Perut Halimah diperiksa oleh Can. Gu pun meminta izin kali ini utuk ikut ke dalam dan sahabatnya memberinya kesempatan. Berulang kali dua dokter kandungan itu saling melirik dan menatap amat dalam pada hasil yang tertera di layar. Lalu keduanya sama-sama mengembuskan napas panjang. Can tak menyangka harus mengatakan kenyataan pahit ketiga kalinya pada pasien yang masih sama. Gu pun begitu, ia paham bagaimana perasaan Halimah dan Sultan yang sudah tiga tahun menanti diberikan buah hati. “Dokter, ada apa? Kenapa hanya diam saja. Kandunganku baik-baik saja, bukan?” tanya Halimah ketika keduanya masih sama-sama dingin bagaikan es. “Ehm, Halimah, kapan terakhir kau minum obat?” tanya Gu sambil mengerjapkan mata berkali-kali. “Siang tadi di rumah Kakak aku juga masih minum obat. Semua saran dari dokter telah aku turuti. Bayiku baik-baik saja, bukan, Kak? Aku tak akan terima kalau yang ketiga kalinya ini kehilangan juga.” Halimah mulai tak bisa menguasai diri. Can kemudian menutup perut p
Naima masih terjebak dengan rutinitas masa lalunya. Ia duduk di sebelah Dimitri dimakamkan. Sambil minum kopi juga memakan roti cokelat. Sudah satu tahun lebih ia seperti itu. Tak mau beranjak dari keadaan, tak mau pula menerima kehadiran lelaki lain. Bukan tidak ada yang mendekatinya selain yang disodorkan Ali. Ada, hanya saja bagi gadis berambut kemerahan itu Dimitri saja yang bisa menerimanya apa adanya. Ia takut jika mengundang lelaki lain lagi, lalu mereka tak terima dengan masa lalu Naima. Kemudian, ia pun mendapatkan malu.Gadis yang masih suci dan terjaga itu beranjak ketika sudah selesai membaca buku. Sejak ditinggal oleh Dimitri ia tak pernah lagi bermain ice skating. Tak punya alasan Naima untuk meliuk-liukkan tubuhnya lagi. Ditambah semakin banyaknya CCTV yang terpasang di perbatasan sejak akhir-akhir ini. Ya, tanda-tanda peperangan nampaknya tak lama lagi akan meletus. Naima berharap Ali bisa setidaknya mengambil sedikit wilayah Balrus termasuk pula di mana suaminya memb
Mengetahui kecelakaan terjadi di jalan, beberapa petugas datang menggunakan mobil menolong Sultan. Apalagi Halimah telah tak sadarkan diri dalam keadaan hamil. Mobil yang ringsek pun diurus belakangan. Sultan tak bisa tenang ketika ia mencoba membangunkan istrinya, wanita itu tak mau membuka mata. Seolah-olah tak ingin bertemu lagi dengan suaminya yang rahasia kotornya telah diketahui. Sampai di rumah sakit penanganan medis darurat pun diberikan oleh Halimah. Darah yang mengalir deras ditangani terlebih dahulu. Wanita itu yang dari dulu fisiknya sudah lemah menjadi bertambah tak berdaya ketika mendapatan luka benturan dan robekan yang tidak main-main. Can pun terpaksa dipanggil ketika harus mengeluarkan bayi yang sudah lama meninggal di dalam rahim Halimah. Sultan mau tak mau harus menandatangani semua prosedur yang harus dikerjakan. Ia juga terluka di bagian kepala. Namun, sekuat tenaga ia tahan demi kesembuhan istrinya. Ali datang menemui adik iparnya, sedangkan Gu tidak bisa ikut
Baik Naima atau pun Sultan sama-sama menjalani hidup dalam kesendirian. Enam bulan pasca ditinggal oleh Halimah, pemuda itu masih enggan untuk membuka hati. Naima apalagi, jangan ditanyakan. Ia kerap kali merasa minder jika harus bertemu dengan lelaki lain. Padahal Gu dan Ali sampai rela mengenalkan lagi seseorang yang pantas dan akan menerima Naima apa adanya. Selain itu gadis pemilik dua ekor serigala tersebut masih ingin mengunjungi rumah peninggalakan lelaki yang ia anggap suaminya—Dimitri. “Apa tak bisa aku yang muslimah ini pergi ke sana, Paman?” tanya Naima pada Ali. “Kau mau jadi pergedel di sana. Digilir dari satu laki-laki ke yang lain sampai kau mati membusuk seperti di camp dulu?” Ali melempar pertanyaan itu kembali pada anak angkatnya. Gadis itu ingin membantah dengan mengatakan bahwa yang menyakitinya di camp ialah Sultan sedangkan yang baik dengannya justru tentara Balrus, tetapi ia sudah berjanji pada mendiang Halimah untuk memaafkan kejadian itu. Naima tak membantah
Gu membantu suaminya memakai baju perang lengkap termasuk pula dengan rompi anti peluru keluaran terbaru. Ali memandang Gu sambil tertawa setiap sebentar. Wajah wanita yang kini sudah memasuki kepala empat itu terlihat sangat lucu ketika sedang marah. Penyebab kemarahan Gu tak lain tak bukan ialah ketika membuka pesan masuk dari Anastasya di ponsel suaminya. Padahal isinya hanyalah gambar-gambar tentang lokasi yang sangat penting. “Masih marah?” tanya Ali pada Gu yang cemberut. “Masih juga bertanya.” Sengaja Gu memasang ikat pinggang Ali sangat erat sampai perut lelaki itu tertekan sangat kuat. “Aku bahkan tak pernah berjumpa dengannya. Kau ini curigaan saja terus.” Heran Ali mengapa istrinya marah pada hal yang tak wajar.“Memang belum pernah jumpa. Tapi dari foto profilenya dia itu cantik, pilot pesawat tempur lagi. Kurang sempurna apa coba Anastasya itu.” Gu menjauh dari suaminya yang sudah berpakaian lengkap. “Dengar, aku tak ada hubungan apa-apa dengannya. Dia tahu nomorku da
Sultan berlarian bersama dua ekor serigala Naima. Terhitung sudah satu minggu sudah mereka baku tembak yang tidak main-main. Ali dan adik iparnya telah terpisah. Sedikit demi sedikit wilayah berhasil mereka dapatkan walau untuk menggapai camp konsentrasi masih sangat jauh. Meski demikian korban yang berjatuhan dari dua belah pihak tidak bisa dikatakan sedikit. Sin dan San memelankan langkah kaki mereka. Ada dua tentara Balrus yang menggunakan motor mengejar Sultan sambil menembak lelaki itu. Rompi anti peluru milik Sultan nyaris rusak dan sedikit lagi mengenai organ vital di bagian dalam. San berbelok, ia langsung melompat di atas motor, peluru yang dilesatkan ke atas tubuhnya tersangkut di rompi anti peluru. Binatang buas itu kemudian menggigit kepala yang ditutup helm khusus. Ia gigit bagian mana saja yang bisa diraih. Leher, tangan, kaki atau mana saja yang bisa dikoyak dengan gigi tajamnya. Salah satu tentara Balrus yang lain mencoba untuk menembak San. Namun, dari kejauhan Sult
Naima bangun pagi-pagi sekali. Ia mengurus rumah itu semuanya mulai dari menyapu, memasak dan mencuci baju. Sedangkan Maira sendiri sedang ada ujian akhir hingga butuh konsentrasi untuk menjawab pertanyaan yang sudah pasti sangat sulit. Gadis bermata biru itu lebih mewarisi ketangkasan Ali daripada kecerdasan Gu. Terhitung sudah dua bulan lebih mereka ditinggalkan, berbagai berita juga sudah didengarkan untuk mendapatkan kabar dari orang-orang tercinta. Peperangan itu disiarkan oleh banyak stasiun televisi dari berbagai macam negara. Semua beranggapan Syam akan kalah sebab sedikitnya armada perang yang dimiliki. Saat sedang menyiapkan sarapan untuk adik-adiknya, tiba-tiba saja Gu bangun sambil memegang perutnya. Kandungan wanita tersebut memang sudah memasuki bulannya dan hanya menunggu hari untuk anak keenamnya menatap dunia. Terang saja Naima langsung meletakkan peralatan masak melihat bibinya kesakitan. “Sudah waktunya, Naima. Telepon ambulance saja, kau tak usah ikut lagi, urus
“Siapa mereka, Kapten. Apa di pihak kita?” tanya Sultan pada Ali. “Ya, katanya begitu. Kita lihat saja.” Ali dan anggota yang lainnya fokus menatap ke langit. Di sana ada dua pesawat tempur entah dari seri dan generasi keberapa, mereka yang di bawah sana tidak tahu. Dua pesawat itu datang dari sisi kanan, lalu dari sisi kiri pula datang empat pesawat tempur lainnya. “Empat itu punya siapa?” Reihan, seumur hidup ia tak pernah melihat pesawat tempur melintas. Bibirnya tak henti-henti mengatakan kata takjub. “Kau tanya aku, aku tanya siapa.” Ali pun tidak tahu sama sekali bahwa akan ada bantuan yang datang padanya. Dua pesawat dari sisi kanan yang dikendarai oleh Anastasya dan Ling, berpisah. Satu ke sisi kiri dan satu ke sisi kanan. Pilot perempuan yang datang membantu Ali dan timnya mengeluarkan senapan mesin yang tertanam pada sayap. Lengkap dengan manuver dan putaran yang membuat mereka di bawah sana takjub tak henti-hentinya. “This is dogfight,” ucap Ali. Sebuah istilah untuk m