Pov Nur - Ibunda Asyfa“Duh, Zayd … maaf sampe kamu harus buatin sendiri kopi buat tamu.” Cukup merasa bersalah, ketika pulang dari rumah Mas Restu, rupanya di rumah ada tamu. Mas Hakim yang datang. Entah kenapa, aku merasa, akhir-akhir ini Zayd cukup sering mengundang Mas Hakim ke rumah. Mungkin karena urusan pekerjaan. “Oh, bukan tamu kok, Nur. Anggap saja keluarga sendiri,” tukas lelaki yang sebagian rambutnya sudah memutih itu. Namun, memang paras rupawannya, tak berkurang karena rambut putihnya, malah terlihat lebih bijak pada penampilannya. Candaan Pak Hakim, rupanya ditimpali Asyfa. “Alhamdulilah, kalau begitu jangan sungkan kalau mau anggap saya anak sendiri, Pak!” tukas Asyfa sambil melirik ke arahku. Aku mendelik padanya, tapi dasar Asyfa, dia malah mengdipkan mata, menggodaku. Setelah itu dia masuk dan menutup pintu. Aku hanya menggeleng melihat kelakuannya. Asyfa ini sedikit berbeda. Kebanyakan anak, biasanya tak mau orang tuanya menikah lagi. Namun dia sangat mengingi
“Kita beli pakaian batik untuk acara resmi nanti.” Dia bicara sambil menyetir.“Acara apa, Bang?” tanyaku heran. “Pokoknya acaranya kejutan. Kamu pasti suka dan ini adalah hal yang paling kamu inginkan.” Aku menatap rahang tegas yang menawan itu dari samping. Wajahnya yang fokus pada jalanan, tangannya sibuk dengan kemudi membuat dia tak sadar kalau rasa kagum ini kian berlapis tumbuh dalam hati. Bibir ini tak terasa tertarik sendiri mengukir senyuman. Namun aku tersentak ketika tiba-tiba dia mengerem mendadak. “K--Kenapa, Bang?” tanyaku gugup karena dia menoleh padaku. Duh, ketahuan lagi nyuri pandang dari tadi. “Apanya yang kenapa?” Dia malah menautkan alis. “Kok berhenti?” tanyaku lagi. “Tuh!” tukasnya seraya mengangkat satu alisnya ke atas. Sudut matanya mengarahkan ke arah depan.“Lampu?” Aku mengernyit sebentar sebelum akhirnya otakku jalan. Astaghfirulloh, malunya aku. Rupanya saking asyik lihatin wajah Bangsu yang tampan menawan. Aku sampai gak memperhatikan lampu lalu
“Gimana kejutannya, berkesan?” Suara bariton yang kuhapal betul milik siapa membuatku menoleh. Bang Zayd sudah memakai baju batik yang tempo hari kami beli. “Abang sudah tahu?” Aku menatapnya yang tersenyum dan tampak segar.“Saya yang menyarankan Pak Hakim agar melamar Ibu, bukanlah itu keinginanmu? Pak Hakim rupanya sudah ada niatan, tapi dia segan karena Ibu, mertua saya.” “Abang kok gak bilang-bilang, sih? Ibu juga?” Aku mendelik pada Ibu yang sudah tampak anggun dengan gamisnya. Bang Zayd tampak gagah dengan batiknya. Aku masih berantakan dan mengenakan kaos partai. “Zayd ngelarang Ibu bilang, Fa. Sudahlah, cepetan ganti baju. Apa gak malu, diluar sudah banyak tamu.” “Lagian salah sendiri, mau ada acara sebesar ini, pake acara diem-diem segala. Biar saja, Syfa kek gini saja!” tukasku sambil memperhatikan pakaianku dari atas ke bawah. Hari ini aku sedang pakai kaos partai berwarna putih lengan panjang, bagus sih bahannya adem, karena itu kupakai untuk menyirami tanaman. Hanya
Lalu tak banyak percakapan lagi. Mobil melaju membawaku ke rumah yang akan segera aku tempati. Selamat datang kehidupan baru … semoga semua akan lebih baik dari pada hari-hari yang lalu. Tiba di sana, aku bergegas turun. Kuberlari kecil menuju kolam di mana ikan-ikan yang dulu kuajak berteman berada. “Hay, Ikan … kalian sehat? Teman kalian datang! Aku, Kamu, teman!” Aku berjongkok di tepi kolam sambil bicara pada ikan-ikan.Ada yang jawab? Enggak. Hanya kecipak air dan beriak yang tampak. “Siang nanti aku kembali, ya! Mau beres-beres rumah dulu kalau gak berubah pikiran, bye! Muaach!” Aku meniupkan c*uman yang kutempel pada telapak tangan ke arah mereka. Lalu berlari kecil mendekat ke arah si Bibi yang tampak membantu membawa sisa barang yang ada di bagasi. “Bi, saya saja!” Aku merebut tentengan tas kain dari tangan perempuan paruh baya itu. Koper dan ransel sudah lenyap, dibawa Bang Zayd masuk sejak tadi.“Bibi saja, Non.” Aku menghentikkan gerakan tanganku, lalu menepuk bahu si
[Makasih, Abang.] Sebuah caption dia tulis diiringi emoticon penuh senyuman yang manis. Glek. Ada yang sesak terasa. Meski foto candid yang diambilnya tak menampilkan wajah. Aku kenal betul, siapa lelaki yang ada dalam foto bersamanya. Baju itu, adalah baju yang sama dengan yang pagi tadi dia kenakan. Aku hapal betul. Tak salah lagi. Dia Bang Zayd yang izin pulang telat karena ada urusan mendadak. Jadi, inikah yang disebut urusan mendesak itu? Menjenguk perempuan yang jelas-jelas naksir dia di rumah sakit tanpa aku? Lekas aku memijit tombol panggil, tapi yang terdengar adalah mesin penjawab ketika ponsel sedang sibuk. Kucoba lagi, masih juga sibuk. “Mohon maaf, nomor yang Anda hubungi sedang berkunjung ke tempat mantan!” Aku menirukan gaya bicara operator seluler sambil mencebik. Lalu kuketik pesan. Aku tak rela Bang Zayd di sana berlama-lama. Dia harus segera pulang. [Abang aku sakit.] Satu kalimat pendek kukirimkan. Namun, sepertinya dia masih sibuk menelpon. Belum terbalas.
Napasnya mulai memburu seiring dengan sama-sama ambruknya tubuh kami ke pembaringan. Lalu, perlahan udara kamar yang sejuk terasa gerah. Keringat membasahi tubuh kami bersama dengan sensasi yang membuatku seperti tak menapak pada bumi. Beberapa kali air mata ini tumpah ketika haknya dia ambil. Kini aku sudah sepenuhnya menjadi seorang istri. “I Love you, Asyfa!”Kalimat itu terdengar lembut diucapkan sepenuh hati. Sepasang bola beningnya menatap dalam. Aku tercekat. Itulah kalimat teristimewa yang baru pertama kali kudengar dari mulutnya. “Hmmm … boleh gak aku jawabnya entar?” tanyaku padanya. “Kenapa?” tanyanya seraya membaringkan tubuh pada bantalku. Lalu menarik selimut menutupi tubuh kami. “Aku mau tanya dulu sama Abang, semalam kok pulang telat?” Aku bicara tanpa menatap wajahnya. Kubiarkan tangan kekar itu melingkar dan menarikku ke dalam dekapannya. Namun, pertanyaanku tetap harus dia jawab. “Oh, tadi Tante Harum nelepon. Arlia mendadak pingsan. Minta tolong nganter ke rum
Sepanjang jalan pulang, pikiranku banyak terganggu pada apa yang Tante Harum tadi sampaikan. Jadinya aku lebih banyak diam. Jujur, wajah sedih itu mengingatkanku pada Ibu. Semua yang dia ucapkan sudah benar-benar mempengaruhi moodku. Hanya saja, sayangnya, aku bukan Dewi yang mau mengorbankan kebahagiaan sendiri demi orang lain. “Jadi ke rumah Ibu?” Suara Bang Zayd membuatku yang tengah sibuk dengan pikiran sendiri menoleh ke arahnya. “Hmmm … jadi gak, ya?” Ragu, tapi rindu. “Kalau kangen, ya ke sana saja.” “Abang gak kerja?” “Kerja, tapi gak ada yang urgent. Nanti bisa check berkala dari laptop. Lagian Pak Hakim juga di rumah ‘kan? Bisa sambil gangguin yang cuti nanti.” “Oh, ya sudah. Ke sana bentar.” Bete, jadinya sepanjang jalan tak banyak bicara. Sesekali mengusap gawai dan mengintip akun sosial media Arlia. Namun, sejauh ini tak terlihat ada apapun keluhan yang dia umbar. Postingan terakhirnya masih yang kemarin, yang ada punggung Bang Zaydnya. Apakah dia gak khawatir pad
Tiba-tiba saja terlintas lagi wajah Tante Harum yang membuat moodku menjadi rusak lagi seketika. Sepertinya, aku harus membicarakan pada Bang Zayd apa yang Tante Harum tadi katakan. Setidaknya, aku bisa memutuskan untuk yakin atau tak, tergantung apa tanggapan yang Bang Zayd berikan. Jangan sampai … Tante Harum bicara sendiri pada Bang Zayd, lalu memintanya menikahi Arlia diam-diam. Bang Zayd pastinya tak tega, terus ikut-ikutan bermain sandiwara. Ini akan jauh lebih menyakitkan. Aku mending sendiri dari pada harus berbagi, meskipun kata orang yang ahli agama itu adalah halal. Terbukti, perbuatan Bapak yang tak bisa adil ketika mendua, hanya menumbuhkan luka yang bertebaran di mana-mana. “Hmmm … Bang, aku mau bicara … bisa?”“Bicara apa?” “Itu, tentang Arlia.” “Arlia?” Dia menautkan alisnya dan menatapku lekat, “Bicaralah,” tukasnya.Baru hendak membuka suara untuk bercerita, tiba-tiba Ibu muncul dan membawakan nasi dan lauk pauknya.“Kita makan dulu ya, Zayd. Mas Hakim tadi telep