“Jadi dia lebih memilih untuk menginap di hotel?”
Tuan Su menyesap kopinya dengan tenang mendengarkan seorang wanita paruh baya mengomel. Perpaduannya memang tidak cocok, tetapi ia mencoba menahan diri dan tidak mengacuhkannya.
“Mau sampai kapan dia tidak menerimaku? Sikap kekanakannya itu tidak sesuai dengan usianya.”
Wanita itu memotong toast di hadapannya dengan sedikit kesal. Tuan Su hanya diam-diam melirik dan kembali fokus dengan bacaannya.
“Kau begitu memanjakannya sampai ia tidak memiliki sopan santun seperti itu, aku penasaran mirip dengan siapa sikap tidak sopannya itu.”
“Wu Xia. Perhatikan ucapanmu,” ucap Tuan Su dengan dingin.
“Jika sikapmu setidaknya sedikit saja ada kehangatan, mungkin anak itu mau pulang rumah ini.”
Wu Xia membanting alat makan yang sedang ia pegang. “Jadi kau menyalahkanku karena anakmu tidak pulang ke rumah? Siapa yang menyuruhmu untuk menikahiku?” ucapnya menggebu kemudian bangkit meninggalkan Su Liang yang masih tenang dengan kopi dan juga laporan yang sedang ia baca.
“Pagi-pagi ayah dan ibu sudah bertengkar.”
Seorang gadis yang baru bergabung duduk di salah satu meja makan.
“Ayah tidak mengatakan hal yang salah.”
Gadis itu tersenyum miring. Jika ibu dan ayahnya bertengkar pasti itu berkaitan dengan kepulangan Su Li.
“Kakakmu sudah kembali. Ayah punya rencana ingin membuat acara penyambutan. Bisakah kau membantu ayah menyiapkannya, Wei Fang?”
Gadis itu tersedak dan menatap Su Liang tidak terima. “Kenapa harus aku?” tanyanya. Menelisik perubahan raut ayahnya, Wei Fang menambahkan, “Aku akan ada acara fashion show dalam beberapa hari. Jadi akan sangat sibuk.” Gadis itu kemudian beranjak dari kursinya.
“Apakah Tuan tidak salah meminta Nona kedua menyiapkan acara penyambutan Nona muda?” tanya Ziang Chen.
Su Liang tersenyum tipis, “Yah. Apa yang aku harapkan? Wu Xia dan Wei Fang terang-terangan tidak menyukai Su Li, jadi aku hanya mencoba peruntungan.”
Wei Fang terlihat bergegas menuju kamar sang Ibu. Menerobos masuk membuat Wu Xia terkejut.
“Apa yang kau lakukan pagi-pagi begini sudah membuat rusuh?”
Wei Fang duduk di atas tempat tidur. “Ibu tahu tadi apa yang Ayah katakan padaku? Aku diminta menyiapkan acara penyambutan untuk anaknya itu,” ucapnya menggebu membuat Wu Xia yang sedang memperbaiki riasannya memutar badannya dan menghadap Wei Fang.
“Kau menerimanya?”
Wei Fang menggeleng, membuat Wu Xia beranjak menghampirinya dan memukul bahunya.
“Ibu, apa maksudnya ini?”
“Kau itu sangat bodoh. Kita bisa mengambil itu sebagai kesempatan untuk mempermalukan anak sombong itu.”
Wei Fang yang tidak mengerti hanya menunggu ibunya berkata lebih lanjut sambil mengelus bahunya. Tetapi Wu Xia malah menarik tangannya untuk berdiri.
“Cepat katakan pada ayahmu kau menerimanya. Sisanya serahkan pada Ibu.”
“Tetapi aku sudah menolaknya, Bu.
“Ibu tidak peduli. Kau terima atau investasi ibu akan ibu tarik.”
Tidak percaya dengan ancaman sang Ibu, Wei Fang mengalah keluar.
“Sebenarnya siapa anak kandungnya,” gumamnya kesal.
***
Langkah anggun itu menghasilkan bunyi gemeletuk yang terdengar bersahutan. Su Li selalu merutuk jika diharuskan menggunakan sepatu hak tinggi. Jika bukan karena acara makan formal perusahaan sang Ayah, ia tidak akan menggunakan alas kaki yang sering disebutnya salah satu alat penyiksaan itu. Para pegawai hotel memberikan salam setiap kali berpapasan dengannya.
Dress brokat berwarna maroon dengan model one piece memeluk tubuh rampingnya pas. Roknya yang mengembang berayun setiap kali Su Li melangkahkan kaki. Walaupun tidak terlalu menyukai polesan yang berlebihan, tetapi malam ini ia tidak mau membuat sang Ayah malu di hadapan para koleganya.
Sapuan tipis berwarna peach membuat wajah seputih porselen itu terlihat segar. Lipstik merah juga memberikan efek fresh senada dengan dress yang ia kenakan. Clutch bag hitam dan gelang perak mempercantik tampilan tangan kanannya. Tak lupa mantel putih berbulu bertengger anggun menutup dengan sempurna penampilan Su Li malam ini.
Sebuah Mercedes Benz GLC-Class terparkir apik di depan hotel. Su Li mengangguk puas, sepertinya koleksi Ayahnya bertambah lagi. Ia tersenyum kala mendapati Sekretaris Lu yang ternyata bertugas menjemputnya malam ini.
“Selamat malam, Sekretaris Lu.”
“Selamat malam, Nona. Kita berangkat sekarang.”
Tempat perjamuan dilaksanakan ternyata di salah satu restoran keluarga yang berdesain privat. Su Li merasa dibohongi. Ia kira makan malam yang dimaksud Ayahnya adalah acara formal dimana seluruh jajaran perusahaan hadir. Langkah kesalnya menggema memenuhi lorong yang didominasi warna merah.
Terdapat ornamen lampion merah di masing-masing depan pintu masuk. Pelayan yang memandu Su Li berhenti di depan salah satu ruangan dan membukakan pintu.
“Akhirnya bintang utama kita hadir.”
Su Liang bangkit dari tempat duduknya dan menyambut Su Li.
“Kau cantik sekali malam ini, putriku.”
Su Li menelan kekesalannya. Setidaknya ada beberapa kolega Ayahnya disini.
“Terima kasih, Ayah.” Su Li memberikan mantelnya kepada pelayan. Berjalan anggun di sebelah sang Ayah. Ia bisa melihat dengan jelas bagaimana ekspresi Wu Xia yang berusaha menilai penampilannya malam ini. Ada sedikit kelegaan kala maniknya tidak menangkap kehadiran Wei Fang, setidaknya berkurang satu orang yang menyebalkan.
Dari total sekitar sepuluh orang yang duduk mengitari meja, ada beberapa wajah yang baru ia temui. Ia hanya menyunggingkan senyum setiap kali ayahnya mengenalkan kepadanya.
“Paman, Ziang Wu apakah belum datang?” tanyanya saat tidak melihat keberadaan anak dari Sekretaris pribadi ayahnya tersebut.
“Anak itu katanya sedang di jalan. Sebentar lagi sepertinya sampai.”
Tepat setelah Ziang Chen menyelesaikan ucapannya, pintu ruang perjamuan itu kembali terbuka. Seorang pemuda terlihat memasuki ruangan. Terlihat jelas bahwa pemuda itu tergesa, bulir keringat tercetak jelas di dahinya yang tidak tertutupi poni.
Walaupun sedikit berantakan, tapi penampilannya tidak bisa dibilang jelek. Keberadaan name tag yang masih tergantung apik di lehernya itu, menjadi tanda bahwa dia masih menggunakan bajunya saat bekerja. Su Li menatapnya selidik, tak disangka teman kecilnya itu berkembang banyak setelah terakhir kali mereka bertemu.
“Maaf atas keterlambatanku,” ucapnya sambil membungkuk sopan.
Su Liang tersenyum ramah, “Tidak apa Ziang Wu. Su Li juga baru saja datang. Anak muda memang perlu persiapan yang lebih lama daripada kami para orang tua ini,” ucapnya maklum.
Setelah Ziang Wu menduduki kursinya, perjamuan itu pun dimulai. Su Li bersyukur bahwa perjamuan itu tidak terlalu formal dan berjalan lancar. Ibu tirinya pun tidak membuat masalah sejauh ini. Setelah beberapa kolega pulang, menyisakan Su Li dan kedua orang tuanya.
“Jadi, apa yang ingin ayah sampaikan?” Sebenarnya ia sudah malas berlama-lama berada di satu ruangan dengan wanita yang terus menempel dengan ayahnya tersebut.
“Ayah ingin kau menikah.”
Su Li menatap Ayahnya tidak percaya. Dari sekian banyak berita yang bisa disampaikan mengapa sang Ayah membahas hal terkait pernikahan.
“Ayah, aku masih 28 tahun.”
“Ibumu menikah saat seumuran denganmu.”
“Apa aku selama ini merepotkan ayah?”
Su Liang menghembuskan napas panjang. Ia tidak boleh salah dalam memilih kata-kata saat berhadapan dengan putrinya tersebut.
“Aku merasa tidak ada yang salah dengan kehidupanku saat ini. Aku bisa berada di titik ini bahkan tanpa melewati ikatan pernikahan itu.”
“Setidaknya kau menjalin hubungan dengan seseorang. Ayah akan membantumu mencari.”
Su Li menggeleng tidak percaya. “Ayah, pasangan itu bukan seperti pakaian yang bisa dipilihkan oleh orang lain. Fokusku pun saat ini bukan itu. Tidak bisakah Ayah berhenti selalu memaksakan kehendak?”
Su Li meneguk kasar air putih yang berada di hadapannya. Cukup usahanya mencapai jalan buntu, setidaknya sang Ayah tidak menambah rasa frustasinya. Tidak ada perkembangan yang berarti dari kasus pembunuhan sang Ibunda semenjak ia berada di Tiongkok. “Apapun alasannya aku tidak mau menikah,” finalnya.
Su Liang memijat puncak hidungnya sejenak sebelum membalas dengan suara rendah. “Jika kau tidak mau menikah, maka kau tidak bisa menjadi pewaris Liang Tech.”
Kesabaran Su Li pun habis. Pembahasan pewaris dan pernikahan itu membuatnya muak. Tidak tahu apa yang menyebabkan sang Ayah begitu mendesaknya, Su Li pun tak mau tahu. Gadis itu beranjak dari tempat duduknya, menyambar mantelnya dengan tidak sabaran.
“Silakan anda berkata sesuka hati. Saya tidak peduli,” ucapnya sebelum menghilang di balik pintu. Su Liang hanya dapat terduduk pasrah memandangi kepergian sang putri.
“Su Li kesal denganku. Ia tidak mau mengangkat panggilanku sekali pun.” Ziang Chen tersenyum tipis sambil memperhatikan Su Liang yang sibuk memangkas bonsai dengan wajah yang mengkerut akibat ulah sang Putri. “Usianya sudah pas untuk menikah. Apakah aku salah membantu mencarikan pasangan yang layak untuknya?” “Anda tahu bagaimana temperamen Nona Muda, Tuan. Saya yakin Nona Muda saat ini sedang sangat kesal dengan anda.” Su Liang menghentikan aktivitasnya dan duduk di bangku taman diikuti oleh Ziang Chen. “Setelah anak Presdir Wang, ia sama sekali tidak mau bertemu dengan yang lain. Padahal mereka semua adalah pemuda yang hebat.” Ziang Chen menuangkan teh dan memberikannya kepada Su Liang. Cahaya redup matahari yang berhasil menembus atap kaca transparan itu membuat udara di dalam rumah kaca menghangat. Mendiang istri pertamanya sangat menyukai bunga, sehingga ia membangun sebuah rumah kaca agar sang Istri bisa berkebun walau di luar tertutup salju. Seperti sekarang, walau bera
Suasana perusahaan dimanapun itu bagi Su Li tidak memiliki banyak perbedaan. Karyawan yang berlalu lalang dengan menggunakan name tag dan membicarakan pekerjaan, satu dua orang yang membawa setumpuk berkas, hingga beberapa karyawati yang sedang bergosip di ujung pantry. Hanya saja, konsep perusahaan Liang Tech agak berbeda dengan Ubex Corporation tempatnya dulu mengumpulkan pundi-pundi kekayaan. Setiap divisi memiliki ciri khasnya masing-masing. Desain interior yang berbeda cukup menjelaskan bidang apa yang divisi itu kerjakan.Tapak langkahnya yang mengikuti ketua HRD memasuki sebuah ruangan. Sebuah papan yang bertuliskan Investor Relation terpampang di atas pintu masuk. Tidak ada meja bersekat yang memisahkan karyawan satu dengan yang lain, konsep open space yang begitu apik. Ruangan yang tidak bisa disebut kecil itu dihuni oleh delapan orang karyawan yang terlihat sedikit sibuk sehingga tidak menyadari kedatangan mereka. Tepukan tangan dari Tuan Shen mengalihkan atensi semua ora
Pintu darurat menjadi tempat favoritnya beristirahat. Setelah proyek dengan investor Perancis itu selesai, Su Li mengira bahwa tugasnya sudah selesai. ia tidak menyangka bahwa ia harus menyelesaikan beberapa proyek besar lagi.“Apakah aku terlalu serius bekerja?” gumamnya. Ia merasa sedikit demi sedikit mulai teralihkan dari tujuan utamanya. Getar ponselnya membuat dirinya beranjak. “Ada apa?” tanyanya sambil berjalan keluar.Xiao Lu memberikan kabar bahwa mereka diminta untuk menemui Su Liang sekarang. Ketika keluar, ia berpapasan dengan seorang pria. Wajahnya tidak terlihat dengan jelas karena pria itu menunduk sambil menerima panggilan.“Aku akan segera kesana.”Percakapan itu saja yang sempat ia dengar sebelum pria itu menghilang di balik pintu. Su Li terdiam, kemudian ia berbalik cepat menuju pintu tangga darurat tersebut. Derap langkah lirih yang menaiki tangga terdengar olehnya membuat jantungnya ikut berpacu.Untung saja ia menggunakan sepatu flat hari ini, jadi bisa dengan ce
Su Li membawa tungkainya ke lantai delapan. Tapak kakinya menggema memenuhi lorong bergaya futuristik tersebut, bagai berjalan di atas catwalk, Su Li menyadari puluhan pasang mata memperhatikan dirinya. Sampai di bagian ujung lantai ia berdiri di depan pintu kaca yang tidak tembus pandang dan kemudian mengetuk pintu. Mendorongnya ketika suara di dalam mempersilakannya masuk.“Selamat pagi, Direktur.”Direktur Lin yang melihat kedatangan Su Li melepaskan kacamata bacanya. “Ada apa Nona Su?” ucapnya sambil beranjak menuju sofa. Su Li menyamankan diri di salah satu sofa yang dipersilakan oleh Direktur Lin.“Divisi kami membutuhkan laporan cash flow perusahaan selama tiga tahun terakhir. Tetapi entah mengapa, sepertinya bagian keuangan lupa menyerahkan beberapa laporan. Kami mendapatkan beberapa yang missed. Terutama bagian operating activities. Jadi saya kemari karena ingin meminta dokumen tersebut.”“Permintaan saya seharusnya tidak terlalu banyak, kan?” Su Li menatap lurus Direktur Lin
“Apa yang bisa ditemukan oleh anak kecil itu? Dia hanya bisa menggertak.” Wanita itu meluruskan tangan kanannya, merasakan bagaimana tangan pegawai spa itu memijatnya dengan piawai. “Kau tidak perlu khawatir. Kita sudah membuatnya serapi mungkin. Tidak akan ada celah.” Setelah mengatakan hal tersebut ia mengakhiri panggilan itu. Seorang pegawai kemudian mengambil ponsel itu dari tangannya. “Su Li membuat onar?” Wanita itu mengangguk. “Dia membuat keributan di kantor Direktur Lin. Meminta kekurangan dokumen atau apapun itu.” “Seperti bukan dirinya saja. Bukankah selama ini dia hanya diam?” “Ibu juga tidak mengerti. Mungkin dia hanya mencari cara untuk menghalau bosan,” ucap wanita itu sambil terpejam. Wangi aromaterapi yang berasal dari lilin di pojok ruangan dan juga pijatan pada punggungnya membuat semuanya terasa sempurna. “Kau tidak ada niat untuk masuk ke perusahaan, Wei Fang?” Gadis muda di sebelahnya menggeleng. “Bukankah kita sudah sering membicarakan ini, Bu? Perusahaan
“Aku ingin menjadi pemimpin perusahaan.” Su Liang menatap Su Li tidak percaya. “Kau tidak sedang mabuk kan?” ia kemudian memastikan bahwa yang diminum oleh Su Li adalah kopi bukanlah minuman beralkohol. “Bukankah Ayah memaksaku untuk menjadi pewaris? Sekarang aku menawarkan diri tetapi malah seperti itu respon Ayah.” Su Li menyeruput es americano-nya dengan kesal. Jika sedang merajuk anak gadisnya itu akan cemberut seperti ikan mas, memuat Su Liang tersenyum gemas. “Ayah, aku sedang berbicara serius.” Ucapan Su Li membuat Su Liang menenggelamkan senyumnya. Benar kata sang Putri, ia harus serius saat ini. Pasti ada sesuatu yang membuat Su Li berubah pikiran. “Kau sudah menemukan pengganti kekasihmu itu?” Su Li memutar bola matanya kesal. Sang Ayah masih saja mengira dirinya memiliki hubungan spesial dengan Miss Moore. Ia sedikit menyesal mengapa tidak pernah mengiyakan tawaran beberapa temannya ketika di bangku sekolah. Saat di Ubex pun banyak yang mencoba mendekati hanya saja S
Kuncup-kuncup magnolia mulai menampakkan diri. Beberapa ranting yang semula gundul juga mulai menumbuhkan pucuk-pucuk kehijauan. Pegawai minimarket sedang menempelkan kaligrafi dan juga lukisan musim semi kala seorang gadis membuat bel kecil di atas pintu kaca itu bergemerincing. Destinasi pertamanya adalah deretan mie instan yang tersusun rapi, setelah menimbang cukup lama pilihannya jatuh kepada luosifen, semenjak berada di London, ia sangat ingin mencicipi sajian mie beras atau bihun berbahan dasar siput tersebut. Jika dalam penyajian sebenarnya, bihun direndam dalam kaldu pedas, lalu diberi taburan rebung, buncis, lobak, kacang tanah, dan kulit tahu, tetapi ia cukup puas dengan keberadaan luosifen dalam bentuk instan. Su Li berharap rasanya tidak akan beda jauh dari cita rasa yang berada di ingatannya. Walaupun beraroma yang khas, rasanya sangatlah enak. Dulu setiap kali sang Ibunda menjemput dirinya setiap sepulang sekolah, mereka pasti akan mampir di kedai ujung gang. Mengha
Cahaya matahari yang mengenai wajahnya membuat tidur lelap gadis itu terusik. Ditariknya selimut hingga menutupi wajah. Gerakannya berhenti karena ia merasa asing dengan aroma selimut yang menutupi tubuh semampainya. Manik itu perlahan membuka dan mulai memindai sekeliling. “Rasanya aku tidak memiliki lukisan itu,” gumamnya kala melihat lukisan yang tergantung di salah satu dinding. Ia kemudian beralih kepada selimut yang menutupi dirinya. Tersadar dengan keadaan dengan cepat ia memeriksa pakaian yang ia gunakan. Sebuah helaan lega terdengar saat mendapati dirinya masih berpakaian utuh di balik selimut abu-abu tersebut. Sepertinya dia tidak terlibat hal konyol akibat mabuk tadi malam. Gadis itu tidak menyangka bahwa tiga gelas margarita bisa membuatnya hilang kesadaran, toleransi alkoholnya menurun drastis. “Kau sudah bangun?” Badannya berputar cepat ke arah pintu. Bak putaran film lawas, kejadian tadi malam terlintas di kepalanya. Semua tidak ada yang terlewat. Termasuk ciuman
“Kau tahu? Pembunuh Shen Juan adalah Wu Xia. Ibunda Wei Fang.”Namjun berbalik dan menatap Luo Han. Dari sekian banyak berita yang ia harap sama sekali ia tidak pernah mengharapkan kabar buruk seperti itu."Shen Juan tidak mungkin melakukan itu." Namjun tetap bersikukuh untuk menampik hal tersebut. Lan Huo meletakkan kembali map berkas yang ia pegang. "Aku pun tidak ingin mempercayainya. Namun begitulah hasil penyelidikan." Pria itu menepuk pundak Namjun. Ia tahu, pasti sulit untuk menerima. "Aku juga seperti itu. Tetapi bukti demi bukti yang ada terlalu jelas. Shen Juan sudah melanggar kode etik dan merugikan kesatuan kita." Lan Huo kemudian melenggang keluar, meninggalkan namjun yang termenung. Pemuda itu tahu, Namjun pasti perlu waktu. Seperti tersadar akan sesuatu Namjun merogoh ponselnya di saku. Perangkat jemala itu bergetar dan menampilkan sebuah pesan. Namjun bergegas setelah selesai membaca pesan tersebut."Kau mau kemana?" Namjun hanya melengos pergi tanpa ingin menang
“Marie, apa yang kau lakukan?” gumamnya setelah melihat cuplikan berita yang ditampilkan oleh salah satu berita fashion di situs daring yang sedang ia baca. Wei Fang kehabisan stok kesabarannya. Dengan langkah lebar ia keluar dari kafe dan menuju pintu keluar. Gadis itu hampir keluar dari bandara, namun ia menghentikan langkah ketika pandangannya tertumbuk pada seorang gadis muda yang terlihat berlari menuju ke arahnya. “Maafkan aku,” ucap gadis itu setelah tepat berada di hadapan Wei Fang. “Ada aksi demonstrasi di alun-alun kota sehingga terjadi kemacetan.” Wei Fang mengabaikan penjelasan panjang lebar dari asistennya tersebut. Ia tidak ingin energinya terbuang percuma, ada hal penting dan lebih berbobot yang harus ia kerjakan ketimbang meladeni ucapan omong kosong yang Marie lontarkan. “Kita langsung menuju butik sekarang.”Marie mengangguk mengerti. Gadis itu kemudian mengambil langkah di depan Wei Fang, membawanya menuju dimana mobil yang tadi ia bawa terparkir. Diam-diam gad
“Kau?” Dua orang berbeda gender itu sama-sama terkejut setelah melihat satu sama lain. “Apa yang membawamu sampai kemari? Rasanya aku tidak pernah memberimu alamat ini.” Wei Fang menutup pintu di belakangnya. Gadis itu keluar alih-alih membawa kedua orang tamunya memasuki rumah. Ia masih perlu menyelidiki apa maksud tujuan kedua rekannya tersebut sampai mengunjunginya di rumah sang kakak. Padahal ia sama sekali tidak pernah memberikan alamat sang Kakak. “Jangan salah paham dulu. Kami kemari karena Namjun sudah menemukan dompet itu.” Lan Huo kemudian menyikut Namjun yang terlihat membatu. Pemuda itu selalu bersikap kikuk jika sudah berhadapan dengan Wei Fang. “Betul. Kami kemari karena ingin mengambilnya,” ucapnya sedikit terbata. “Mengambil? Bukankah kata yang tepat itu adalah memberikannya padaku?” Wei Fang menatap keduanya dengan alis hampir bertaut. “Lagipula ini adalah akhir pekan. Kita bisa membahasnya besok.” Gadis itu berbalik hendak kembali memasuki rumah ketika pegang
“Ada apa dengannya?” Lan Huo kaget saat membuka pintu dan menemukan Namjun yang dipapah masuk oleh Wei Fang. “Hanya sedikit pusing,” ujar Wei Fang sekenanya. Gadis itu kemudian menyerahkan Namjun pada Lan Huo. Ia kemudian meregangkan lengan kanannya. Memapah seseorang yang memiliki postur yang lebih besar, membuat lengannya sedikit kram. “Kau terluka?” tanya Shen Juan yang baru keluar dari kamar mandi. Aroma mint segar menguar memenuhi ruangan mengikuti langkah pemuda itu. Wei Fang menggeleng, kemudian menunjuk arah dua pemuda yang sedang memasuki kamar tersebut dengan dagunya. “Sepertinya ini masih terlalu cepat untuk ikut after party.” Kening Shen Juan berkerut dalam. “Kami tidak ikut. Namjun hanya mabuk kendaraan,” ucap Wei Fang lagi kemudian beranjak. “Aku akan membersihkan diriku dan bergabung dalam dua puluh menit.” Gadis itu kemudian melenggang keluar setelah meletakkan clutch dan juga anting yang tadi ia gunakan di atas meja. “Setelah ini aku tidak mau berada di kel
“Bukankah itu Tuan Liu?” Namjun mengikuti arah pandang Wei Fang. Secara samar ia dapat mendengar decakan halus dari gadis di sebelahnya itu. Sorot kebencian dan kemarahan terpatri jelas di manik segelap malam itu. Awal bertemu, ia mengira gadis itu menggunakan lensa kontak, karena memang iris mata berwarna hitam bukanlah warna yang umum. Bahkan setahunya, hanya ada sekitar 1 persen penduduk di muka bumi ini yang memiliki iris warna hitam. “Perhatikan tatapanmu. Dia akan menyadarinya jika kau menatapnya seintens itu,” bisik Namjun yang menyadarkan Wei Fang untuk mengalihkan pandangan. Apalagi acara fashion show itu sudah dimulai. Setelah pengantar singkat dari sang designer Liu Yan, terlihat deretan model yang berjalan memasuki runway. Tak heran dengan lokasi yang dipilih, ternyata Liu Yan mengusung tema yang menccerminkan Macau sepenuhnya. “Apakah baju-baju itu bisa digunakan dalam kegiatan sehari-hari?” Senyum tipis tersungging kala ia mendengar pertanyaan pemuda yang masih m
Seberkas sinar dari sang surya menyelinap masuk melalui celah gorden yang tak tertutup rapat. Bias cahaya menyilaukan itu tepat terjatuh pada wajah wajah seorang gadis yang masih setia bergelung di balik selimutnya. Dering ponselnya total ia abaikan. Ia tidak tergugah sama sekali untuk sekedar berbalik memunggungi jendela apalagi beranjak menutup gorden agar sinar matahari tidak mengganggunya. Ia akan menghabiskan day off nya untuk bermesraan seharian dengan selimut juga guling empuknya. Namun, niat itu terdistraksi dengan gedoran tak sabaran dari pintu kamar. Sebenarnya ia bisa saja mengabaikan itu seperti ia mengabaikan dering perangkat jemala dari atas nakas, hanya saja ia tidakmau diusir dari hotelitu karena sudah mengganggu ketertiban umum. Tidak lucu bukan jika penegak hokum sepertinya malah melanggar hukum.Dengan langkah yang diseret Wei Fang menuju pintu cokelat yang memisahkan kamarnya dengan lorong hotel. Tanpa perlu mengintip dari lubang pintu, ia sudah bisa tahu siapa pe
Macau, Musim Gugur 2001Gemerlap cahaya lampu menerangi sepanjang ruas jalan Avenida de Lisboa. Sebuah bangunan bergaya futuristik yang unik berdiri megah dan terlihat mencolok. Wei Fang tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun sambil mengigit toast isi telur dan bacon yang ia pilih sebagai menu makan malamnya saat ini.Mobil van yang mereka sewa terparkir tepat di seberang Kasino Lisboa, tempat operasi mereka malam ini. Kendaraan roda dua maupun roda empat yang ramai serta para pejalan kaki yang memenuhi area pedestrian membantu melancarkan pengintaian mereka tanpa terlihat mencolok.“Aku harap kau tidak masuk angin dengan baju kurang bahan seperti itu,” ucap Namjum kemudian melempar jaket paddingnya hingga menutupi paha mulus Wei Fang yang terekspos akibat strapless dress berpotongan pendek yang ia kenakan. Sejak di hotel, pemuda itu protes dengan pemilihan gaun yang Wei Fang kenakan. “Tuan muda, kita akan mengunjungi kasino. Gaun ini masih sangat sopan dibandingkan para wanita
“Aku belum bisa meninggalkan Tiongkok saat ini.” Gadis itu mengerang frustasi. Ponsel yang menempel pada telinga kirinya ia apit dengan tangan kanan, sedang tangan kirinya sibuk membolak-balik berkas.“Dua minggu lagi. Undur saja dua minggu lagi.”Ponsel itu kemudian ia letakkan di atas meja setelah sebelumnya ia mengaktifkan pelantang suara.[Kau akan rugi sekitar dua puluh juta Franc Swiss. Apakah kau yakin ingin mengundur acara ini?]Gadis itu meletakkan berkas yang tadi sedang ia baca. “Aku tidak masalah. Kau urus saja. Tugasku disini masih belum selesai. Terserah kau ingin menggunakan alasan apa.”Terdengar desahan putus asa di seberang telepon. Namun itu tidak mengusik gadis itu sama sekali, ia masih sibuk membongkar beberapa berkas yang berada di depannya saat ini.[“Wei Fang. Aku tahu uang bukanlah masalah besar untukmu. Namun, tingkat kepercayaan para vendor di sini serta kepercayaan para pelangganmu itu hal yang akan kamu tebus dengan mahal. Apakah kau lupa bagaimana kau mem
Bangunan restoran yang terlihat tradisional itu membuat sebaris senyum Wei Fang terulas. Sudah lama sejak kali terakhir ia mengunjungi restoran yang menjual makanan Tiongkok. Di Paris ia tidak bisa menemukannya dengan mudah. Selain itu, mrasanya tidak seotentik ketika ia menyantap hidangan-hidangan itu di Tiongkok.Gadis itu masih mengekori langkah pemuda di depannya dalam diam. Selama perjalanan, ia gunakan untuk membaca berkas mengenai seluruh anggota timnya. Shen Juan juga termasuk pemuda yang pendiam. Wei Fang bersyukur jika semua anggota timnya memiliki sifat yang sama dengan pemuda itu.Embusan angin musim semi membuat Wei Fang merapatkan jaket kulit yang ia kenakan sebelum keluar dari mobil. Ia sedikit takjub ketika melangkahkan kaki memasuki restoran. Tidak ada meja yang kosong, ruangan itu dipenuhi oleh senda tawa. Sebuah spanduk acara reuni memenuhi salah satu dinding, ternyata ada yang sedang melakukan acara reuni juga.Manik sehitam malam itu mengitari seluruh ruangan. Sua