Share

SEPULUH

Penulis: NingsNingrum
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Kuncup-kuncup magnolia mulai menampakkan diri. Beberapa ranting yang semula gundul juga mulai menumbuhkan pucuk-pucuk kehijauan. Pegawai minimarket sedang menempelkan kaligrafi dan juga lukisan musim semi kala seorang gadis membuat bel kecil di atas pintu kaca itu bergemerincing.

Destinasi pertamanya adalah deretan mie instan yang tersusun rapi, setelah menimbang cukup lama pilihannya jatuh kepada luosifen, semenjak berada di London, ia sangat ingin mencicipi sajian mie beras atau bihun berbahan dasar siput tersebut.

Jika dalam penyajian sebenarnya, bihun direndam dalam kaldu pedas, lalu diberi taburan rebung, buncis, lobak, kacang tanah, dan kulit tahu, tetapi ia cukup puas dengan keberadaan luosifen dalam bentuk instan. Su Li berharap rasanya tidak akan beda jauh dari cita rasa yang berada di ingatannya.

Walaupun beraroma yang khas, rasanya sangatlah enak. Dulu setiap kali sang Ibunda menjemput dirinya setiap sepulang sekolah, mereka pasti akan mampir di kedai ujung gang. Menghabiskan satu mangkuk sebelum pulang ke rumah. Mengingat hal tersebut membuat sudut matanya berair.

Selain dua bungkus luosifen, Su Li juga memasukkan dua cup mie instan pedas. Kemudian ia berpindah untuk mengambil sosis dan juga tak lupa sekaleng bir. Alunan First Love dari Utada Hikaru menemani sesi belanjanya siang ini. “You are always gonna be my love, itsuka darekatomata koiniochitemo, i’ll remember to love ..” senandungnya lirih mengikuti suara merdu penyanyi asal negeri matahari terbit tersebut.

Dua bungkus besar snack, dua batang coklat dan seember besar es krim coklat juga berhasil berpindah ke dalam keranjang kuning yang gadis itu jinjing. Sesi belanjanya berakhir bertepatan dengan menggemanya Give Me Five! yang dibawakan oleh grup idol kawakan SNH48 di minimarket tersebut.

Hari liburnya tidak pernah sesantai ini, jadi ia memanfaatkannya dengan baik. Semenjak pindah, Su Li sama sekali tidak pernah berjalan santai di lingkungan apartemennya. Sambil mengunyah sosis dan tangan kanan mengapit reusable bag warna hijau Su Li berjalan santai kembali ke apartemennya.

Melewati beberapa penjual street food membuat dirinya tergugah untuk mampir. Musim sudah berganti menjadi musim semi, artinya akan banyak yang menjual panekuk musim semi, lumpia, bahkan layang-layang.

Tampilan panekuk hangat yang mengepulkan asap tipis itu berhasil menghipnotis Su Li untuk membawa pulang beberapa. Bahkan bibi penjual memberikannya bonus dua potong lumpia sebagai perayan hari pertama musim semi.

Beberapa anak-anak terlihat sedang menerbangkan layangan di taman depan kompleks apartemennya. Bagi orang Tionghoa, musim semi merupakan musim terbaik untuk menerbangkan layangan. Tidak sekedar sarana bermain, mereka juga percaya bahwa bermain layangan dapat membangun kesehatan seseorang dan menjauhkan diri dari penyakit.

Su Li memutuskan untuk berhenti di taman. Menyamankan bokongnya di salah satu kursi yang menghadap playground yang dipenuhi oleh anak-anak. Sebuah pohon plum di pojok taman menarik atensinya, beberapa dahan sudah mulai menampilkan bunga-bunga kecil berwarna merah jambu. Seorang anak menghampiri ketika sebuah bola membentur lembut kaki kirinya. Ia berjongkok dan memberikan bola tersebut.

“Xièxiè piàoliang jiějiě (Terima kasih, kakak cantik).”

Ucapan bocah kecil dengan gigi ompong itu berhasil menerbitkan senyum gemas Su Li. Sejak kecil sudah pintar berkata-kata. Bocah lelaki itu kemudian kembali bergabung bersama segerombolan anak-anak yang lain. Tawa lepas yang menggema membuatnya sedikit iri.

Pikirannya kembali melanglang buana. Ia hampir frustasi, ternyata mencari suami sewaan tidaklah semudah yang ia pikirkan. Belum lagi desakan dari sang Ayah membuatnya hampir tidak ada waktu untuk beristirahat.

Su Li sedikit menyesal sudah mengatakan hal konyol malam itu kepada Ayahnya. Segala macam penawaran sudah ia tawarkan tetapi penolakan dari sang Ayah mematahkan semuanya. Ia bisa menjanjikan apapun selain menikah, tetapi sayangnya Ayahnya tidak tertarik dengan semua itu. Ia kemudian mengeluarkan ponselnya.

Mengetikkan beberapa kalimat di sebuah forum online, berharap ada beberapa saran yang bisa membantunya mendapatkan suami sewaan.

“Bar?” Dahinya mengernyit kala membaca beberapa saran yang masuk. Karena banyak yang merekomendasikannya, membuatnya penasaran untuk mencoba.

“Sepertinya tidak buruk. Aku juga sudah lama tidak minum,” gumamnya.

***

Sekali lagi Su Li memastikan tampilannya di depan cermin. Memastikan apa yang ia kenakan saat ini sudah pas. Tanktop hitam yang dipadukan dengan kulot senada dengan outer rajut putih ia pilih sebagai penutup tampilannya. Tungkai berbalut sneakers putih itu kemudian meninggalkan kediaman. Tak lama Porsche Panamera biru metalik bergabung dengan keramaian jalanan Beijing.

Pilihannya jatuh kepada Mai Bar, gadis itu suka sesuatu yang berbau tradisional. Senyum puasnya merekah sempurna ketika ia sampai pada tujuan. Bangunannya berdesain klasik yang sangat kental, bahkan pintu masuknya seperti rumah jaman dulu dengan gantungan kepala singa sebagai hiasan.

Begitu masuk, ia disambut dengan ruangan yang diterangi oleh cahaya temaram. Beberapa meja bulat tersusun rapi di sebuah lorong. Su Li membawa dirinya masuk semakin dalam, gadis itu memilih duduk di depan meja bar yang berhadapan dengan puluhan botol aneka minuman keras yang didisplay dengan apik.

“Selamat malam, cantik,” sapa bartender ketika Su Li menyamankan bokongnya di kursi kayu menghadap sang bartender yang sedang menyiapkan minuman.

“Satu margarita,” ucapnya pendek tanpa berniat membalas basa-basi sang bartender. Selain segelas minuman beralkohol itu, ia juga memesan satu set makanan pendamping. Minum dengan perut kosong itu akan membuatmu cepat mabuk.

Bagaimana kepiawaian bartender dalam meracik pesanannya menarik perhatian Su Li. Bartender memasukkan beberapa bahan ke dalam bar shaker yang sudah ditambahkan es batu sebelumnya kemudian mengocoknya kuat selama 20 detik sebelum dimasukkan ke dalam gelas.

Larutan pekat berwarna putih keruh itu meluncur turun memenuhi gelas yang sebelumnya sudah diberikan garam halus pada tepiannya.

“Margarita anda, Nona,” ucap bartender itu genit. Sekali lagi Su Li tidak mengacuhkan hal tersebut. Alunan musik jazz terdengar memenuhi ruangan remang-remang tersebut. Beberapa kelompok orang yang tersebar tidak membuat Su Li merasa kesepian. Inilah alasan utama kenapa ia mendatangi bar bukan club.

Ketika minum, ia lebih menyukai suasana tenang daripada tempat yang penuh dengan musik yang menghentak. Entah karena suasananya yang pas atau karena dirinya membutuhkan pelarian sejenak dari rasa frustasi yang sedang menggerogoti dirinya, Su Li sudah menghabiskan gelas ketiga margarita favoritnya.

Saat dirinya diambang batas kesadaran, seorang pria mendekati. “Hai, cantik. Dari tadi kuperhatikan kau sendirian.” Walau sedikit pening, Su Li masih mampu menggunakan sebagian akal sehatnya.

“Pergilah, aku tidak berminat berbicara dengan siapa pun malam ini,” usirnya. Tetapi lelaki tersebut tidak pantang menyerah. Bahkan mulai berani menyentuh pundak Su Li.

“Singkirkan tanganmu,” gertak Su Li tetapi pria itu tidak menghentikan aksinya. Jemarinya mencengkram kuat pergelangan tangan Su Li. Keadaan bar yang cukup ramai membuat fokus semua orang teralihkan.

“Malam ini temani aku saja,” bisik pria itu seduktif. Aroma alkohol bercampur nikotin yang menguar dari napasnya membuat Su Li semakin mual. Ketika ia berusaha berontak, sebuah lengan kekar mendorong pria tersebut menjauh.

“Pergi menjauh dari kekasihku,” gertaknya garang membuat lelaki itu langsung menjauh. Merasa mengenali suaranya, Su Li berbalik. “Ziang Wu. Mengapa kau ada disini?”

Pemuda itu merapatkan outer yang sempat melorot dan membenahi penampilan Su Li yang jauh dari kata baik-baik saja. Ziang Wu sebenarnya ingin bertemu dengan temannya. Tetapi baru saja ia mendaratkan bokongnya, ia melihat seorang wanita yang sedang digoda oleh pria hidung belang dan semakin terkejut kala mengenali gadis tersebut.

“Kita pulang sekarang,” ucapnya pendek tanpa niat untuk menjawab pertanyaan Su Li barusan. Setelah membayar dan berpamitan dengan teman-temannya, Ziang Wu membopong Su Li menuju parkiran.

“Kau membawa mobil?” tanyanya yang diabaikan oleh Su Li. Gadis itu benar-benar mabuk. Ziang Wu merogoh tas yang dibawa oleh Su Li, memasukkan gadis itu ke dalam mobil segera setelah menemukan kuncinya.

“Ziang Wu.”

Mendengar rengekan dari gadis di sebelahnya, membuat Ziang Wu menggelengkan kepalanya. Pemuda itu dengan telaten mengurusnya. “Duduklah yang benar, agar aku bisa memasang sabuk pengamanmu.” Su Li yang terus bergerak membuat Ziang Wu kesulitan. Tubuh Ziang Wu mematung kala Su Li tiba-tiba mengalungkan lengannya. Manik kecoklatan itu seakan menguncinya.

“Ini lucu sekali,” ucap Su Li sambil menyentuh tahi lalat yang berada di bawah mata kirinya. “Kau sangat tampan,” lanjutnya sambil tersenyum manis hingga menampilkan dua lesung pipit yang begitu manis. Ziang Wu sudah merasakan alarm bahaya.

Ia berusaha melepaskan diri. Waktu seakan berhenti kala birai merah muda itu berhasil mendarat mulus di bibirnya, menggodanya dengan pagutan halus. Ziang Wu yakin bahwa ia belum menyentuh minumannya sedikitpun, tetapi ia merasa cukup mabuk. Aroma ceri bercampur dengan manis liquor jeruk dapat ia cecap tipis membuatnya terhanyut dalam pagutan panas yang sama sekali tidak ada dalam rencananya.

Bab terkait

  • DENDAM SANG PEWARIS   SEBELAS

    Cahaya matahari yang mengenai wajahnya membuat tidur lelap gadis itu terusik. Ditariknya selimut hingga menutupi wajah. Gerakannya berhenti karena ia merasa asing dengan aroma selimut yang menutupi tubuh semampainya. Manik itu perlahan membuka dan mulai memindai sekeliling. “Rasanya aku tidak memiliki lukisan itu,” gumamnya kala melihat lukisan yang tergantung di salah satu dinding. Ia kemudian beralih kepada selimut yang menutupi dirinya. Tersadar dengan keadaan dengan cepat ia memeriksa pakaian yang ia gunakan. Sebuah helaan lega terdengar saat mendapati dirinya masih berpakaian utuh di balik selimut abu-abu tersebut. Sepertinya dia tidak terlibat hal konyol akibat mabuk tadi malam. Gadis itu tidak menyangka bahwa tiga gelas margarita bisa membuatnya hilang kesadaran, toleransi alkoholnya menurun drastis. “Kau sudah bangun?” Badannya berputar cepat ke arah pintu. Bak putaran film lawas, kejadian tadi malam terlintas di kepalanya. Semua tidak ada yang terlewat. Termasuk ciuman

  • DENDAM SANG PEWARIS   DUA BELAS

    “Kau tidak perlu khawatir, kita hanya akan melakukan pernikahan kontrak.” Ziang Wu mengembuskan napas untuk sekian kali. Ucapan Su Li selalu terputar bak kaset rusak. Berulang-ulang tanpa memandang waktu. “Apakah ada yang salah?” Huo Yan memandangi pemuda berkemeja kotak-kotak di depannya dengan bingung. Pasalnya, selama bekerja di divisi yang sama selama tiga tahun, belum pernah Ziang Wu terlihat tidak fokus saat bekerja. Di balik sikap ramahnya kepada semua orang, jika menyangkut pekerjaan pemuda itu tidak akan pandang bulu. Ziang Wu memutar kursinya dan menghadap Huo Yan. “Aku ingin bertanya, tetapi ini bukanlah menyangkut diriku. Ini adalah cerita dari temannya temanku.” Huo Yan mengangguk mengerti walaupun ia mengerti bahwa Ziang Wu sudah berbohong. “Apa yang akan kau lakukan jika seorang wanita tiba-tiba mengajakmu menikah?” Pemuda berambut cepak itu terlihat berpikir sejenak. “Apakah dia cantik?” Ziang Wu mengangguk. “Apakah dia kaya?” Sekali lagi pemuda berkacamata i

  • DENDAM SANG PEWARIS   TIGA BELAS

    “Mari kita menikah,” ulang Ziang Wu.Su Li menghambur memeluk Ziang Wu. Lengan kurus itu melingkar sempurna mendekap tubuh jangkung pemuda yang mematung akibat tindakan tiba-tiba Su Li tersebut.“Terima kasih,” gumamnya penuh dengan kesungguhan. Mendapatkan seseorang yang bersedia membantunya membuat Su Li sedikit merasa sentimental.Tubuh kurus itu bergetar lembut, Ziang Wu memberanikan diri membalas dekapan lembut yang ia terima. Membiarkan kemeja navy yang ia kenakan basah oleh sekresi air mata yang Su Li keluarkan.“Bagaimana perasaanmu?”Su Li menerima hangat yang Ziang Wu sodorkan. Rona merah yang menghiasi pipi putihnya itu seolah tidak mau menghilang. Baru kali ini bisa menangis begitu lepas, bahkan saat pemakaman sang Ibunda ia tidak menangis sekeras ini.Beberapa kejadian yang terjadi selama beberapa tahun belakangan memang menguras seluruh emosinya. Keadaan menuntutnya untuk tetap tegar dan terlihat baik-baik saja.“Menangis itu suatu hal yang manusiawi. Kau tidak perlu m

  • DENDAM SANG PEWARIS   EMPAT BELAS

    “Jadi, ini nyata?”Shen Yue memandangi undangan yang berada di genggamannya. Dua nama yang tertulis pada kertas putih dengan desain bunga-bunga emas yang tersebar itu membuatnya terkejut pagi ini.“Xiao Lu, bisakah kau mencubit pipiku?” Mendapatkan permintaan seperti itu membuat Xiao Lu dengan semangat menarik pipi chuby itu dengan semangat.“Akh. Kau berniat membuat pipiku lepas?” ujarnya dengan kesal sambil memukul tangan Xiao Lu. Pemuda itu hanya tertawa.“Jangan sampai hilang, karena kau tidak akan bisa masuk tanpa undangan itu.” Kemudian pemuda itu berlalu. Ia harus menyerahkan beberapa undangan lagi kepada divisi lainnya.Seisi kantor sudah mulai berisik, tetapi sang pemeran utama penyebab kegemparan pagi ini melenggang santai memasuki perusahaan dengan tenang seperti biasa. Menenteng shoulder bag hitam di tangan kanan dan cup kopi di tangan kiri, Su Li melangkah memasuki lift.Berjubel dengan pegawai lain. Mengabaikan tatapan penasaran dari para pegawai. Ini bukan kali pertaman

  • DENDAM SANG PEWARIS   LIMA BELAS

    Ziang Wu kembali melirik jam dinding. Ia sudah menyelesaikan satu ronde tetris di ponsel tetapi Su Li belum juga menampakkan batang hidungnya. Kembali ia membuka room chat terakhirnya bersama sang Istri. Pesan yang dikirimkan oleh Su Li sepuluh menit yang lalu menyatakan bahwa gadis itu sedang berada di lift.Pemuda itu menengok ke arah dalam di mana sang Ayah sudah kembali tertidur pulas. Kemudian mencoba menghubungi ponsel Su Li. Suara nada tunggu yang tidak berhenti membuat Ziang Wu menjadi cemas dan memutuskan untuk keluar kamar.Pada dering ke lima akhirnya panggilannya terjawab. Belum sempat ia bernapas lega, suara lirih Su Li yang memanggilnya membuat jantungnya kembali berpacu.“Su Li, kau bisa mendengarku?” Tak ada jawaban dari seberang membuat Ziang Wu memacu langkahnya menuju lift. Berkali-kali ia mencoba memanggil Su Li tetapi nihil, masih kesunyian yang menyapanya. Ziang Wu hampir mengutuk ketika ada suara yang terdengar di panggilannya.“Halo.”“Halo. Bisa berikan ponsel

  • DENDAM SANG PEWARIS   ENAM BELAS

    Ziang Wu berbaring dalam kegelapan, terbungkus aroma tubuh Su Li dan kelembutannya, memeluk wanita itu di lekuk lengan saat sinar matahari mengintip malu-malu di balik tirai abu-abu. Terlepas dari pelukan penuh air mata di malam ia mengetahui fakta bahwa Ibu mertuanya dibunuh, ini adalah pertama kali bagaimana tubuh ringkih itu kembali tenggelam dalam pelukannya. Su Li adalah wanita terkuat yang pernah ia kenal. Walaupun ia mengerti bahwa kemandirian yang dimiliki oleh wanita itu didorong oleh rasa takut. Takut ditinggalkan. Takut dikecewakan. Takut terluka. Su Li tidak banyak menceritakan masa lalunya, gadis itu hanya mengatakan hal-hal mendasar yang bisa menjadi acuan bagaimana dirinya dapat membantu, tetapi dari hal kecil itulah Ziang Wu dapat membentuk bagaimana sosok Su Li yang selama ini bertahan dan bertarung sendirian. Bagaimana rasa kecewa akibat dikhianati sang Ayah yang melakukan pernikahan kedua setelah kematian sang Ibu sedikit banyak mempengaruhi Su Li dalam memandan

  • DENDAM SANG PEWARIS   TUJUH BELAS

    “Jadi bagaimana kesanmu setelah menjadi Tuan muda?” Ziang Wu rasanya ingin menyumbat mulut besar Huo Yan dengan tetikus yang berada di genggamannya. Sejak pagi ia seperti ditempeli lintah yang tidak mau lepas walau sudah dipisahkan dengan berbagai cara. “Apakah kau banyak memiliki waktu luang? Mengapa kau tidak mengecek perhitunganmu?” ucap Ziang Wu yang masih mencoba fokus dengan layar komputer di depannya. Jemari panjangnya dengan gesit menari diatas keyboard hitamnya. Layar komputer menampilkan deret angka yang bergulir dengan cepat seirama dengan kecepatan jari pemuda itu saat menekan tombol. Melihat Ziang Wu yang sedang serius membuat nyali Huo Yan menciut. Program yang baru mereka kembangkan mengalami sedikit masalah perihal bug. Ziang Wu sedang mengatur beberapa kode yang bisa menjalankan debugging atau yang bisa disebut sebagai pembersihan. Sejak pagi ia sudah berkutat dengan beragam kode yang dapat menemukan atau menghapus error pada program yang sedang timnya kembangka

  • DENDAM SANG PEWARIS   DELAPAN BELAS

    “Nona Lin, apa yang kau lakukan?”Su Li yang baru keluar dari kamar mandi kaget kala melihat keberadaan sekretarisnya tersebut di dalam kamar. Padahal ia tidak pernah memberikan kunci kamarnya. Karena sudah ketahuan akan melakukan sesuatu akhirnya Nona Lin berbalik menghadap Su Li. Maniknya tidak berani menatap Su Li yang sedang menatapnya garang saat ini.“Nona Lin, sekali lagi saya bertanya. Apa yang kau lakukan di sini?” Ia dapat melihat dengan jelas bagaimana bulir keringat yang terpampang nyata dengan manik yang tidak fokus itu. Namun Su Li tidak peduli, ia sama sekali tidak menyukai orang yang menyentuh ranah privasinya.“Maaf, Nyonya. Saya hanya ingin meletakkan ini.” Wanita itu mengeluarkan sebuah kotak dari belakang tubuhnya dengan takut-takut. “Tuan Ziang menitipkannya untuk anda.”Alis Su Li terangkat naik kemudian menerima kotak yang ternyata berisi cokelat itu dengan bingung. “Maksudmu Ziang Wu?” tanyanya tidak percaya tetapi membuat Nona Lin mengangguk mantap. Ada masala

Bab terbaru

  • DENDAM SANG PEWARIS   ENAM DELAPAN

    “Kau tahu? Pembunuh Shen Juan adalah Wu Xia. Ibunda Wei Fang.”Namjun berbalik dan menatap Luo Han. Dari sekian banyak berita yang ia harap sama sekali ia tidak pernah mengharapkan kabar buruk seperti itu."Shen Juan tidak mungkin melakukan itu." Namjun tetap bersikukuh untuk menampik hal tersebut. Lan Huo meletakkan kembali map berkas yang ia pegang. "Aku pun tidak ingin mempercayainya. Namun begitulah hasil penyelidikan." Pria itu menepuk pundak Namjun. Ia tahu, pasti sulit untuk menerima. "Aku juga seperti itu. Tetapi bukti demi bukti yang ada terlalu jelas. Shen Juan sudah melanggar kode etik dan merugikan kesatuan kita." Lan Huo kemudian melenggang keluar, meninggalkan namjun yang termenung. Pemuda itu tahu, Namjun pasti perlu waktu. Seperti tersadar akan sesuatu Namjun merogoh ponselnya di saku. Perangkat jemala itu bergetar dan menampilkan sebuah pesan. Namjun bergegas setelah selesai membaca pesan tersebut."Kau mau kemana?" Namjun hanya melengos pergi tanpa ingin menang

  • DENDAM SANG PEWARIS   ENAM TUJUH

    “Marie, apa yang kau lakukan?” gumamnya setelah melihat cuplikan berita yang ditampilkan oleh salah satu berita fashion di situs daring yang sedang ia baca. Wei Fang kehabisan stok kesabarannya. Dengan langkah lebar ia keluar dari kafe dan menuju pintu keluar. Gadis itu hampir keluar dari bandara, namun ia menghentikan langkah ketika pandangannya tertumbuk pada seorang gadis muda yang terlihat berlari menuju ke arahnya. “Maafkan aku,” ucap gadis itu setelah tepat berada di hadapan Wei Fang. “Ada aksi demonstrasi di alun-alun kota sehingga terjadi kemacetan.” Wei Fang mengabaikan penjelasan panjang lebar dari asistennya tersebut. Ia tidak ingin energinya terbuang percuma, ada hal penting dan lebih berbobot yang harus ia kerjakan ketimbang meladeni ucapan omong kosong yang Marie lontarkan. “Kita langsung menuju butik sekarang.”Marie mengangguk mengerti. Gadis itu kemudian mengambil langkah di depan Wei Fang, membawanya menuju dimana mobil yang tadi ia bawa terparkir. Diam-diam gad

  • DENDAM SANG PEWARIS   ENAM ENAM

    “Kau?” Dua orang berbeda gender itu sama-sama terkejut setelah melihat satu sama lain. “Apa yang membawamu sampai kemari? Rasanya aku tidak pernah memberimu alamat ini.” Wei Fang menutup pintu di belakangnya. Gadis itu keluar alih-alih membawa kedua orang tamunya memasuki rumah. Ia masih perlu menyelidiki apa maksud tujuan kedua rekannya tersebut sampai mengunjunginya di rumah sang kakak. Padahal ia sama sekali tidak pernah memberikan alamat sang Kakak. “Jangan salah paham dulu. Kami kemari karena Namjun sudah menemukan dompet itu.” Lan Huo kemudian menyikut Namjun yang terlihat membatu. Pemuda itu selalu bersikap kikuk jika sudah berhadapan dengan Wei Fang. “Betul. Kami kemari karena ingin mengambilnya,” ucapnya sedikit terbata. “Mengambil? Bukankah kata yang tepat itu adalah memberikannya padaku?” Wei Fang menatap keduanya dengan alis hampir bertaut. “Lagipula ini adalah akhir pekan. Kita bisa membahasnya besok.” Gadis itu berbalik hendak kembali memasuki rumah ketika pegang

  • DENDAM SANG PEWARIS   ENAM LIMA

    “Ada apa dengannya?” Lan Huo kaget saat membuka pintu dan menemukan Namjun yang dipapah masuk oleh Wei Fang. “Hanya sedikit pusing,” ujar Wei Fang sekenanya. Gadis itu kemudian menyerahkan Namjun pada Lan Huo. Ia kemudian meregangkan lengan kanannya. Memapah seseorang yang memiliki postur yang lebih besar, membuat lengannya sedikit kram. “Kau terluka?” tanya Shen Juan yang baru keluar dari kamar mandi. Aroma mint segar menguar memenuhi ruangan mengikuti langkah pemuda itu. Wei Fang menggeleng, kemudian menunjuk arah dua pemuda yang sedang memasuki kamar tersebut dengan dagunya. “Sepertinya ini masih terlalu cepat untuk ikut after party.” Kening Shen Juan berkerut dalam. “Kami tidak ikut. Namjun hanya mabuk kendaraan,” ucap Wei Fang lagi kemudian beranjak. “Aku akan membersihkan diriku dan bergabung dalam dua puluh menit.” Gadis itu kemudian melenggang keluar setelah meletakkan clutch dan juga anting yang tadi ia gunakan di atas meja. “Setelah ini aku tidak mau berada di kel

  • DENDAM SANG PEWARIS   ENAM EMPAT

    “Bukankah itu Tuan Liu?” Namjun mengikuti arah pandang Wei Fang. Secara samar ia dapat mendengar decakan halus dari gadis di sebelahnya itu. Sorot kebencian dan kemarahan terpatri jelas di manik segelap malam itu. Awal bertemu, ia mengira gadis itu menggunakan lensa kontak, karena memang iris mata berwarna hitam bukanlah warna yang umum. Bahkan setahunya, hanya ada sekitar 1 persen penduduk di muka bumi ini yang memiliki iris warna hitam. “Perhatikan tatapanmu. Dia akan menyadarinya jika kau menatapnya seintens itu,” bisik Namjun yang menyadarkan Wei Fang untuk mengalihkan pandangan. Apalagi acara fashion show itu sudah dimulai. Setelah pengantar singkat dari sang designer Liu Yan, terlihat deretan model yang berjalan memasuki runway. Tak heran dengan lokasi yang dipilih, ternyata Liu Yan mengusung tema yang menccerminkan Macau sepenuhnya. “Apakah baju-baju itu bisa digunakan dalam kegiatan sehari-hari?” Senyum tipis tersungging kala ia mendengar pertanyaan pemuda yang masih m

  • DENDAM SANG PEWARIS   ENAM TIGA

    Seberkas sinar dari sang surya menyelinap masuk melalui celah gorden yang tak tertutup rapat. Bias cahaya menyilaukan itu tepat terjatuh pada wajah wajah seorang gadis yang masih setia bergelung di balik selimutnya. Dering ponselnya total ia abaikan. Ia tidak tergugah sama sekali untuk sekedar berbalik memunggungi jendela apalagi beranjak menutup gorden agar sinar matahari tidak mengganggunya. Ia akan menghabiskan day off nya untuk bermesraan seharian dengan selimut juga guling empuknya. Namun, niat itu terdistraksi dengan gedoran tak sabaran dari pintu kamar. Sebenarnya ia bisa saja mengabaikan itu seperti ia mengabaikan dering perangkat jemala dari atas nakas, hanya saja ia tidakmau diusir dari hotelitu karena sudah mengganggu ketertiban umum. Tidak lucu bukan jika penegak hokum sepertinya malah melanggar hukum.Dengan langkah yang diseret Wei Fang menuju pintu cokelat yang memisahkan kamarnya dengan lorong hotel. Tanpa perlu mengintip dari lubang pintu, ia sudah bisa tahu siapa pe

  • DENDAM SANG PEWARIS   ENAM DUA

    Macau, Musim Gugur 2001Gemerlap cahaya lampu menerangi sepanjang ruas jalan Avenida de Lisboa. Sebuah bangunan bergaya futuristik yang unik berdiri megah dan terlihat mencolok. Wei Fang tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun sambil mengigit toast isi telur dan bacon yang ia pilih sebagai menu makan malamnya saat ini.Mobil van yang mereka sewa terparkir tepat di seberang Kasino Lisboa, tempat operasi mereka malam ini. Kendaraan roda dua maupun roda empat yang ramai serta para pejalan kaki yang memenuhi area pedestrian membantu melancarkan pengintaian mereka tanpa terlihat mencolok.“Aku harap kau tidak masuk angin dengan baju kurang bahan seperti itu,” ucap Namjum kemudian melempar jaket paddingnya hingga menutupi paha mulus Wei Fang yang terekspos akibat strapless dress berpotongan pendek yang ia kenakan. Sejak di hotel, pemuda itu protes dengan pemilihan gaun yang Wei Fang kenakan. “Tuan muda, kita akan mengunjungi kasino. Gaun ini masih sangat sopan dibandingkan para wanita

  • DENDAM SANG PEWARIS   ENAM SATU

    “Aku belum bisa meninggalkan Tiongkok saat ini.” Gadis itu mengerang frustasi. Ponsel yang menempel pada telinga kirinya ia apit dengan tangan kanan, sedang tangan kirinya sibuk membolak-balik berkas.“Dua minggu lagi. Undur saja dua minggu lagi.”Ponsel itu kemudian ia letakkan di atas meja setelah sebelumnya ia mengaktifkan pelantang suara.[Kau akan rugi sekitar dua puluh juta Franc Swiss. Apakah kau yakin ingin mengundur acara ini?]Gadis itu meletakkan berkas yang tadi sedang ia baca. “Aku tidak masalah. Kau urus saja. Tugasku disini masih belum selesai. Terserah kau ingin menggunakan alasan apa.”Terdengar desahan putus asa di seberang telepon. Namun itu tidak mengusik gadis itu sama sekali, ia masih sibuk membongkar beberapa berkas yang berada di depannya saat ini.[“Wei Fang. Aku tahu uang bukanlah masalah besar untukmu. Namun, tingkat kepercayaan para vendor di sini serta kepercayaan para pelangganmu itu hal yang akan kamu tebus dengan mahal. Apakah kau lupa bagaimana kau mem

  • DENDAM SANG PEWARIS   ENAM PULUH

    Bangunan restoran yang terlihat tradisional itu membuat sebaris senyum Wei Fang terulas. Sudah lama sejak kali terakhir ia mengunjungi restoran yang menjual makanan Tiongkok. Di Paris ia tidak bisa menemukannya dengan mudah. Selain itu, mrasanya tidak seotentik ketika ia menyantap hidangan-hidangan itu di Tiongkok.Gadis itu masih mengekori langkah pemuda di depannya dalam diam. Selama perjalanan, ia gunakan untuk membaca berkas mengenai seluruh anggota timnya. Shen Juan juga termasuk pemuda yang pendiam. Wei Fang bersyukur jika semua anggota timnya memiliki sifat yang sama dengan pemuda itu.Embusan angin musim semi membuat Wei Fang merapatkan jaket kulit yang ia kenakan sebelum keluar dari mobil. Ia sedikit takjub ketika melangkahkan kaki memasuki restoran. Tidak ada meja yang kosong, ruangan itu dipenuhi oleh senda tawa. Sebuah spanduk acara reuni memenuhi salah satu dinding, ternyata ada yang sedang melakukan acara reuni juga.Manik sehitam malam itu mengitari seluruh ruangan. Sua

DMCA.com Protection Status