Bagian 90 Kehilangan Sultan berjalan menjauh dari arah Ali, Naima, juga Dimitri. Ia enggan terlibat dalam pembicaraan tersebut. Sebab ia sudah tahu jenis perbincangan apa yang akan terjadi. Adik Gu tak menyukainya. Ia yakin Dimitri atau Haidar menyimpan sebuah rahasia besar, hanya saja ia belum tahu apa kenyataannya. Cap abadi di pergelangan tangan mereka berdua menjadi saksi bisu. “Entah kau yang jahat, atau aku yang pernah jahat,” gumam Sultan melepas semua baju khususnya. Wajah dan rambut itu basah karena keringat yang menetes setiap kali menjinakkan bom. Ia kemudian menghidupkan motornya, lalu berjalan lurus menuju rumah. Halimah ia tinggalkan sendirian, istrinya masih betah berbaring di ranjang karena harus bed rest atas perintah dokter. Kandungan wanita itu katanya lemah setelah keguguran beberapa bulan lalu. Sultan menepikan motornya, rumah mendiang orang tua Firdaus mereka tempati daripada dibiarkan kosong begitu saja. Lelaki bergigi rapi itu memasuki rumahnya, kemudian me
Sah. Satu kata yang sangat cukup untuk mewakili bagaimana hubungan Dimitri dan Naima sekarang. Di mata manusia biasa mereka telah menjadi suami dan istri. Ya, semua karena penyamaran penembak jitu tersebut yang sangat ahli. Meski ia tak memihak kedua belah negara manapun sekarang. Namun, keyakinan Dimitri juga tidak ada sama sekali. Entah Tuhan dari sisi mana yang ia percaya. Semua yang ia lakukan hanya agar bisa menikahi Naima saja. Selebihnya rencana panjang untuk melarikan diri akan mulai ia susun. Gu dan Ali meninggalkan rumah di perbatasan ketika akad nikah telah selesai. Tidak ada pesta seperti halnya saat Sultan atau Halimah menikah. Sebab baik Naima dan Dimitri sama-sama tidak suka keramaian. Keheningan merupakan teman terbaik dalam hidup mereka. Sekilas keduanya terlihat cocok, bahkan Naima tak pernah berhenti tersenyum di balik cadarnya. Hanya saja satu hal yang mengganggu isi kepala gadis itu. “Bagaimana kalau dia tahu aku sudah tak perawan lagi? Apa dia akan membatalkan
“Afnan, maaf aku baru saja sampai,” ucap Sultan ketika sampai di camp. “Kau terlambat, kawan,” balas sahabatnya. “Apanya?” “Ini.” Afnan memperlihatkan hasil temuannya. Ia berhasil menyusup ke dalam website yang banyak sekali pengamannya. Kemudian Sultan tercengang. Sebuah foto lama di mana Dimitri berbaris dan memegang senjata, bahkan ketika penembak jitu itu tengah berada di medan perang. “Dia ini bukan sedang berperang di pihak kita, bukan?” tanya Sultan memastikan analisanya. Cap abadi di tangan Dimitri adalah bukti kalau lelaki itu didikan Balrus dan menjadi musuh yang berbahaya bagi umat islam. Lalu mengapa Sultan juga memikinya? “Bukan. Itu foto tiga tahun lalu. Dia di sini baru satu tahun lebih.” “Artinya dia mata-mata?”“Yap. Aku menemukan rencana perjalanan mereka yang disusun rapi dalam sebuah folder. Naima, teman masa kecilmu masuk dalam perangkapnya. Sebentar lagi pasti akan digunakan untuk mengancam Kapten Ali. Lalu, ya, aku kesal padamu.” Afnan mengalihkan pembicar
“Kenapa harus dibunuh langsung?” tanya Gu pada suaminya. Ali pulang sejenak, ia meminta istrinya untuk menemani dan menjelaskan semua hal yang baru saja terjadi pada Naima. Sedangkan lelaki itu sendiria akan menggeledah rumah Dimitri, mencari apa saja yang tertinggal di sana. Sultan sendiri, ia dibantu dua petugas yang lain mengubur penembak jitu tersebut jauh dari kediaman Naima. “Karena dia mata-mata. Kau tahu hukum untuk mata-mata dan penyihir bukan, tidak ada ampun, langsung mati tanpa kesempatan taubat, karena mereka telah membunuh banyak orang dulunya. Dan tingkat kejahatan yang tidak main-main.” jawab Ali. Gu hanya mengangguk saja. Wanita bermata biru tersebut lantas bersiap dan ikut suaminya menuju dekat perbatasan sambil membawa dua anak yang masih kecil. Sepanjang perjalanan, Gu memikirkan bagaimana keadaan Naima. Malang sekali sejak kecil telah kehilangan kedua orang tuanya, lalu perisitwa yang dipaksa menerima karena keadaan. Sekalinya berjumpa dengan cinta sejati, nyat
Dear, Naima, istriku yang sangat cantik bagaikan seorang dewi. Bahkan setelah menikah pun aku tak bisa berhenti untuk menuliskan syair untukmu. Namun, kali ini bukanlah sebuah syair, melainkan sebuah wasiat yang akan kuberikan padamu. Aku harap kau tak marah dan setelah membaca ini akan tetap menganggapku sebagai suamimu. Naima, aku berasal dari Balrus, aku seorang mata-mata yang ditugaskan untuk mencari tahu wilayah di dalam sini. Sayangnya, aku tersihir begitu saja hanya dengan menatap kedua bola matamu. Terutama ketika kau membuka cadar. Kecantikan yang begitu sempurna tanpa cela. Sejak saat itu sudah kutanggalkan semua identitas dan pekerjaan lamaku. Hanya kau yang menjadi tujuan pertama juga terakhirku. Saat menikah denganmu rasanya semua sudah cukup di dalam genggaman tanganku. Lalu jika kau masih menerimaku, aku akan berjanji membawamu pergi dari sini. Naima, aku memang tinggal di Balrus, di sana ada satu buah desa yang sangat sunyi dan cocok denganmu juga aku. Bahkan sebelum
Naima sudah tak dijaga lagi oleh tentara di depan rumahnya. Ia berhasil meyakinkan Ali bahwa ia tak akan berbuat nekat untuk kabur atau bahkan bunuh diri. Sebab Naima masih ingin mencari rumah suaminya di sebuah negeri yang rasanya sulit untuk ditaklukkan. Pagi itu ia turun bersama dua serigalanya. Gadis yang masih suci terjaga dari sentuhan lelaki haram itu membawa baju Dimitri yang terakhir kali dipakai oleh suaminya. Ia enduskan pada Sin juga San. Sigap dua serigala kembarnya mencari di mana bau yang sama tersebut. Binatang buas itu berlari kencang. Naima menyusul di belakangnya. Cukup kelelahan gadis berambut kemerahan itu mengejar. Hingga akhirnya Sin juga San berdiri di satu bawah pohon pinus yang sangat jauh, hampir mendekati terowongan tempat Naima pertama kali datang ke negeri Syam. Di bawah pohon itulah Dimitri dikuburkan, dan kini telah tertutup salju tebal pula. “Hai, Suamiku, aku datang.” Naima menepuk-nepuk tumpukan salju itu, kemudian ia duduk di sana menyandarkan tub
Perut Halimah diperiksa oleh Can. Gu pun meminta izin kali ini utuk ikut ke dalam dan sahabatnya memberinya kesempatan. Berulang kali dua dokter kandungan itu saling melirik dan menatap amat dalam pada hasil yang tertera di layar. Lalu keduanya sama-sama mengembuskan napas panjang. Can tak menyangka harus mengatakan kenyataan pahit ketiga kalinya pada pasien yang masih sama. Gu pun begitu, ia paham bagaimana perasaan Halimah dan Sultan yang sudah tiga tahun menanti diberikan buah hati. “Dokter, ada apa? Kenapa hanya diam saja. Kandunganku baik-baik saja, bukan?” tanya Halimah ketika keduanya masih sama-sama dingin bagaikan es. “Ehm, Halimah, kapan terakhir kau minum obat?” tanya Gu sambil mengerjapkan mata berkali-kali. “Siang tadi di rumah Kakak aku juga masih minum obat. Semua saran dari dokter telah aku turuti. Bayiku baik-baik saja, bukan, Kak? Aku tak akan terima kalau yang ketiga kalinya ini kehilangan juga.” Halimah mulai tak bisa menguasai diri. Can kemudian menutup perut p
Naima masih terjebak dengan rutinitas masa lalunya. Ia duduk di sebelah Dimitri dimakamkan. Sambil minum kopi juga memakan roti cokelat. Sudah satu tahun lebih ia seperti itu. Tak mau beranjak dari keadaan, tak mau pula menerima kehadiran lelaki lain. Bukan tidak ada yang mendekatinya selain yang disodorkan Ali. Ada, hanya saja bagi gadis berambut kemerahan itu Dimitri saja yang bisa menerimanya apa adanya. Ia takut jika mengundang lelaki lain lagi, lalu mereka tak terima dengan masa lalu Naima. Kemudian, ia pun mendapatkan malu.Gadis yang masih suci dan terjaga itu beranjak ketika sudah selesai membaca buku. Sejak ditinggal oleh Dimitri ia tak pernah lagi bermain ice skating. Tak punya alasan Naima untuk meliuk-liukkan tubuhnya lagi. Ditambah semakin banyaknya CCTV yang terpasang di perbatasan sejak akhir-akhir ini. Ya, tanda-tanda peperangan nampaknya tak lama lagi akan meletus. Naima berharap Ali bisa setidaknya mengambil sedikit wilayah Balrus termasuk pula di mana suaminya memb