju ruang bawah tanah, dan juga beberapa tentara lain. Mereka di antaranya ; Sultan, Reihan, juga Afnan. “My step daughter. Her name Naima,” jawab Ali. “I hope she doesn’t look like your wife.” “My wife rise and protect her. They are nice women, you just know little bit about them.” “Oh, sorry.” Alan tak suka berdebat jadi, sosok maskulin itu mengiyakan saja apa kata Ali. “Dia ini mengerti bahasa kita tidak, ya? Dari tadi berbahasa Inggris terus?” Afnan berbicara pada Sultan. “Mungkin tak tahu. Tapi aku bukan penasaran hal itu. Aku ingin tahu dia ini laki-laki atau perempuan ya?” jawab Sultan tanpa rasa bersalah, sebab ia yakin Alan tak paham dengan bahasa mereka. “Aku perempuan. Hanya saja lebih suka terlihat tampan,” sahut Alan ketika lift telah berhenti. Pintu besi itu bergeser dan terlihatlah beberapa ilmuwan sedang mengangkat senjata mereka. “Tembak! Kalian tahu di tempat ini tidak boleh ada me
Ali, Sultan, juga yang lainnya mulai menyusun rencana untuk menaklukkan camp konsentrasi. Satu orang diutus untuk mematai-matai di dekat wilayah itu. Ali sengaja tak mengirim Sultan, sebab takut ada yang tak beres dengan adik iparnya. Adik Gu sejak tinggal di Balrus mulai merasakan sedikit demi sedikit ingatannya kembali. Reihan pun pergi, awalnya ia ingin mengajak salah satu serigala Naima. Namun, baik Sin atau San tak ada yang mau patuh padanya, padahal lelaki itu membawa pluit pemberian gadis pujaan hatinya. “Rasa-rasanya aku pernah ke sini waktu kecil. Iya, sekelebat ingatan dalam mimpi selalu datang,” ucap Sultan sambil menunggu kedatangan Reihan. Ali dengar tapi tak mau menanggapi, persis seperti dirinya dulu saat mengeksekusi mati ayahnya sendiri. “Jangan terlalu dipikirkan. Kita ada pekerjaan penting di sini. Ingat, tujuan kita untuk menaklukkan wilayah ini supaya tak terus-menerus melakukan kedzoliman pada umat muslim.” Ali menghalau pikiran Sultan yang mulai tak bisa diken
Bagian 106 Rindu yang Disambut Sudah tiga bulan usia Zahra. Anak keenam Ali dan Gu lebih sering bersama Naima dibandingkan ibunya. Sebab Gu masih harus pula mengurus anak-anaknya yang lain. Meski telah dibantu Naima juga Maira tetap saja kerepotan ketika ditinggal oleh Ali. Zahra bersama ibunya hanya ketika menyusui saja. Tak bisa dipungkiri bahwa kuat sudah ikatan antara Naima dan Zahra. “Jadi anakku saja, ya, kalau begitu,” ucap Naima pada Zahra yang baru saja terlelap. “Mana bisa. Ibu kandungnya masih ada,” jawab Gu yang baru saja menutup panggilan dari suaminya. Ali mengatakan bahwa timnya akan segera menuju camp konsentrasi. “Bibi, kan, sudah punya banyak anak. Bahkan bisa punya anak lagi dengan Paman. Satu ini saja untukku. Ya Allah, sudah telanjur sayang.” Gadis berambut kemerahan itu menahan tangannya dari mencubit pipi Zahra. “Ya, kau masih bisa menikah lagi. Masih muda, Bibi yang sudah 40 tahun lebih saja masih semangat punya anak. Masak kau mau menyerah begitu saja.”
Naima menempati satu kamar sendiri, masih di lantai atas. Hanya saja ia sudah memiliki privasi sama seperti dulu saat di perbatasan. Namun, kali ini Zahra bersamanya. Gu menitipkan anak keenamnya sementara waktu sampai Ali sembuh. Usia Ali sudah tidak muda lagi, sudah memasuki angka setengah abad lebih. Luka tembakan di tubuh bagian kiri itu tak bisa cepat sembuh bahkan masih diiringi dengan demam tinggi, karena itulah Gu perlu untuk merawatnya secara intensif.“Tak apa-apa, ya, Sayang. Dengan kakak di sini, kau akan baik-baik saja.” Naima membelai kepala Zahra. Lebih cocok terlihat sebagai anaknya daripada adik. Anak terakhir Gu terlelap setelah Naima menimangnya. Gadis itu kemudian meletakkan Zahra di pembaringan. Ia berdiri di jendela kaca. Lalu melihat dari lantai atas bagaimana kondisi camp konsentrasi kini. Di segala penjuru dijaga oleh tentara Syam. Naima tersenyum lebar, tempat menyeramkan itu kini telah hancur dan tak akan ada lagi gadis-gadis yang bernasib sama seperti dirin
Sin dan San masih kerap mencari keberadaan Sultan yang jejaknya hilang di dekat danau. Hanya dua binatang buas itu yang meyakini tuan keduanya masih hidup. Baik Naima, Gu, Ali, Maira, juga yang lain sudah mengikhlaskan kepergian pemuda itu. Terutama gadis berambut kemerahan tersebut. Sejak Sultan dinyatakan tiada, ia jadi lebih bebas menjalani hidup dan tak dihantui rasa waswas lagi.Naima semakin menunjukkan kemahirannya sebagai seorang ibu, ditambah Gu masih sibuk mengurus suaminya yang masih sakit dan mulai belajar berjalan sedikit demi sedikit. Anak-anak Gu dan Ali diurus total oleh Naima, sedangkan Maira, gadis itu kembali ke Syam karena harus mengikuti ujian paling akhir untuk kelulusannya. Tidak bisa dipungkiri keinginan Naima untuk menuju danau di mana Dimitri membeli rumah harus tertunda beberapa saat. Sebenarnya ia sudah sangat ingin pergi. Namun, keadaan tak mengizinkan. Gu masih bergantung padanya. Para tentara yang menolong mereka pun tak mungkin dibawa masuk ke dalam ru
“Bagaimana kalau kita mati bersama-sama,” ucap seorang tentara wanita Balrus yang mendatangi Sultan di kamar rahasia itu. “Kau saja yang mati. Aku masih ingin hidup dan bertaubat,” jawab Sultan sambil berdiri. Ia bersikap awas sebab tentara wanita itu memegang bom yang jika ditarik pelatuknya maka akan menimbulkan ledakan dahsyat. Keduanya seperti menanti kematian sembari menghitung mundur. 5, 4, 3, 2, 1 Sultan menyergap tentara wanita itu. Ia berusaha meraih bom yang ada di tangan lawannya. Pergulatan sempat terjadi beberapa saat termasuk pula baku hantam. Sultan mendapat pukulan beberapa kali di telinga kiri dan kanannya sampai berdarah. Kuping pemuda itu berdenging hebat, semua suara bercampur baur menjadi satu di telinganya. Namun, ia lekas fokus sebab kematian ada di depan mati. Adik Gu meraih pisau di pinggang tentara wanita tersebut lalu menancapkan di perutnya. Tentara wanita tersebut memegang bagian tubuhnya yang terluka. Sultan berjalan ke arah pintu sambil memegang telin
Naima masuk ke dalam rumah sambil tak henti-hentinya menggerutu. Seharusnya ia sudah bahagia tinggal di rumah cinta pertamanya. Namun, lagi-lagi takdir bukan dalam genggamannya, ia harus bertemu Sultan dalam keadaan yang berbeda. Maksudnya, pemuda itu mengalami penyakit yang tak ia ketahui seperti apa. Gadis itu masih dihinggapi rasa penasaran. Ia mengintip dari balik tirai, Sultan masih menunggunya di luar pagar sambil memeluk diri sendiri. Yang membuat Naima heran, di mana keberadaan tentara Syam? Apa dipanggil pulang lagi oleh pamannya atau ganti shift, atau ada hal yang tak ia ketahui. Kasihan hati kecil gadis itu melihat keadaan Sultan. Meski dulu benci, tapi di hatinya masih ada sedikit rasa iba. Anak angkat Ali kemudian meraih ponselnya. Ia ingin menghubungi Gu, tetapi takdir belum berpihak padanya. Sinyal di desa itu hilang. Memang, di sana penduduk lebih suka menggunakan telepon kabel. Hanya di rumah Dimitri saja yang tidak karena baru ini ditinggali. “Huh. Sepertinya harus
Naima menahan napas lalu mengembuskan perlahan-lahan dan bersikap tenang. Semua semata-mata agar ia tak terbawa emosi. Masalah Sultan nanti saja ia komunikasikan dengan Gu yang tahu dengan dunia kesehatan. Yang jelas gadis itu merasa ada yang tak beres dengan orang yang dikatakan teman masa kecilnya. Dan yang paling penting sekarang ialah keluar dari hutan itu agar tak tersesat berlama-lama dengan dia saja. “Sinyal, oh, sinyal, muncullah kalian.” Naima menaikkan ponselnya tinggi-tinggi. Lagi-lagi satu batang tanda sinyal pun tidak muncul. Ia keluar dari mobil lalu naik ke kap depan, Sultan membelalakkan mata melihat tingkah Naima. Gadis itu mencari sinyal agar bisa menghubungi pamannya, dan meminta siapa pun membawa minyak dan menjemput mereka di sini. “Kurang tinggi sepertinya.” Pemilik dua ekor serigala itu naik ke atap mobil. Sultan mendekat dan ia mulai naik ke kap. “Naima, apa yang kau lakukan?” tanya Sultan heran, padahal ia lihat gadis itu sedang memegang ponsel, begitulah a
Bagian 195 Home Sweet Home Maira melebarkan bola matanya, dua bulan menikah dengan Fahmi berat badannya sudah bertambah empat kilogram. Bayangkan kalau setahun jadi berapa, dan ia pun jadi bertambah gemuk dan gemuk saja. Bagaimana tidak, masakan milik Fahmi jauh lebih enak daripada masakannya. Awal mulanya Maira letih melihat cara memasak orang India yang begitu rumit dan banyak sekali proses yang harus dilalui. Wajar saja kalau dapurnya besar. Lama-lama dicoba makanan itu enak sekali rasanya. Terus-terusan dimasak oleh Fahmi ditambah pula ekstra kentang goreng yang merupakan makanan favorit Maira dari kecil. Sedikti demi sedikit dimakan, enak, tambah lagi, begitu saja terus sampai perut Maira yang kemarin-kemarin rata, mulai menggembung. “Ya Allah, sebentar lagi akan ada lipatan lemak di mana-mana.” Putri Ali memandang cermin di kamarnya. Ia naikkan seragam kepolisian dan benar celana yang longgar itu mulai teras sesak. Ia tarik napas baru terlihat ramping lagi seperti dulu, tapi
Bagian 194 Bersama Zahra Maira tiba-tiba memeluk suaminya karena rasa bahagia yang membuncah dalam dadanya. Dulu, jangankan rayuan, membaca doa saja Amran tak pernah ingat. Untung saja tidak ada jejak yang tertinggal dalam diri Maira dulu sehingga tak perlu repot-repot mengurus anak seorang diri. Fahmi terkejut dengan reaki istrinya. Tentu saja reaksi yang menimbulkan aksi. Lelaki itu tek henti-hentinya menyentuh puncak kepala Maira, wanita yang ia cintai sejak masih ingusan.Diam saja Fahmi, hanya sampai di sana lalu tidak ada pergerakan fluktuatif yang menunjukkan grafik peningkatan amat pesat. Maira jadi bertanya-tanya sendiri. Mengapa suaminya jadi berubah lagi, padahal tadi rayuan maut sudah dilontarkan, giliran dia sudah menyerah, malah membeku di musim panas. Payah sekali Fahmi. ‘Apa aku harus memulai terlebih dahulu?’ tanya putri Ali di dalam hatinya. Ia menjauh sejenak dari pelukan Fahmi, tapi tak bisa, lelaki itu masih mendekapnya sangat erat. “Sesak napas aku lama-lama,
Bagian 193 Gombal Fahmi menyodorkan minuman dingin untuk istrinya. Satu botol besar, dan habis sekali napas oleh Maira. Tertegun lelaki itu melihat cara makan dan minum Maira. 11 12 dengan Naima, hanya saja putri Ali lebih mudah gendut, karena itu ia menjaga makan. Namun, untuk hari ini tidak ada kata diet. Maira makan semua yang ada di meja. “Kau lapar?” tanya Fahmi daripada tak ada bahan yang dibicarakan. “Tinggal batu saja yang belum aku makan,” jawab Maira, ia merobek bungkusan cokelat dan sekali hap sudah tinggal setengah batang. “Wow,” gumam Fahmi. “Mau aku belikan kentang?” tawarnya. Wajar Maira lapar, jadi pengantin kemarin ia susah buka mulut karena pengaruh kerudung dan riasan. Terus waktu berjalan sampai pagi ia sibuk mengatur lalu lintas dan bertengkar dengan suaminya. Semua kegiatan itu membutuhkan tenaga ekstra. “Dua bungkus,” ujar Maira. Fahmi pun lekas pergi, agak jauh sedikit penjual kentang goreng itu tapi ia datangi saja karena cinta. Setengah jam kemudian tig
Bagian 192 Terlalu Polos Selesai shalat Maghrib, Fahmi tak langsung pulang. Jujur saja dia agak takut dengan istrinya. Termenung lelaki itu di dalam masjid, duduk bersila, kepala ditundukkan, mata terpejam, seolah-olah sedang dzikir panjang, padahal hatinya sedang memikirkan Maira. Untuk kali ini dia memang tak bisa tenang, sekali ini dzikirnya tak fokus. “Kupikir dia kan pemalu seperti gadis-gadis yang ada dalam cerita,” gumam lelaki berdarah India itu perlahan. Malu kalau didengar orang lain. “Apa karena dia sudah janda, jadi pengalamannya lebih banyak, dan tak sabar untuk mengulanginya? Begitukah? Aduh mana aku minus ilmu hal-hal begitu. Apakah aku terlalu polos jadi laki-laki?” Putra Naina menggaruk kepalanya yang tak gatal.“Tak bisa, tak boleh seperti ini. Walau bagaimanapun aku adalah pemimpin. Aku harus jadi yang, aduh, Ya Allah kenapa kepalaku jadi pusing. Aku harus terlihat pemberani dan tegas di matanya. Sudah cukup di kantor dia jadi atasanku jangan sampai di rumah jug
Bagian 191 Gak ada Judul Khalifah memberikan penghargaan bagi para polisi juga tentara yang jujur dan amanah dalam mengemban tugas. Tentu saja nama Humaira dan lima orang timnya disebutkan. Barisan telah disusun, untuk polisi perempuan sangat sedikit sekali jumlahnya, dan baru dibuka penerimaan besar-besaran setelah berhasil membuang semua pengaruh Ex Gubernur Asad yang telah tewas. Satu demi satu mereka maju menerima penghargaan. Fahmi dan empat polisi yang lain naik pangkat satu tingkat, sedangkan Maira mendapatkan lencana kesetiaan walau pangkat tidak bertambah. Seharusnya semuanya pulang, tapi tidak dengan lima polisi yang pernah dikumpulkan jadi satu oleh Maira itu. Mereka berkumpul mengenang masa-masa indah ketika masih bertugas bersama-sama. Sekarang sudah kembali ke kota masing-masing. Maira melihat mereka dari jauh, walau bagaimanapun dia masih punya perhitungan pada Fahmi juga Musa. Kenapa Musa? Terserah dia, karena ikut-ikutan mengelabuhinya. “Ehm.” Kedatangan Maira me
Bagian 10 Benang Merah Ali menelan kekecewaan saat ke rumah Fahmi. Ternyata orangnya tidak ada. Ia pun tak berniat masuk ke rumah ketika kepala keluarga itu tidak ada di tempat. Sudahlah lelah, jauh, musim panas lagi. Sang kapten yang seharusnya sudah pensiun itu pun kembali ke kotanya. Menaiki kereta api super cepat. Beruntungnya di musim panas, siang sangat lama daripada malam, walau angin yang bertiup jadi ikut-ikutan panas. Beberapa jam kemudian ia sampai di pemberhentian kotanya, dan bertemu dengan teman lamanya lagi yang sama-sama kecewa—Hamdan.“Kenapa mukamu ditekuk begitu?” tanya Ali yang langsung menghampiri temannya. “Yang dicari tak ada di rumah,” jawab Hamdan. Mereka memang tak selemah orang-orang tua pada umumnya, tetapi kalau disuruh bepergian dan yang dicari tak ada juga, lelah terasa tubuh mereka. “Sama kalau begitu. Sudah lelah pergi ke sana, salahku juga, kenapa tak memberi tahu dulu.” Ali menarik napas panjang. Ia melirik jam tangannya, Dzuhur masih panjang sek
Bagian 189 Pertandingan Sepak Bola Pagi-pagi selepas Shubuh Maira sudah siap dengan seragam lengkapnya, minus rompi anti peluru saja, pistol dan HT turut serta ia bawa. Ia ada pekerjaan penting dari pagi sampai sore, makan dan sholat di sana saja. Namun, sebelum pergi ia sempat berpamitan pada Ali yang memandangnya agak berbeda pagi itu. “Ayah pergi menonton sepak bola nanti?” tanya Maira. “Tidak, Ayah sudah cukup tua untuk urusan itu, biar yang muda-muda saja.” “Terus rapi sekali pagi ini, Ayah mau pergi ke mana?” Agak curiga Maira. “Ada urusan penting, demi keluarga ini juga.” Ali menyembunyikan tujuannya hari itu pada putrinya. Jika Maira tahu sedang dicarikan jodoh, bisa-bisa ia mengelak lagi. “Oh, kabari bagaimana hasilnya, ya. Aku pergi dulu.“ Pagi itu Maira menggunakan mobil polisi karena tugas besar yang ia emban. Maira memimpin tim untuk menjaga keamanan pertandingan sepak bola di salah satu stadion olahraga. Putri Ali mengawasi di tempat duduk khusus perempuan, yang
Bagian 188 Pengorbanan Seorang Ayah. Gu dan tiga putrinya pulang ke kota tempat tinggal mereka menggunakan kereta cepat. Di dalam kendaraan ekpres itu, Maira hanya diam membisu memandang salju yang terus turun dari langit. Salju sebentar lagi akan berhenti, dan Hira kembali sekolah menyelesaikan pendidikannya, lalu Zahra yang masuk pendidian tingkat pertama. Maira sendiri? Tetap bekerja. Kantor tempatnya mengabdi juga mengalami revolusi besar-besaran, imbas dari kasus Gubernur Asad. Jadi sampai musim panas nanti putri Ali akan sangat sibuk. Namun, tak mengapa, dia jadi bisa melupakan Fahmi. “Kau pasti sudah kembali hidup di kota asalmu. Semoga kita tak akan pernah berjumpa lagi,” gumam Maira dalam keheningan. Ibu dan dua adik kandungnya sedang terlelap, jadi polisi wanita itu menjaga mereka dengan baik. Masalah luka hatinya, ia yakin akan membaik dengan sendirinya. Sampai juga empat perempuan beda generasi itu di stasiun. Tadinya Gu ingin menelepon Ali untuk menjemput mereka. Na
Bagian 187 Selesai Fahmi dan Maira membuka matanya perlahan-lahan ketika dua ember air dingin disiramkan ke wajah mereka. Dingin di tengah musim salju yang masih turun. Mereka saling melihat diri masing-masing. Tubuh keduanya terikat dan berada di sebuah gedung kosong juga luas. “Maira, Fahmi. Kalian dua parasit pengganggu, gara-gara kalian, saudaraku banyak yang tewas ditembak.” Lelaki itu duduk di depan keduanya. “Ya, kematian sebenarnya terlalu mudah buat kalian, tapi aku yakin di alam kubur juga kalian kena cambuk malaikat,” jawab putri Ali, sedangkan Fahmi berusaha membuka ikatan di tangannya.“Bawa mereka ke dalam mobil. Terlalu banyak bicara, bosan aku mendengarnya.” Perintah suruhan Harun. Lalu dua orang itu diangkat dalam keadaan terikat dan dimasukkan ke dalam mobil. Sebuah alat berat datang dari belakang hendak menghancurkan mobil Maira dan orangnya di dalam sekalian. Para pesuruh Harun sudah bepergian dan tinggal supir alat berat itu saja dan satu orang pengawas.“Ast