Pintu darurat menjadi tempat favoritnya beristirahat. Setelah proyek dengan investor Perancis itu selesai, Su Li mengira bahwa tugasnya sudah selesai. ia tidak menyangka bahwa ia harus menyelesaikan beberapa proyek besar lagi.
“Apakah aku terlalu serius bekerja?” gumamnya. Ia merasa sedikit demi sedikit mulai teralihkan dari tujuan utamanya. Getar ponselnya membuat dirinya beranjak. “Ada apa?” tanyanya sambil berjalan keluar.
Xiao Lu memberikan kabar bahwa mereka diminta untuk menemui Su Liang sekarang. Ketika keluar, ia berpapasan dengan seorang pria. Wajahnya tidak terlihat dengan jelas karena pria itu menunduk sambil menerima panggilan.
“Aku akan segera kesana.”
Percakapan itu saja yang sempat ia dengar sebelum pria itu menghilang di balik pintu. Su Li terdiam, kemudian ia berbalik cepat menuju pintu tangga darurat tersebut. Derap langkah lirih yang menaiki tangga terdengar olehnya membuat jantungnya ikut berpacu.
Untung saja ia menggunakan sepatu flat hari ini, jadi bisa dengan cepat memacu langkah. Suara pintu terbuka membuatnya kembali mempercepat langkahnya.
“Sial,” umpatnya pelan. Ia kehilangan jejak, ia tidak dapat menemukan pria itu ketika berhasil mencapai lantai yang sama. Su Li yakin bahwa pria itu adalah orang yang memberikan instruksi untuk membunuh ibunya.
***
Pertemuan tidak sengaja dengan sang penelepon terus mengusik pikirannya. Su Li yakin bahwa pria itu adalah salah satu karyawan Liang Tech karena keberadaan name tag yang menggantung di lehernya.
“Nona Su!”
Su Li terperanjat dan tidak sengaja menjatuhkan pulpen yang sedang ia pegang. “Maaf. Bisa kalian lanjutkan,” ucapnya setelah memungut pulpen yang menggelinding ke bawah kursi. Ia sama sekali tidak bisa fokus walaupun sudah berusaha.
“Kita bisa lanjutkan seperti rencana awal. Investasi ini sangat berpengaruh terhadap usulan IPO yang dilakukan perusahaan. Bagaimana kinerja kita akan menentukan berapa banyak investor yang akan tertarik dan memutuskan untuk berinvestasi di perusahaan. Jadi jangan sampai ada kesalahan,” tutupnya setelah mendengar laporan dari masing-masing anggota tim mengenai perkembangan persiapan dan juga analisis investasi yang sedang mereka kerjakan.
Pengajuan IPO (Initial Public Offering) oleh Liang Tech membuat divisi Investor Relation terlihat sibuk. Pengaturan pertemuan dengan para pemegang saham, hingga tumpukan berkas yang membahas informasi finansial dan nonfinansial perusahaan telah membentuk gunung di sudut ruang rapat tersebut.
“Apakah Nona Su tidak enak badan?” Xiao Lu membawakan secangkir teh hangat dan meletakkan di atas meja.
“Aku baik-baik saja. Terima kasih,” ucapnya singkat sebelum kembali memeriksa beberapa dokumen yang masuk. Setelah hari itu ia tidak menemukan petunjuk lagi mengenai keberadaan pria yang berpapasan dengannya. Walaupun ia sudah memeriksa CCTV tetapi hasil yang ia dapatkan kurang memuaskan. Beberapa hari ini ia memikirkan cara untuk menemukan pria tersebut.
“Yun Shu, ada apa dengan wajahmu?”
Ucapan Xiao Lu membuat Su Li memperhatikan anggota termuda dalam timnya tersebut. Yun Shu terlihat murung padahal pemuda itu tergolong anak yang supel dan ceria.
“Kekasihnya pergi mengikuti company gathering. Jadi ia sedang menderita penyakit rindu.”
Su Li tersenyum tipis kala mendengar candaan tersebut. Tiba-tiba sebuah pertanyaan terlintas di kepalanya.
“Perusahaan kita apakah ada kegiatan serupa?” tanyanya. Hampir di setiap perusahaan pasti akan selalu menyelenggarakan company gathering karena selain ajang untuk refreshing, tak jarang ide-ide baru bermunculan. Selain itu hubungan antar karyawan pun bisa terjaga.
Selama bekerja di Ubex Su Li selalu menantikan kegiatan tersebut, karena artinya libur dari kepenatan pekerjaan yang tak ada habisnya sepanjang tahun.
“Tentu saja. Nona Su, anda datang di waktu yang tepat. Tahun ini, CG kita akan dilaksanakan di Yihe Yuan, Summer Palace yang terkenal itu.”
“Apakah semuanya ikut?”
Xiao Lu mengangguk antusias. “Net profit kita tahun ini meningkat hampir 40 persen, jadi perusahaan memberikan reward ke semua karyawan tanpa terkecuali melalui CG ini.”
Senyum Su Li terkembang sempurna. Ia tidak menyangka bahwa sang Ayah sangatlah dermawan dan loyal kepada para karyawannya. Selain itu ia merasa memiliki jalan untuk menemukan pria misterius itu.
“Kapan itu akan diadakan?”
“Dua hari lagi. Anda belum menerima pemberitahuannya, Nona Su?”
***
Puluhan bus terlihat berbaris rapi memasuki areal Istana Yihe Yuan atau yang terkenal dengan sebutan Summer Palace. Setelah melakukan briefing dan juga beberapa kegiatan yang dijadwalkan oleh kantor, Company Gathering itu memasuki acara bebas.
Kegiatan memang sengaja dipangkas agar tujuan liburannya benar-benar terasa. Istana yang digelari sebagai Istana Musim Panas itu tidak kehilangan pesonanya walaupun tertutupi oleh salju. Danau Kunming yang membeku tidak menjadi penghalang semangat para peserta gathering. Danau yang mengitari istana itu berubah menjadi wahana bermain ski.
“Hari ini katanya Summer Palace menjadi milik kita.”
Su Li tersenyum melihat betapa antusiasnya para karyawan. Xiao Lu ternyata tidak membual, tidak ada yang tersisa di kantor. Su Liang mewajibkan semuanya untuk mengikuti acara Company Gathering kali ini. Menggunakan hoodie oversize berwarna abu dipasangkan dengan celana jogger berwarna hitam membuat tampilan Su Li lebih santai dari biasanya.
“Apakah Ayah benar-benar menyewa satu tempat ini?” Su Li penasaran. Anggukan Su Liang berhasil membuatnya terpukau, bahkan sampai bertepuk tangan. “Ayah punya kejutan untukmu, tunggu saja.”
Perkataan Su Liang berhasil membuat Su Li terdiam. Ia mewaspadai kejutan apa yang dimaksud oleh sang ayah. Ketenangan sang Ayah akhir-akhir ini membuat Su Li curiga. Apalagi sang Ayah kemudian berjalan menjauh.
“Jangan terlalu mencurigai Ayahmu,” ucap Ziang Chen yang melihat ekspresi Su Li.
“Paman, bisakah kau memberitahukan apa kejutannya?” tanya Su Li dengan ekspresi yang dibuat semanis mungkin.
“Jangan memasang wajah memelas seperti itu Nona Muda. Kasihanilah jantung orang tua yang lemah ini,” ucap Ziang Chen yang membuat Su Li mengeluarkan wajah pura-pura galak.
“Paman masih sehat. Jangan bicara yang tidak-tidak.”
Membersamai Su Liang dari awal merintis Liang Tech membuat Ziang Chen sangat dekat dengan Su Li. Bahkan, gadis muda itu tidak sungkan untuk bersikap sedikit manja dengan Sekretaris pribadi Ayahnya tersebut.
Obrolan keduanya terhenti kala melihat Su Liang mendekat bersama Ziang Wu dan seorang pemuda yang pertama kali ia temui. Su Li berdoa agar Ayahnya tidak memiliki niat memaksanya untuk kencan buta saat ini. Fokus Su Li berpindah kepada pemuda yang terlihat sedang bercengkrama dengan Ziang Wu tersebut, keduanya terlihat sangat akrab.
“Paman mengenalnya?” bisik Su Li.
“Calon pasanganmu selanjutnya,” jawab Ziang Chen sambil berbisik juga.
Gadis itu hanya mampu menatap sang Ayah yang memasang wajah tanpa dosa dengan pasrah. Tidak mungkin ia kabur sekarang, misinya untuk mendapatkan pria misterius kemarin belum tercapai. Su Li berusaha memasang wajah seramah mungkin saat ketiga pria itu mendekat.
“Ada apa dengan wajahmu?” bisik Ziang Wu. Ekspresi Su Li saat ini seperti seseorang yang ingin menerkam mangsanya. Galak.
“Apa maksudmu? Wajahku memang seperti ini.”
Ziang Wu hanya menggeleng sembari tersenyum tipis. Ia tahu bahwa gadis itu sedang meredam kesalnya.
“Su Li, perkenalkan ini Zhou Zi. Kau ingat Paman Zhou teman masa kecil Ayah?”
Mendengar sang Ayah yang memperkenalkannya dengan tambahan hubungan teman masa kecil, itu sudah menjadi arti bahwa ia harus menjaga sikapnya. Su Li sebenarnya sudah tidak ingat dengan Paman Zhou yang dimaksud oleh Ayahnya, tetapi ia hanya bisa mengangguk dan tersenyum. Perkenalan basa-basi itu untungnya tidak berlangsung lama. Pemuda Zhou itu diminta untuk menemaninya berkeliling.
“Jadi, apakah kau terjebak dalam rencana kencan buta yang diatur oleh Ayahmu?”
Su Li tersenyum tipis. Setidaknya pemuda itu memiliki otak yang pintar menilai situasi. “Aku hanya diminta Ayah untuk bertemu putri kawan lamanya. Aku tidak menyangka bahwa itu kamu.”
Dahinya mengernyit, ia sama sekali tidak pernah merasa bertemu dengan pemuda itu. Tetapi mengapa perkataannya seakan mereka pernah bertemu?
“Saat itu kau masih di sekolah dasar, kau tidak ingat siapa yang berebut lego sampai meninggalkan bekas seperti ini?” Zhou Zi menunjuk sebuah bekas luka baret sepanjang satu senti di pipi kirinya.
Samar-samar Su Li mengingat, seorang anak kecil yang saat itu entah berasal dari mana tiba-tiba sok kenal dengannya. Bahkan anak lelaki itu menyentuh lego miliknya sembarangan. Gadis itu meringis kikuk kala menyadari anak lelaki itu berada di depannya saat ini.
“Jadi kau mau minta pertanggung jawaban?”
Pemuda itu menggeleng, “Lebih tepatnya aku ingin meminta tolong.”
Langkah pemuda itu terhenti, kemudian ia menyamankan diri di salah satu bangku taman yang menghadap langsung danau Kunming. “Aku sudah memiliki kekasih. Jadi bisakah kau menolakku?”
Tidak percaya dengan apa yang ia dengarkan, membuat Su Li bernapas lega. Ia mengambil tempat di sebelah pemuda itu, “Tanpa kau minta pun aku akan melakukan hal yang sama.”
Sebuah harapan terpancar di manik pemuda berambut ikal itu. “Aku tidak tahu mengapa Ayahku selalu mendorongku ke pernikahan. Maksudku, ini adalah kehidupanku. Walaupun ada sebutan orang tua, tetapi mereka sebenarnya tidak berhak mengatur hidup kita, bukan?”
“Kau tidak perlu khawatir, aku akan menolakmu dengan keras sampai kau tidak akan muncul di hadapanku lagi,” selorohnya kemudian.
Zhou Zi terkekeh, ternyata mengikuti saran Ziang Wu lebih mudah dari perkiraannya. Gadis di hadapannya sekarang sama sekali tidak berminat dengan perjodohan, apalagi pernikahan.
“Apa kau mengenal Ziang Wu?” tanya Su Li kemudian.
“Teman satu jurusan di Tsing Hua University.”
“Ah, pantas saja kalian terlihat akrab,” ujar Su Li.
***
Agenda selanjutnya sangat dinantikan oleh Su Li, yaitu makan malam bersama. Ini adalah kesempatan terakhir untuk menemukan pria misterius yang berpapasan dengannya tempo hari.
Acara makan malam yang dilakukan outdoor itu mengusung tema barbeque. Puluhan meja panjang sudah dipenuhi oleh aneka daging dan juga sayuran. Dua panci hotpot juga tersedia di setiap meja. Setiap divisi diberikan satu meja, Su Li bergabung dengan divisinya. Gadis itu menolak bergabung dengan jajaran direksi yang mengelilingi Ayahnya.
“Ketua Tim, apakah temanku bisa bergabung di meja kita?” tanya Xiao Lu yang direspon Su Li dengan anggukan. Gadis itu sibuk memasukkan potongan daging ke atas pembakaran.
“Terima kasih sudah mengijinkan saya bergabung, Nona Su.”
Su Li membatu, sumpit yang ia gunakan menggantung di udara. Ia tidak mungkin lupa dengan suara itu. Takut-takut ia mendongakkan kepala. Seorang pria yang tersenyum ramah berdiri di hadapannya. Dengan susah payah ia mengatur emosi dan juga ekspresi wajah menjadi senormal mungkin.
Su Li meletakkan sumpitnya di atas piring, “Silakan kami masih ada tempat kosong,” ujarnya seramah mungkin. Hidup memang selucu itu. Su Li tersenyum miris, beberapa hari belakang ia berusaha keras menemukan pria itu tetapi tidak membuahkan hasil. Ternyata pria itu malah menghampirinya. Setiap mendengarnya berbicara, Su Li merasakan sesak.
“Ketua Tim, kau tahu? Shen Juan baru bergabung dengan perusahaan kita dua minggu yang lalu. Hampir bersamaan dengan anda.”
“Really? Sebelumnya kau bekerja dimana?” tanya Su Li dengan suara yang nyaris tidak bisa keluar dengan sempurna dari tenggorokannya. Demi mendapatkan informasi yang ia inginkan, Su Li berusaha menahan bulir air menggenang di pelupuk matanya. Walau dadanya terasa sesak seperti bernapas di tengah kabut pekat, ia menelan semuanya.
“Awalnya saya bekerja di bidang jasa. Tetapi perusahaan kami bangkrut dan saya mendapatkan rekomendasi untuk bekerja di perusahaan ini.”
Su Li tidak dapat menahannya lebih lama, “Maaf, aku permisi sebentar.”
Mendapati dirinya yang gemetar membuat Su Li kesal dengan dirinya sendiri. Langkah gontainya ia bawa menjauh dari kerumunan. Ia kira ketika menemukan apa yang ia cari, dirinya akan meledak tetapi ternyata dirinya tidak cukup memiliki keberanian untuk itu.
Melihat bagaimana pria itu yang bisa tertawa lepas membuat dirinya mual. Bagaimana cara bicara pria itu saat meminta untuk membunuh Ibunya terngiang dan terputar bak kaset rusak di kepalanya.
“Shen Juan, mengapa?” lirihnya.
Su Li membawa tungkainya ke lantai delapan. Tapak kakinya menggema memenuhi lorong bergaya futuristik tersebut, bagai berjalan di atas catwalk, Su Li menyadari puluhan pasang mata memperhatikan dirinya. Sampai di bagian ujung lantai ia berdiri di depan pintu kaca yang tidak tembus pandang dan kemudian mengetuk pintu. Mendorongnya ketika suara di dalam mempersilakannya masuk.“Selamat pagi, Direktur.”Direktur Lin yang melihat kedatangan Su Li melepaskan kacamata bacanya. “Ada apa Nona Su?” ucapnya sambil beranjak menuju sofa. Su Li menyamankan diri di salah satu sofa yang dipersilakan oleh Direktur Lin.“Divisi kami membutuhkan laporan cash flow perusahaan selama tiga tahun terakhir. Tetapi entah mengapa, sepertinya bagian keuangan lupa menyerahkan beberapa laporan. Kami mendapatkan beberapa yang missed. Terutama bagian operating activities. Jadi saya kemari karena ingin meminta dokumen tersebut.”“Permintaan saya seharusnya tidak terlalu banyak, kan?” Su Li menatap lurus Direktur Lin
“Apa yang bisa ditemukan oleh anak kecil itu? Dia hanya bisa menggertak.” Wanita itu meluruskan tangan kanannya, merasakan bagaimana tangan pegawai spa itu memijatnya dengan piawai. “Kau tidak perlu khawatir. Kita sudah membuatnya serapi mungkin. Tidak akan ada celah.” Setelah mengatakan hal tersebut ia mengakhiri panggilan itu. Seorang pegawai kemudian mengambil ponsel itu dari tangannya. “Su Li membuat onar?” Wanita itu mengangguk. “Dia membuat keributan di kantor Direktur Lin. Meminta kekurangan dokumen atau apapun itu.” “Seperti bukan dirinya saja. Bukankah selama ini dia hanya diam?” “Ibu juga tidak mengerti. Mungkin dia hanya mencari cara untuk menghalau bosan,” ucap wanita itu sambil terpejam. Wangi aromaterapi yang berasal dari lilin di pojok ruangan dan juga pijatan pada punggungnya membuat semuanya terasa sempurna. “Kau tidak ada niat untuk masuk ke perusahaan, Wei Fang?” Gadis muda di sebelahnya menggeleng. “Bukankah kita sudah sering membicarakan ini, Bu? Perusahaan
“Aku ingin menjadi pemimpin perusahaan.” Su Liang menatap Su Li tidak percaya. “Kau tidak sedang mabuk kan?” ia kemudian memastikan bahwa yang diminum oleh Su Li adalah kopi bukanlah minuman beralkohol. “Bukankah Ayah memaksaku untuk menjadi pewaris? Sekarang aku menawarkan diri tetapi malah seperti itu respon Ayah.” Su Li menyeruput es americano-nya dengan kesal. Jika sedang merajuk anak gadisnya itu akan cemberut seperti ikan mas, memuat Su Liang tersenyum gemas. “Ayah, aku sedang berbicara serius.” Ucapan Su Li membuat Su Liang menenggelamkan senyumnya. Benar kata sang Putri, ia harus serius saat ini. Pasti ada sesuatu yang membuat Su Li berubah pikiran. “Kau sudah menemukan pengganti kekasihmu itu?” Su Li memutar bola matanya kesal. Sang Ayah masih saja mengira dirinya memiliki hubungan spesial dengan Miss Moore. Ia sedikit menyesal mengapa tidak pernah mengiyakan tawaran beberapa temannya ketika di bangku sekolah. Saat di Ubex pun banyak yang mencoba mendekati hanya saja S
Kuncup-kuncup magnolia mulai menampakkan diri. Beberapa ranting yang semula gundul juga mulai menumbuhkan pucuk-pucuk kehijauan. Pegawai minimarket sedang menempelkan kaligrafi dan juga lukisan musim semi kala seorang gadis membuat bel kecil di atas pintu kaca itu bergemerincing. Destinasi pertamanya adalah deretan mie instan yang tersusun rapi, setelah menimbang cukup lama pilihannya jatuh kepada luosifen, semenjak berada di London, ia sangat ingin mencicipi sajian mie beras atau bihun berbahan dasar siput tersebut. Jika dalam penyajian sebenarnya, bihun direndam dalam kaldu pedas, lalu diberi taburan rebung, buncis, lobak, kacang tanah, dan kulit tahu, tetapi ia cukup puas dengan keberadaan luosifen dalam bentuk instan. Su Li berharap rasanya tidak akan beda jauh dari cita rasa yang berada di ingatannya. Walaupun beraroma yang khas, rasanya sangatlah enak. Dulu setiap kali sang Ibunda menjemput dirinya setiap sepulang sekolah, mereka pasti akan mampir di kedai ujung gang. Mengha
Cahaya matahari yang mengenai wajahnya membuat tidur lelap gadis itu terusik. Ditariknya selimut hingga menutupi wajah. Gerakannya berhenti karena ia merasa asing dengan aroma selimut yang menutupi tubuh semampainya. Manik itu perlahan membuka dan mulai memindai sekeliling. “Rasanya aku tidak memiliki lukisan itu,” gumamnya kala melihat lukisan yang tergantung di salah satu dinding. Ia kemudian beralih kepada selimut yang menutupi dirinya. Tersadar dengan keadaan dengan cepat ia memeriksa pakaian yang ia gunakan. Sebuah helaan lega terdengar saat mendapati dirinya masih berpakaian utuh di balik selimut abu-abu tersebut. Sepertinya dia tidak terlibat hal konyol akibat mabuk tadi malam. Gadis itu tidak menyangka bahwa tiga gelas margarita bisa membuatnya hilang kesadaran, toleransi alkoholnya menurun drastis. “Kau sudah bangun?” Badannya berputar cepat ke arah pintu. Bak putaran film lawas, kejadian tadi malam terlintas di kepalanya. Semua tidak ada yang terlewat. Termasuk ciuman
“Kau tidak perlu khawatir, kita hanya akan melakukan pernikahan kontrak.” Ziang Wu mengembuskan napas untuk sekian kali. Ucapan Su Li selalu terputar bak kaset rusak. Berulang-ulang tanpa memandang waktu. “Apakah ada yang salah?” Huo Yan memandangi pemuda berkemeja kotak-kotak di depannya dengan bingung. Pasalnya, selama bekerja di divisi yang sama selama tiga tahun, belum pernah Ziang Wu terlihat tidak fokus saat bekerja. Di balik sikap ramahnya kepada semua orang, jika menyangkut pekerjaan pemuda itu tidak akan pandang bulu. Ziang Wu memutar kursinya dan menghadap Huo Yan. “Aku ingin bertanya, tetapi ini bukanlah menyangkut diriku. Ini adalah cerita dari temannya temanku.” Huo Yan mengangguk mengerti walaupun ia mengerti bahwa Ziang Wu sudah berbohong. “Apa yang akan kau lakukan jika seorang wanita tiba-tiba mengajakmu menikah?” Pemuda berambut cepak itu terlihat berpikir sejenak. “Apakah dia cantik?” Ziang Wu mengangguk. “Apakah dia kaya?” Sekali lagi pemuda berkacamata i
“Mari kita menikah,” ulang Ziang Wu.Su Li menghambur memeluk Ziang Wu. Lengan kurus itu melingkar sempurna mendekap tubuh jangkung pemuda yang mematung akibat tindakan tiba-tiba Su Li tersebut.“Terima kasih,” gumamnya penuh dengan kesungguhan. Mendapatkan seseorang yang bersedia membantunya membuat Su Li sedikit merasa sentimental.Tubuh kurus itu bergetar lembut, Ziang Wu memberanikan diri membalas dekapan lembut yang ia terima. Membiarkan kemeja navy yang ia kenakan basah oleh sekresi air mata yang Su Li keluarkan.“Bagaimana perasaanmu?”Su Li menerima hangat yang Ziang Wu sodorkan. Rona merah yang menghiasi pipi putihnya itu seolah tidak mau menghilang. Baru kali ini bisa menangis begitu lepas, bahkan saat pemakaman sang Ibunda ia tidak menangis sekeras ini.Beberapa kejadian yang terjadi selama beberapa tahun belakangan memang menguras seluruh emosinya. Keadaan menuntutnya untuk tetap tegar dan terlihat baik-baik saja.“Menangis itu suatu hal yang manusiawi. Kau tidak perlu m
“Jadi, ini nyata?”Shen Yue memandangi undangan yang berada di genggamannya. Dua nama yang tertulis pada kertas putih dengan desain bunga-bunga emas yang tersebar itu membuatnya terkejut pagi ini.“Xiao Lu, bisakah kau mencubit pipiku?” Mendapatkan permintaan seperti itu membuat Xiao Lu dengan semangat menarik pipi chuby itu dengan semangat.“Akh. Kau berniat membuat pipiku lepas?” ujarnya dengan kesal sambil memukul tangan Xiao Lu. Pemuda itu hanya tertawa.“Jangan sampai hilang, karena kau tidak akan bisa masuk tanpa undangan itu.” Kemudian pemuda itu berlalu. Ia harus menyerahkan beberapa undangan lagi kepada divisi lainnya.Seisi kantor sudah mulai berisik, tetapi sang pemeran utama penyebab kegemparan pagi ini melenggang santai memasuki perusahaan dengan tenang seperti biasa. Menenteng shoulder bag hitam di tangan kanan dan cup kopi di tangan kiri, Su Li melangkah memasuki lift.Berjubel dengan pegawai lain. Mengabaikan tatapan penasaran dari para pegawai. Ini bukan kali pertaman
“Kau tahu? Pembunuh Shen Juan adalah Wu Xia. Ibunda Wei Fang.”Namjun berbalik dan menatap Luo Han. Dari sekian banyak berita yang ia harap sama sekali ia tidak pernah mengharapkan kabar buruk seperti itu."Shen Juan tidak mungkin melakukan itu." Namjun tetap bersikukuh untuk menampik hal tersebut. Lan Huo meletakkan kembali map berkas yang ia pegang. "Aku pun tidak ingin mempercayainya. Namun begitulah hasil penyelidikan." Pria itu menepuk pundak Namjun. Ia tahu, pasti sulit untuk menerima. "Aku juga seperti itu. Tetapi bukti demi bukti yang ada terlalu jelas. Shen Juan sudah melanggar kode etik dan merugikan kesatuan kita." Lan Huo kemudian melenggang keluar, meninggalkan namjun yang termenung. Pemuda itu tahu, Namjun pasti perlu waktu. Seperti tersadar akan sesuatu Namjun merogoh ponselnya di saku. Perangkat jemala itu bergetar dan menampilkan sebuah pesan. Namjun bergegas setelah selesai membaca pesan tersebut."Kau mau kemana?" Namjun hanya melengos pergi tanpa ingin menang
“Marie, apa yang kau lakukan?” gumamnya setelah melihat cuplikan berita yang ditampilkan oleh salah satu berita fashion di situs daring yang sedang ia baca. Wei Fang kehabisan stok kesabarannya. Dengan langkah lebar ia keluar dari kafe dan menuju pintu keluar. Gadis itu hampir keluar dari bandara, namun ia menghentikan langkah ketika pandangannya tertumbuk pada seorang gadis muda yang terlihat berlari menuju ke arahnya. “Maafkan aku,” ucap gadis itu setelah tepat berada di hadapan Wei Fang. “Ada aksi demonstrasi di alun-alun kota sehingga terjadi kemacetan.” Wei Fang mengabaikan penjelasan panjang lebar dari asistennya tersebut. Ia tidak ingin energinya terbuang percuma, ada hal penting dan lebih berbobot yang harus ia kerjakan ketimbang meladeni ucapan omong kosong yang Marie lontarkan. “Kita langsung menuju butik sekarang.”Marie mengangguk mengerti. Gadis itu kemudian mengambil langkah di depan Wei Fang, membawanya menuju dimana mobil yang tadi ia bawa terparkir. Diam-diam gad
“Kau?” Dua orang berbeda gender itu sama-sama terkejut setelah melihat satu sama lain. “Apa yang membawamu sampai kemari? Rasanya aku tidak pernah memberimu alamat ini.” Wei Fang menutup pintu di belakangnya. Gadis itu keluar alih-alih membawa kedua orang tamunya memasuki rumah. Ia masih perlu menyelidiki apa maksud tujuan kedua rekannya tersebut sampai mengunjunginya di rumah sang kakak. Padahal ia sama sekali tidak pernah memberikan alamat sang Kakak. “Jangan salah paham dulu. Kami kemari karena Namjun sudah menemukan dompet itu.” Lan Huo kemudian menyikut Namjun yang terlihat membatu. Pemuda itu selalu bersikap kikuk jika sudah berhadapan dengan Wei Fang. “Betul. Kami kemari karena ingin mengambilnya,” ucapnya sedikit terbata. “Mengambil? Bukankah kata yang tepat itu adalah memberikannya padaku?” Wei Fang menatap keduanya dengan alis hampir bertaut. “Lagipula ini adalah akhir pekan. Kita bisa membahasnya besok.” Gadis itu berbalik hendak kembali memasuki rumah ketika pegang
“Ada apa dengannya?” Lan Huo kaget saat membuka pintu dan menemukan Namjun yang dipapah masuk oleh Wei Fang. “Hanya sedikit pusing,” ujar Wei Fang sekenanya. Gadis itu kemudian menyerahkan Namjun pada Lan Huo. Ia kemudian meregangkan lengan kanannya. Memapah seseorang yang memiliki postur yang lebih besar, membuat lengannya sedikit kram. “Kau terluka?” tanya Shen Juan yang baru keluar dari kamar mandi. Aroma mint segar menguar memenuhi ruangan mengikuti langkah pemuda itu. Wei Fang menggeleng, kemudian menunjuk arah dua pemuda yang sedang memasuki kamar tersebut dengan dagunya. “Sepertinya ini masih terlalu cepat untuk ikut after party.” Kening Shen Juan berkerut dalam. “Kami tidak ikut. Namjun hanya mabuk kendaraan,” ucap Wei Fang lagi kemudian beranjak. “Aku akan membersihkan diriku dan bergabung dalam dua puluh menit.” Gadis itu kemudian melenggang keluar setelah meletakkan clutch dan juga anting yang tadi ia gunakan di atas meja. “Setelah ini aku tidak mau berada di kel
“Bukankah itu Tuan Liu?” Namjun mengikuti arah pandang Wei Fang. Secara samar ia dapat mendengar decakan halus dari gadis di sebelahnya itu. Sorot kebencian dan kemarahan terpatri jelas di manik segelap malam itu. Awal bertemu, ia mengira gadis itu menggunakan lensa kontak, karena memang iris mata berwarna hitam bukanlah warna yang umum. Bahkan setahunya, hanya ada sekitar 1 persen penduduk di muka bumi ini yang memiliki iris warna hitam. “Perhatikan tatapanmu. Dia akan menyadarinya jika kau menatapnya seintens itu,” bisik Namjun yang menyadarkan Wei Fang untuk mengalihkan pandangan. Apalagi acara fashion show itu sudah dimulai. Setelah pengantar singkat dari sang designer Liu Yan, terlihat deretan model yang berjalan memasuki runway. Tak heran dengan lokasi yang dipilih, ternyata Liu Yan mengusung tema yang menccerminkan Macau sepenuhnya. “Apakah baju-baju itu bisa digunakan dalam kegiatan sehari-hari?” Senyum tipis tersungging kala ia mendengar pertanyaan pemuda yang masih m
Seberkas sinar dari sang surya menyelinap masuk melalui celah gorden yang tak tertutup rapat. Bias cahaya menyilaukan itu tepat terjatuh pada wajah wajah seorang gadis yang masih setia bergelung di balik selimutnya. Dering ponselnya total ia abaikan. Ia tidak tergugah sama sekali untuk sekedar berbalik memunggungi jendela apalagi beranjak menutup gorden agar sinar matahari tidak mengganggunya. Ia akan menghabiskan day off nya untuk bermesraan seharian dengan selimut juga guling empuknya. Namun, niat itu terdistraksi dengan gedoran tak sabaran dari pintu kamar. Sebenarnya ia bisa saja mengabaikan itu seperti ia mengabaikan dering perangkat jemala dari atas nakas, hanya saja ia tidakmau diusir dari hotelitu karena sudah mengganggu ketertiban umum. Tidak lucu bukan jika penegak hokum sepertinya malah melanggar hukum.Dengan langkah yang diseret Wei Fang menuju pintu cokelat yang memisahkan kamarnya dengan lorong hotel. Tanpa perlu mengintip dari lubang pintu, ia sudah bisa tahu siapa pe
Macau, Musim Gugur 2001Gemerlap cahaya lampu menerangi sepanjang ruas jalan Avenida de Lisboa. Sebuah bangunan bergaya futuristik yang unik berdiri megah dan terlihat mencolok. Wei Fang tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun sambil mengigit toast isi telur dan bacon yang ia pilih sebagai menu makan malamnya saat ini.Mobil van yang mereka sewa terparkir tepat di seberang Kasino Lisboa, tempat operasi mereka malam ini. Kendaraan roda dua maupun roda empat yang ramai serta para pejalan kaki yang memenuhi area pedestrian membantu melancarkan pengintaian mereka tanpa terlihat mencolok.“Aku harap kau tidak masuk angin dengan baju kurang bahan seperti itu,” ucap Namjum kemudian melempar jaket paddingnya hingga menutupi paha mulus Wei Fang yang terekspos akibat strapless dress berpotongan pendek yang ia kenakan. Sejak di hotel, pemuda itu protes dengan pemilihan gaun yang Wei Fang kenakan. “Tuan muda, kita akan mengunjungi kasino. Gaun ini masih sangat sopan dibandingkan para wanita
“Aku belum bisa meninggalkan Tiongkok saat ini.” Gadis itu mengerang frustasi. Ponsel yang menempel pada telinga kirinya ia apit dengan tangan kanan, sedang tangan kirinya sibuk membolak-balik berkas.“Dua minggu lagi. Undur saja dua minggu lagi.”Ponsel itu kemudian ia letakkan di atas meja setelah sebelumnya ia mengaktifkan pelantang suara.[Kau akan rugi sekitar dua puluh juta Franc Swiss. Apakah kau yakin ingin mengundur acara ini?]Gadis itu meletakkan berkas yang tadi sedang ia baca. “Aku tidak masalah. Kau urus saja. Tugasku disini masih belum selesai. Terserah kau ingin menggunakan alasan apa.”Terdengar desahan putus asa di seberang telepon. Namun itu tidak mengusik gadis itu sama sekali, ia masih sibuk membongkar beberapa berkas yang berada di depannya saat ini.[“Wei Fang. Aku tahu uang bukanlah masalah besar untukmu. Namun, tingkat kepercayaan para vendor di sini serta kepercayaan para pelangganmu itu hal yang akan kamu tebus dengan mahal. Apakah kau lupa bagaimana kau mem
Bangunan restoran yang terlihat tradisional itu membuat sebaris senyum Wei Fang terulas. Sudah lama sejak kali terakhir ia mengunjungi restoran yang menjual makanan Tiongkok. Di Paris ia tidak bisa menemukannya dengan mudah. Selain itu, mrasanya tidak seotentik ketika ia menyantap hidangan-hidangan itu di Tiongkok.Gadis itu masih mengekori langkah pemuda di depannya dalam diam. Selama perjalanan, ia gunakan untuk membaca berkas mengenai seluruh anggota timnya. Shen Juan juga termasuk pemuda yang pendiam. Wei Fang bersyukur jika semua anggota timnya memiliki sifat yang sama dengan pemuda itu.Embusan angin musim semi membuat Wei Fang merapatkan jaket kulit yang ia kenakan sebelum keluar dari mobil. Ia sedikit takjub ketika melangkahkan kaki memasuki restoran. Tidak ada meja yang kosong, ruangan itu dipenuhi oleh senda tawa. Sebuah spanduk acara reuni memenuhi salah satu dinding, ternyata ada yang sedang melakukan acara reuni juga.Manik sehitam malam itu mengitari seluruh ruangan. Sua