“Su Li kesal denganku. Ia tidak mau mengangkat panggilanku sekali pun.”
Ziang Chen tersenyum tipis sambil memperhatikan Su Liang yang sibuk memangkas bonsai dengan wajah yang mengkerut akibat ulah sang Putri.
“Usianya sudah pas untuk menikah. Apakah aku salah membantu mencarikan pasangan yang layak untuknya?”
“Anda tahu bagaimana temperamen Nona Muda, Tuan. Saya yakin Nona Muda saat ini sedang sangat kesal dengan anda.”
Su Liang menghentikan aktivitasnya dan duduk di bangku taman diikuti oleh Ziang Chen. “Setelah anak Presdir Wang, ia sama sekali tidak mau bertemu dengan yang lain. Padahal mereka semua adalah pemuda yang hebat.”
Ziang Chen menuangkan teh dan memberikannya kepada Su Liang. Cahaya redup matahari yang berhasil menembus atap kaca transparan itu membuat udara di dalam rumah kaca menghangat.
Mendiang istri pertamanya sangat menyukai bunga, sehingga ia membangun sebuah rumah kaca agar sang Istri bisa berkebun walau di luar tertutup salju. Seperti sekarang, walau berada di akhir musim dingin tetapi suhu belum bisa dibilang menghangat.
“Mungkin Nona Muda memiliki pilihan sendiri. Atau bahkan sudah memiliki pasangan.”
Su Liang mendesah berat. Ia sendiri tidak yakin jika sang Putri sudah memiliki pasangan. “Bisakah kau memanggilkan pengacara Shen menemuiku. Aku ingin menambahkan prasyarat pernikahan bagi pewaris Liang Tech.”
Ziang Chen mengangguk patuh. “Aku harus memancing jiwa kompetitifnya,” lanjut Su Liang kemudian menyesap dalam teh dalam cangkirnya.
Tidak mereka sadari bahwa Wu Xia yang bermaksud mengantarkan camilan mendengar percakapan kedua pria paruh baya tersebut. Wanita itu berbalik dan mengambil ponselnya.
“Wei Fang, dengarkan ibu. Ibu punya ide agar menjadikanmu pemilik dari Liang Tech. Cepatlah pulang sekarang.”
Sebelum Wei Fang menjawab perkataannya, Wu Xia menutup panggilannya.
“Dewa akhirnya memberikan jalan untukku,” gumamnya.
***
“Menikah?”
Wu Xia mengangguk mantap. “Kau bisa mendapatkan apa yang anak itu dapatkan jika kau menikah. Ayahmu mengatakan untuk menjadi pewaris Liang Tech harus sudah menikah.”
Wei Fang yang sedang bersolek membalikkan tubuhnya sambil menatap sang Ibu tidak percaya.
“Apakah tidak ada cara lain selain menikah?”
Wu Xia menggeleng mantap membuat Wei Fang menghembuskan napas pasrah. Gadis itu kemudian memutar otaknya cepat. Jika sudah menginginkan sesuatu, sang Ibu tidak akan berhenti untuk terus membujuknya.
“Apakah kau masih betah berada di bayang-bayang anak itu? Sehebat apapun pencapaian yang kau capai tidak akan pernah menang dari pencapaian kecil yang dibuat olehnya. Kau juga tidak bisa mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang utuh dari ayahmu.”
Wei Fang terdiam. Sang Ibu benar, selama ini Su Liang hanya memperlakukannya seperti orang asing. Bahkan ia lupa kapan terakhir kali sang Ayah menatapnya penuh kasih sayang atau setidaknya menyebut namanya lebih dulu. Ia hanya dijadikan pemeran pengganti ketika Su Li tidak berada di tempatnya.
“Aku akan memikirkan bagaimana caranya, Ibu tidak perlu khawatir. Sekarang aku ada acara reuni.” Wei Fang mengecup pipi Wu Xia kemudian melengos pergi. Senyum kemenangan terukir tipis di wajah wanita paruh baya itu.
***
Ketukan spidol di papan kaca itu terdengar semakin cepat. Beberapa kaleng kopi kosong terlihat di antara lembaran kertas yang berserak di atas meja hingga lantai. Su Li menatap papan kaca yang dipenuhi coretan itu dalam diam.
Informasi yang ia dapat dari detektif swasta itu sama sekali tidak membantunya. Karena memikirkan reputasi sang Ayah, Su Li tidak mau gegabah. Kehidupan konglomerat di Tiongkok sama menariknya dengan kehidupan selebritis.
Ponselnya kembali bergetar. Ia tahu yang menghubunginya adalah sang Ayah karena ia sama sekali tidak memiliki teman. Benda elektronik itu berhenti bergetar pada detik ke sepuluh. Su Li membuka jendela besarnya. Salju sudah tidak turun lagi, suhu sudah mulai menghangat. Penghujung musim dingin adalah kesukaannya. Dimana hangat sinar mentari dapat ia rasa menyapa seluruh permukaan kulitnya.
Benda persegi itu kembali bergetar, dengan terpaksa Su Li memacu langkahnya untuk menggapai benda tersebut.
“Pulang sekarang juga.”
Su Li mengernyitkan dahi. Ia bahkan belum berucap sepatah kata pun, sang Ayah telah memutuskan panggilannya secara sepihak. Apakah aksi memberontaknya saat ini sudah keterlaluan? Namun salahkan sang Ayah yang lebih tidak masuk akal dengan gigih mendorongnya ke acara kencan buta yang sama sekali tidak menarik minatnya.
Tidak ada pilihan lain, Su Li akhirnya memutuskan untuk pulang. Kali terakhir kunjungan Sekretaris Lu mengantarkan sebuah mobil untuknya, setidaknya ia tidak perlu berjalan menuju halte bus.
“Cuaca hari ini terpantau cerah dengan suhu 8 derajat celcius. Peluang hujan hari ini 20 persen, lebih rendah tiga persen dari kemarin.”
Suara penyiar cuaca yang terputar melalui radio, menemani perjalanannya menuju rumah. Desisan halus penghangat mobil terdengar sesekali. Sungai Ching Mie yang membelah kota Beijing memantulkan cahaya matahari yang berpendar lembut.
Setelah tiga puluh menit, sedan hitam itu sampai di kediaman yang selalu berhasil membuatnya sesak. Kehilangan sang Ibu meninggalkan sebuah lubang besar yang masih menganga hingga saat ini. Alasan ia tidak tinggal di rumah adalah karena ia masih belum merelakan posisi Ibunya telah berganti.
Su Li tersenyum kecut kala menekan passcode pintu kayu itu ternyata tidak berubah. 090395. Satu hal yang tidak ia sangka. Pintu terbuka. Tidak ada yang berubah dari rumah itu sejak dua tahun silam. Hanya saja tidak ada yang menyambutnya dengan pelukan hangat setiap kali ia pulang ketika liburan semester. Su Li berusaha mengontrol emosinya, sebisa mungkin ia menahan bulir air itu tidak tumpah dari ujung matanya.
“Nona Muda, Tuan Besar telah menunggu anda.”
Su Li mengangguk dan mengikuti pelayan yang tadi menyambutnya. Sesak itu kembali menjalar memenuhi rongga dadanya ketika tidak menemukan satupun potret sang Ibu yang tersisa. Kediaman ini benar-benar tidak menyisakan sedikitpun ruang untuk mengenang sang Ibunda.
“Ada apa Ayah memanggilku?” ujarnya kemudian menyamankan diri di salah satu sofa yang berada di ruang kerja Su Liang tersebut. Bahkan ruang kerja ini masih sama. Tumpukan berkas masih menggunung di atas meja, rak-rak buku yang sudah ia baca hampir separuhnya itu pun masih berdiri kokoh. Tuan Su menghentikan kegiatan memeriksa dokumennya. Memandang putrinya lurus.
“Bagaimana rasanya pulang?”
“Ayah tidak memanggilku hanya menanyakan pendapatku tentang pulang, bukan? Aku masih memiliki hal yang sedang aku kerjakan.”
Tuan Su melepas kacamata baca yang sejak tadi bertengger menemaninya memeriksa berkas. Memijat pangkal hidungnya sebelum beranjak mendekati sofa dimana Su Li telah menunggunya. Guratan lelah tercetak jelas di wajah berahang tegas itu. Beberapa helai rambut yang memutih juga terlihat diantara legam rambut ikalnya.
“Apa kau merasa tidak menyebabkan masalah?” tanyanya setelah mendaratkan bokongnya di sofa.
Su Li menggeleng tidak mengerti kemana arah pertanyaan sang Ayah.
“Apa kau ada melihat ponselmu?”
“Ponsel? Tidak ada. Apa Ayah ada mengirimkan sesuatu?”
Su Li mengeluarkan ponselnya. Seharian ini ia memang mengabaikan keberadaan benda pipih tersebut. Ternyata sang Ayah ada mengirimkan sesuatu kepadanya. Ia terkejut ketika melihat berita yang Ayahnya kirimkan melalui sebuah tautan.
“Hal tidak masuk akal apa lagi ini?”
Sebuah berita yang bertajuk namanya membuat Su Li menggeleng tidak percaya. Ditambah dengan beberapa foto dirinya dengan Miss Moore.
“Miss Moore adalah sekretarisku di Ubex. Tidak ada yang salah jika seorang sekretaris mengikuti atasannya bukan? Tidak ada yang spesial dari hal itu.”
Tuan Su hanya diam memberikan kesempatan kepada Su Li untuk menjelaskan. Gadis itu nampak heran dengan masalah apa yang dihadapinya saat ini. Terlebih lagi sang Ayah sepertinya mempercayai berita tidak berdasar tersebut.
“Apakah Ayah pernah dikatakan gay karena terus bersama Paman Ziang?” tanyanya gemas.
“Setidaknya Ayah sudah menikah dan memiliki seorang putri.”
Su Li speachless mendengar pembelaan sang Ayah.
“Apa wanita itu yang membuatmu patah hati dan kembali ke Tiongkok? Apa karena dia juga yang membuatmu menolak semua pemuda yang Ayah pilihkan untukmu?”
Kesabaran Su Li sudah mencapai ambang batas, ia takut jika terlalu lama berada di ruangan ini bisa membuatnya meledak.
“Aku tidak tahu mengapa aku harus menjelaskan hal konyol ini.”
Su Li menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Kepulanganku tidak ada hubungannya sama sekali dengan Miss Moore ataupun hubungan gila yang sedang Ayah bayangkan saat ini. Aku hanya ingin pulang. Mengenai penolakanku itu semata karena aku tidak ingin menikah.”
Selesai mengatakan hal tersebut, Su Li meninggalkan ruangan. Menyisakan Su Liang yang memijat keningnya. Entah mengapa setiap kali mereka berbincang tidak pernah berakhir dengan baik.
***
Su Li rasanya ingin memaki ataupun ingin mencincang orang yang brutal membunyikan bel rumahnya. Semenjak semalam ia merasa ingin memukul seseorang. Dipacunya langkah dengan tergesa menuju pintu, siap untuk meneriaki siapa pun yang berada di balik pintu hitam itu.
Emosinya semakin tersulut sampai ke ubun-ubun kala medapati Wei Fang yang berdiri dengan membawa kardus coklat. Su Li hampir menutup pintu jika Wei Fang tidak kalah gesit menghalangi pintu tersebut dengan kakinya.
“Apakah ini sambutan yang kau berikan pada adikmu setelah lama tidak bertemu?”
“Singkirkan kakimu jika tidak ingin menginap di rumah sakit.”
Dari sekian juta penduduk bumi, setidaknya setiap orang memiliki sedikitnya tiga orang yang tidak ingin ditemui. Bagi Su Li keberadaan dua wanita asing di rumahnya sangatlah mengganggu. Ia sama sekali tidak mengharapkan hubungan harmonis yang selalu Ayahnya minta padanya. Tetapi sepertinya garis singgung di antara mereka secara cepat atau lambat akan bertemu juga.
“Jiê jiê (kakak perempuan), jangan begini. Aku tadi sudah membantumu menerima paket.”
Mendengar kata paket membuat Su Li melonggarkan pegangan tangannya pada pintu. Itu menjadi kesempatan Wei Fang untuk menerobos masuk.
“Wah, ternyata rumah ini sangat nyaman,” ucapnya setelah meletakkan kardus coklat tadi di atas meja. Ia membawa langkahnya ke depan jendela besar. “Pemandangan rumah ini sangat spektakuler. Selera kakak memilih rumah sangat bagus.” Wei Fang memberikan dua jempol sambil tersenyum lebar.
Su Li tidak berekspresi memandangi tingkah konyol gadis muda di hadapannya saat ini. “Silahkan keluar, atau aku akan panggil keamanan.”
“Wah, jangan terlalu galak, Kak. Aku hanya diminta Ayah untuk melihat keadaanmu. Siapa tahu kau depresi setelah berpisah dengan pacarmu.” Wei Fang sengaja berbisik saat menyebutkan kata pacar. Su Li tidak merasa terkejut, karena berita tidak berdasar itu pastilah bersumber dari orang menyebalkan yang menggunakan dress kuning dan sedang memandangnya dengan tatapan angkuh itu.
“Ya, setidaknya aku bisa memiliki orang yang benar-benar tulus dekat denganku dan menjalin hubungan denganku. Tanpa perlu menghamburkan banyak uang untuk memikat mereka mendekat.”
Wei Fang merasa sedikit tersinggung, tetapi ekspresinya berhasil ia tutupi dengan tersenyum miring. Ia tidak mau terlihat goyah.
“Ah, iya. Aku juga tidak pernah menginginkan milik orang lain apalagi sampai merebutnya. Menurutku orang-orang yang seperti itu adalah sampah.”
Seperti terhantam sebuah batu, serangan balik dari Su Li berhasil merobohkan ego dan kepercayaan diri Wei Fang. Tanpa berkata, ia keluar dari kediaman Su Li sambil menghentak kasar. Su Li hanya tersenyum sinis sebelum menuju meja dapur untuk memeriksa isi paket yang tadi dibawa masuk oleh adik tirinya.
Sesuai dugaannya. Paket dengan pengirim anonim itu berisi petunjuk yang ia cari. Berbeda dari dua paket sebelumnya, paket itu berisi dua lembar foto sebuah lobi dari sudut pengambilan gambar yang berbeda.
“Sepertinya aku pernah melihat interior lobi ini,” gumamnya.
Selama beberapa menit Su Li akhirnya mengingat dimana ia pernah mendatangi lobi yang ada di foto. Liang Tech. Ia sangat yakin bahwa foto yang berada di genggamannya saat ini adalah lobi perusahaan Ayahnya. Apakah ada petunjuk selanjutnya di perusahaan?
Suasana perusahaan dimanapun itu bagi Su Li tidak memiliki banyak perbedaan. Karyawan yang berlalu lalang dengan menggunakan name tag dan membicarakan pekerjaan, satu dua orang yang membawa setumpuk berkas, hingga beberapa karyawati yang sedang bergosip di ujung pantry. Hanya saja, konsep perusahaan Liang Tech agak berbeda dengan Ubex Corporation tempatnya dulu mengumpulkan pundi-pundi kekayaan. Setiap divisi memiliki ciri khasnya masing-masing. Desain interior yang berbeda cukup menjelaskan bidang apa yang divisi itu kerjakan.Tapak langkahnya yang mengikuti ketua HRD memasuki sebuah ruangan. Sebuah papan yang bertuliskan Investor Relation terpampang di atas pintu masuk. Tidak ada meja bersekat yang memisahkan karyawan satu dengan yang lain, konsep open space yang begitu apik. Ruangan yang tidak bisa disebut kecil itu dihuni oleh delapan orang karyawan yang terlihat sedikit sibuk sehingga tidak menyadari kedatangan mereka. Tepukan tangan dari Tuan Shen mengalihkan atensi semua ora
Pintu darurat menjadi tempat favoritnya beristirahat. Setelah proyek dengan investor Perancis itu selesai, Su Li mengira bahwa tugasnya sudah selesai. ia tidak menyangka bahwa ia harus menyelesaikan beberapa proyek besar lagi.“Apakah aku terlalu serius bekerja?” gumamnya. Ia merasa sedikit demi sedikit mulai teralihkan dari tujuan utamanya. Getar ponselnya membuat dirinya beranjak. “Ada apa?” tanyanya sambil berjalan keluar.Xiao Lu memberikan kabar bahwa mereka diminta untuk menemui Su Liang sekarang. Ketika keluar, ia berpapasan dengan seorang pria. Wajahnya tidak terlihat dengan jelas karena pria itu menunduk sambil menerima panggilan.“Aku akan segera kesana.”Percakapan itu saja yang sempat ia dengar sebelum pria itu menghilang di balik pintu. Su Li terdiam, kemudian ia berbalik cepat menuju pintu tangga darurat tersebut. Derap langkah lirih yang menaiki tangga terdengar olehnya membuat jantungnya ikut berpacu.Untung saja ia menggunakan sepatu flat hari ini, jadi bisa dengan ce
Su Li membawa tungkainya ke lantai delapan. Tapak kakinya menggema memenuhi lorong bergaya futuristik tersebut, bagai berjalan di atas catwalk, Su Li menyadari puluhan pasang mata memperhatikan dirinya. Sampai di bagian ujung lantai ia berdiri di depan pintu kaca yang tidak tembus pandang dan kemudian mengetuk pintu. Mendorongnya ketika suara di dalam mempersilakannya masuk.“Selamat pagi, Direktur.”Direktur Lin yang melihat kedatangan Su Li melepaskan kacamata bacanya. “Ada apa Nona Su?” ucapnya sambil beranjak menuju sofa. Su Li menyamankan diri di salah satu sofa yang dipersilakan oleh Direktur Lin.“Divisi kami membutuhkan laporan cash flow perusahaan selama tiga tahun terakhir. Tetapi entah mengapa, sepertinya bagian keuangan lupa menyerahkan beberapa laporan. Kami mendapatkan beberapa yang missed. Terutama bagian operating activities. Jadi saya kemari karena ingin meminta dokumen tersebut.”“Permintaan saya seharusnya tidak terlalu banyak, kan?” Su Li menatap lurus Direktur Lin
“Apa yang bisa ditemukan oleh anak kecil itu? Dia hanya bisa menggertak.” Wanita itu meluruskan tangan kanannya, merasakan bagaimana tangan pegawai spa itu memijatnya dengan piawai. “Kau tidak perlu khawatir. Kita sudah membuatnya serapi mungkin. Tidak akan ada celah.” Setelah mengatakan hal tersebut ia mengakhiri panggilan itu. Seorang pegawai kemudian mengambil ponsel itu dari tangannya. “Su Li membuat onar?” Wanita itu mengangguk. “Dia membuat keributan di kantor Direktur Lin. Meminta kekurangan dokumen atau apapun itu.” “Seperti bukan dirinya saja. Bukankah selama ini dia hanya diam?” “Ibu juga tidak mengerti. Mungkin dia hanya mencari cara untuk menghalau bosan,” ucap wanita itu sambil terpejam. Wangi aromaterapi yang berasal dari lilin di pojok ruangan dan juga pijatan pada punggungnya membuat semuanya terasa sempurna. “Kau tidak ada niat untuk masuk ke perusahaan, Wei Fang?” Gadis muda di sebelahnya menggeleng. “Bukankah kita sudah sering membicarakan ini, Bu? Perusahaan
“Aku ingin menjadi pemimpin perusahaan.” Su Liang menatap Su Li tidak percaya. “Kau tidak sedang mabuk kan?” ia kemudian memastikan bahwa yang diminum oleh Su Li adalah kopi bukanlah minuman beralkohol. “Bukankah Ayah memaksaku untuk menjadi pewaris? Sekarang aku menawarkan diri tetapi malah seperti itu respon Ayah.” Su Li menyeruput es americano-nya dengan kesal. Jika sedang merajuk anak gadisnya itu akan cemberut seperti ikan mas, memuat Su Liang tersenyum gemas. “Ayah, aku sedang berbicara serius.” Ucapan Su Li membuat Su Liang menenggelamkan senyumnya. Benar kata sang Putri, ia harus serius saat ini. Pasti ada sesuatu yang membuat Su Li berubah pikiran. “Kau sudah menemukan pengganti kekasihmu itu?” Su Li memutar bola matanya kesal. Sang Ayah masih saja mengira dirinya memiliki hubungan spesial dengan Miss Moore. Ia sedikit menyesal mengapa tidak pernah mengiyakan tawaran beberapa temannya ketika di bangku sekolah. Saat di Ubex pun banyak yang mencoba mendekati hanya saja S
Kuncup-kuncup magnolia mulai menampakkan diri. Beberapa ranting yang semula gundul juga mulai menumbuhkan pucuk-pucuk kehijauan. Pegawai minimarket sedang menempelkan kaligrafi dan juga lukisan musim semi kala seorang gadis membuat bel kecil di atas pintu kaca itu bergemerincing. Destinasi pertamanya adalah deretan mie instan yang tersusun rapi, setelah menimbang cukup lama pilihannya jatuh kepada luosifen, semenjak berada di London, ia sangat ingin mencicipi sajian mie beras atau bihun berbahan dasar siput tersebut. Jika dalam penyajian sebenarnya, bihun direndam dalam kaldu pedas, lalu diberi taburan rebung, buncis, lobak, kacang tanah, dan kulit tahu, tetapi ia cukup puas dengan keberadaan luosifen dalam bentuk instan. Su Li berharap rasanya tidak akan beda jauh dari cita rasa yang berada di ingatannya. Walaupun beraroma yang khas, rasanya sangatlah enak. Dulu setiap kali sang Ibunda menjemput dirinya setiap sepulang sekolah, mereka pasti akan mampir di kedai ujung gang. Mengha
Cahaya matahari yang mengenai wajahnya membuat tidur lelap gadis itu terusik. Ditariknya selimut hingga menutupi wajah. Gerakannya berhenti karena ia merasa asing dengan aroma selimut yang menutupi tubuh semampainya. Manik itu perlahan membuka dan mulai memindai sekeliling. “Rasanya aku tidak memiliki lukisan itu,” gumamnya kala melihat lukisan yang tergantung di salah satu dinding. Ia kemudian beralih kepada selimut yang menutupi dirinya. Tersadar dengan keadaan dengan cepat ia memeriksa pakaian yang ia gunakan. Sebuah helaan lega terdengar saat mendapati dirinya masih berpakaian utuh di balik selimut abu-abu tersebut. Sepertinya dia tidak terlibat hal konyol akibat mabuk tadi malam. Gadis itu tidak menyangka bahwa tiga gelas margarita bisa membuatnya hilang kesadaran, toleransi alkoholnya menurun drastis. “Kau sudah bangun?” Badannya berputar cepat ke arah pintu. Bak putaran film lawas, kejadian tadi malam terlintas di kepalanya. Semua tidak ada yang terlewat. Termasuk ciuman
“Kau tidak perlu khawatir, kita hanya akan melakukan pernikahan kontrak.” Ziang Wu mengembuskan napas untuk sekian kali. Ucapan Su Li selalu terputar bak kaset rusak. Berulang-ulang tanpa memandang waktu. “Apakah ada yang salah?” Huo Yan memandangi pemuda berkemeja kotak-kotak di depannya dengan bingung. Pasalnya, selama bekerja di divisi yang sama selama tiga tahun, belum pernah Ziang Wu terlihat tidak fokus saat bekerja. Di balik sikap ramahnya kepada semua orang, jika menyangkut pekerjaan pemuda itu tidak akan pandang bulu. Ziang Wu memutar kursinya dan menghadap Huo Yan. “Aku ingin bertanya, tetapi ini bukanlah menyangkut diriku. Ini adalah cerita dari temannya temanku.” Huo Yan mengangguk mengerti walaupun ia mengerti bahwa Ziang Wu sudah berbohong. “Apa yang akan kau lakukan jika seorang wanita tiba-tiba mengajakmu menikah?” Pemuda berambut cepak itu terlihat berpikir sejenak. “Apakah dia cantik?” Ziang Wu mengangguk. “Apakah dia kaya?” Sekali lagi pemuda berkacamata i
“Kau tahu? Pembunuh Shen Juan adalah Wu Xia. Ibunda Wei Fang.”Namjun berbalik dan menatap Luo Han. Dari sekian banyak berita yang ia harap sama sekali ia tidak pernah mengharapkan kabar buruk seperti itu."Shen Juan tidak mungkin melakukan itu." Namjun tetap bersikukuh untuk menampik hal tersebut. Lan Huo meletakkan kembali map berkas yang ia pegang. "Aku pun tidak ingin mempercayainya. Namun begitulah hasil penyelidikan." Pria itu menepuk pundak Namjun. Ia tahu, pasti sulit untuk menerima. "Aku juga seperti itu. Tetapi bukti demi bukti yang ada terlalu jelas. Shen Juan sudah melanggar kode etik dan merugikan kesatuan kita." Lan Huo kemudian melenggang keluar, meninggalkan namjun yang termenung. Pemuda itu tahu, Namjun pasti perlu waktu. Seperti tersadar akan sesuatu Namjun merogoh ponselnya di saku. Perangkat jemala itu bergetar dan menampilkan sebuah pesan. Namjun bergegas setelah selesai membaca pesan tersebut."Kau mau kemana?" Namjun hanya melengos pergi tanpa ingin menang
“Marie, apa yang kau lakukan?” gumamnya setelah melihat cuplikan berita yang ditampilkan oleh salah satu berita fashion di situs daring yang sedang ia baca. Wei Fang kehabisan stok kesabarannya. Dengan langkah lebar ia keluar dari kafe dan menuju pintu keluar. Gadis itu hampir keluar dari bandara, namun ia menghentikan langkah ketika pandangannya tertumbuk pada seorang gadis muda yang terlihat berlari menuju ke arahnya. “Maafkan aku,” ucap gadis itu setelah tepat berada di hadapan Wei Fang. “Ada aksi demonstrasi di alun-alun kota sehingga terjadi kemacetan.” Wei Fang mengabaikan penjelasan panjang lebar dari asistennya tersebut. Ia tidak ingin energinya terbuang percuma, ada hal penting dan lebih berbobot yang harus ia kerjakan ketimbang meladeni ucapan omong kosong yang Marie lontarkan. “Kita langsung menuju butik sekarang.”Marie mengangguk mengerti. Gadis itu kemudian mengambil langkah di depan Wei Fang, membawanya menuju dimana mobil yang tadi ia bawa terparkir. Diam-diam gad
“Kau?” Dua orang berbeda gender itu sama-sama terkejut setelah melihat satu sama lain. “Apa yang membawamu sampai kemari? Rasanya aku tidak pernah memberimu alamat ini.” Wei Fang menutup pintu di belakangnya. Gadis itu keluar alih-alih membawa kedua orang tamunya memasuki rumah. Ia masih perlu menyelidiki apa maksud tujuan kedua rekannya tersebut sampai mengunjunginya di rumah sang kakak. Padahal ia sama sekali tidak pernah memberikan alamat sang Kakak. “Jangan salah paham dulu. Kami kemari karena Namjun sudah menemukan dompet itu.” Lan Huo kemudian menyikut Namjun yang terlihat membatu. Pemuda itu selalu bersikap kikuk jika sudah berhadapan dengan Wei Fang. “Betul. Kami kemari karena ingin mengambilnya,” ucapnya sedikit terbata. “Mengambil? Bukankah kata yang tepat itu adalah memberikannya padaku?” Wei Fang menatap keduanya dengan alis hampir bertaut. “Lagipula ini adalah akhir pekan. Kita bisa membahasnya besok.” Gadis itu berbalik hendak kembali memasuki rumah ketika pegang
“Ada apa dengannya?” Lan Huo kaget saat membuka pintu dan menemukan Namjun yang dipapah masuk oleh Wei Fang. “Hanya sedikit pusing,” ujar Wei Fang sekenanya. Gadis itu kemudian menyerahkan Namjun pada Lan Huo. Ia kemudian meregangkan lengan kanannya. Memapah seseorang yang memiliki postur yang lebih besar, membuat lengannya sedikit kram. “Kau terluka?” tanya Shen Juan yang baru keluar dari kamar mandi. Aroma mint segar menguar memenuhi ruangan mengikuti langkah pemuda itu. Wei Fang menggeleng, kemudian menunjuk arah dua pemuda yang sedang memasuki kamar tersebut dengan dagunya. “Sepertinya ini masih terlalu cepat untuk ikut after party.” Kening Shen Juan berkerut dalam. “Kami tidak ikut. Namjun hanya mabuk kendaraan,” ucap Wei Fang lagi kemudian beranjak. “Aku akan membersihkan diriku dan bergabung dalam dua puluh menit.” Gadis itu kemudian melenggang keluar setelah meletakkan clutch dan juga anting yang tadi ia gunakan di atas meja. “Setelah ini aku tidak mau berada di kel
“Bukankah itu Tuan Liu?” Namjun mengikuti arah pandang Wei Fang. Secara samar ia dapat mendengar decakan halus dari gadis di sebelahnya itu. Sorot kebencian dan kemarahan terpatri jelas di manik segelap malam itu. Awal bertemu, ia mengira gadis itu menggunakan lensa kontak, karena memang iris mata berwarna hitam bukanlah warna yang umum. Bahkan setahunya, hanya ada sekitar 1 persen penduduk di muka bumi ini yang memiliki iris warna hitam. “Perhatikan tatapanmu. Dia akan menyadarinya jika kau menatapnya seintens itu,” bisik Namjun yang menyadarkan Wei Fang untuk mengalihkan pandangan. Apalagi acara fashion show itu sudah dimulai. Setelah pengantar singkat dari sang designer Liu Yan, terlihat deretan model yang berjalan memasuki runway. Tak heran dengan lokasi yang dipilih, ternyata Liu Yan mengusung tema yang menccerminkan Macau sepenuhnya. “Apakah baju-baju itu bisa digunakan dalam kegiatan sehari-hari?” Senyum tipis tersungging kala ia mendengar pertanyaan pemuda yang masih m
Seberkas sinar dari sang surya menyelinap masuk melalui celah gorden yang tak tertutup rapat. Bias cahaya menyilaukan itu tepat terjatuh pada wajah wajah seorang gadis yang masih setia bergelung di balik selimutnya. Dering ponselnya total ia abaikan. Ia tidak tergugah sama sekali untuk sekedar berbalik memunggungi jendela apalagi beranjak menutup gorden agar sinar matahari tidak mengganggunya. Ia akan menghabiskan day off nya untuk bermesraan seharian dengan selimut juga guling empuknya. Namun, niat itu terdistraksi dengan gedoran tak sabaran dari pintu kamar. Sebenarnya ia bisa saja mengabaikan itu seperti ia mengabaikan dering perangkat jemala dari atas nakas, hanya saja ia tidakmau diusir dari hotelitu karena sudah mengganggu ketertiban umum. Tidak lucu bukan jika penegak hokum sepertinya malah melanggar hukum.Dengan langkah yang diseret Wei Fang menuju pintu cokelat yang memisahkan kamarnya dengan lorong hotel. Tanpa perlu mengintip dari lubang pintu, ia sudah bisa tahu siapa pe
Macau, Musim Gugur 2001Gemerlap cahaya lampu menerangi sepanjang ruas jalan Avenida de Lisboa. Sebuah bangunan bergaya futuristik yang unik berdiri megah dan terlihat mencolok. Wei Fang tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun sambil mengigit toast isi telur dan bacon yang ia pilih sebagai menu makan malamnya saat ini.Mobil van yang mereka sewa terparkir tepat di seberang Kasino Lisboa, tempat operasi mereka malam ini. Kendaraan roda dua maupun roda empat yang ramai serta para pejalan kaki yang memenuhi area pedestrian membantu melancarkan pengintaian mereka tanpa terlihat mencolok.“Aku harap kau tidak masuk angin dengan baju kurang bahan seperti itu,” ucap Namjum kemudian melempar jaket paddingnya hingga menutupi paha mulus Wei Fang yang terekspos akibat strapless dress berpotongan pendek yang ia kenakan. Sejak di hotel, pemuda itu protes dengan pemilihan gaun yang Wei Fang kenakan. “Tuan muda, kita akan mengunjungi kasino. Gaun ini masih sangat sopan dibandingkan para wanita
“Aku belum bisa meninggalkan Tiongkok saat ini.” Gadis itu mengerang frustasi. Ponsel yang menempel pada telinga kirinya ia apit dengan tangan kanan, sedang tangan kirinya sibuk membolak-balik berkas.“Dua minggu lagi. Undur saja dua minggu lagi.”Ponsel itu kemudian ia letakkan di atas meja setelah sebelumnya ia mengaktifkan pelantang suara.[Kau akan rugi sekitar dua puluh juta Franc Swiss. Apakah kau yakin ingin mengundur acara ini?]Gadis itu meletakkan berkas yang tadi sedang ia baca. “Aku tidak masalah. Kau urus saja. Tugasku disini masih belum selesai. Terserah kau ingin menggunakan alasan apa.”Terdengar desahan putus asa di seberang telepon. Namun itu tidak mengusik gadis itu sama sekali, ia masih sibuk membongkar beberapa berkas yang berada di depannya saat ini.[“Wei Fang. Aku tahu uang bukanlah masalah besar untukmu. Namun, tingkat kepercayaan para vendor di sini serta kepercayaan para pelangganmu itu hal yang akan kamu tebus dengan mahal. Apakah kau lupa bagaimana kau mem
Bangunan restoran yang terlihat tradisional itu membuat sebaris senyum Wei Fang terulas. Sudah lama sejak kali terakhir ia mengunjungi restoran yang menjual makanan Tiongkok. Di Paris ia tidak bisa menemukannya dengan mudah. Selain itu, mrasanya tidak seotentik ketika ia menyantap hidangan-hidangan itu di Tiongkok.Gadis itu masih mengekori langkah pemuda di depannya dalam diam. Selama perjalanan, ia gunakan untuk membaca berkas mengenai seluruh anggota timnya. Shen Juan juga termasuk pemuda yang pendiam. Wei Fang bersyukur jika semua anggota timnya memiliki sifat yang sama dengan pemuda itu.Embusan angin musim semi membuat Wei Fang merapatkan jaket kulit yang ia kenakan sebelum keluar dari mobil. Ia sedikit takjub ketika melangkahkan kaki memasuki restoran. Tidak ada meja yang kosong, ruangan itu dipenuhi oleh senda tawa. Sebuah spanduk acara reuni memenuhi salah satu dinding, ternyata ada yang sedang melakukan acara reuni juga.Manik sehitam malam itu mengitari seluruh ruangan. Sua