“Wilona, inilah Istana Kerajaan Strong. Aku hanya bisa mengantarkanmu sampai di sini, karena orang yang tidak berkepentingan tidak bisa masuk ke dalamnya. Jaga dirimu baik-baik Wilona. Suatu saat datanglah ke rumah kami lagi!” Lalu Fredy menghentakkan cemeti kudanya, lalu kuda itu pun berlari membawa kereta yang ditumpanginya itu dan meninggalkan Putri Kimberley sendirian.
Putri Kimberley lalu memberanikan diri melangkah menuju pintu gerbang istana itu.
“Nona, ada kepentingan apa kau datang ke istana ini?” Seorang pengawal kerajaan yang sedang berjaga di pintu itu mendekati Putri Kimberley.
“A-a-a-aku ingin mengikuti tes untuk menjadi seorang perawat kuda Pangeran Alden. Apa aku bisa masuk?” Putri Kimberley menunduk tak berani menatap wajah pengawal itu.
“Apa kau yakin? Semua yang mengikuti tes tadi adalah lelaki. Tak ada satu orang pun yang wanita.” Pengawal itu menatap heran pada wajah cantik Putri Kimberley.
“Yakin!” jawab gadis itu cepat.
“Biarkan dia masuk, Hugo! Beri juga dia kesempatan. Karena belum ada satu peserta pun yang berhasil lolos dalam tes itu, mereka semua tidak sesuai dengan kriteria Pangeran Alden. Ayo masuklah kau nona cantik! Biar aku antarkan kau. Sebentar lagi peserta terakhir selesai mengikuti tes nya.” Seorang pengawal mendekat pada Putri Kimberley, dan membawa gadis itu masuk ke dalam gerbang istana.
“Itu tempatnya! Mudah-mudahan kau berhasil. Kalau kau berhasil mendapatkan pekerjaan itu, jangan lupa kau berikan aku sedikit koin emasnya.” Pengawal itu menatap Wilona sambil tersenyum.
“Tentu! Tapi siapa namamu?” tanya Putri Kimberley dengan ramah.
“Haven, dan kau ...?”
“Aku, Wilona.” Putri Kimberley terus berjalan mengikuti langkah Haven menuju ke samping istana.
“Maaf, Tuan Chaiden, apa masih ada kesempatan lagi?” Haven mendekat pada salah seorang panitia yang ditugaskan untuk menyeleksi para peserta test.
“Masih, untuk satu orang lagi! Bawa dia kesini!” perintahnya dengan suara keras.
“Tapi, ini dia orangnya, Tuan Chaiden!” Haven menunjuk Putri Kimberley yang berdiri tepat di sampingnya.
“Ha ... ha ... ha ... ini katamu?” Chaiden terus tertawa sambil memegangi perutnya.
Haven memandang wajah Putri Kimberley yang terlihat malu.
“Suruh dia kembali ke rumahnya. Aku takut nanti dia menangis saat aku minta dia membersihkan kotoran kuda yang banyak menumpuk di dalam kandang itu!”
“Tapi Tuan …?!"
Chaiden langsung pergi meninggalkan keduanya. Putri Kimberley pun berlari kecil mengikuti langkahnya.
“Tuan Chaiden, tolong beri kesempatan ...” teriak Haven.
“Pria sombong, berhentilah dan dengarkan dia!” teriak Haven lagi, hingga membuat Chaiden lelaki yang sombong itu menghentikan langkahnya.
Chaiden berbalik badan dan menatap Haven yang mengejar dirinya bersama Putri Kimberley.
“Haven, kau tak perlu mengaturku. Di sini kau hanya pengawal kerajaan yang tak terlalu diandalkan. Tapi, karena aku kasihan, aku akan beri kesempatan pada gadis kumal ini.” Haven mencibirkan bibirnya kepada keduanya.
“Ayo, tunjukkan kemampuanmu. Ikut aku sekarang. Tapi kalau kau gagal cepat-cepatlah menyingkir dari tempat ini. Dan jangan berani menunjukkan batang hidungmu lagi!” Chaiden mengibaskan tangannya kasar ke udara.
Lalu ia berjalan menuju kandang kuda yang tak terlalu jauh dari tempat itu.
Putri Kimberley ragu saat hendak mengikuti langkah lelaki bertubuh tinggi besar itu, ia menatap Haven. Haven tersenyum tipis dan mengangguk kecil.
“Ikutlah dengannya, Wilona! Mulutmu diam saja saat mulut besarnya itu memaki atau memarahimu. Sekarang aku pergi dulu!" Haven pun meninggalkan Putri Kimberley sendiri.
“Hai, gadis kumal, apa lagi yang kau pikirkan?!” Mulut besar Chaiden mulai lagi dengan kata-kata sampahnya itu.
“Baik, Tuan Chaiden!” Dengan kepayahan Putri Kimberley menyeret langkah kakinya dengan sepatu kebesaran milik ibunya.
Saat sampai di depan kandang kuda itu, Chaiden menatap Putri Kimberley yang masih berjalan menghampirinya.
“Apa yang bisa dilakukannya di sini?” pikir Chaiden sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Chaiden mulai berubah pikiran, saat dilihatnya jemari lentik putri Kimberley yang sangat indah dengan kukunya yang panjang dan terawat bersih itu membuatnya menjadi ragu.
Chaiden terus saja memperhatikan gadis itu.
"Apa mungkin gadis secantik dia bisa merawat kedua kuda kesayangan milik Sang Pangeran?" Chaiden menggaruk-garukkan kepalanya yang tidak terasa gatal.
"Apakah aku bisa menjadi perawat kuda Pangeran Alden?" Mata indah itu kian membesar.
"Sabar dulu …" jawab Chaiden sambil mendengus. Lalu kembali berucap. “Siapa namamu gadis kumal?” “Wilona, Tuan!” “Wah, namamu indah sekali! Seindah paras wajahmu!” Wilona menatap tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Ternyata lelaki bermulut besar itu bisa juga memuji dirinya. “Terima Kasih, Tuan!” “Wilona coba kau masuk ke kandang! Bawa Ruby dan Daren keluar. Buat mereka tidak ketakutan saat kau menyentuhnya!” Kali ini tanpa ragu Putri Kimberley langsung masuk ke kandang kuda itu. Kemudian dengan penuh kasih sayang ia mengelus-elus tubuh kedua kuda itu bergantian. Ruby dan Daren langsung menggesek-gesekkan kepala mereka ke pipi Putri Kimberley yang putih mulus. Putri Kimberley bukannya jijik, ia malah tertawa hangat sambil terus mengelus-elus tubuh kedua kuda itu. Lalu perlahan-la
"Ayo, kita segera pergi dari tempat ini, Tuan Putri!" Tangan kekar Gavin mengajak perempuan yang sedang dikuasai oleh amarah itu untuk segera keluar dari Istana Kerajaan Strong. “Sial, bukankah gadis itu terlalu cantik untuk menjadi seorang perawat kuda Pangeran Alden, Gavin?” Putri Juliette memukul-mukul pahanya. Gavin dengan hidung tomat dan pipi bulatnya hanya menggeleng. Di dalam kereta kudanya ia terus memaki-maki Putri Kimberley. Di matanya Putri Kimberley terlalu cantik, meski Putri Kimberley telah menyembunyikan kecantikannya di balik gaun lusuh dan sepatu kebesaran milik ibunya. “Aku takut kekasihku tertarik dan jatuh cinta padanya. Aku tak bisa membiarkan ini! Gavin, ayo kencangkan lari kudamu! Aku ingin lebih cepat bisa sampai di istanaku!” “Baik, Putri Juliette yang cantik!" Lalu Gavin hentakkan cemeti kudanya dengan sangat keras sekali.
"Maaf, Permaisuri Zelena, apakah kau memanggilku?" Emilly menunduk dengan penuh rasa hormat. "Emilly, aku tidak memanggilmu. Atau jangan-jangan kau sedang mencuri dengar percakapan kami?!" Zelena membesarkan matanya, ia takut kalau pembicaraannya dengan sang putri didengarnya. Zelena tahu di dalam istana Kerajaan White Tiger banyak sekali dinding-dinding yang bisa mendengar pembicaraannya. Zelena tak ingin ada penyusup dalam istana ini yang bisa membuat dirinya dan putrinya, Juliette tersingkir dari dalam istana. "Tidak, Permaisuri. Saya hanya mendengar nama saya tadi di panggil dari arah kamar ini." Wajah gadis itu terlihat tegang seperti sedang menahan ketakutannya. Justru itu membuat Zelena dan Putri Juliette semakin heran. "Ibu, aku curiga dengan dia! Aku yakin dia sedang memata-matai kita," ujar Putri Juliette sambil berkeliling di tempat Emilly berdiri. &nbs
Sambil menunggu Emilly kembali dari kamarnya, Daroll dan Jose saling berpandangan. "Ini Paman, syaratnya!" Tak perlu menunggu lama, akhirnya gadis itu keluar sambil membawa sesuatu di tangannya. "Apa itu? Itu kan hanya sebuah boneka?" Keduanya semakin dibuat heran dengan tingkah lucu Emilly. "Yah, ini hanya sebuah boneka bagi kalian. Tapi, teman bagiku!" Emilly memeluk tubuh boneka kecilnya itu dengan sangat erat. Boneka berbentuk gadis kecil dengan rambut yang dikepang dua itu, memang terlihat lucu dan menggemaskan sekali. "Lalu?" Jose mendekat pada Emilly dan menyentuh boneka itu. "Aku ingin membawanya juga ke istana. Itu kalau boleh, tapi sebaliknya kalau tidak boleh, maka aku terpaksa tidak bisa menerima tawaran kalian untuk menjadi mata-mata Permaisuri Zelena dan Putri Juliette." Bibir tipis Emilly tampak maju sedikit. Membuat wajahnya kian lucu saja
"Paman Jose, Paman Daroll, kalian dipanggil oleh Sang Raja untuk menghadapi di dalam istana," suara teriakan itu tentu saja membuat Daroll tidak bisa meneruskan kalimatnya, padahal Jose sudah menunggu dan merasa sangat penasaran sekali dengan kelanjutan kalimat sahabatnya itu. "Ada apa Raja memanggil kami, Robin?" tanya Jose sambil menyipitkan sedikit kelopak matanya. Dan ia juga memandang wajah Daroll. Daroll mengangkat bahunya sedikit, seolah ingin menunjukkan bahwa ia juga tidak tahu kenapa Sang Raja meminta mereka untuk memanggil mereka untuk menghadapinya. "Aku juga tidak tahu, Paman!" Robin dengan sopan mendekat pada kedua orang yang dari tadi ia cari. "Terima kasih kalau begitu, Robin!" seru Daroll, sambil tangannya menarik lengan baju sahabatnya, Jose. Jose akhirnya ikut saja. Ia tak ingin berlama-lama jika Sang Raja memintanya untuk menghadap padanya. Sa
"Tidak, tidak apa-apa Tuan …!" Daroll masih terlihat meringis. Namun nalurinya untuk menutupi apa yang sebenarnya sedang terjadi membuatnya seketika harus berdusta. "Hanya kakiku tiba-tiba kesemutan Tuanku yang mulia." Daroll akhirnya berhasil mendapatkan satu alasan untuk ia utarakan kepada pria paling terhormat di negeri ini. "Ya sudah, kalau begitu sebaiknya kalian mulai besok bersiap untuk melakukan persiapan untuk menyambut lamaran Raja Daltun dan Pangeran Alden. Aku ingin kalian lakukan yang terbaik untuk Putri kesayangaku, Juliette!" Pria itu langsung membalikkan badannya cepat, hingga jubah merahnya berkibar. Tongkat kebesarannya yang selalu ia genggam ia hentakkan sekali ke atas permadani berwarna merah dan kuning emas. Kalau sudah begitu sudah tidak ada lagi yang dapat membantah titah Sang Raja. "Baik, Tuan kami yang mulai, kami akan segera melaksanakannya dengan baik." Jose menjawab mewaki
"Setelah aku mendapatkannya aku tak akan mengembalikannya lagi. Karena apa yang sudah ada dalam genggamanku, selamanya akan menjadi milikku," bisik Zelena dalam hatinya, senyum liciknya pun mengembang. "Kutitipkan pada si tua Rebecca, pelayan istana yang sudah cukup lama bekerja di sini." "Ha … ha … ha … ternyata si Rebecca renta itu yang kau titipkan perhiasan-perhiasan indah itu. Besok akan aku temui dia," tawa menyebalkan wanita itu membuat hati Emilly kian panas. "Malam ini juga aku akan menemui Rebecca. Atau aku akan mengendap-ngendam masuk ke kamarnya. Dan aku akan mencuri perhiasan-perhiasan itu. Aku tak ingin si licik Zelena menguasainya. Emilly langsung berlari, ia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk menyelamatkan perhiasan-perhiasan milik Permaisuri Alice. Di dalam kamarnya, Raja Rehard dan Zelena saling pandang. Mereka
Dari tempat mereka bersembunyi, jelas sekali mereka melihat ada empat orang prajurit kerajaan yang memakai atribut lengkap dengan senjata dan tameng layaknya para prajurit yang hendak bertempur di medan perang. "Paman, mereka sedang mencari kita!" Emilly gemetar ketakutan berjongkok di samping Jose. "Sssstttt … sudah, jangan bersuara dulu kau Emilly. Jangan sampai mereka mendengar suaramu, dan akhirnya menemukan kita di sini," bisik Jose ke telinga Emilly, sambil menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya. Emilly tak menjawab. Ia hanya mengangguk patuh, sedang keringat dingin sudah mulai keluar dari keningnya. Emilly baru kali ini merasakan situasi setegang ini. "Kau hanya bisa membual Jason! Mana dua orang yang kau lihat itu!" Dengan nada kesal dan wajah tegang, Robin menepuk pundak temannya itu. Karena rasa lelah dan rasa kantuk yang luar biasa membuat Robin dan dua orang praju