Bagian 106 Rindu yang Disambut Sudah tiga bulan usia Zahra. Anak keenam Ali dan Gu lebih sering bersama Naima dibandingkan ibunya. Sebab Gu masih harus pula mengurus anak-anaknya yang lain. Meski telah dibantu Naima juga Maira tetap saja kerepotan ketika ditinggal oleh Ali. Zahra bersama ibunya hanya ketika menyusui saja. Tak bisa dipungkiri bahwa kuat sudah ikatan antara Naima dan Zahra. “Jadi anakku saja, ya, kalau begitu,” ucap Naima pada Zahra yang baru saja terlelap. “Mana bisa. Ibu kandungnya masih ada,” jawab Gu yang baru saja menutup panggilan dari suaminya. Ali mengatakan bahwa timnya akan segera menuju camp konsentrasi. “Bibi, kan, sudah punya banyak anak. Bahkan bisa punya anak lagi dengan Paman. Satu ini saja untukku. Ya Allah, sudah telanjur sayang.” Gadis berambut kemerahan itu menahan tangannya dari mencubit pipi Zahra. “Ya, kau masih bisa menikah lagi. Masih muda, Bibi yang sudah 40 tahun lebih saja masih semangat punya anak. Masak kau mau menyerah begitu saja.”
Naima menempati satu kamar sendiri, masih di lantai atas. Hanya saja ia sudah memiliki privasi sama seperti dulu saat di perbatasan. Namun, kali ini Zahra bersamanya. Gu menitipkan anak keenamnya sementara waktu sampai Ali sembuh. Usia Ali sudah tidak muda lagi, sudah memasuki angka setengah abad lebih. Luka tembakan di tubuh bagian kiri itu tak bisa cepat sembuh bahkan masih diiringi dengan demam tinggi, karena itulah Gu perlu untuk merawatnya secara intensif.“Tak apa-apa, ya, Sayang. Dengan kakak di sini, kau akan baik-baik saja.” Naima membelai kepala Zahra. Lebih cocok terlihat sebagai anaknya daripada adik. Anak terakhir Gu terlelap setelah Naima menimangnya. Gadis itu kemudian meletakkan Zahra di pembaringan. Ia berdiri di jendela kaca. Lalu melihat dari lantai atas bagaimana kondisi camp konsentrasi kini. Di segala penjuru dijaga oleh tentara Syam. Naima tersenyum lebar, tempat menyeramkan itu kini telah hancur dan tak akan ada lagi gadis-gadis yang bernasib sama seperti dirin
Sin dan San masih kerap mencari keberadaan Sultan yang jejaknya hilang di dekat danau. Hanya dua binatang buas itu yang meyakini tuan keduanya masih hidup. Baik Naima, Gu, Ali, Maira, juga yang lain sudah mengikhlaskan kepergian pemuda itu. Terutama gadis berambut kemerahan tersebut. Sejak Sultan dinyatakan tiada, ia jadi lebih bebas menjalani hidup dan tak dihantui rasa waswas lagi.Naima semakin menunjukkan kemahirannya sebagai seorang ibu, ditambah Gu masih sibuk mengurus suaminya yang masih sakit dan mulai belajar berjalan sedikit demi sedikit. Anak-anak Gu dan Ali diurus total oleh Naima, sedangkan Maira, gadis itu kembali ke Syam karena harus mengikuti ujian paling akhir untuk kelulusannya. Tidak bisa dipungkiri keinginan Naima untuk menuju danau di mana Dimitri membeli rumah harus tertunda beberapa saat. Sebenarnya ia sudah sangat ingin pergi. Namun, keadaan tak mengizinkan. Gu masih bergantung padanya. Para tentara yang menolong mereka pun tak mungkin dibawa masuk ke dalam ru
“Bagaimana kalau kita mati bersama-sama,” ucap seorang tentara wanita Balrus yang mendatangi Sultan di kamar rahasia itu. “Kau saja yang mati. Aku masih ingin hidup dan bertaubat,” jawab Sultan sambil berdiri. Ia bersikap awas sebab tentara wanita itu memegang bom yang jika ditarik pelatuknya maka akan menimbulkan ledakan dahsyat. Keduanya seperti menanti kematian sembari menghitung mundur. 5, 4, 3, 2, 1 Sultan menyergap tentara wanita itu. Ia berusaha meraih bom yang ada di tangan lawannya. Pergulatan sempat terjadi beberapa saat termasuk pula baku hantam. Sultan mendapat pukulan beberapa kali di telinga kiri dan kanannya sampai berdarah. Kuping pemuda itu berdenging hebat, semua suara bercampur baur menjadi satu di telinganya. Namun, ia lekas fokus sebab kematian ada di depan mati. Adik Gu meraih pisau di pinggang tentara wanita tersebut lalu menancapkan di perutnya. Tentara wanita tersebut memegang bagian tubuhnya yang terluka. Sultan berjalan ke arah pintu sambil memegang telin
Naima masuk ke dalam rumah sambil tak henti-hentinya menggerutu. Seharusnya ia sudah bahagia tinggal di rumah cinta pertamanya. Namun, lagi-lagi takdir bukan dalam genggamannya, ia harus bertemu Sultan dalam keadaan yang berbeda. Maksudnya, pemuda itu mengalami penyakit yang tak ia ketahui seperti apa. Gadis itu masih dihinggapi rasa penasaran. Ia mengintip dari balik tirai, Sultan masih menunggunya di luar pagar sambil memeluk diri sendiri. Yang membuat Naima heran, di mana keberadaan tentara Syam? Apa dipanggil pulang lagi oleh pamannya atau ganti shift, atau ada hal yang tak ia ketahui. Kasihan hati kecil gadis itu melihat keadaan Sultan. Meski dulu benci, tapi di hatinya masih ada sedikit rasa iba. Anak angkat Ali kemudian meraih ponselnya. Ia ingin menghubungi Gu, tetapi takdir belum berpihak padanya. Sinyal di desa itu hilang. Memang, di sana penduduk lebih suka menggunakan telepon kabel. Hanya di rumah Dimitri saja yang tidak karena baru ini ditinggali. “Huh. Sepertinya harus
Naima menahan napas lalu mengembuskan perlahan-lahan dan bersikap tenang. Semua semata-mata agar ia tak terbawa emosi. Masalah Sultan nanti saja ia komunikasikan dengan Gu yang tahu dengan dunia kesehatan. Yang jelas gadis itu merasa ada yang tak beres dengan orang yang dikatakan teman masa kecilnya. Dan yang paling penting sekarang ialah keluar dari hutan itu agar tak tersesat berlama-lama dengan dia saja. “Sinyal, oh, sinyal, muncullah kalian.” Naima menaikkan ponselnya tinggi-tinggi. Lagi-lagi satu batang tanda sinyal pun tidak muncul. Ia keluar dari mobil lalu naik ke kap depan, Sultan membelalakkan mata melihat tingkah Naima. Gadis itu mencari sinyal agar bisa menghubungi pamannya, dan meminta siapa pun membawa minyak dan menjemput mereka di sini. “Kurang tinggi sepertinya.” Pemilik dua ekor serigala itu naik ke atap mobil. Sultan mendekat dan ia mulai naik ke kap. “Naima, apa yang kau lakukan?” tanya Sultan heran, padahal ia lihat gadis itu sedang memegang ponsel, begitulah a
Lama Naima dan Sultan mengunggu kedatangan jemputan Ali. Mereka sudah sangat muak dan geli melihat kemesraan David dan Silvi. Tidak pengertian terhadap dua orang yang sama-sama menyendiri di hadapan mereka. Sin dan San, tak ambil pusing sama sekali, mereka tidur pulas di bawah butiran salju. “Iuuuw, serasa dunia punya kalian berdua saja,” gerutu Naima, ia membuang muka ketika Silvi dan David saling tersenyum mesra. Ia pikir-pikir lagi, dulu juga dirinya begitu ketika baru jatuh cinta bersama Dimitri. Dunia serasa milik mereka berdua yang lain hanya menyewa saja. “Itu dia ada mobil datang.” Sultan membuyarkan lamunan Naima. Gadis itu menarik napas lega ketika satu jeep datang menjemput mereka. Reihan, Afnan dan salah satu tentara lainnya turun. Naima meminta agar mobilnya diisi minyak terlebih dahulu. Ia tak mau naik jeep lain sebab mobil tersebut pemberian suaminya. Reihan—pemuda itu memandang sambil tak percaya kalau Sultan masih hidup. Sedangkan Afnan bahagia melihat sahabatnya ma
“No, no, no, no.” Naima menggerakkan telunjuknya. Senyum di balik cadar itu terlalu jelas sampai ke mata bahwa ia sedang menertawakan nasibnya sendiri. “Yes,” jawab Ali. “Kau sudah berjanji, sebagai muslimah bermartabat, penuhilah janjimu,” lanjut Ali. “Aku tak mau menikah dengan anak kecil.” Gadis berambut kemerahan itu masih keras kepala. “Beda usia cuma tiga tahun. Anak kecil dari mana? Seperti itu saja sudah hampir tiga anaknya.” Ali menunjuk wajah Sultan dengan jelas. Yang ditunjuk hanya senyum-senyum sendiri saja. “Tidak!” “Iya!” “Pernikahan tidak bisa dipaksakan. Salah satu rukunnya mempelai perempuan harus bersedia.” Pemilik dua ekor serigala memanfaatkan pengetahuannya. “Baik, kalau tak mau dengan Sultan, malam ini juga kau Paman nikahkan dengan Reihan. Intinya kau menikah.” Ali mengambil tongkatnya lalu berusaha memanggil Reihan, semakin paniklah Naima. “Jangan Reihan, tolong. Aku tak suka dengan lelaki mata keranjang seperti dia.” Gadis itu menghalangi pamannya berj