“Bagaimana kalau kita mati bersama-sama,” ucap seorang tentara wanita Balrus yang mendatangi Sultan di kamar rahasia itu. “Kau saja yang mati. Aku masih ingin hidup dan bertaubat,” jawab Sultan sambil berdiri. Ia bersikap awas sebab tentara wanita itu memegang bom yang jika ditarik pelatuknya maka akan menimbulkan ledakan dahsyat. Keduanya seperti menanti kematian sembari menghitung mundur. 5, 4, 3, 2, 1 Sultan menyergap tentara wanita itu. Ia berusaha meraih bom yang ada di tangan lawannya. Pergulatan sempat terjadi beberapa saat termasuk pula baku hantam. Sultan mendapat pukulan beberapa kali di telinga kiri dan kanannya sampai berdarah. Kuping pemuda itu berdenging hebat, semua suara bercampur baur menjadi satu di telinganya. Namun, ia lekas fokus sebab kematian ada di depan mati. Adik Gu meraih pisau di pinggang tentara wanita tersebut lalu menancapkan di perutnya. Tentara wanita tersebut memegang bagian tubuhnya yang terluka. Sultan berjalan ke arah pintu sambil memegang telin
Naima masuk ke dalam rumah sambil tak henti-hentinya menggerutu. Seharusnya ia sudah bahagia tinggal di rumah cinta pertamanya. Namun, lagi-lagi takdir bukan dalam genggamannya, ia harus bertemu Sultan dalam keadaan yang berbeda. Maksudnya, pemuda itu mengalami penyakit yang tak ia ketahui seperti apa. Gadis itu masih dihinggapi rasa penasaran. Ia mengintip dari balik tirai, Sultan masih menunggunya di luar pagar sambil memeluk diri sendiri. Yang membuat Naima heran, di mana keberadaan tentara Syam? Apa dipanggil pulang lagi oleh pamannya atau ganti shift, atau ada hal yang tak ia ketahui. Kasihan hati kecil gadis itu melihat keadaan Sultan. Meski dulu benci, tapi di hatinya masih ada sedikit rasa iba. Anak angkat Ali kemudian meraih ponselnya. Ia ingin menghubungi Gu, tetapi takdir belum berpihak padanya. Sinyal di desa itu hilang. Memang, di sana penduduk lebih suka menggunakan telepon kabel. Hanya di rumah Dimitri saja yang tidak karena baru ini ditinggali. “Huh. Sepertinya harus
Naima menahan napas lalu mengembuskan perlahan-lahan dan bersikap tenang. Semua semata-mata agar ia tak terbawa emosi. Masalah Sultan nanti saja ia komunikasikan dengan Gu yang tahu dengan dunia kesehatan. Yang jelas gadis itu merasa ada yang tak beres dengan orang yang dikatakan teman masa kecilnya. Dan yang paling penting sekarang ialah keluar dari hutan itu agar tak tersesat berlama-lama dengan dia saja. “Sinyal, oh, sinyal, muncullah kalian.” Naima menaikkan ponselnya tinggi-tinggi. Lagi-lagi satu batang tanda sinyal pun tidak muncul. Ia keluar dari mobil lalu naik ke kap depan, Sultan membelalakkan mata melihat tingkah Naima. Gadis itu mencari sinyal agar bisa menghubungi pamannya, dan meminta siapa pun membawa minyak dan menjemput mereka di sini. “Kurang tinggi sepertinya.” Pemilik dua ekor serigala itu naik ke atap mobil. Sultan mendekat dan ia mulai naik ke kap. “Naima, apa yang kau lakukan?” tanya Sultan heran, padahal ia lihat gadis itu sedang memegang ponsel, begitulah a
Lama Naima dan Sultan mengunggu kedatangan jemputan Ali. Mereka sudah sangat muak dan geli melihat kemesraan David dan Silvi. Tidak pengertian terhadap dua orang yang sama-sama menyendiri di hadapan mereka. Sin dan San, tak ambil pusing sama sekali, mereka tidur pulas di bawah butiran salju. “Iuuuw, serasa dunia punya kalian berdua saja,” gerutu Naima, ia membuang muka ketika Silvi dan David saling tersenyum mesra. Ia pikir-pikir lagi, dulu juga dirinya begitu ketika baru jatuh cinta bersama Dimitri. Dunia serasa milik mereka berdua yang lain hanya menyewa saja. “Itu dia ada mobil datang.” Sultan membuyarkan lamunan Naima. Gadis itu menarik napas lega ketika satu jeep datang menjemput mereka. Reihan, Afnan dan salah satu tentara lainnya turun. Naima meminta agar mobilnya diisi minyak terlebih dahulu. Ia tak mau naik jeep lain sebab mobil tersebut pemberian suaminya. Reihan—pemuda itu memandang sambil tak percaya kalau Sultan masih hidup. Sedangkan Afnan bahagia melihat sahabatnya ma
“No, no, no, no.” Naima menggerakkan telunjuknya. Senyum di balik cadar itu terlalu jelas sampai ke mata bahwa ia sedang menertawakan nasibnya sendiri. “Yes,” jawab Ali. “Kau sudah berjanji, sebagai muslimah bermartabat, penuhilah janjimu,” lanjut Ali. “Aku tak mau menikah dengan anak kecil.” Gadis berambut kemerahan itu masih keras kepala. “Beda usia cuma tiga tahun. Anak kecil dari mana? Seperti itu saja sudah hampir tiga anaknya.” Ali menunjuk wajah Sultan dengan jelas. Yang ditunjuk hanya senyum-senyum sendiri saja. “Tidak!” “Iya!” “Pernikahan tidak bisa dipaksakan. Salah satu rukunnya mempelai perempuan harus bersedia.” Pemilik dua ekor serigala memanfaatkan pengetahuannya. “Baik, kalau tak mau dengan Sultan, malam ini juga kau Paman nikahkan dengan Reihan. Intinya kau menikah.” Ali mengambil tongkatnya lalu berusaha memanggil Reihan, semakin paniklah Naima. “Jangan Reihan, tolong. Aku tak suka dengan lelaki mata keranjang seperti dia.” Gadis itu menghalangi pamannya berj
Bagian 114 Emotional Damage “Janda, janda, janda,” ulang Naima berkali-kali, “baru enam jam aku tertidur bangun-bangun sudah jadi istri orang, mana anak kecil lagi.” Istri Sultan sedang berada di luar, ia bermain bersama Sin dan San. Wanita itu meninggalkan suaminya sendirian di kamar karena masih terkejut dengan semua yang terjadi. Hanya beberapa jam saja, semudah membalikkan telapak tangan. Dua ekor serigala kembar itu meninggalkan Naima, mereka berlarian menyusul kedatangan Sultan yang mencari Naima. Sepasang suami istri yang sama-sama menggunakan jaket tebal. Bedanya Naima tak mengenakan syal sedangkan Sultan menggunakannya, pemberian dari Maira. Kata keponakannya hadiah pernikahan. Naima betah berlama-lama di luar membiarkan tubuhnya terkena butiran salju. Inginnya ia bermain ice skating seperti saat bersama Dimitri dulu. Sayang sekali sepatunya tertinggal di desa. “Semoga ini hanya mimpi saja. Lalu aku tidur lagi dan bangun, dan kejutaaaan, ternyata aku masih menyendiri.” Na
Maira keluar dari kamar dan turun ke lantai satu. Tempat yang dulunya merupakan ruangan pertemuan para petinggi dan anak-anak yang akan dicuci otaknya kini benar-benar digunakan untuk tempat tinggal Ali dan keluarga besarnya. Gadis bermata biru itu menuju dapur, dan pemandangan pertama yang ia temui di sana ialah Naima yang sedang makan roti dan Sultan yang menyodorkan makanan. Sebenarnya bukan pertama kali juga Maira melihat hal itu, sudah sering ayahnya melakukan hal yang sama. Selain rasa makanan yang jauh lebih enak dan tentu saja ibunya kerepotan juga kelelahan mengurus adik-adik Maira yang kecil. Kini gadis yang telah menyelesaikan pendidikannya itu berpikir, mungkin itu salah satu cara pamannya mengambil hati kakak angkatnya. Karena sedikit banyak ia tahu kisah mereka berdua dulu. “Katanya kemarin tidak enak, Kak, roti dan acar bawangnya. Kenapa sekarang Paman sampai buat lagi?” tanya Maira. Ia ikut menikmati roti buatan Sultan dan juga perlengkapannya. “Beda hari beda seler
Dengan menggunakan taksi, Naima dan Sultan pergi ke kantor catatan pernikahan. Sebelumnya pihak di sana sudah ditelepon oleh Ali sebagai wali dari Naima, juga beberapa saksi juga video asli tanpa editan tentang pernikahan mereka. Kini keduanya hanya perlu mendaftarkan secara resmi saja. Kebetulan pula antrian sedang panjang. Jadi terpaksa sepasang suami istri itu menunggu agak lama. Di musim salju pernikahan memang membludak. “Ramai sekali orang yang daftar,” ucap Naima mencari tempat duduk. Hanya tersisa satu saja yang kosong, dan Sultan membiarkan istrinya duduk. Sepasang demi sepasang pengantin dipanggil. Mereka keluar setelah mendapatkan kartu. Satu demi satu akhirnya pergi juga dan tersisa beberapa pasangan lagi. Sembari menunggu Naima tak berbicara apa-apa. Pun Sultan juga demikian, sebab tak mau menimbulkan kesalah pahaman akibat gangguan pendengaran. Ketika sedang menunggu, tak sengaja pula lewat satu ekor kecoak di hadapan beberapa pengantin itu. Pengantin wanita di depan N