Lalu tak banyak percakapan lagi. Mobil melaju membawaku ke rumah yang akan segera aku tempati. Selamat datang kehidupan baru … semoga semua akan lebih baik dari pada hari-hari yang lalu. Tiba di sana, aku bergegas turun. Kuberlari kecil menuju kolam di mana ikan-ikan yang dulu kuajak berteman berada. “Hay, Ikan … kalian sehat? Teman kalian datang! Aku, Kamu, teman!” Aku berjongkok di tepi kolam sambil bicara pada ikan-ikan.Ada yang jawab? Enggak. Hanya kecipak air dan beriak yang tampak. “Siang nanti aku kembali, ya! Mau beres-beres rumah dulu kalau gak berubah pikiran, bye! Muaach!” Aku meniupkan c*uman yang kutempel pada telapak tangan ke arah mereka. Lalu berlari kecil mendekat ke arah si Bibi yang tampak membantu membawa sisa barang yang ada di bagasi. “Bi, saya saja!” Aku merebut tentengan tas kain dari tangan perempuan paruh baya itu. Koper dan ransel sudah lenyap, dibawa Bang Zayd masuk sejak tadi.“Bibi saja, Non.” Aku menghentikkan gerakan tanganku, lalu menepuk bahu si
[Makasih, Abang.] Sebuah caption dia tulis diiringi emoticon penuh senyuman yang manis. Glek. Ada yang sesak terasa. Meski foto candid yang diambilnya tak menampilkan wajah. Aku kenal betul, siapa lelaki yang ada dalam foto bersamanya. Baju itu, adalah baju yang sama dengan yang pagi tadi dia kenakan. Aku hapal betul. Tak salah lagi. Dia Bang Zayd yang izin pulang telat karena ada urusan mendadak. Jadi, inikah yang disebut urusan mendesak itu? Menjenguk perempuan yang jelas-jelas naksir dia di rumah sakit tanpa aku? Lekas aku memijit tombol panggil, tapi yang terdengar adalah mesin penjawab ketika ponsel sedang sibuk. Kucoba lagi, masih juga sibuk. “Mohon maaf, nomor yang Anda hubungi sedang berkunjung ke tempat mantan!” Aku menirukan gaya bicara operator seluler sambil mencebik. Lalu kuketik pesan. Aku tak rela Bang Zayd di sana berlama-lama. Dia harus segera pulang. [Abang aku sakit.] Satu kalimat pendek kukirimkan. Namun, sepertinya dia masih sibuk menelpon. Belum terbalas.
Napasnya mulai memburu seiring dengan sama-sama ambruknya tubuh kami ke pembaringan. Lalu, perlahan udara kamar yang sejuk terasa gerah. Keringat membasahi tubuh kami bersama dengan sensasi yang membuatku seperti tak menapak pada bumi. Beberapa kali air mata ini tumpah ketika haknya dia ambil. Kini aku sudah sepenuhnya menjadi seorang istri. “I Love you, Asyfa!”Kalimat itu terdengar lembut diucapkan sepenuh hati. Sepasang bola beningnya menatap dalam. Aku tercekat. Itulah kalimat teristimewa yang baru pertama kali kudengar dari mulutnya. “Hmmm … boleh gak aku jawabnya entar?” tanyaku padanya. “Kenapa?” tanyanya seraya membaringkan tubuh pada bantalku. Lalu menarik selimut menutupi tubuh kami. “Aku mau tanya dulu sama Abang, semalam kok pulang telat?” Aku bicara tanpa menatap wajahnya. Kubiarkan tangan kekar itu melingkar dan menarikku ke dalam dekapannya. Namun, pertanyaanku tetap harus dia jawab. “Oh, tadi Tante Harum nelepon. Arlia mendadak pingsan. Minta tolong nganter ke rum
Sepanjang jalan pulang, pikiranku banyak terganggu pada apa yang Tante Harum tadi sampaikan. Jadinya aku lebih banyak diam. Jujur, wajah sedih itu mengingatkanku pada Ibu. Semua yang dia ucapkan sudah benar-benar mempengaruhi moodku. Hanya saja, sayangnya, aku bukan Dewi yang mau mengorbankan kebahagiaan sendiri demi orang lain. “Jadi ke rumah Ibu?” Suara Bang Zayd membuatku yang tengah sibuk dengan pikiran sendiri menoleh ke arahnya. “Hmmm … jadi gak, ya?” Ragu, tapi rindu. “Kalau kangen, ya ke sana saja.” “Abang gak kerja?” “Kerja, tapi gak ada yang urgent. Nanti bisa check berkala dari laptop. Lagian Pak Hakim juga di rumah ‘kan? Bisa sambil gangguin yang cuti nanti.” “Oh, ya sudah. Ke sana bentar.” Bete, jadinya sepanjang jalan tak banyak bicara. Sesekali mengusap gawai dan mengintip akun sosial media Arlia. Namun, sejauh ini tak terlihat ada apapun keluhan yang dia umbar. Postingan terakhirnya masih yang kemarin, yang ada punggung Bang Zaydnya. Apakah dia gak khawatir pad
Tiba-tiba saja terlintas lagi wajah Tante Harum yang membuat moodku menjadi rusak lagi seketika. Sepertinya, aku harus membicarakan pada Bang Zayd apa yang Tante Harum tadi katakan. Setidaknya, aku bisa memutuskan untuk yakin atau tak, tergantung apa tanggapan yang Bang Zayd berikan. Jangan sampai … Tante Harum bicara sendiri pada Bang Zayd, lalu memintanya menikahi Arlia diam-diam. Bang Zayd pastinya tak tega, terus ikut-ikutan bermain sandiwara. Ini akan jauh lebih menyakitkan. Aku mending sendiri dari pada harus berbagi, meskipun kata orang yang ahli agama itu adalah halal. Terbukti, perbuatan Bapak yang tak bisa adil ketika mendua, hanya menumbuhkan luka yang bertebaran di mana-mana. “Hmmm … Bang, aku mau bicara … bisa?”“Bicara apa?” “Itu, tentang Arlia.” “Arlia?” Dia menautkan alisnya dan menatapku lekat, “Bicaralah,” tukasnya.Baru hendak membuka suara untuk bercerita, tiba-tiba Ibu muncul dan membawakan nasi dan lauk pauknya.“Kita makan dulu ya, Zayd. Mas Hakim tadi telep
POV 3Zayd mengemudikan mobil sambil tersenyum-senyum sendiri. Sorot kesal Asyfa ketika berbicara tentang Arlia membuat hatinya menghangat. Meskipun Asyfa tak pernah mengakui jika dia cemburu, tapi … Zayd bisa melihat rasa kesal itu membeludak. Hatinya senang dicemburui seperti itu. Ruangan kantor kini mengambil alih fokus Zayd. Hari yang dilalui pasca pernikahan, rupanya lebih berwarna. Kini ada rindu yang terukir. Ada rasa ingin pulang dan melihat sang bidadari. Sebelum jam kantor usai, Zayd sudah keluar. Dia mengirimi pesan pada Arlia dan menanyakan apakah masih dirawat atau tidak. Pesan balasan didapatkannya dengan cepat. Arlia tersenyum sambil menatap layar gawai. Didekapnya ponsel yang barusan diusap layarnya itu dengan senyuman.“Siapa?” Harum---Ibunda Arlia bertanya. “Bang Zayd, Bu.” Arlia menoleh dengan senyum sumringah yang tak bisa disembunyikannya. “Mau ke sini?” Harum memastikan.“Iya, Bu.” Arlia mengangguk dengan wajah berseri-seri. Ada perasaan sedih bercampur iba
Pov Zayd“Ini buku harian, Arlia. Tante tak sengaja membaca halaman terakhir sebelum dia dilarikan ke rumah sakit. Bacalah …. kamu akan paham seperti apa selama ini perasaannya!” Aku baru saja menerima buku tersebut dari tangan Tante Harum. Namun, tiba-tiba Arlia datang dan merebutnya.“Ibu salah. Laki-laki dalam buku itu bukan Bang Zayd.” Arlia bicara dengan suara bergetar.“Ibu salah … aku tak mencintai Bang Zayd. Aku hanya menganggapnya sebagai Kakak.” Dia menegaskan sekali lagi. Lalu, dia memutar tubuhnya dan berjalan merayap meninggalkanku dan Tante Harum. Perempuan yang duduk di sampingku itu membuang napas kasar.“Begitulah dia, Zayd. Dia tak ingin siapapun tahu yang sebenarnya. Dia takut kamu menjauh kalau sudah tahu semuanya. Menurutmu apa Tante salah bicara seperti itu pada Asyfa? Ibu mana yang tak teriris hatinya melihat putri yang disayanginya memendam luka. Tante hanya ingin melihat dia bisa bahagia di tengah rundungan masalah yang mungkin akan berakibat pada masa depan
Sejak tadi, aku duduk gelisah melihat jam. Perasaan lama sekali Bang Zayd belum pulang-pulang. Parah, sebucin ini aku ternyata. Kok bisa? Entahlah. Padahal aku bukan tipe seperti ini sebelumnya. Akhirnya dia pun datang. Aku memburunya dengan pertanyaan. Namun, jawabannya tampak dibuat bercanda. Jujur, kesal. Hanya saja melihat wajahnya yang menyenangkan dan menenangkan, aku tak bisa marah. Akhirnya kutarik kemejanya dari belakang. “Abang, aku serius!”pekikku dengan nada agak tinggi. Dia menghentikkan langkah, lalu memutar tubuh ke arahku. Kini, posisi kami saling berhadapan. “Jawab dulu pertanyaan saya.” Dia menaikkan satu alisnya ke atas. “Emang mau nanya apa?” “Waktu itu, ada hal yang belum kamu jawab. Saya masih menunggunya sampai sekarang.”Pertanyaan yang belum aku jawab? Apa, ya? Aku berpikir sejenak. Hingga akhirnya aku ingat ketika aku masih kesal dan tak mau menjawab pernyataan cintanya kala itu. Lalu bola matanya memutar ke atas dan bibirnya mencebik beberapa senti sa