Suasana perusahaan dimanapun itu bagi Su Li tidak memiliki banyak perbedaan. Karyawan yang berlalu lalang dengan menggunakan name tag dan membicarakan pekerjaan, satu dua orang yang membawa setumpuk berkas, hingga beberapa karyawati yang sedang bergosip di ujung pantry.
Hanya saja, konsep perusahaan Liang Tech agak berbeda dengan Ubex Corporation tempatnya dulu mengumpulkan pundi-pundi kekayaan. Setiap divisi memiliki ciri khasnya masing-masing. Desain interior yang berbeda cukup menjelaskan bidang apa yang divisi itu kerjakan.
Tapak langkahnya yang mengikuti ketua HRD memasuki sebuah ruangan. Sebuah papan yang bertuliskan Investor Relation terpampang di atas pintu masuk. Tidak ada meja bersekat yang memisahkan karyawan satu dengan yang lain, konsep open space yang begitu apik. Ruangan yang tidak bisa disebut kecil itu dihuni oleh delapan orang karyawan yang terlihat sedikit sibuk sehingga tidak menyadari kedatangan mereka.
Tepukan tangan dari Tuan Shen mengalihkan atensi semua orang kepada mereka berdua. Perlahan semuanya mendekat dengan tampang bertanya-tanya. “Baiklah, karena semuanya terlihat sibuk. Saya akan mempercepat ini semua. Perkenalkan ini Nona Su Li, ketua Tim Investor Relation yang baru.”
Su Li maju selangkah dan memperkenalkan dirinya. “Saya Su Li. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik.” Tepukan tangan menyambut kedatangan Su Li di hari pertamanya bekerja. Acara perkenalan dan formalitas berakhir dalam sepuluh menit, semuanya kemudian kembali tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Su Li diberikan meja yang membelakangi kaca jendela besar menghadap delapan meja yang berada di kanan dan kirinya.
Ia memang diberitahu bahwa Ketua Tim sebelumnya mengundurkan diri karena suaminya pindah tempat bertugas. Pekerjaan yang ditinggalkan lumayan banyak. Untungnya ia memiliki anggota tim yang cekatan.
“Ketua Tim, ini laporan proyek kerja sama dengan Areva salah satu distributor kita di Perancis. Mereka menjadwalkan pertemuan besok siang.”
Su Li yang sedang menganalisis laporan yang diserahkan kepadanya mengangguk mengerti. Setelah anggota timnya itu meninggalkan meja, Su Li memijat pangkal hidungnya. Entah mengapa rasanya ia telah dimanfaatkan oleh sang Ayah.
Rasanya ia sangat jelas mengatakan bahwa tidak ingin berurusan dengan bidang keuangan, tetapi ia malah ditempatkan di Investor Relation dimana divisi ini bertanggung jawab untuk merilis dan menyajikan informasi tentang keuangan perusahaan kepada calon investor agar investasi dapat tetap terjamin.
Sepertinya satu kaleng minuman soda dapat menjernihkan kepenatannya. Ia pun beranjak keluar menuju vending machine yang berada di sebelah pintu darurat. Setelah air soda itu dengan lancar menuruni kerongkongannya, gadis berkemeja floral itu mengembuskan napas lega.
“Akhirnya aku bisa hidup,” gumamnya. Ia memutuskan untuk beristirahat di tangga darurat. Ketenangan adalah yang paling ia butuhkan sekarang. Sambil meneguk sodanya sedikit demi sedikit, Su Li berpikir mengenai petunjuk terakhir yang ia terima. Apa maksud dari foto itu? Mengapa harus perusahaan Ayahnya? Apakah pelakunya ada sini? Beberapa pertanyaan itu berseliweran di kepalanya.
Tegukan terakhir sodanya menandakan waktu untuk beristirahat sudah habis. Saatnya kembali menuju kenyataan, setumpuk pekerjaan sudah menantinya.
Baru saja ia melangkah masuk, sapaan dari anggota timnya membuat langkah Su Li terhenti. “Ketua Tim, ada telepon dari pihak Areva. Apakah anda bisa menerimanya?”
Su Li mengangguk dan bergegas menuju mejanya. “Bonjour, je suis Su Li en charge de ce projet à partir de maintenant.” (Halo, Saya Su Li yang bertanggung jawab dengan proyek ini mulai sekarang.) Ia mencatatkan beberapa hal yang menjadi catatan poin penting yang harus disiapkan untuk pertemuan mereka esok hari.
Setelah beberapa saat, pembicaraan itu pun selesai. “Bien. Merci. A demain pour en parler plus.” (Baik. Terima kasih. Sampai ketemu besok untuk kita bicarakan selengkapnya). Su Li kemudian meletakkan gagang teleponnya. “Xiao Lu bisa kau membantuku menyiapkan ini?”
Seorang pemuda menghampiri mejanya, memperhatikan beberapa catatan yang diberikan oleh Su Li. “Baik, akan saya siapkan.” Su Li berterima kasih. Setidaknya ia bisa menyelesaikan pekerjaan lainnya dengan tenang. Walaupun sepertinya penyelidikannya akan sedikit tertunda.
***
“Xiao Lu, terima kasih untuk hari ini. Kau bisa ke kantor lebih dulu.”
Pemuda itu mengangguk dan meninggalkan Su Li yang masih berkutat dengan ponselnya. Melihat tidak ada jadwal penting yang menunggunya, gadis itu memutuskan untuk mempelajari struktur perusahaan. Melalui jabatan dan juga privilege sebagai anak pemilik perusahaan, Su Li dapat mengakses semua informasi mengenai Liang Tech.
Ternyata perusahaan sang Ayah sekarang sudah sangat berkembang. Titel perusahaan raksasa di Tiongkok itu bukanlah hanya isapan jempol belaka.
Ia menyesap dalam ice americano sambil membaca baris per baris kata yang ditampilkan oleh layar persegi di depannya. Senyum kecutnya tersungging kala menemukan sang Ibu sambung ternyata masuk ke dalam jajaran direksi. Seingatnya pun Wu Xia sebelumnya adalah salah satu karyawan di Liang Tech. Hanya saja ia tidak terlalu tahu jabatan apa yang wanita paruh baya itu emban saat itu.
“Su Li.”
Ia mendongak, ternyata Ziang Wu yang menghampirinya. “Aku tadi melihatmu dari sana, sedang menunggu seseorang?” ujarnya sambil menunjuk beberapa meja dari tempat Su Li berada.
“Tidak. Baru selesai bertemu dengan klien.”
“Boleh bergabung?”
Su Li mengangguk, Ziang Wu kemudian menarik kursi di seberangnya. “Bagaimana rasanya pulang?”
“Setiap mengawali pembicaraan denganku selalu pertanyaan ini yang disodorkan. Apakah topik ini sangat membuat penasaran?”
Ziang Wu terkekeh sambil memperbaiki letak kacamatanya. “Hanya mencari topik awal pembicaraan.”
“Kau mengapa disini?”
Tidak mungkin pemuda itu menghabiskan waktu di kafe pada jam kerja. “Kau harus bertanggung jawab Nona.” Su Li mengernyitkan dahinya bingung. “Karena Ayahmu, sekarang aku harus mengikuti kencan buta yang diatur Ayahku.”
“Jadi kau bernasib sama sepertiku?” Su Li tergelak. Terkadang ia penasaran bagaimana sang Ayah dan sekretaris pribadinya itu bisa kompak dalam segala hal. “Selamat datang di kehidupan yang keras ini, Bro,” candanya dengan masih diiringi gelak tawanya.
“Hentikan. Apa yang kau lakukan sekarang?”
Melihat Ziang Wu yang kepayahan merupakan salah satu hiburannya di penghujung hari seperti sekarang. Sambil meredakan tawa, Su Li memperbaiki posisi duduknya. “Mempelajari lingkungan kerja.”
“Kau riset perusahaan Ayahmu?”
Su Li mengangguk. Memang tidak ada yang aneh jika ia ingin mengetahui mengenai perusahaan sang Ayah. Hanya saja ia masih berusaha menutupi apa yang sedang ia kejar saat ini. Su Li masih belum mempercayai siapapun.
Ziang Wu memperhatikan waktu di jam tangannya. “Aku masih memiliki waktu dua jam sebelum kembali, jadi kau bisa menanyakan apapun itu padaku.” Tawaran Ziang Wu berhasil membuat Su Li tertarik. Memang akan lebih mudah jika mengetahui dari orang yang sudah lama berada di perusahaan.
“Sebentar, Tuan Ziang,” ucapnya kemudian beranjak dari tempat duduknya. Pemuda itu sedikit bingung dengan apa yang akan dilakukan gadis muda itu. Ia memilih untuk mengabari koleganya bahwa ia ada sedikit urusan di luar jadi akan sedikit terlambat untuk kembali ke kantor.
Senyum tipis terpatri kala ia melihat kedatangan Su Li yang membawa se-nampan penuh di kedua tangannya.
“Kau tidak bermaksud membuat acara makan dessert kan?”
Su Li meletakkan nampan pesanannya di atas meja. “Dessert di sini ternyata sangat enak. Aku tidak pernah menemukan hal seperti ini di London. Jika tahu aku akan menetap lebih cepat.”
Sepotong strawberry shortcake, sepiring pancake, dua buah croffle dan dua gelas affogato berjubel sesak di nampan yang Su Li bawa, Ziang Wu terkekeh. “Kau tidak takut dengan persen kalori setiap dessert itu Nona Muda?”
“Jangan mengejekku terus. Ini bayaranmu, dan ceritakan tentang Liang Tech sekarang.” Su Li menyodorkan sebuah gelas berisi gelato yang disiram dengan espresso, "Kau masih menyukai affogato, kan?". Pemuda itu mengangguk sambil tersenyum, teman kecilnya itu ternyata tidak pernah lupa kesukaannya.
Berdasarkan cerita dari Ziang Wu, Su Li bisa mengambil kesimpulan bahwa terdapat beberapa orang pemegang saham terbesar di Liang Tech. Su Liang sebagai Founder dan CEO merupakan pemegang saham tertinggi, diikuti oleh beberapa jajaran direksi termasuk Wu Xia.
“Kau dan Wei Fang berada di posisi yang sama. Tetapi kau tidak perlu khawatir, Tuan Su pasti menunjukmu sebagai pewaris.”
Dibandingkan dengan ucapan Ziang Wu, Su Li lebih tertarik kepada para jajaran Direksi yang membuatnya curiga. “Jika terjadi sesuatu dengan Ayahku dan belum ditentukan siapa pewarisnya, menurutmu dari mereka siapa yang akan paling diuntungkan?”
Sebenarnya Ziang Wu sedikit terkejut dengan pertanyaan yang Su Li lontarkan, ia tidak menyangka bahwa ketertarikan gadis muda itu bukan ke arah siapa yang akan menjadi pewaris Liang Tech. Pemuda itu berusaha menimbangnya dengan cermat. “Melihat kondisi perusahaan yang stabil dan besarnya pengaruh yang mereka punya, maka semuanya berpeluang besar.”
Ziang Wu menyuap sesendok es krim vanila sebelum melanjutkan, “Tetapi ceritanya akan berubah jika salah satu diantara mereka bisa mengontrol yang lain. Kedudukan CEO tidak akan mudah tergantikan, Su Li. Pendapat para pemegang saham sangat berpengaruh. Selama aku bekerja, aku belum menemukan rasa tidak puas atas kepemimpinan Tuan Su dari pihak pemegang saham maupun direksi.”
Su Li mengangguk paham, “Berapa lama kau sudah bekerja di Liang Tech?”
“Tiga tahun yang lalu. Segera setelah menyelesaikan program Master.”
“Apakah selama periode tersebut ada sesuatu yang terjadi di perusahaan?”
Ziang Wu berpikir sejenak, “Selain kematian Ibumu, tidak ada kejadian luar biasa yang terjadi. Memang kuakui, setelah kematian Ibumu dan pernikahan kedua Ayahmu, perusahaan jadi sedikit repot karena mengubah struktur, tetapi setelahnya tidak ada hal spesial. Perusahaan tetap berjalan dengan baik bahkan berkembag pesat. Seperti yang kau lihat saat ini.”
Ziang Wu merasakan ada sesuatu yang janggal dari obrolannya bersama Su Li saat ini. Tetapi ia berusaha maklum karena menurutnya Su Li memang perlu mengenal satu persatu terkait apa yang gadis itu miliki saat ini.
***
Siulan teko listrik mengejutkan Su Li. Gadis berpiyama satin itu berjalan menuju dapur, menyeduh coklat panas favoritnya. Suasana malam yang sedikit berawan tidak melunturkan kemegahan dari The CCTV Headquarters pada malam hari.
Su Li membawa tungkainya ke depan jendela balkon yang ia buka lebar tirainya. Nyalinya masih belum sebesar itu untuk membuka serta siding kaca jendelanya. Suhu malam masih belum bersahabat.
Sudut matanya menangkap keberadaan papan kaca penuh coretan tangan. Seirama dengan sesapannya, Su Li mulai berpikir apakah ini semua hanyalah jebakan sang Ayah untuk menggiringnya kembali ke Tiongkok?
Hanya beberapa orang yang menyadari betapa licik sang Ayah jika menyangkut hal yang ia inginkan. Ia masih belum bisa menemukan apa motif yang menjadi alasan pembunuhan sang Ibu. Kematian mendadak tidak aneh bagi penderita penyakit jantung seperti sang Ibu. Beragam fakta mulai membombardir pikirannya, catatan rumah sakit pun tidak ada yang janggal.
Perusahaan pun terlihat baik-baik saja. Wu Xia tidak akan mungkin menyiakan kesempatan begitu saja, apalagi wanita paruh baya itu termasuk ke dalam jajaran direksi. Bukankah akan lebih mudah sebelum ia kembali?
“Apakah ini hanya emosi sesaatku?” pikirnya. Bersama dengan tegukan terakhir cokelat yang sudah mulai mendingin itu, Su Li mengakhiri harinya dan beranjak untuk menyelami mimpi.
Pintu darurat menjadi tempat favoritnya beristirahat. Setelah proyek dengan investor Perancis itu selesai, Su Li mengira bahwa tugasnya sudah selesai. ia tidak menyangka bahwa ia harus menyelesaikan beberapa proyek besar lagi.“Apakah aku terlalu serius bekerja?” gumamnya. Ia merasa sedikit demi sedikit mulai teralihkan dari tujuan utamanya. Getar ponselnya membuat dirinya beranjak. “Ada apa?” tanyanya sambil berjalan keluar.Xiao Lu memberikan kabar bahwa mereka diminta untuk menemui Su Liang sekarang. Ketika keluar, ia berpapasan dengan seorang pria. Wajahnya tidak terlihat dengan jelas karena pria itu menunduk sambil menerima panggilan.“Aku akan segera kesana.”Percakapan itu saja yang sempat ia dengar sebelum pria itu menghilang di balik pintu. Su Li terdiam, kemudian ia berbalik cepat menuju pintu tangga darurat tersebut. Derap langkah lirih yang menaiki tangga terdengar olehnya membuat jantungnya ikut berpacu.Untung saja ia menggunakan sepatu flat hari ini, jadi bisa dengan ce
Su Li membawa tungkainya ke lantai delapan. Tapak kakinya menggema memenuhi lorong bergaya futuristik tersebut, bagai berjalan di atas catwalk, Su Li menyadari puluhan pasang mata memperhatikan dirinya. Sampai di bagian ujung lantai ia berdiri di depan pintu kaca yang tidak tembus pandang dan kemudian mengetuk pintu. Mendorongnya ketika suara di dalam mempersilakannya masuk.“Selamat pagi, Direktur.”Direktur Lin yang melihat kedatangan Su Li melepaskan kacamata bacanya. “Ada apa Nona Su?” ucapnya sambil beranjak menuju sofa. Su Li menyamankan diri di salah satu sofa yang dipersilakan oleh Direktur Lin.“Divisi kami membutuhkan laporan cash flow perusahaan selama tiga tahun terakhir. Tetapi entah mengapa, sepertinya bagian keuangan lupa menyerahkan beberapa laporan. Kami mendapatkan beberapa yang missed. Terutama bagian operating activities. Jadi saya kemari karena ingin meminta dokumen tersebut.”“Permintaan saya seharusnya tidak terlalu banyak, kan?” Su Li menatap lurus Direktur Lin
“Apa yang bisa ditemukan oleh anak kecil itu? Dia hanya bisa menggertak.” Wanita itu meluruskan tangan kanannya, merasakan bagaimana tangan pegawai spa itu memijatnya dengan piawai. “Kau tidak perlu khawatir. Kita sudah membuatnya serapi mungkin. Tidak akan ada celah.” Setelah mengatakan hal tersebut ia mengakhiri panggilan itu. Seorang pegawai kemudian mengambil ponsel itu dari tangannya. “Su Li membuat onar?” Wanita itu mengangguk. “Dia membuat keributan di kantor Direktur Lin. Meminta kekurangan dokumen atau apapun itu.” “Seperti bukan dirinya saja. Bukankah selama ini dia hanya diam?” “Ibu juga tidak mengerti. Mungkin dia hanya mencari cara untuk menghalau bosan,” ucap wanita itu sambil terpejam. Wangi aromaterapi yang berasal dari lilin di pojok ruangan dan juga pijatan pada punggungnya membuat semuanya terasa sempurna. “Kau tidak ada niat untuk masuk ke perusahaan, Wei Fang?” Gadis muda di sebelahnya menggeleng. “Bukankah kita sudah sering membicarakan ini, Bu? Perusahaan
“Aku ingin menjadi pemimpin perusahaan.” Su Liang menatap Su Li tidak percaya. “Kau tidak sedang mabuk kan?” ia kemudian memastikan bahwa yang diminum oleh Su Li adalah kopi bukanlah minuman beralkohol. “Bukankah Ayah memaksaku untuk menjadi pewaris? Sekarang aku menawarkan diri tetapi malah seperti itu respon Ayah.” Su Li menyeruput es americano-nya dengan kesal. Jika sedang merajuk anak gadisnya itu akan cemberut seperti ikan mas, memuat Su Liang tersenyum gemas. “Ayah, aku sedang berbicara serius.” Ucapan Su Li membuat Su Liang menenggelamkan senyumnya. Benar kata sang Putri, ia harus serius saat ini. Pasti ada sesuatu yang membuat Su Li berubah pikiran. “Kau sudah menemukan pengganti kekasihmu itu?” Su Li memutar bola matanya kesal. Sang Ayah masih saja mengira dirinya memiliki hubungan spesial dengan Miss Moore. Ia sedikit menyesal mengapa tidak pernah mengiyakan tawaran beberapa temannya ketika di bangku sekolah. Saat di Ubex pun banyak yang mencoba mendekati hanya saja S
Kuncup-kuncup magnolia mulai menampakkan diri. Beberapa ranting yang semula gundul juga mulai menumbuhkan pucuk-pucuk kehijauan. Pegawai minimarket sedang menempelkan kaligrafi dan juga lukisan musim semi kala seorang gadis membuat bel kecil di atas pintu kaca itu bergemerincing. Destinasi pertamanya adalah deretan mie instan yang tersusun rapi, setelah menimbang cukup lama pilihannya jatuh kepada luosifen, semenjak berada di London, ia sangat ingin mencicipi sajian mie beras atau bihun berbahan dasar siput tersebut. Jika dalam penyajian sebenarnya, bihun direndam dalam kaldu pedas, lalu diberi taburan rebung, buncis, lobak, kacang tanah, dan kulit tahu, tetapi ia cukup puas dengan keberadaan luosifen dalam bentuk instan. Su Li berharap rasanya tidak akan beda jauh dari cita rasa yang berada di ingatannya. Walaupun beraroma yang khas, rasanya sangatlah enak. Dulu setiap kali sang Ibunda menjemput dirinya setiap sepulang sekolah, mereka pasti akan mampir di kedai ujung gang. Mengha
Cahaya matahari yang mengenai wajahnya membuat tidur lelap gadis itu terusik. Ditariknya selimut hingga menutupi wajah. Gerakannya berhenti karena ia merasa asing dengan aroma selimut yang menutupi tubuh semampainya. Manik itu perlahan membuka dan mulai memindai sekeliling. “Rasanya aku tidak memiliki lukisan itu,” gumamnya kala melihat lukisan yang tergantung di salah satu dinding. Ia kemudian beralih kepada selimut yang menutupi dirinya. Tersadar dengan keadaan dengan cepat ia memeriksa pakaian yang ia gunakan. Sebuah helaan lega terdengar saat mendapati dirinya masih berpakaian utuh di balik selimut abu-abu tersebut. Sepertinya dia tidak terlibat hal konyol akibat mabuk tadi malam. Gadis itu tidak menyangka bahwa tiga gelas margarita bisa membuatnya hilang kesadaran, toleransi alkoholnya menurun drastis. “Kau sudah bangun?” Badannya berputar cepat ke arah pintu. Bak putaran film lawas, kejadian tadi malam terlintas di kepalanya. Semua tidak ada yang terlewat. Termasuk ciuman
“Kau tidak perlu khawatir, kita hanya akan melakukan pernikahan kontrak.” Ziang Wu mengembuskan napas untuk sekian kali. Ucapan Su Li selalu terputar bak kaset rusak. Berulang-ulang tanpa memandang waktu. “Apakah ada yang salah?” Huo Yan memandangi pemuda berkemeja kotak-kotak di depannya dengan bingung. Pasalnya, selama bekerja di divisi yang sama selama tiga tahun, belum pernah Ziang Wu terlihat tidak fokus saat bekerja. Di balik sikap ramahnya kepada semua orang, jika menyangkut pekerjaan pemuda itu tidak akan pandang bulu. Ziang Wu memutar kursinya dan menghadap Huo Yan. “Aku ingin bertanya, tetapi ini bukanlah menyangkut diriku. Ini adalah cerita dari temannya temanku.” Huo Yan mengangguk mengerti walaupun ia mengerti bahwa Ziang Wu sudah berbohong. “Apa yang akan kau lakukan jika seorang wanita tiba-tiba mengajakmu menikah?” Pemuda berambut cepak itu terlihat berpikir sejenak. “Apakah dia cantik?” Ziang Wu mengangguk. “Apakah dia kaya?” Sekali lagi pemuda berkacamata i
“Mari kita menikah,” ulang Ziang Wu.Su Li menghambur memeluk Ziang Wu. Lengan kurus itu melingkar sempurna mendekap tubuh jangkung pemuda yang mematung akibat tindakan tiba-tiba Su Li tersebut.“Terima kasih,” gumamnya penuh dengan kesungguhan. Mendapatkan seseorang yang bersedia membantunya membuat Su Li sedikit merasa sentimental.Tubuh kurus itu bergetar lembut, Ziang Wu memberanikan diri membalas dekapan lembut yang ia terima. Membiarkan kemeja navy yang ia kenakan basah oleh sekresi air mata yang Su Li keluarkan.“Bagaimana perasaanmu?”Su Li menerima hangat yang Ziang Wu sodorkan. Rona merah yang menghiasi pipi putihnya itu seolah tidak mau menghilang. Baru kali ini bisa menangis begitu lepas, bahkan saat pemakaman sang Ibunda ia tidak menangis sekeras ini.Beberapa kejadian yang terjadi selama beberapa tahun belakangan memang menguras seluruh emosinya. Keadaan menuntutnya untuk tetap tegar dan terlihat baik-baik saja.“Menangis itu suatu hal yang manusiawi. Kau tidak perlu m
“Kau tahu? Pembunuh Shen Juan adalah Wu Xia. Ibunda Wei Fang.”Namjun berbalik dan menatap Luo Han. Dari sekian banyak berita yang ia harap sama sekali ia tidak pernah mengharapkan kabar buruk seperti itu."Shen Juan tidak mungkin melakukan itu." Namjun tetap bersikukuh untuk menampik hal tersebut. Lan Huo meletakkan kembali map berkas yang ia pegang. "Aku pun tidak ingin mempercayainya. Namun begitulah hasil penyelidikan." Pria itu menepuk pundak Namjun. Ia tahu, pasti sulit untuk menerima. "Aku juga seperti itu. Tetapi bukti demi bukti yang ada terlalu jelas. Shen Juan sudah melanggar kode etik dan merugikan kesatuan kita." Lan Huo kemudian melenggang keluar, meninggalkan namjun yang termenung. Pemuda itu tahu, Namjun pasti perlu waktu. Seperti tersadar akan sesuatu Namjun merogoh ponselnya di saku. Perangkat jemala itu bergetar dan menampilkan sebuah pesan. Namjun bergegas setelah selesai membaca pesan tersebut."Kau mau kemana?" Namjun hanya melengos pergi tanpa ingin menang
“Marie, apa yang kau lakukan?” gumamnya setelah melihat cuplikan berita yang ditampilkan oleh salah satu berita fashion di situs daring yang sedang ia baca. Wei Fang kehabisan stok kesabarannya. Dengan langkah lebar ia keluar dari kafe dan menuju pintu keluar. Gadis itu hampir keluar dari bandara, namun ia menghentikan langkah ketika pandangannya tertumbuk pada seorang gadis muda yang terlihat berlari menuju ke arahnya. “Maafkan aku,” ucap gadis itu setelah tepat berada di hadapan Wei Fang. “Ada aksi demonstrasi di alun-alun kota sehingga terjadi kemacetan.” Wei Fang mengabaikan penjelasan panjang lebar dari asistennya tersebut. Ia tidak ingin energinya terbuang percuma, ada hal penting dan lebih berbobot yang harus ia kerjakan ketimbang meladeni ucapan omong kosong yang Marie lontarkan. “Kita langsung menuju butik sekarang.”Marie mengangguk mengerti. Gadis itu kemudian mengambil langkah di depan Wei Fang, membawanya menuju dimana mobil yang tadi ia bawa terparkir. Diam-diam gad
“Kau?” Dua orang berbeda gender itu sama-sama terkejut setelah melihat satu sama lain. “Apa yang membawamu sampai kemari? Rasanya aku tidak pernah memberimu alamat ini.” Wei Fang menutup pintu di belakangnya. Gadis itu keluar alih-alih membawa kedua orang tamunya memasuki rumah. Ia masih perlu menyelidiki apa maksud tujuan kedua rekannya tersebut sampai mengunjunginya di rumah sang kakak. Padahal ia sama sekali tidak pernah memberikan alamat sang Kakak. “Jangan salah paham dulu. Kami kemari karena Namjun sudah menemukan dompet itu.” Lan Huo kemudian menyikut Namjun yang terlihat membatu. Pemuda itu selalu bersikap kikuk jika sudah berhadapan dengan Wei Fang. “Betul. Kami kemari karena ingin mengambilnya,” ucapnya sedikit terbata. “Mengambil? Bukankah kata yang tepat itu adalah memberikannya padaku?” Wei Fang menatap keduanya dengan alis hampir bertaut. “Lagipula ini adalah akhir pekan. Kita bisa membahasnya besok.” Gadis itu berbalik hendak kembali memasuki rumah ketika pegang
“Ada apa dengannya?” Lan Huo kaget saat membuka pintu dan menemukan Namjun yang dipapah masuk oleh Wei Fang. “Hanya sedikit pusing,” ujar Wei Fang sekenanya. Gadis itu kemudian menyerahkan Namjun pada Lan Huo. Ia kemudian meregangkan lengan kanannya. Memapah seseorang yang memiliki postur yang lebih besar, membuat lengannya sedikit kram. “Kau terluka?” tanya Shen Juan yang baru keluar dari kamar mandi. Aroma mint segar menguar memenuhi ruangan mengikuti langkah pemuda itu. Wei Fang menggeleng, kemudian menunjuk arah dua pemuda yang sedang memasuki kamar tersebut dengan dagunya. “Sepertinya ini masih terlalu cepat untuk ikut after party.” Kening Shen Juan berkerut dalam. “Kami tidak ikut. Namjun hanya mabuk kendaraan,” ucap Wei Fang lagi kemudian beranjak. “Aku akan membersihkan diriku dan bergabung dalam dua puluh menit.” Gadis itu kemudian melenggang keluar setelah meletakkan clutch dan juga anting yang tadi ia gunakan di atas meja. “Setelah ini aku tidak mau berada di kel
“Bukankah itu Tuan Liu?” Namjun mengikuti arah pandang Wei Fang. Secara samar ia dapat mendengar decakan halus dari gadis di sebelahnya itu. Sorot kebencian dan kemarahan terpatri jelas di manik segelap malam itu. Awal bertemu, ia mengira gadis itu menggunakan lensa kontak, karena memang iris mata berwarna hitam bukanlah warna yang umum. Bahkan setahunya, hanya ada sekitar 1 persen penduduk di muka bumi ini yang memiliki iris warna hitam. “Perhatikan tatapanmu. Dia akan menyadarinya jika kau menatapnya seintens itu,” bisik Namjun yang menyadarkan Wei Fang untuk mengalihkan pandangan. Apalagi acara fashion show itu sudah dimulai. Setelah pengantar singkat dari sang designer Liu Yan, terlihat deretan model yang berjalan memasuki runway. Tak heran dengan lokasi yang dipilih, ternyata Liu Yan mengusung tema yang menccerminkan Macau sepenuhnya. “Apakah baju-baju itu bisa digunakan dalam kegiatan sehari-hari?” Senyum tipis tersungging kala ia mendengar pertanyaan pemuda yang masih m
Seberkas sinar dari sang surya menyelinap masuk melalui celah gorden yang tak tertutup rapat. Bias cahaya menyilaukan itu tepat terjatuh pada wajah wajah seorang gadis yang masih setia bergelung di balik selimutnya. Dering ponselnya total ia abaikan. Ia tidak tergugah sama sekali untuk sekedar berbalik memunggungi jendela apalagi beranjak menutup gorden agar sinar matahari tidak mengganggunya. Ia akan menghabiskan day off nya untuk bermesraan seharian dengan selimut juga guling empuknya. Namun, niat itu terdistraksi dengan gedoran tak sabaran dari pintu kamar. Sebenarnya ia bisa saja mengabaikan itu seperti ia mengabaikan dering perangkat jemala dari atas nakas, hanya saja ia tidakmau diusir dari hotelitu karena sudah mengganggu ketertiban umum. Tidak lucu bukan jika penegak hokum sepertinya malah melanggar hukum.Dengan langkah yang diseret Wei Fang menuju pintu cokelat yang memisahkan kamarnya dengan lorong hotel. Tanpa perlu mengintip dari lubang pintu, ia sudah bisa tahu siapa pe
Macau, Musim Gugur 2001Gemerlap cahaya lampu menerangi sepanjang ruas jalan Avenida de Lisboa. Sebuah bangunan bergaya futuristik yang unik berdiri megah dan terlihat mencolok. Wei Fang tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun sambil mengigit toast isi telur dan bacon yang ia pilih sebagai menu makan malamnya saat ini.Mobil van yang mereka sewa terparkir tepat di seberang Kasino Lisboa, tempat operasi mereka malam ini. Kendaraan roda dua maupun roda empat yang ramai serta para pejalan kaki yang memenuhi area pedestrian membantu melancarkan pengintaian mereka tanpa terlihat mencolok.“Aku harap kau tidak masuk angin dengan baju kurang bahan seperti itu,” ucap Namjum kemudian melempar jaket paddingnya hingga menutupi paha mulus Wei Fang yang terekspos akibat strapless dress berpotongan pendek yang ia kenakan. Sejak di hotel, pemuda itu protes dengan pemilihan gaun yang Wei Fang kenakan. “Tuan muda, kita akan mengunjungi kasino. Gaun ini masih sangat sopan dibandingkan para wanita
“Aku belum bisa meninggalkan Tiongkok saat ini.” Gadis itu mengerang frustasi. Ponsel yang menempel pada telinga kirinya ia apit dengan tangan kanan, sedang tangan kirinya sibuk membolak-balik berkas.“Dua minggu lagi. Undur saja dua minggu lagi.”Ponsel itu kemudian ia letakkan di atas meja setelah sebelumnya ia mengaktifkan pelantang suara.[Kau akan rugi sekitar dua puluh juta Franc Swiss. Apakah kau yakin ingin mengundur acara ini?]Gadis itu meletakkan berkas yang tadi sedang ia baca. “Aku tidak masalah. Kau urus saja. Tugasku disini masih belum selesai. Terserah kau ingin menggunakan alasan apa.”Terdengar desahan putus asa di seberang telepon. Namun itu tidak mengusik gadis itu sama sekali, ia masih sibuk membongkar beberapa berkas yang berada di depannya saat ini.[“Wei Fang. Aku tahu uang bukanlah masalah besar untukmu. Namun, tingkat kepercayaan para vendor di sini serta kepercayaan para pelangganmu itu hal yang akan kamu tebus dengan mahal. Apakah kau lupa bagaimana kau mem
Bangunan restoran yang terlihat tradisional itu membuat sebaris senyum Wei Fang terulas. Sudah lama sejak kali terakhir ia mengunjungi restoran yang menjual makanan Tiongkok. Di Paris ia tidak bisa menemukannya dengan mudah. Selain itu, mrasanya tidak seotentik ketika ia menyantap hidangan-hidangan itu di Tiongkok.Gadis itu masih mengekori langkah pemuda di depannya dalam diam. Selama perjalanan, ia gunakan untuk membaca berkas mengenai seluruh anggota timnya. Shen Juan juga termasuk pemuda yang pendiam. Wei Fang bersyukur jika semua anggota timnya memiliki sifat yang sama dengan pemuda itu.Embusan angin musim semi membuat Wei Fang merapatkan jaket kulit yang ia kenakan sebelum keluar dari mobil. Ia sedikit takjub ketika melangkahkan kaki memasuki restoran. Tidak ada meja yang kosong, ruangan itu dipenuhi oleh senda tawa. Sebuah spanduk acara reuni memenuhi salah satu dinding, ternyata ada yang sedang melakukan acara reuni juga.Manik sehitam malam itu mengitari seluruh ruangan. Sua