Pov Nur -Ibunda Asyfa Badan terasa lelah, padahal seharian tadi hanya berdiri saja untuk menyalami tamu-tamu yang sebagian besar tak aku kenal. Aku bangun dari dudukku lalu berjalan ke arah dapur. Kubuat satu cangkir wedang jahe dengan campuran gula merah ditambah sedikit madu juga. Biasanya badan akan terasa lebih segar. Aku lekas duduk lagi di ruang tengah. Kuletakkan cangkir keramik yang sudah puluhan tahun menemeni setelah kusesap sedikit air jahe hangat kuku yang kubuat. Rasa hangat bercampur manis membuat tubuh ini terasa segar. Kalau ada Asyfa pastinya aku akan kena omelan. Dia kadang terlihat tak peduli, tapi sebetulnya perhatian. Pastilah gula darah dan lain-lain akan jadi bahasan. Padahal hidup tak selamanya tentang itu, kadang selalu ada keinginan sesekali memanjakan diri, agar jiwa merasa nyaman. Kubuang napas kasar. Benar yang Asyfa bilang. Rumah ini begitu sepi tanpa dirinya. Malam ini, putriku sudah menjadi tanggung jawab suaminya. Jadi mulai hari ini, esok dan sete
“Syfa sudah tahu kok apa yang disukai Bang Zayd, Bu. Dia itu ya, suka sama Syfa. Nah, yang jadi masalah sekarang. Syfa yang gak tahu, sudah ada belum ya calon pengganti Bapak yang disukai sama Ibu?” Uhuk! Uhuk!Pak Hakim yang baru saja meneguk kopi yang disuguhkan, mendadak tersedak. Aneh, yang ditanya Ibu, yang batuk dia. “Syfa!” Ibu bukannya menjawab, malah mendelik tajam. Kalau sudah seperti ini, aku tak berani lagi. Meskipun ingin sekali melihat Ibu terbebas dari Bapak dan masa lalunya. Namun, aku tak bisa memaksa Ibu.Obrolan berakhir ketika Pak Hakim pamit untuk kerja. Rupa-rupanya dengan alasan sedang cuti, Bang Zayd meminta dokumen-dokumen yang harus ditandatanganinya dibawa ke rumah. Cerdas, memang. Jadi … selama Bang Zayd cuti, Pak Hakim akan mungkin sering ke sini.Siangnya, Bang Zayd mengajakku melihat-lihat rumahnya. Kami tiba di sebuah rumah dua lantai. Tak terlalu besar, lebih kecil dari rumah ibu mertuaku, tapi lebih besar dari kediamanku, pastinya. Lantainya ada du
Akhirnya mobil tiba di pekarangan. Bang Zayd berjalan duluan. Aku mengikuti dari belakang. Setelah mengucap salam, terdengar suara orang dari dalam menjawab, tak lama, pintu pun dibukakan. “Ah, Abang? Bang Zayd yang datang, Ai!” Seorang perempuan dengan gamis lebar dan tatapan teduh tersenyum pada suamiku. Lalu dia memanggil nama adik ipar perempuanku tanpa ragu. Siapa perempuan itu? “Woahhh pengantin baru!” Suara Ainina terdengar. Dia tampak sumringah menyambutku. Begitupun menyambut kakak lelakinya. Sementara itu, perempuan yang tadi tampak memberi ruang untuk kami. Dia bahkan langsung kembali ke ruang tengah dan duduk sambil kembali sibuk. Rupanya mereka tengah membuat buket bunga. “Ayo duduk, Mbak! Kalian ke sini gak bilang-bilang, sih! Papi sama Mami baru saja pergi.” Ainina bicara sambil membuka tutup lemari es. Dia mengambilkan satu botol air mineral dingin untukku. Sementara itu, Bang Zayd sendiri langsung membuka lemari es dan mengambil minuman bersoda. “Abang kok minum g
Pesan yang kukirim pada Ibu, tak terbalas. Namun malah mendapati pesan masuk dari orang yang akhir-akhir ini seperti sedikit menjauh, Mbak Merina.Dia mengirimkan sebuah link dari IG yang diunggah akun Mama Renita dan dibagikan oleh salah satu selebgram di postingannya.[Siapa yang gak sakit, kalau suami masih sering ketemu diam-diam sama mantannya. Kurang apa aku?Dia sukses jadi dokterpun karena dimodali Papaku. Dia bisa buka praktek dan kliniknya maju pun dari dukungan keluargaku.Lalu, sampai hati perempuan ini datang dan masuk lagi dalam kehidupan kami. Mentang-mentang sudah berbesan dengan orang kaya, mentang-mentang putrinya nikah dengan anak pemilik PMM. Hey, Mbak … sakit hatiku ini. Benar-benar sakit.]Tanganku gemetar ketika perlahan video kuputar. Tampak adegan Bapak yang tengah mengungkung Ibu di atas sofa. Lalu komentar dan nyinyiran beruntun menghujat Ibu. Beberapa mengetag akun jualan Ibu. Ada juga yang ngetag akun IG Papa Dion dan Mami Ayu. Kata PMM grup seolah langsun
Pov Renita“Mama yang harusnya bersiap! Video ini termasuk pencemaran nama baik untuk Ibu. Bersiap saja, Ma. Syfa sudah capek sama kalian! Biar jalur hukum yang bicara. Biar sekalian Mama dan Bapak jera! Asal kalian tahu, Syfa banyak menyimpan rekaman ketika Bapak selalu maksa-maksa dan merayu Ibu untuk balikan lagi dan Ibu menolaknya. Jadi, sepertinya semua bukti itu cukup untuk mematahkan video Mama di kantor polisi! Syfa sudah capek!” tukas Asyfa---anak dari istri kedua Mas Restu. Aku termangu. Beberapa kali mataku hanya mampu mengerjap. Kutatap punggungnya yang menjauh sambil menarik lengan Ibunya. Jantungku berkedut hebat. Tak menyangka satu somasi akan kudapatkan dari anak bau kencur itu. Apalagi, pipiku masih terasa perih. Sial*n. Kurang ajar! Aku hanya bisa mengumpat, tapi tak berani melawan. Kutatap wajah Mas Restu. Laki-laki yang sejak pertama bertemu sudah membuatku jatuh hati. Lelaki yang kuajak meninggi dari nol itu dan ternyata diam-diam dia menduakanku. Dia hanya m
“Ya sudah, iya, Abang tidur di sini, tapi ada syaratnya!” ocehku sambil menatap wajahnya sekilas yang kini tengah dipenuhi senyuman. Wah, jangan-jangan dia sedang membuat sebuah perencanaan.“Syarat? Apa itu?” tanyanya tanpa mengubah posisi tubuhnya. “Aku yakin, tadi malem Ibu habis nangis. Aku yakin banget, hal yang bisa Ibu nangis itu pasti kalau enggak Bapak, ya, Mama Renita.” Aku bicara sambil terus melipat pakaian dan menatanya ke dalam lemari. Ibu tak akan pernah bercerita, di depanku dia selalu ingin tampil baik-baik saja. Begitupun yang aku tiru dari dia. Di depannya aku pun selalu ingin tampil baik-baik saja. “Lalu, hubungannya dengan syarat tadi?” Suara Bang Zayd membuat pikiranku yang tengah berkelana, kembali pada tempurungnya.“Bantu aku jodohin Pak Hakim dengan Ibu, Bang!” tukasku tanpa tedeng aling-aling. Hening, Bang Zayd bergeming. Aku mendelik lalu kulempar pakaian yang kupegang ke arahnya. “Bang, tahu gak ayam Pak RT. Kemarin kebanyakan bengong, mati.” Aku menceb
Pov Merina“Kenapa kamu gak ikut? Gak bosan tinggal di rumah sendirian. Mana ART juga belum ada. Capek kamu pasti.” Mama menatap wajahku.Sebetulnya, tadi aku cukup terkejut ketika tiba-tiba Mama datang. Apalagi tadi dia sempat menyaksikan keributanku dengan Mama Mertua. Image rumah tangga tenteram dan bahagia, hancur sudah. Padahal aku ingin terlihat wah, eh malah keburu ketahuan Mama. “Reza gak mau aku ngintilin dia, Ma. Iya kalau Mamanya dia agak rese. Ya ampuuun, Ma … hampir tiap hari ke sini lihatin isi kulkas. Kalau penuh, ya, wasallam.”“Oh,ya? Hmmm tadi Mama dengar dia bahas-bahas uang Reza?” Mama menatapku penasaran. Akhirnya mau tak mau, aku pun menceritakannya. “Iya, Ma. Kemarin Reza bagi dua uangnya, jatahku sama Mamanya. Eh Mama Pinah gak terima. Jadi, pengennya uang itu diserahin ke dia dulu semua. Baru diberi jatahku untuk sebulan berapa. Katanya aku ini gak boleh serakah, jangan mimpi bisa menguasai uang suamiku. Gitu katanya, Ma.”Kuhela napas setelah meluahkan uneg-
Sepulangnya dari rumah Bapak. Aku dan Ibu langsung ke rumah. Namun sedikit terkejut ketika kami pulang, Pak Hakim sudah ada di sana. Good, kejutan yang menyenangkan. “Eh, Bapak? Sudah lama?” Aku tersenyum dan menyalaminya.“Baru beberapa menit yang lalu. Pantesan sepi, kirain di dalam.” Pak Hakim menyalamiku dan Ibu.Bang Zayd keluar dari dalam rumah sambil membawa dua cangkir kopi. Diletakkan dekat Pak Hakim yang tengah duduk memangku laptop. Lalu dia memutar tubuh hendak kembali ke dalam. “Duh, jadi enak nih! Jarang-jarang dibuatin kopi sama bos.” Pak Hakim berkelakar. “Duh, Zayd … maaf sampe kamu harus buatin sendiri kopi buat tamu.” Ibu yang menyahuti, tampak tak enak. Sementara itu Bang Zayd hanya menoleh dan tersenyum. Ujung matanya malah melirik ke arahku yang tengah fokus memperhatikan dia. Lalu meneruskan langkahnya. Duh, ketahuan mulu. Padahal dilihatin doang, apa berasa? “Oh, bukan tamu kok, Nur. Anggap saja keluarga sendiri,” kelakar Pak Hakim lagi. Aku yang sudah