Wanita itu membuka matanya, napasnya memburu. Butir-butir keringat menghiasi wajahnya yang seputih porselen. Ada napas lega saat ia sadar bahwa dirinya berada di kamarnya. Berkas sinar yang masuk melalui celah gorden menyadarkan dirinya bahwa matahari telah bertugas.
Getar ponsel di atas meja membuatnya bangkit ke arah benda persegi itu ia letakkan. Senyum tipisnya terkembang kala melihat siapa yang menghubunginya.
“Ya, Miss Moore?”
Su Li menjauhkan ponsel dari telinganya, mengaktifkan mode loudspeaker sambil berjalan menuju pantry.
“Pelan-pelan saja,” ucapnya santai.
“Bagaimana bisa anda setega ini dengan saya?”
Su Li terkekeh, ia bisa membayangkan bagaimana ekspresi sekretarisnya saat ini. Manik keabuan itu pasti sedang berkaca-kaca.
Su Li sedang mengambil cangkir ketika, Ms. Moore kembali menambahkan, “Bahkan anda tidak memberikan kesempatan untuk saya mengucapkan perpisahan dengan benar.”
“Dan membuatmu tidak konsentrasi dengan pekerjaanmu?”
Su Li mengambil beberapa apel di dalam kulkas, samar ia bisa mendengar isakan di seberang teleponnya. “Proyek terakhir yang kita kerjakan berhasil. Kau sudah bekerja keras Miss Moore. Semua pekerjaanku sampai akhir kuartal ini juga sudah saya letakkan di atas meja. Kau bisa membawanya.”
“Apakah ini alasan anda memintaku untuk pulang tepat waktu kemarin? Sampai akhir anda masih membicarakan pekerjaan.”
Suara siulan dari ketel listrik di ujung meja membuat Su Li bergegas. “Saya hanya memberikan waktu untukmu berkencan. Kemarin saya mendengar kalian akan makan malam?” goda Su Li. Ia yakin saat ini pipi Ms. Moore akan merona, terdengar dehaman canggung sebelum wanita di seberang sana kembali berbicara.
“Saya akan mengingat apa saja yang anda ajarkan Miss Su. Walaupun sebenarnya sedih saya bersyukur karena anda akan pulang. Tetaplah sehat Miss Su Li.”
Su Li merasakan kehangatan mengisi hatinya, “Jangan terlalu mengkhawatirkan saya. Anda juga Miss Moore, terima kasih untuk selama ini.”
“Jika suatu saat anda kembali ke London, jangan lupa menghubungiku. Selamat sampai tujuan Miss Su.”
“Hm, terima kasih Miss Moore.”
Panggilan itu pun berakhir. Su Li mengamati riak coklat panas yang baru saja ia sesap. “Pulang, ya?” gumamnya. Ia hanya berharap apa yang ia korbankan saat ini setimpal dengan apa yang akan ia dapatkan kelak.
Su Li membawa langkahnya menuju jendela besar di ruang tamunya. Kesibukan kota London terlihat jelas walau dari lantai delapan apartemennya. Bagaimana padatnya King’s Road pada musim liburan saat ini.
Jalanan yang terkenal sebagai pusat perbelanjaan dan gaya hidup di London itu, menjadi favorit wisatawan maupun warga lokal untuk menghabiskan pundi-pundi kekayaan yang mereka miliki.
Walaupun telah menempati apartemennya hampir selama dua tahun terakhir, namun Su Li masih belum memiliki kesempatan untuk menjelajahi salah satu jalanan tersibuk itu.
Sesapan pelan terdengar saat ia menyesap dalam coklat panasnya. Ingatannya mengawang saat perdebatan sengit antara dirinya dengan sang Ayah dua tahun silam.
“Su Li, dengarkan Ayah.”
Langkah gadis itu terhenti. Ia kemudian berbalik dan menatap nanar pria paruh baya yang menatap nya dengan berkaca-kaca.
“Ayah bilang, Ibu satu-satunya. Namun hal konyol apa ini? Bahkan luka di sini masih basah dan menganga lebar, Ayah,” ucapnya sambil terisak dan memukul dadanya.
“Bahkan aku tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengikhlaskan kepergian Ibu yang tiba-tiba. Tetapi Ayah masih memiliki pemikiran untuk kembali menikah?”
“Dengarkan penjelasan Ayah. Hal ini …”
“Cukup. Aku tidak akan menghalangi pernikahan Ayah. Jadi, Ayah jangan menghalangiku untuk pergi.”
Tanpa kembali berbalik, Su Li menggeret koper putih miliknya meninggalkan kediaman keluarga Su.
Su Li membuka matanya. Sejak pertama kali sang Ayah mengatakan ingin menikah hingga saat ini, ia tidak pernah paham dan mengerti, mengapa sang Ayah mengambil keputusan tersebut. Apalagi wanita pilihan sang Ayah adalah Wu Xia, mantan sekretaris Ayahnya saat itu.
“Apakah Ayah berselingkuh di belakang Ibu?”
***
“Pesawat nona muda akan mendarat sore ini, Tuan.”
Lelaki paruh baya itu bergeming, masih setia menatap gedung-gedung menjulang di depannya.
“Tuan?” Sekali lagi lelaki itu memanggil. Begitu terkejut ia ketika melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh sang Tuan.
“Apakah anda baik-baik saja, Tuan?” tanyanya takut-takut.
“Apakah ekspresiku aneh, Ziang Chen?”
Dengan ragu, lelaki yang dipanggil Ziang Chen itu menggeleng. Walaupun ekspresi yang begitu kaku, tapi ia sangat tahu bahwa Tuannya sangat senang.
“Anda pasti senang ketika mendengar kabar bahwa nona muda akan pulang.”
Lelaki paruh baya itu berjalan menuju kursi kebesarannya. Sebuah name desk yang terbuat dari marmer bertuliskan Su Liang bertengger apik di atas meja. Ia mengangguk sambil tersenyum tipis.
“Tentu saja. Su Li-ku tersayang akan pulang setelah dua tahun. Anak nakal itu akan menetap di Tiongkok.”
Ziang Chen tersenyum hangat, sangat jarang melihat Su Liang mengeluarkan banyak kata seperti saat ini.
“Aku kira aku akan sendirian hingga maut menjemputku.”
“Anda tidak boleh mengatakan itu, Tuan. Nona muda hanya pergi untuk mengumpulkan pengalaman. Lagipula anda memiliki Nyonya Wu Xia dan nona Wei Fang.”
Su Liang tersenyum kecut. Bukannya ia tidak tahu apa alasan sang Putri semata wayangnya tidak pernah pulang. Walau sebenarnya ia selalu mengirim orang untuk mengawasi dan memberinya kabar terkait putri semata wayangnya tersebut. Membiarkan Su Li keluar dari rumah dua tahun lalu adalah kesalahan yang selalu ia sesali.
Mendiang Istrinya selalu mengeluh karena seluruh sifat buruknya ia warisi kepada Su Li, seperti sifat keras kepala. Sehingga ia tidak memiliki pilihan lain sampai sang Putri sendrilah yang akan datang menghampirinya.
Sadar membuat suasana menjadi canggung, Ziang Chen berusaha mengalihkan topik pembicaraan. “Apakah Tuan tidak menjemput Nona muda?”
Lelaki paruh baya itu terkekeh. “Kau seperti tidak tahu bagaimana sifat Su Li. Gadis itu akan kabur ketika melihatku.”
“Apalagi tahun ini ia berusia 28 tahun. Omelannya pasti lebih memekakkan telinga. Hidup sendiri sejak sekolah menengah di negeri orang membuatnya lebih mandiri,” lanjutnya. Ziang Chen setuju. Nona mudanya itu sedikit berbeda dengan nona muda pada umumnya.
“Kalau begitu saya akan mengutus sekretaris Lu untuk menjemput nona muda.”
Su Liang mengangguk dan membiarkan Ziang Chen keluar dari ruangannya.
“Anak kita akhirnya pulang,” gumamnya sambil melihat sebuah potret yang ia sandingkan dengan potret Su Li di mejanya.
***
Dingin dan kering. Dua kata itu yang bisa Su Li deskripsikan tentang kota kelahirannya ketika ia keluar dari bandara. Ia sangat bersyukur Ayahnya tidak membuat keributan. Sang Ayah hanya mengirim satu orang untuk menjemputnya.
“Selamat datang kembali di Beijing, Nona muda. Masuklah terlebih dahulu, saya akan mengemas barang bawaan Nona.”
Su Li sebenarnya masih merasakan canggung, ia hanya bisa mengangguk dan merapatkan mantelnya sebelum masuk ke dalam mobil. Hangat. Ternyata orang suruhan ayahnya itu sudah menyalakan penghangat di mobil.
“Sekretaris Lu,” gumamnya mengulangi nama saat lelaki tadi memperkenalkan diri.
“Mohon maaf menunggu nona, kita akan pergi sekarang,” ucap Sekretaris Lu segera setelah memasuki mobil. Su Li menyamankan diri, penerbangan 13 jam lebih itu membuatnya cukup merasa letih. Setidaknya ia akan segera beristirahat dengan nyaman nanti jika sudah sampai di hotel.
“Antar aku ke Wangfujing.”
Kalimat pendek Su Li membuat Sekretaris Lu terkejut. “Tetapi Tuan besar menyuruh saya mengantarkan Nona muda ke rumah utama.”
“Apakah Ayah lupa memberitahukan bahwa ucapanku tidak bisa dibantah?”
Sekretaris Lu meneguk ludahnya kasar, istilah bahwa buah tidak jatuh jauh dari pohonnya. Keduanya memiliki aura intimidasi yang sama.
“Baik, Nona.” Sekretaris Lu memilih untuk mengikuti perintah Su Li. Setidaknya ia bisa melapor di hotel mana yang akan ditempati Nona mudanya tersebut.
Cuaca musim dingin di Beijing sangat berbeda dengan London. Bahkan ia melihat beberapa air mancur yang membeku.
“Apakah musim dingin di Beijing memang seperti ini?” Su Li penasaran.
Sekretaris Lu mengangguk. “Nona datang setelah terjadi gelombang dingin. Minggu lalu bahkan pemerintah membatasi aktivitas luar ruangan. Bandara pun tutup. Seluruh kota tertutupi oleh salju.”
Su Li mengangguk. Penerbangannya tertunda satu minggu dari jadwal awal. Sekretaris Lu bersemangat menceritakan beberapa wahana yang bisa dikunjungi saat musim dingin, tetapi hal tersebut membuatnya semakin mengantuk.
“Nona muda.”
Su Li terbangun, ternyata mereka sudah sampai di hotel tujuan. “Saya sudah memesankan kamar, barang Nona juga sudah diantarkan. Ini kunci kamarnya.” Sekretaris Lu menyerahkan sebuah amplop kecil berwarna hitam.
“Terima kasih.”
Su Li akui, untuk ketangkasan anak buah Ayahnya itu patut diacungi jempol. Wanita itu kemudian berjalan memasuki hotel. Setidaknya malam ini ia bisa beristirahat dengan tenang tanpa diganggu siapapun.
“Jadi dia lebih memilih untuk menginap di hotel?”Tuan Su menyesap kopinya dengan tenang mendengarkan seorang wanita paruh baya mengomel. Perpaduannya memang tidak cocok, tetapi ia mencoba menahan diri dan tidak mengacuhkannya.“Mau sampai kapan dia tidak menerimaku? Sikap kekanakannya itu tidak sesuai dengan usianya.”Wanita itu memotong toast di hadapannya dengan sedikit kesal. Tuan Su hanya diam-diam melirik dan kembali fokus dengan bacaannya.“Kau begitu memanjakannya sampai ia tidak memiliki sopan santun seperti itu, aku penasaran mirip dengan siapa sikap tidak sopannya itu.”“Wu Xia. Perhatikan ucapanmu,” ucap Tuan Su dengan dingin.“Jika sikapmu setidaknya sedikit saja ada kehangatan, mungkin anak itu mau pulang rumah ini.”Wu Xia membanting alat makan yang sedang ia pegang. “Jadi kau menyalahkanku karena anakmu tidak pulang ke rumah? Siapa yang menyuruhmu untuk menikahiku?” ucapnya menggebu kemudian bangkit meninggalkan Su Liang yang masih tenang dengan kopi dan juga laporan y
“Su Li kesal denganku. Ia tidak mau mengangkat panggilanku sekali pun.” Ziang Chen tersenyum tipis sambil memperhatikan Su Liang yang sibuk memangkas bonsai dengan wajah yang mengkerut akibat ulah sang Putri. “Usianya sudah pas untuk menikah. Apakah aku salah membantu mencarikan pasangan yang layak untuknya?” “Anda tahu bagaimana temperamen Nona Muda, Tuan. Saya yakin Nona Muda saat ini sedang sangat kesal dengan anda.” Su Liang menghentikan aktivitasnya dan duduk di bangku taman diikuti oleh Ziang Chen. “Setelah anak Presdir Wang, ia sama sekali tidak mau bertemu dengan yang lain. Padahal mereka semua adalah pemuda yang hebat.” Ziang Chen menuangkan teh dan memberikannya kepada Su Liang. Cahaya redup matahari yang berhasil menembus atap kaca transparan itu membuat udara di dalam rumah kaca menghangat. Mendiang istri pertamanya sangat menyukai bunga, sehingga ia membangun sebuah rumah kaca agar sang Istri bisa berkebun walau di luar tertutup salju. Seperti sekarang, walau bera
Suasana perusahaan dimanapun itu bagi Su Li tidak memiliki banyak perbedaan. Karyawan yang berlalu lalang dengan menggunakan name tag dan membicarakan pekerjaan, satu dua orang yang membawa setumpuk berkas, hingga beberapa karyawati yang sedang bergosip di ujung pantry. Hanya saja, konsep perusahaan Liang Tech agak berbeda dengan Ubex Corporation tempatnya dulu mengumpulkan pundi-pundi kekayaan. Setiap divisi memiliki ciri khasnya masing-masing. Desain interior yang berbeda cukup menjelaskan bidang apa yang divisi itu kerjakan.Tapak langkahnya yang mengikuti ketua HRD memasuki sebuah ruangan. Sebuah papan yang bertuliskan Investor Relation terpampang di atas pintu masuk. Tidak ada meja bersekat yang memisahkan karyawan satu dengan yang lain, konsep open space yang begitu apik. Ruangan yang tidak bisa disebut kecil itu dihuni oleh delapan orang karyawan yang terlihat sedikit sibuk sehingga tidak menyadari kedatangan mereka. Tepukan tangan dari Tuan Shen mengalihkan atensi semua ora
Pintu darurat menjadi tempat favoritnya beristirahat. Setelah proyek dengan investor Perancis itu selesai, Su Li mengira bahwa tugasnya sudah selesai. ia tidak menyangka bahwa ia harus menyelesaikan beberapa proyek besar lagi.“Apakah aku terlalu serius bekerja?” gumamnya. Ia merasa sedikit demi sedikit mulai teralihkan dari tujuan utamanya. Getar ponselnya membuat dirinya beranjak. “Ada apa?” tanyanya sambil berjalan keluar.Xiao Lu memberikan kabar bahwa mereka diminta untuk menemui Su Liang sekarang. Ketika keluar, ia berpapasan dengan seorang pria. Wajahnya tidak terlihat dengan jelas karena pria itu menunduk sambil menerima panggilan.“Aku akan segera kesana.”Percakapan itu saja yang sempat ia dengar sebelum pria itu menghilang di balik pintu. Su Li terdiam, kemudian ia berbalik cepat menuju pintu tangga darurat tersebut. Derap langkah lirih yang menaiki tangga terdengar olehnya membuat jantungnya ikut berpacu.Untung saja ia menggunakan sepatu flat hari ini, jadi bisa dengan ce
Su Li membawa tungkainya ke lantai delapan. Tapak kakinya menggema memenuhi lorong bergaya futuristik tersebut, bagai berjalan di atas catwalk, Su Li menyadari puluhan pasang mata memperhatikan dirinya. Sampai di bagian ujung lantai ia berdiri di depan pintu kaca yang tidak tembus pandang dan kemudian mengetuk pintu. Mendorongnya ketika suara di dalam mempersilakannya masuk.“Selamat pagi, Direktur.”Direktur Lin yang melihat kedatangan Su Li melepaskan kacamata bacanya. “Ada apa Nona Su?” ucapnya sambil beranjak menuju sofa. Su Li menyamankan diri di salah satu sofa yang dipersilakan oleh Direktur Lin.“Divisi kami membutuhkan laporan cash flow perusahaan selama tiga tahun terakhir. Tetapi entah mengapa, sepertinya bagian keuangan lupa menyerahkan beberapa laporan. Kami mendapatkan beberapa yang missed. Terutama bagian operating activities. Jadi saya kemari karena ingin meminta dokumen tersebut.”“Permintaan saya seharusnya tidak terlalu banyak, kan?” Su Li menatap lurus Direktur Lin
“Apa yang bisa ditemukan oleh anak kecil itu? Dia hanya bisa menggertak.” Wanita itu meluruskan tangan kanannya, merasakan bagaimana tangan pegawai spa itu memijatnya dengan piawai. “Kau tidak perlu khawatir. Kita sudah membuatnya serapi mungkin. Tidak akan ada celah.” Setelah mengatakan hal tersebut ia mengakhiri panggilan itu. Seorang pegawai kemudian mengambil ponsel itu dari tangannya. “Su Li membuat onar?” Wanita itu mengangguk. “Dia membuat keributan di kantor Direktur Lin. Meminta kekurangan dokumen atau apapun itu.” “Seperti bukan dirinya saja. Bukankah selama ini dia hanya diam?” “Ibu juga tidak mengerti. Mungkin dia hanya mencari cara untuk menghalau bosan,” ucap wanita itu sambil terpejam. Wangi aromaterapi yang berasal dari lilin di pojok ruangan dan juga pijatan pada punggungnya membuat semuanya terasa sempurna. “Kau tidak ada niat untuk masuk ke perusahaan, Wei Fang?” Gadis muda di sebelahnya menggeleng. “Bukankah kita sudah sering membicarakan ini, Bu? Perusahaan
“Aku ingin menjadi pemimpin perusahaan.” Su Liang menatap Su Li tidak percaya. “Kau tidak sedang mabuk kan?” ia kemudian memastikan bahwa yang diminum oleh Su Li adalah kopi bukanlah minuman beralkohol. “Bukankah Ayah memaksaku untuk menjadi pewaris? Sekarang aku menawarkan diri tetapi malah seperti itu respon Ayah.” Su Li menyeruput es americano-nya dengan kesal. Jika sedang merajuk anak gadisnya itu akan cemberut seperti ikan mas, memuat Su Liang tersenyum gemas. “Ayah, aku sedang berbicara serius.” Ucapan Su Li membuat Su Liang menenggelamkan senyumnya. Benar kata sang Putri, ia harus serius saat ini. Pasti ada sesuatu yang membuat Su Li berubah pikiran. “Kau sudah menemukan pengganti kekasihmu itu?” Su Li memutar bola matanya kesal. Sang Ayah masih saja mengira dirinya memiliki hubungan spesial dengan Miss Moore. Ia sedikit menyesal mengapa tidak pernah mengiyakan tawaran beberapa temannya ketika di bangku sekolah. Saat di Ubex pun banyak yang mencoba mendekati hanya saja S
Kuncup-kuncup magnolia mulai menampakkan diri. Beberapa ranting yang semula gundul juga mulai menumbuhkan pucuk-pucuk kehijauan. Pegawai minimarket sedang menempelkan kaligrafi dan juga lukisan musim semi kala seorang gadis membuat bel kecil di atas pintu kaca itu bergemerincing. Destinasi pertamanya adalah deretan mie instan yang tersusun rapi, setelah menimbang cukup lama pilihannya jatuh kepada luosifen, semenjak berada di London, ia sangat ingin mencicipi sajian mie beras atau bihun berbahan dasar siput tersebut. Jika dalam penyajian sebenarnya, bihun direndam dalam kaldu pedas, lalu diberi taburan rebung, buncis, lobak, kacang tanah, dan kulit tahu, tetapi ia cukup puas dengan keberadaan luosifen dalam bentuk instan. Su Li berharap rasanya tidak akan beda jauh dari cita rasa yang berada di ingatannya. Walaupun beraroma yang khas, rasanya sangatlah enak. Dulu setiap kali sang Ibunda menjemput dirinya setiap sepulang sekolah, mereka pasti akan mampir di kedai ujung gang. Mengha
“Kau tahu? Pembunuh Shen Juan adalah Wu Xia. Ibunda Wei Fang.”Namjun berbalik dan menatap Luo Han. Dari sekian banyak berita yang ia harap sama sekali ia tidak pernah mengharapkan kabar buruk seperti itu."Shen Juan tidak mungkin melakukan itu." Namjun tetap bersikukuh untuk menampik hal tersebut. Lan Huo meletakkan kembali map berkas yang ia pegang. "Aku pun tidak ingin mempercayainya. Namun begitulah hasil penyelidikan." Pria itu menepuk pundak Namjun. Ia tahu, pasti sulit untuk menerima. "Aku juga seperti itu. Tetapi bukti demi bukti yang ada terlalu jelas. Shen Juan sudah melanggar kode etik dan merugikan kesatuan kita." Lan Huo kemudian melenggang keluar, meninggalkan namjun yang termenung. Pemuda itu tahu, Namjun pasti perlu waktu. Seperti tersadar akan sesuatu Namjun merogoh ponselnya di saku. Perangkat jemala itu bergetar dan menampilkan sebuah pesan. Namjun bergegas setelah selesai membaca pesan tersebut."Kau mau kemana?" Namjun hanya melengos pergi tanpa ingin menang
“Marie, apa yang kau lakukan?” gumamnya setelah melihat cuplikan berita yang ditampilkan oleh salah satu berita fashion di situs daring yang sedang ia baca. Wei Fang kehabisan stok kesabarannya. Dengan langkah lebar ia keluar dari kafe dan menuju pintu keluar. Gadis itu hampir keluar dari bandara, namun ia menghentikan langkah ketika pandangannya tertumbuk pada seorang gadis muda yang terlihat berlari menuju ke arahnya. “Maafkan aku,” ucap gadis itu setelah tepat berada di hadapan Wei Fang. “Ada aksi demonstrasi di alun-alun kota sehingga terjadi kemacetan.” Wei Fang mengabaikan penjelasan panjang lebar dari asistennya tersebut. Ia tidak ingin energinya terbuang percuma, ada hal penting dan lebih berbobot yang harus ia kerjakan ketimbang meladeni ucapan omong kosong yang Marie lontarkan. “Kita langsung menuju butik sekarang.”Marie mengangguk mengerti. Gadis itu kemudian mengambil langkah di depan Wei Fang, membawanya menuju dimana mobil yang tadi ia bawa terparkir. Diam-diam gad
“Kau?” Dua orang berbeda gender itu sama-sama terkejut setelah melihat satu sama lain. “Apa yang membawamu sampai kemari? Rasanya aku tidak pernah memberimu alamat ini.” Wei Fang menutup pintu di belakangnya. Gadis itu keluar alih-alih membawa kedua orang tamunya memasuki rumah. Ia masih perlu menyelidiki apa maksud tujuan kedua rekannya tersebut sampai mengunjunginya di rumah sang kakak. Padahal ia sama sekali tidak pernah memberikan alamat sang Kakak. “Jangan salah paham dulu. Kami kemari karena Namjun sudah menemukan dompet itu.” Lan Huo kemudian menyikut Namjun yang terlihat membatu. Pemuda itu selalu bersikap kikuk jika sudah berhadapan dengan Wei Fang. “Betul. Kami kemari karena ingin mengambilnya,” ucapnya sedikit terbata. “Mengambil? Bukankah kata yang tepat itu adalah memberikannya padaku?” Wei Fang menatap keduanya dengan alis hampir bertaut. “Lagipula ini adalah akhir pekan. Kita bisa membahasnya besok.” Gadis itu berbalik hendak kembali memasuki rumah ketika pegang
“Ada apa dengannya?” Lan Huo kaget saat membuka pintu dan menemukan Namjun yang dipapah masuk oleh Wei Fang. “Hanya sedikit pusing,” ujar Wei Fang sekenanya. Gadis itu kemudian menyerahkan Namjun pada Lan Huo. Ia kemudian meregangkan lengan kanannya. Memapah seseorang yang memiliki postur yang lebih besar, membuat lengannya sedikit kram. “Kau terluka?” tanya Shen Juan yang baru keluar dari kamar mandi. Aroma mint segar menguar memenuhi ruangan mengikuti langkah pemuda itu. Wei Fang menggeleng, kemudian menunjuk arah dua pemuda yang sedang memasuki kamar tersebut dengan dagunya. “Sepertinya ini masih terlalu cepat untuk ikut after party.” Kening Shen Juan berkerut dalam. “Kami tidak ikut. Namjun hanya mabuk kendaraan,” ucap Wei Fang lagi kemudian beranjak. “Aku akan membersihkan diriku dan bergabung dalam dua puluh menit.” Gadis itu kemudian melenggang keluar setelah meletakkan clutch dan juga anting yang tadi ia gunakan di atas meja. “Setelah ini aku tidak mau berada di kel
“Bukankah itu Tuan Liu?” Namjun mengikuti arah pandang Wei Fang. Secara samar ia dapat mendengar decakan halus dari gadis di sebelahnya itu. Sorot kebencian dan kemarahan terpatri jelas di manik segelap malam itu. Awal bertemu, ia mengira gadis itu menggunakan lensa kontak, karena memang iris mata berwarna hitam bukanlah warna yang umum. Bahkan setahunya, hanya ada sekitar 1 persen penduduk di muka bumi ini yang memiliki iris warna hitam. “Perhatikan tatapanmu. Dia akan menyadarinya jika kau menatapnya seintens itu,” bisik Namjun yang menyadarkan Wei Fang untuk mengalihkan pandangan. Apalagi acara fashion show itu sudah dimulai. Setelah pengantar singkat dari sang designer Liu Yan, terlihat deretan model yang berjalan memasuki runway. Tak heran dengan lokasi yang dipilih, ternyata Liu Yan mengusung tema yang menccerminkan Macau sepenuhnya. “Apakah baju-baju itu bisa digunakan dalam kegiatan sehari-hari?” Senyum tipis tersungging kala ia mendengar pertanyaan pemuda yang masih m
Seberkas sinar dari sang surya menyelinap masuk melalui celah gorden yang tak tertutup rapat. Bias cahaya menyilaukan itu tepat terjatuh pada wajah wajah seorang gadis yang masih setia bergelung di balik selimutnya. Dering ponselnya total ia abaikan. Ia tidak tergugah sama sekali untuk sekedar berbalik memunggungi jendela apalagi beranjak menutup gorden agar sinar matahari tidak mengganggunya. Ia akan menghabiskan day off nya untuk bermesraan seharian dengan selimut juga guling empuknya. Namun, niat itu terdistraksi dengan gedoran tak sabaran dari pintu kamar. Sebenarnya ia bisa saja mengabaikan itu seperti ia mengabaikan dering perangkat jemala dari atas nakas, hanya saja ia tidakmau diusir dari hotelitu karena sudah mengganggu ketertiban umum. Tidak lucu bukan jika penegak hokum sepertinya malah melanggar hukum.Dengan langkah yang diseret Wei Fang menuju pintu cokelat yang memisahkan kamarnya dengan lorong hotel. Tanpa perlu mengintip dari lubang pintu, ia sudah bisa tahu siapa pe
Macau, Musim Gugur 2001Gemerlap cahaya lampu menerangi sepanjang ruas jalan Avenida de Lisboa. Sebuah bangunan bergaya futuristik yang unik berdiri megah dan terlihat mencolok. Wei Fang tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun sambil mengigit toast isi telur dan bacon yang ia pilih sebagai menu makan malamnya saat ini.Mobil van yang mereka sewa terparkir tepat di seberang Kasino Lisboa, tempat operasi mereka malam ini. Kendaraan roda dua maupun roda empat yang ramai serta para pejalan kaki yang memenuhi area pedestrian membantu melancarkan pengintaian mereka tanpa terlihat mencolok.“Aku harap kau tidak masuk angin dengan baju kurang bahan seperti itu,” ucap Namjum kemudian melempar jaket paddingnya hingga menutupi paha mulus Wei Fang yang terekspos akibat strapless dress berpotongan pendek yang ia kenakan. Sejak di hotel, pemuda itu protes dengan pemilihan gaun yang Wei Fang kenakan. “Tuan muda, kita akan mengunjungi kasino. Gaun ini masih sangat sopan dibandingkan para wanita
“Aku belum bisa meninggalkan Tiongkok saat ini.” Gadis itu mengerang frustasi. Ponsel yang menempel pada telinga kirinya ia apit dengan tangan kanan, sedang tangan kirinya sibuk membolak-balik berkas.“Dua minggu lagi. Undur saja dua minggu lagi.”Ponsel itu kemudian ia letakkan di atas meja setelah sebelumnya ia mengaktifkan pelantang suara.[Kau akan rugi sekitar dua puluh juta Franc Swiss. Apakah kau yakin ingin mengundur acara ini?]Gadis itu meletakkan berkas yang tadi sedang ia baca. “Aku tidak masalah. Kau urus saja. Tugasku disini masih belum selesai. Terserah kau ingin menggunakan alasan apa.”Terdengar desahan putus asa di seberang telepon. Namun itu tidak mengusik gadis itu sama sekali, ia masih sibuk membongkar beberapa berkas yang berada di depannya saat ini.[“Wei Fang. Aku tahu uang bukanlah masalah besar untukmu. Namun, tingkat kepercayaan para vendor di sini serta kepercayaan para pelangganmu itu hal yang akan kamu tebus dengan mahal. Apakah kau lupa bagaimana kau mem
Bangunan restoran yang terlihat tradisional itu membuat sebaris senyum Wei Fang terulas. Sudah lama sejak kali terakhir ia mengunjungi restoran yang menjual makanan Tiongkok. Di Paris ia tidak bisa menemukannya dengan mudah. Selain itu, mrasanya tidak seotentik ketika ia menyantap hidangan-hidangan itu di Tiongkok.Gadis itu masih mengekori langkah pemuda di depannya dalam diam. Selama perjalanan, ia gunakan untuk membaca berkas mengenai seluruh anggota timnya. Shen Juan juga termasuk pemuda yang pendiam. Wei Fang bersyukur jika semua anggota timnya memiliki sifat yang sama dengan pemuda itu.Embusan angin musim semi membuat Wei Fang merapatkan jaket kulit yang ia kenakan sebelum keluar dari mobil. Ia sedikit takjub ketika melangkahkan kaki memasuki restoran. Tidak ada meja yang kosong, ruangan itu dipenuhi oleh senda tawa. Sebuah spanduk acara reuni memenuhi salah satu dinding, ternyata ada yang sedang melakukan acara reuni juga.Manik sehitam malam itu mengitari seluruh ruangan. Sua