Pov Renita“Mama yang harusnya bersiap! Video ini termasuk pencemaran nama baik untuk Ibu. Bersiap saja, Ma. Syfa sudah capek sama kalian! Biar jalur hukum yang bicara. Biar sekalian Mama dan Bapak jera! Asal kalian tahu, Syfa banyak menyimpan rekaman ketika Bapak selalu maksa-maksa dan merayu Ibu untuk balikan lagi dan Ibu menolaknya. Jadi, sepertinya semua bukti itu cukup untuk mematahkan video Mama di kantor polisi! Syfa sudah capek!” tukas Asyfa---anak dari istri kedua Mas Restu. Aku termangu. Beberapa kali mataku hanya mampu mengerjap. Kutatap punggungnya yang menjauh sambil menarik lengan Ibunya. Jantungku berkedut hebat. Tak menyangka satu somasi akan kudapatkan dari anak bau kencur itu. Apalagi, pipiku masih terasa perih. Sial*n. Kurang ajar! Aku hanya bisa mengumpat, tapi tak berani melawan. Kutatap wajah Mas Restu. Laki-laki yang sejak pertama bertemu sudah membuatku jatuh hati. Lelaki yang kuajak meninggi dari nol itu dan ternyata diam-diam dia menduakanku. Dia hanya m
“Ya sudah, iya, Abang tidur di sini, tapi ada syaratnya!” ocehku sambil menatap wajahnya sekilas yang kini tengah dipenuhi senyuman. Wah, jangan-jangan dia sedang membuat sebuah perencanaan.“Syarat? Apa itu?” tanyanya tanpa mengubah posisi tubuhnya. “Aku yakin, tadi malem Ibu habis nangis. Aku yakin banget, hal yang bisa Ibu nangis itu pasti kalau enggak Bapak, ya, Mama Renita.” Aku bicara sambil terus melipat pakaian dan menatanya ke dalam lemari. Ibu tak akan pernah bercerita, di depanku dia selalu ingin tampil baik-baik saja. Begitupun yang aku tiru dari dia. Di depannya aku pun selalu ingin tampil baik-baik saja. “Lalu, hubungannya dengan syarat tadi?” Suara Bang Zayd membuat pikiranku yang tengah berkelana, kembali pada tempurungnya.“Bantu aku jodohin Pak Hakim dengan Ibu, Bang!” tukasku tanpa tedeng aling-aling. Hening, Bang Zayd bergeming. Aku mendelik lalu kulempar pakaian yang kupegang ke arahnya. “Bang, tahu gak ayam Pak RT. Kemarin kebanyakan bengong, mati.” Aku menceb
Pov Merina“Kenapa kamu gak ikut? Gak bosan tinggal di rumah sendirian. Mana ART juga belum ada. Capek kamu pasti.” Mama menatap wajahku.Sebetulnya, tadi aku cukup terkejut ketika tiba-tiba Mama datang. Apalagi tadi dia sempat menyaksikan keributanku dengan Mama Mertua. Image rumah tangga tenteram dan bahagia, hancur sudah. Padahal aku ingin terlihat wah, eh malah keburu ketahuan Mama. “Reza gak mau aku ngintilin dia, Ma. Iya kalau Mamanya dia agak rese. Ya ampuuun, Ma … hampir tiap hari ke sini lihatin isi kulkas. Kalau penuh, ya, wasallam.”“Oh,ya? Hmmm tadi Mama dengar dia bahas-bahas uang Reza?” Mama menatapku penasaran. Akhirnya mau tak mau, aku pun menceritakannya. “Iya, Ma. Kemarin Reza bagi dua uangnya, jatahku sama Mamanya. Eh Mama Pinah gak terima. Jadi, pengennya uang itu diserahin ke dia dulu semua. Baru diberi jatahku untuk sebulan berapa. Katanya aku ini gak boleh serakah, jangan mimpi bisa menguasai uang suamiku. Gitu katanya, Ma.”Kuhela napas setelah meluahkan uneg-
Sepulangnya dari rumah Bapak. Aku dan Ibu langsung ke rumah. Namun sedikit terkejut ketika kami pulang, Pak Hakim sudah ada di sana. Good, kejutan yang menyenangkan. “Eh, Bapak? Sudah lama?” Aku tersenyum dan menyalaminya.“Baru beberapa menit yang lalu. Pantesan sepi, kirain di dalam.” Pak Hakim menyalamiku dan Ibu.Bang Zayd keluar dari dalam rumah sambil membawa dua cangkir kopi. Diletakkan dekat Pak Hakim yang tengah duduk memangku laptop. Lalu dia memutar tubuh hendak kembali ke dalam. “Duh, jadi enak nih! Jarang-jarang dibuatin kopi sama bos.” Pak Hakim berkelakar. “Duh, Zayd … maaf sampe kamu harus buatin sendiri kopi buat tamu.” Ibu yang menyahuti, tampak tak enak. Sementara itu Bang Zayd hanya menoleh dan tersenyum. Ujung matanya malah melirik ke arahku yang tengah fokus memperhatikan dia. Lalu meneruskan langkahnya. Duh, ketahuan mulu. Padahal dilihatin doang, apa berasa? “Oh, bukan tamu kok, Nur. Anggap saja keluarga sendiri,” kelakar Pak Hakim lagi. Aku yang sudah
Pov Nur - Ibunda Asyfa“Duh, Zayd … maaf sampe kamu harus buatin sendiri kopi buat tamu.” Cukup merasa bersalah, ketika pulang dari rumah Mas Restu, rupanya di rumah ada tamu. Mas Hakim yang datang. Entah kenapa, aku merasa, akhir-akhir ini Zayd cukup sering mengundang Mas Hakim ke rumah. Mungkin karena urusan pekerjaan. “Oh, bukan tamu kok, Nur. Anggap saja keluarga sendiri,” tukas lelaki yang sebagian rambutnya sudah memutih itu. Namun, memang paras rupawannya, tak berkurang karena rambut putihnya, malah terlihat lebih bijak pada penampilannya. Candaan Pak Hakim, rupanya ditimpali Asyfa. “Alhamdulilah, kalau begitu jangan sungkan kalau mau anggap saya anak sendiri, Pak!” tukas Asyfa sambil melirik ke arahku. Aku mendelik padanya, tapi dasar Asyfa, dia malah mengdipkan mata, menggodaku. Setelah itu dia masuk dan menutup pintu. Aku hanya menggeleng melihat kelakuannya. Asyfa ini sedikit berbeda. Kebanyakan anak, biasanya tak mau orang tuanya menikah lagi. Namun dia sangat mengingi
“Kita beli pakaian batik untuk acara resmi nanti.” Dia bicara sambil menyetir.“Acara apa, Bang?” tanyaku heran. “Pokoknya acaranya kejutan. Kamu pasti suka dan ini adalah hal yang paling kamu inginkan.” Aku menatap rahang tegas yang menawan itu dari samping. Wajahnya yang fokus pada jalanan, tangannya sibuk dengan kemudi membuat dia tak sadar kalau rasa kagum ini kian berlapis tumbuh dalam hati. Bibir ini tak terasa tertarik sendiri mengukir senyuman. Namun aku tersentak ketika tiba-tiba dia mengerem mendadak. “K--Kenapa, Bang?” tanyaku gugup karena dia menoleh padaku. Duh, ketahuan lagi nyuri pandang dari tadi. “Apanya yang kenapa?” Dia malah menautkan alis. “Kok berhenti?” tanyaku lagi. “Tuh!” tukasnya seraya mengangkat satu alisnya ke atas. Sudut matanya mengarahkan ke arah depan.“Lampu?” Aku mengernyit sebentar sebelum akhirnya otakku jalan. Astaghfirulloh, malunya aku. Rupanya saking asyik lihatin wajah Bangsu yang tampan menawan. Aku sampai gak memperhatikan lampu lalu
“Gimana kejutannya, berkesan?” Suara bariton yang kuhapal betul milik siapa membuatku menoleh. Bang Zayd sudah memakai baju batik yang tempo hari kami beli. “Abang sudah tahu?” Aku menatapnya yang tersenyum dan tampak segar.“Saya yang menyarankan Pak Hakim agar melamar Ibu, bukanlah itu keinginanmu? Pak Hakim rupanya sudah ada niatan, tapi dia segan karena Ibu, mertua saya.” “Abang kok gak bilang-bilang, sih? Ibu juga?” Aku mendelik pada Ibu yang sudah tampak anggun dengan gamisnya. Bang Zayd tampak gagah dengan batiknya. Aku masih berantakan dan mengenakan kaos partai. “Zayd ngelarang Ibu bilang, Fa. Sudahlah, cepetan ganti baju. Apa gak malu, diluar sudah banyak tamu.” “Lagian salah sendiri, mau ada acara sebesar ini, pake acara diem-diem segala. Biar saja, Syfa kek gini saja!” tukasku sambil memperhatikan pakaianku dari atas ke bawah. Hari ini aku sedang pakai kaos partai berwarna putih lengan panjang, bagus sih bahannya adem, karena itu kupakai untuk menyirami tanaman. Hanya
Lalu tak banyak percakapan lagi. Mobil melaju membawaku ke rumah yang akan segera aku tempati. Selamat datang kehidupan baru … semoga semua akan lebih baik dari pada hari-hari yang lalu. Tiba di sana, aku bergegas turun. Kuberlari kecil menuju kolam di mana ikan-ikan yang dulu kuajak berteman berada. “Hay, Ikan … kalian sehat? Teman kalian datang! Aku, Kamu, teman!” Aku berjongkok di tepi kolam sambil bicara pada ikan-ikan.Ada yang jawab? Enggak. Hanya kecipak air dan beriak yang tampak. “Siang nanti aku kembali, ya! Mau beres-beres rumah dulu kalau gak berubah pikiran, bye! Muaach!” Aku meniupkan c*uman yang kutempel pada telapak tangan ke arah mereka. Lalu berlari kecil mendekat ke arah si Bibi yang tampak membantu membawa sisa barang yang ada di bagasi. “Bi, saya saja!” Aku merebut tentengan tas kain dari tangan perempuan paruh baya itu. Koper dan ransel sudah lenyap, dibawa Bang Zayd masuk sejak tadi.“Bibi saja, Non.” Aku menghentikkan gerakan tanganku, lalu menepuk bahu si
Suara tangisan bayi terdengar nyaring ketika aku dan Bang Zayd baru saja menginjakkan kakinya di rumah sakit. Senyum pada bibirku terkembang sempurna. Akhirnya adik yang kutunggu-tunggu sejak dulu, kini sudah ada. Meskipun, jaraknya teramat jauh. Dia akan menjadi paman kecil putriku. “Tuh, tadi kelamaan wara-wiri, pas datang sudah lahiran!” tukas Bang Zayd. “Ya, kan beli-beli dulu, Bang. Kalau gak aku, siapa? Ibu kan punya anaknya satu saja.” Aku mendelik ke arahnya. Namun baru saja aku mengatupkan bibir. Dari arah berlawanan tampak anak-anak Pak Hakim muncul sambil menenteng paper bag juga. Tak kalah banyak pula dariku. “Hay, Syfa!” “Hay!” Aku melambaikan tangan juga ketika Bang Zayd menyenggol lenganku sambil berbisik, “Kamu gak sendiri, Syfa. Tuh, sekarang ada mereka.”“Iya, Bang. Keknya gegara kemarin makan mie instan, kecerdasanku langsung berkurang.” “Eh, kamu makan mie lagi?” “Duh, keceplosan. Sekali lagi doang, Abang … kan waktu itu malah Abang habisin.” Lalu obrolan i
“Oh, ya? Ibu serius?” Aku terkejut senang. Ibu baru saja mengabarkan jika Bapak, Mama Renita dan Mbak Merina datang ke rumah. “Ya seriuslah, Syfa. Ibu juga sampai kaget. Gak nyangka.” Kudengar Ibu menjawab disertai kekehan. Duh senang rasanya mendengar nada bicara Ibu yang riang dan ringan. Hidupnya kini tampak lebih menyenangkan. “Tulus gak tuh minta maafnya? Tumben?” tanyaku lagi. Jujurly, aku tak percaya. Kok semudah itu mereka meminta maaf. Apakah insiden kemarin benar-benar membuatnya tobat? Aku memiringkan kepala untuk menjepit ponsel yang kuletakkan di antara bahu dan telinga. Sementara itu, satu tanganku sibuk mengaduk mie instan. Rasanya aku sudah tak tahan lagi mencium wangi yang menguar ini. Mumpung Bang Zayd gak ada. Akhir-akhir ini, aku berasa di penjara. Bang Zayd protektif banget. Mau ini, gak boleh, itu gak boleh. Padahal dokter juga bilang kalau sesekali gak apa-apa. “Semoga saja tulus, Fa. Alhamdulilah kalau mereka sudah sadar. Mungkin kejadian kemarin yang membu
Merina duduk tepekur di ruang tengah. Sudah dua hari berlalu dari kejadian memalukan di hotel itu, Merina sama sekali tak mau keluar. Dia terus-terusan mengurung diri di dalam rumah. Mentalnya tak kuat menghadapi ocehan dan cemoohan para tetangga.“Gak nyangka, ya! Ayahnya dokter, tapi anaknya mau-maunya jadi pelakor! Untung gagal nikah, ya!” “Iya, kasihan sekali istri pertamanya. Kemarin katanya pas datang ke acara itu lagi hamil besar, ya? Saya gak dateng kemarin soalnya.” “Iya Mbak e. Ya ampuun. Kita saja kaget dan shock. Apalagi pas tahu, itu duit yang dipake buat pesta, ternyata duit mertuanya si cowok!”“Masa, sih, Mbak? Gila, ya! Bener-bener itu janda bodong. Gak punya hati banget. Pasti dia goda habis-habisan itu cowok biar nempel! Gak nyangka, ya! Si Merina itu padahal anak dokter, ya!”Kalimat-kalimat cemoohan. Baik yang tak sengaja dia dengar, maupun tanpa sengaja dibacanya dari status WA dan sosial media, benar-benar merusak mood Merina. Semua menyalahkannya. Semua menyu
“Kami datang, sekalian mau sebar undangan, besan!” Mama Renita berbasa-basi pada Mami Ayu. “Oh, ya? Selamat kalau begitu! Kapan acaranya?” Mami Ayu menatap Mama Renita dengan penuh senyuman. “Semingguan lagi dari hari ini. Besan wajib dateng, ya. Kami merayakannya lebih mewah dari pada yang dulu-dulu.”“Inysa Allah.” Aku hanya mendengarkan obrolan Mama Renita dengan Mami Ayu. Tetiba saja Mama Renita bilang besan, padahal kan yang besanan sama Mami Ayu, cuma Ibu. Kenapa pula dia ikutan ngaku-ngaku. Dia pun sama sekali tak menyapa Ibu, malah sibuk terus dengan Mami Ayu dan keluarganya. Ibu datang menyambut hanya bersalaman saja. Dia terus ngajak ngobrol lagi dengan Mami Ayu dan mengabaikan Ibu, aneh.“Alhamdulilah, calon suaminya sekarang itu dokter. Memang kalau keluarga dokter, coocknya sama dokter,” tukas Mama Renita sambil tertawa sumbang. Kulihat Mami Ayu merangkulnya penuh rasa persahabatan lalu mengajak Mami Renita menjauh. Ah, sayang … padahal aku tengah turut serta mendengar
“Aish, gak akan bisa! We!” Aku makin senang menggodanya. Namun, aku yang lengah menubruk tubuh orang lain sehingga akhirnya Bang Zayd yang menang. Tanpa kusangka dia membopongku dan langsung membawa lari menuju cottage. “Siap-siap, Sayang!” bisik Bang Zayd yang membuat aku merinding. Suaranya berebutan dengan desau angin. Senyum pada bibirku mengembang bersama wajah yang terasa memanas. Mungkin sudah merona merah ketika langkah demi langkah akhirnya membawa kami ke cottage. Derit pijakkan lantai kayu terdengar. Bang Zayd membuka pintu dengan sikunya, lalu menjatuhkan tubuh kami sama-sama ke pembaringan. “Masih mau lari?” bisiknya. Sangat dekat sehingga degup jantungku berpacu sangat-sangat cepat. Meskipun bukan pertama kali, tapi berdekatan dengannya selalu seperti ini.*** “Ehm, Asyfa?!”Tangan Bang Zayd menguyel-uyel ujung hidungku, membuat bayangan romantis yang sedang kukenang berhamburan. “Ish, Abang!” Aku mendelik ke arahnya, sebal. Bisa-bisanya dia memanggilku di saat aku s
Sebuah surat undangan kudapatkan. Arlia, gadis yang pernah membuatku cemburu pada Bang Zayd itu, ternyata berjodoh dengan Bang Irfan. Aku menggeleng sambil tersenyum sendirian menatap sepasang nama mempelai pada kartu undangan. Arlia dan Irfan. “Kenapa senyum-senyum sendiri, hmm?” “Eh, Abang. Ini … hanya pernah ingat dulu.” Aku menyimpan surat undang yang Bang Zayd bawa. Dia tak menyahut dan berlalu begitu saja, meninggalkanku dari sofa bed yang ada di ruang keluarga dan ngeloyor ke kamar. “Eh, kok kayak gak suka, ya?” Aku mengedik saja, lalu merebahkan tubuh. Syukurlah Bang Zayd ke kamar, jadinya aku bisa bebas tiduran. Tontonan yang tadi dia pindahkan pun, aku kembalikan pada tayangan semula, acara kartun yang sesekali membuatku tertawa. Cukup lama, Bang Zayd tidak kembali. Perlahan aku menguap karena rasa nyaman ini. Lalu tiba-tiba aku berada di suatu tempat yang indah. Aku sedang berada di sebuah kapal pesiar dan menikmati hembusan angin pantai ketika tiba-tiba ada seorang l
“Apa? Zayd mau menikahi Karina?” Kali ini Mami Ayu yang terkejut. “Kalau gak salah dengar sih, iya, Mami. Syfa ke sini mau minta pendapat Mami. Baiknya kami gimana?” Mami Ayu tak menjawab pendapat Asyfa, tapi dia langsung menoleh pada Ainina sambil bicara, “Ai, telepon Abang kamu sekarang! Panggil ke sini! Biar semua masalah bisa jelas ujung pangkalnya!” Ainina sigap mengambil ponsel lalu menelpon Zayd. Sementara itu, Tante Harum dan Azriel berpamitan. “Jangan lupa, ya, datang nanti ke pernikahan Arlia, Syfa!” Tante Harum menepuk pundak Asyfa. Dia dan Azriel sudah berdiri untuk berpamitan. “Inysa Allah, Tante!” Asyfa tersenyum dan mengangguk sopan. Dia bukan tipe pendendam. Yang dulu-dulu dan sudah berlalu, ya, sudahlah. “Semoga segera dapat momongan, ya! Doakan juga Arlia agar bisa memiliki keturunan,” tukasnya dengan senyuman getir. Tiba-tiba ada perasaan aneh di hati Asyfa. Entah kenapa, dia merasa bersalah karena dulu tak berempati ketika mendengar jika Arlia akan sulit men
Pov 3Asyfa menatap kartu debit yang dipegangnya. Reza melarangnya membayar. Lelaki itu sudah beranjak setengah jam yang lalu, tapi dirinya masih duduk termenung di saung lesehan itu. Entah kenapa, tiba-tiba Asyfa merasa malas untuk beranjak. Dunianya terasa asing, sunyi dan senyap. Rasa takut sendirian kembali datang. Memori waktu kecil terasingkan berlarian. Gegas dia beranjak pulang. Rupanya di rumah sudah ada Ainina dan Caca yang menunggunya. Kedua gadis itu tampak sumringah ketika kakak iparnya datang. “Mbak habis dari mana, si?” oceh Ainina sambil memeluk Asyfa singkat. Begitupun dengan Caca. “Habis dari rumah Ibu.” Asyfa menjawab datar lalu mengajak dua adik iparnya masuk. “Bang Zayd panik tahu, Mbak. Dia telepon Ibu, katanya Mbak Syfa sudah pulang, telepon si BIbi, belum sampe. Kamilah jadi diutus kemari.”Aku terkekeh, lalu menyuguhkan minuman dari lemari es untuk dua adik iparku, lalu duduk pada sofa dan mengambil satu biji softdrink. “Tumbenan juga sekhawatir itu.” Aku
Pov 3Reza sedikit panik ketika mendengar kabar kecelakaan itu. Kemarin malam tepatnya, tapi dia sedang di Jakarta, masih ada pemotretan. Akhirnya baru pagi tadi dia sempat menjenguk gadis kecil di ruang ICU itu. Ketika dia berkunjung tadi, tampak kondisi gadis kecil itu sudah membaik. Reza pun tak lama di sana, dia gegas beranjak pergi lagi. Reza belum bisa show up tentang hubungan yang sudah dirancang oleh dua keluarga besarnya dengan perempuan pilihan Mama Pinah itu sekarang. Bagiamanapun, Reza belum resmi bercerai. Dia masih menjadi suami sah dari Merina. Pikiran Reza yang semrawut karena perseteruan Merina dan mamanya yang terjadi hampir di setiap detik, membuatnya enggan pulang. Apalagi ketika tiba di rumah, yang ada hanya rumah semrawut, dan pakaian kotor berserakan. Reza yang lelah butuh ketenangan. Dia pun akhirnya mampir dulu ke sebuah rumah makan. Letaknya yang strategis membuat rumah makan tersebut selalu ramai. Namun, ketika Reza hendak mencari tempat duduk ketika tiba-