"Sabar dulu …" jawab Chaiden sambil mendengus. Lalu kembali berucap.
“Siapa namamu gadis kumal?”
“Wilona, Tuan!”
“Wah, namamu indah sekali! Seindah paras wajahmu!”
Wilona menatap tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Ternyata lelaki bermulut besar itu bisa juga memuji dirinya.
“Terima Kasih, Tuan!”
“Wilona coba kau masuk ke kandang! Bawa Ruby dan Daren keluar. Buat mereka tidak ketakutan saat kau menyentuhnya!”
Kali ini tanpa ragu Putri Kimberley langsung masuk ke kandang kuda itu. Kemudian dengan penuh kasih sayang ia mengelus-elus tubuh kedua kuda itu bergantian. Ruby dan Daren langsung menggesek-gesekkan kepala mereka ke pipi Putri Kimberley yang putih mulus. Putri Kimberley bukannya jijik, ia malah tertawa hangat sambil terus mengelus-elus tubuh kedua kuda itu. Lalu perlahan-lahan ia bawa keduanya keluar dari kandang itu.
Tuan Chaiden menatap kagum melihat apa yang dilakukan gadis itu. Namun tak hanya sampai di situ saja, lelaki itu terus menguji kemampuan Putri Kimberley, dari cara memberi makan dan minum, memandikan, membersihkan kandang dan menunggangi kuda itu, semua dapat dilakukannya dengan baik.
Ploook ... ploooook ... ploooook ...
Terdengar suara tepukan tangan Tuan Chaiden. Ia merasa puas dengan apa yang dilihatnya tadi.
“Selamat, kau berhasil, Wilona si gadis kumal!” Sepasang mata Putri Kimberley langsung berbinar-binar saat mendengar itu.
“Benarkah, Tuan Chaiden?”
“Sudahlah, jangan banyak bertanya! Sekarang ayo ikut aku menghadap Pangeran Alden.” Bukan main senangnya hati Putri Kimberley mendengar itu, tanpa sadar ia pun melompat-lompat di hadapan Tuan Chaiden.
“Hentikan kelakuan bodohmu itu Wilona! Ha ...ha ...ha!" Lelaki itu pun tertawa melihat kelakuan gadis kumal yang kini membuatnya kagum itu.
“Ayo!”
Putri Kimberley pun mengikuti langkah Tuan Chaiden. Ia masih saja terlihat kesulitan saat melangkah, karena gaun usang dan sepatu kebesaran milik ibunya yang ia kenakan.
Sreeek ... sreeeek ... sreeeek...
Suara seretan sepatunya membuat seisi istana menatap ke arahnya.
Sampai di dalam istana, Tuan Chaiden langsung menghadap sang pangeran.
“Maaf, Pangeran Alden, saya sudah berhasil mendapatkan seorang perawat kuda yang sangat baik untuk menjadi perawat kuda-kuda Pangeran.” Tuan Chaiden membungkukkan badannya dalam-dalam, sebagai tanda hormatnya pada sang pangeran. Putri Kimberley pun langsung mengikutinya.
“Baiklah. Siapa orangnya, Chaiden?” Pangeran Alden terlihat mencari-cari.
“Maaf, Pangeran. Ini orangnya. Namanya Wilona. Ia gadis yang pandai sekali membuat Ruby dan Daren merasa nyaman. Ia bisa melakukan hal apa saja yang kuperintahkan untuk merawat kuda-kuda Pangeran. Tidak seperti Gabriel yang selalu berlaku kasar pada Ruby dan Daren.” Tuan Chaiden menjelaskan tentang Putri Kimberley yang pandai merawat kuda-kuda milik Pangeran Alden.
“Baiklah, aku ...”
“Pangeran, apa kau tidak salah menerima gadis yang terlihat sangat kotor ini menjadi perawat kuda-kudamu? Aku yakin ini hanya akal-akalan Chaiden saja, agar gadis kumal ini bisa masuk ke dalam istana ini. Aku tak setuju kalau dia kau terima sebagai perawat kuda-kudamu, Pangeran! Karena ini tidak masuk akal!” suara teriakan dari seorang wanita yang duduk di sebelah Pangeran Alden terdengar mengejutkan seisi istana, termasuk Tuan Chaiden dan Putri Kimberley, dan membuat pangeran tampan itu tak dapat melanjutkan ucapannya.
“Putri Juliette, aku percaya kalau Chaiden benar. Chaiden adalah orang kepercayaanku. Jadi aku percaya dengan setiap ucapannya.” Dengan tenang si pemilik wajah tampan itu menatap Putri Juliette.
Ucapan sang pangeran membuat lega hati Tuan Chaiden dan Putri Kimberley, tapi tidak dengan Putri Juliette yang tampak semakin kesal mendengar pembelaan Pangeran Alden, lelaki yang sudah menjadi tunangannya itu.
Putri Kimberley berbisik kepada Tuan Chaiden.
“Tuan, siapa wanita itu?”
“Putri Juliette. Putri Raja Rehard dari Kerajaan Tiger White, tapi Putri Juliette hanya terlahir dari seorang selir bernama Zelena.” Tuan Chaiden merendahkan suaranya agar tak terdengar oleh yang lainnya.
Suasana menjadi gaduh saat dengan suara keras Putri Juliette berteriak seperti orang tak waras.
“Aku tetap tidak setuju, Pangeran! Atau kita akhiri saja hubungan kita!” Putri Juliette yang sombong itu lalu berdiri dan melangkah dan meninggalkan istana.
Seisi istana memandang kepergian Putri Juliette. Namun ia tak peduli, ia terus berlari.
Dan tiba-tiba sebuah tangan mencengkram lengannya.
"Ayo, kita segera pergi dari tempat ini, Tuan Putri!" Tangan kekar Gavin mengajak perempuan yang sedang dikuasai oleh amarah itu untuk segera keluar dari Istana Kerajaan Strong. “Sial, bukankah gadis itu terlalu cantik untuk menjadi seorang perawat kuda Pangeran Alden, Gavin?” Putri Juliette memukul-mukul pahanya. Gavin dengan hidung tomat dan pipi bulatnya hanya menggeleng. Di dalam kereta kudanya ia terus memaki-maki Putri Kimberley. Di matanya Putri Kimberley terlalu cantik, meski Putri Kimberley telah menyembunyikan kecantikannya di balik gaun lusuh dan sepatu kebesaran milik ibunya. “Aku takut kekasihku tertarik dan jatuh cinta padanya. Aku tak bisa membiarkan ini! Gavin, ayo kencangkan lari kudamu! Aku ingin lebih cepat bisa sampai di istanaku!” “Baik, Putri Juliette yang cantik!" Lalu Gavin hentakkan cemeti kudanya dengan sangat keras sekali.
"Maaf, Permaisuri Zelena, apakah kau memanggilku?" Emilly menunduk dengan penuh rasa hormat. "Emilly, aku tidak memanggilmu. Atau jangan-jangan kau sedang mencuri dengar percakapan kami?!" Zelena membesarkan matanya, ia takut kalau pembicaraannya dengan sang putri didengarnya. Zelena tahu di dalam istana Kerajaan White Tiger banyak sekali dinding-dinding yang bisa mendengar pembicaraannya. Zelena tak ingin ada penyusup dalam istana ini yang bisa membuat dirinya dan putrinya, Juliette tersingkir dari dalam istana. "Tidak, Permaisuri. Saya hanya mendengar nama saya tadi di panggil dari arah kamar ini." Wajah gadis itu terlihat tegang seperti sedang menahan ketakutannya. Justru itu membuat Zelena dan Putri Juliette semakin heran. "Ibu, aku curiga dengan dia! Aku yakin dia sedang memata-matai kita," ujar Putri Juliette sambil berkeliling di tempat Emilly berdiri. &nbs
Sambil menunggu Emilly kembali dari kamarnya, Daroll dan Jose saling berpandangan. "Ini Paman, syaratnya!" Tak perlu menunggu lama, akhirnya gadis itu keluar sambil membawa sesuatu di tangannya. "Apa itu? Itu kan hanya sebuah boneka?" Keduanya semakin dibuat heran dengan tingkah lucu Emilly. "Yah, ini hanya sebuah boneka bagi kalian. Tapi, teman bagiku!" Emilly memeluk tubuh boneka kecilnya itu dengan sangat erat. Boneka berbentuk gadis kecil dengan rambut yang dikepang dua itu, memang terlihat lucu dan menggemaskan sekali. "Lalu?" Jose mendekat pada Emilly dan menyentuh boneka itu. "Aku ingin membawanya juga ke istana. Itu kalau boleh, tapi sebaliknya kalau tidak boleh, maka aku terpaksa tidak bisa menerima tawaran kalian untuk menjadi mata-mata Permaisuri Zelena dan Putri Juliette." Bibir tipis Emilly tampak maju sedikit. Membuat wajahnya kian lucu saja
"Paman Jose, Paman Daroll, kalian dipanggil oleh Sang Raja untuk menghadapi di dalam istana," suara teriakan itu tentu saja membuat Daroll tidak bisa meneruskan kalimatnya, padahal Jose sudah menunggu dan merasa sangat penasaran sekali dengan kelanjutan kalimat sahabatnya itu. "Ada apa Raja memanggil kami, Robin?" tanya Jose sambil menyipitkan sedikit kelopak matanya. Dan ia juga memandang wajah Daroll. Daroll mengangkat bahunya sedikit, seolah ingin menunjukkan bahwa ia juga tidak tahu kenapa Sang Raja meminta mereka untuk memanggil mereka untuk menghadapinya. "Aku juga tidak tahu, Paman!" Robin dengan sopan mendekat pada kedua orang yang dari tadi ia cari. "Terima kasih kalau begitu, Robin!" seru Daroll, sambil tangannya menarik lengan baju sahabatnya, Jose. Jose akhirnya ikut saja. Ia tak ingin berlama-lama jika Sang Raja memintanya untuk menghadap padanya. Sa
"Tidak, tidak apa-apa Tuan …!" Daroll masih terlihat meringis. Namun nalurinya untuk menutupi apa yang sebenarnya sedang terjadi membuatnya seketika harus berdusta. "Hanya kakiku tiba-tiba kesemutan Tuanku yang mulia." Daroll akhirnya berhasil mendapatkan satu alasan untuk ia utarakan kepada pria paling terhormat di negeri ini. "Ya sudah, kalau begitu sebaiknya kalian mulai besok bersiap untuk melakukan persiapan untuk menyambut lamaran Raja Daltun dan Pangeran Alden. Aku ingin kalian lakukan yang terbaik untuk Putri kesayangaku, Juliette!" Pria itu langsung membalikkan badannya cepat, hingga jubah merahnya berkibar. Tongkat kebesarannya yang selalu ia genggam ia hentakkan sekali ke atas permadani berwarna merah dan kuning emas. Kalau sudah begitu sudah tidak ada lagi yang dapat membantah titah Sang Raja. "Baik, Tuan kami yang mulai, kami akan segera melaksanakannya dengan baik." Jose menjawab mewaki
"Setelah aku mendapatkannya aku tak akan mengembalikannya lagi. Karena apa yang sudah ada dalam genggamanku, selamanya akan menjadi milikku," bisik Zelena dalam hatinya, senyum liciknya pun mengembang. "Kutitipkan pada si tua Rebecca, pelayan istana yang sudah cukup lama bekerja di sini." "Ha … ha … ha … ternyata si Rebecca renta itu yang kau titipkan perhiasan-perhiasan indah itu. Besok akan aku temui dia," tawa menyebalkan wanita itu membuat hati Emilly kian panas. "Malam ini juga aku akan menemui Rebecca. Atau aku akan mengendap-ngendam masuk ke kamarnya. Dan aku akan mencuri perhiasan-perhiasan itu. Aku tak ingin si licik Zelena menguasainya. Emilly langsung berlari, ia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk menyelamatkan perhiasan-perhiasan milik Permaisuri Alice. Di dalam kamarnya, Raja Rehard dan Zelena saling pandang. Mereka
Dari tempat mereka bersembunyi, jelas sekali mereka melihat ada empat orang prajurit kerajaan yang memakai atribut lengkap dengan senjata dan tameng layaknya para prajurit yang hendak bertempur di medan perang. "Paman, mereka sedang mencari kita!" Emilly gemetar ketakutan berjongkok di samping Jose. "Sssstttt … sudah, jangan bersuara dulu kau Emilly. Jangan sampai mereka mendengar suaramu, dan akhirnya menemukan kita di sini," bisik Jose ke telinga Emilly, sambil menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya. Emilly tak menjawab. Ia hanya mengangguk patuh, sedang keringat dingin sudah mulai keluar dari keningnya. Emilly baru kali ini merasakan situasi setegang ini. "Kau hanya bisa membual Jason! Mana dua orang yang kau lihat itu!" Dengan nada kesal dan wajah tegang, Robin menepuk pundak temannya itu. Karena rasa lelah dan rasa kantuk yang luar biasa membuat Robin dan dua orang praju
"Rajaku Yang Mulia, tak ada sahutan dari Rebecca." Gavin membungkukkan sedikit badannya. "Coba kau buka saja pintunya! Mungkin dia sedang keluar dari kamarnya," perintah Rehard pada Gavin, salah seorang pengawalnya. Tanpa berbasa-basi Gavin langsung mencoba membuka pintu kamar itu. Kreeeek … pintu pun terbuka, ternyata pintu itu tidak terkunci dari dalam. Gavin langsung masuk, sedang yang lainnya hanya menunggu di luar. "Rebecca! Kau kenapa?!" Mata Gavin terbelalak menatap Rebecca yang terkulai lemas di atas ranjangnya, tak sadarkan diri. Gavin lantas ke luar untuk memberi tahukan pada Rehard dan yang lainnya tentang apa yang dilihatnya. "Tuanku Yang Mulia, lihat ke dalam, sepertinya Rebecca sedang pingsan!" Gavin tak dapat mengontrol lagi suaranya, sebab ia sangat mengkhawatirkan wanita tua yang sangat baik hati itu.