ucapan dia membuat hati Kevin merinding. Lelaki itu bergidik sembari memejam mata. Dea tersenyum melihat reaksi suaminya, tangannya masih menggoyang-goyangkan hair dryer dan rambut hitam Kevin. Jantungnya sedikit berdegup karena perasaan yang tidak bisa diartikan.Tak ada obrolan selama Dea mengeringkan rambut suaminya. Setelah meletakkan hairdryer ke tempatnya, Dea memilih duduk dipangkuan Kevin dengan mata yang berbinar terang. Tangannya sibuk memposisikan smartphone untuk memotret posisi mereka."Mas nggak pengen liat cermin?" tanya Dea menatap lembut Kevin. Tanpa bersuara, lelaki itu hanya menggelengkan kepala. Kevin hanya fokus dengan wajah istrinya yang sangat dia cintai."Handphone Mas di mana?" Kevin menelusuri area kamar, cukup lama ia memilih citra dalam pengheliatannya hingga menemukan sesuatu yang dia cari. "Di-" Belum selesai lelaki itu berucap, Dea menyelanya dengan suara yang lembut."Bisa matikan dulu? Aku ingin waktu tenang sama Mas." Dea membuat sudut bibirnya mele
"Ada apa?" tanya Kevin yang masih berusaha melakukan penyatuan. Dea semakin bengis melakukan penolakan, bahkan ia meremas rambutnya sendiri."Akh!!!" erang Dea. Deakeras merasakan sakit kepalanya."Kenapa?" tanya Kevin sangat khawatir. "Kepalaku sakit!" teriak Dea, ia tak bisa mengontrol diri dan membuat Kevin kalap."Ayo ke rumah sakit." Kevin segera membopong istrinya."Baju!"Icha yang sudah landing segera menelpon suaminya. Matanya yang sembab, hanya bisa ditutupi dengan kacamata hitam. Telepon pun tak kunjung tersambung di antara keduanya, sehingga membuat emosinya membumbung tinggi. Seno yang sangat diharapkannya pun tidak bisa di hubungi. Pada saat ia menelpon ajudan papanya, hanya ada kabar jika Seni tengah meeting penting bersama jajaran penting di daerah. "Ish! Kenapa semua orang sulit dihubungi!" desis Icha dengan tangan gemeretak. Maya yang ada di belakang langsung menariknya masuk ke mobil. "Cepat. Kalau kamu ingin pulang, selesaikan pekerjaan ini dulu Sayang," ucap M
Setelah mengirim pesan pada adik iparnya, Levi menghela panjang. Kepalanya terasa berdenyut karena mempreasur diri mencari uang. Batang yang ada di gudang sudah musnah diambil reseller. Bertumpuk uang tertata dalam lemari. Kini tinggal penutupan dan pembagian laba dengan keluarga besan."Ternyata bisnis tak semudah itu. Marketing, akuntan, manajemen semua aku lakukan sendiri," keluh lelaki itu. Ia berjalan keluar menunggu kepulangan istrinya.Sejak pagi Nina sudah keluar dari kediaman mereka. Entah pergi ke mana, tetapi kesabaran Levi sudah hangus menghadapi tingkah Nina. "Sudah malam, kenapa dia belum pulang. Padahal biasanya sore sudah di rumah." Levi berjalan ke depan gerbang. Satpam yang ia pekerjakan sudah ia pulangkan bulan lalu. Semenjak kedatangan Dea, ia harus memutar otak memanajemen keuangan. Jadi terpaksa memulangkan para pekerja di rumah. Dengan tenaga yang tersisa, dia mendorong pintu besi di hadapannya. Jalanan masih ramai dengan lalu lalang penghuni kompleks. Beberap
Dengan mata memerah, Nina membalikkan badan menuju kamar. Levi memperhatikan perilaku istrinya dalam diam. Kemudian menatap mobil di depan kediamannya pergi begitu saja. "Jahat kamu Mas!" ucap Nina dengan air mata yang berderai. Levi hanya melirik istrinya sekilas kemudian mengganti bajunya."Turuti saja perkataanku. Aku sudah memberikanmu kebebasan pergi dengan orang itu selama sebulan. Sekarang waktunya kamu menuruti kata-kataku, setidaknya untuk keselamatanmu. Apa kamu ingin seperti Icha yang mendekam di penjara?" Tak ada sahutan dari Nina. Wanita itu semakin membenamkan wajahnya ke dalam bantal. Perutnya yang sudah besar membuat ia tak bisa tengkurap saat menangis di atas ranjang. Jadi dia hanya bisa tersebut dengan posisi duduk."Baik-baik di rumah, aku kerja dulu," akhir Levi meninggalkan istrinya dengan kecupan tipis. Sayangnya Nina langsung menepis lelaki itu, tak ingin di sentuh.Dea dan Kevin baru saja sampai di rumah memutuskan istirahat. Kepulangan mereka disambut sangat
Kevin langsung memperilakan tamunya masuk. Gito baru saja keluar langsung menyambut kakak menantunya dengan semringah. Dea yang mendengar kedatangan Levi masuk ke kamar tamu tempatnya dan Rita tidur. Melihat itu, Rita tak berkomentar apapun karena memang sedang ada masalah yang membuat menantunya kecewa."Om dengar kamu menjual semua produknya Lev?" tanya Giti membuka topik tentang binis mereka."Benar Pak," jawab Levi dengan santun. "Bagaimana respon pembeli soal barang kita?""Sangat bagus Om. Ngomong-ngomong soal harga, bagaimana bisa Om mendapat harga yang jauh dari harga pasar?""Itu kerjasama dari pabriknya langsung. Ditambah Om berani menjanjikan target penjualan pada mereka. Om hanya fokus di kuantitas penjualan jadi resiko harga murah dengan keuntungan tipis biar terjual semua. Tapi kalau ditotal keuntungannya juga tidak sedikit itu karena jumlah produknya yang sangat banyak."Mulut Levi membulat dan kepalanya terangguk. "Harganya sangat cocok untuk distributor. Kata reselle
Beberapa hari berlalu dengan tenang. Gito dan Rita menghentikan usahanya untuk mencari suplier. Sedangkan Kevin dan Dea menjalani hari seperti biasa. Tak ada yang aneh, hanya sedikit kewaspadaan Kevin terhadap temperamen istrinya. "Mas ke cafe dulu ya Sayang. Di sana ada Nino. Apa kamu mau ikut?" "Tidak. Adik mau tidur dulu. Tinggal beberapa hari lagi harus kerja." "Oke. Baik-baik di rumah, hubungi Mas kalau ada masalah. Mama sama Papa sudah tidak menginap lagi, jadi jaga diri ya." Dea mengangguk dan Kevin mengecup kening wanita itu dengan lembut. Kini tinggal wanita itu seorang diri di rumah. Ia hanya menonton film dan memainkan ponsel. Keheningan ini membuat suasana hanya tenang. Pikirannya benar-benar kosong, ia memutuskan tidur di kamar tamu. Dia lebih suka tidur di kamar ini ketimbang kamar utama. Kevin pun tak berkomentar apapun saat ia tidur di sini. Keesokan paginya ia terbangun dengan Kevin yang sudah bersandar di headboard ranjang. "Sudah bangun? Cepat mandi, Mbok Last
"Ma... Aku ingin cerai," ucap Dea sembari mengiris bawang di atas telenan. Nala menoleh ke arah putrinya dengan mata melebar.Setelah didiagnosis psikolog dan mendapat penanganan dari psikiater, mereka memutuskan untuk memboyong Dea ke rumah orangtuanya. Mengetahui kondisi psikis putrinya, ia dan Rita tak henti-hentinya meneteskan air mata karena rasa empati menahan banyak tekanan dari pihak luar. Bahkan wanita itu enggan melihat suaminya saat Kevin berkunjung ke rumah."Suruh Mas Kevin pulang Ma. Aku tidak mau melihat dia," ucap Dea dengan ekspresi datar. David dan Nala pun menuruti permintaan putrinya. Meskipun berat hati karena mengusir besannya, semua demi kesehatan Dea. Rasa sakit menjadi hebat saat kondisi menjadi kritis."Panggilkan aku pengacara Ma. Aku mau menggugat dia." Sekarang Dea enggan menyebut nama suaminya."Sayang, coba kamu pikirkan baik-baik." Nala mendekat dan mengelus lembut pundak putrinya.Dea menggelengkan kepala. "Ini yang terbaik Ma. Kalau aku sama dia terus
Kevin dan Seno sedang duduk bersama. Icha tak henti-hentinya mengembangkan senyum di wajahnya. "Jadi bagaimana?" tanya Seno setelah menelpon anak buahnya. "Dea sedang berada di rumah orangtuanya Pak." "Bagus. Berapa lama lagi kalian akan pisah?" Kevin menatap lurus dengan sendu. Bibirnya terasa kelu menjawab pertanyaan tersebut. Namun pada akhirnya ia pun mengeluarkan suara. "Secepatnya." Icha yang ada di sampingnya langsung tersenyum lebar. Dia ingin sekali melompat karena Kevin akan menjadi miliknya seutuhnya. "Bagus. Aku akan memberimu nominal tiga kali lipat dari sebelumnya. Dengan syarat, kamu harus menikahi putrinya secara negara," ucap Seno. "Baik Pak." Kevin pasrah dengan percakapan ini. Setidaknya keluarga istri keduanya tidak akan menggangu keluarganya dan Dea beberapa waktu ke depan. Melihat kondisi Dea yang semakin parah membuat ia merasa bersalah. Semua penyakit yang ada di tubuh wanita itu adalah karenanya. Di sisi lain, Rita dan Gito memaksanya untuk menjadi ba
"Perutku sakit banget, Sayang. Seperti kontraksi," jawab Dea dengan suara gemetar.Andre segera memeriksa jam tangannya. "Tapi ini belum waktunya, kan? Masih beberapa minggu lagi!" Namun, melihat ekspresi Dea yang pucat, ia tak berani menunda. "Kita ke rumah sakit sekarang. Tunggu sebentar, aku ambil kunci mobil."Dea mengangguk, meski tubuhnya terus menggeliat karena rasa sakit. Andre kembali dengan mantel dan payung, membantunya bangun dengan hati-hati.Di perjalanan menuju rumah sakit, Dea terus mencengkeram lengan suaminya. Pria itu pun dibuat kalap dengan satu tangan memegang kemudi. "Aduh, Mas sakit banget. Aku nggak kuat," keluhnya.Andre berusaha tetap tenang, meskipun dadanya terasa sesak melihat istrinya kesakitan. "Sayang, bertahan ya. Kita sebentar lagi sampai," katanya sambil mempercepat laju mobil.Setibanya di rumah sakit, para perawat langsung membawa Dea ke ruang bersalin. Andre mendampingi dengan wajah penuh kecemasan. Dokter masuk dan memeriksa kondisi Dea dengan ce
“Waalaikumsalam,” jawab Icha cepat-cepat sambil membuka pintu. Berdiri di sana, Kevin dengan setelan kerjanya yang rapi, wajahnya tampak lelah, tetapi ada senyum tipis yang terukir.“Kamu baru pulang?” tanya Icha langsung, nada suaranya sedikit tajam meski ia mencoba menahannya. Evan yang masih dalam gendongannya mulai merengek lagi, membuatnya semakin frustasi.Kevin mengangguk sambil melepas sepatu. “Iya, maaf lama. Ada kerjaan tambahan tadi. Stok baju menumpuk dan harus di display. Ditambah, aku juga menambah manekin sesuai idemu. Aku sudah memasang banyak setelan yang kamu atur.” Ia mendekati mereka, mengusap kepala Evan yang langsung melenguh kecil, tetapi tetap rewel.“Aku hampir gila sendiri di rumah, tahu nggak?” keluh Icha sambil membawa Evan ke ruang tamu. Namun, ada kebahagiaan sendiri karena ide yang sempat ia katakan pada Kevin, sekarang telah teralisasikan. Dia yang dulunya suka shopping dan selalu memakai outfit kece, ternyata bisa merembak ke bisnis toko baju yang mere
Beberapa hari setelah kabar kehamilan itu, Andre dan Dea memutuskan untuk mengundang kedua keluarga mereka untuk makan malam di rumah. Andre telah mengatur semuanya, dari makanan hingga dekorasi sederhana yang akan digunakan untuk menyampaikan kabar gembira tersebut.Dea berdiri di depan cermin, mengenakan gaun longgar yang sengaja dipilih karena ia mulai merasa tak nyaman dengan pakaian yang ketat di perut. Ia menyentuh perutnya yang masih datar dengan perasaan takjub, seolah tak percaya bahwa kehidupan baru tengah tumbuh di dalamnya.“Kamu cantik,” komentar Andre yang muncul dari balik pintu kamar. Ia mendekat, melingkarkan lengannya di pinggang Dea.“Kamu yakin mereka akan senang?” tanya Dea sambil menatap Andre lewat pantulan cermin.Andre tertawa kecil, mencium kening Dea dengan lembut. “Ayah dan Mama pasti akan sangat senang. Apalagi Oma. Dia sudah lama menunggu kabar seperti ini.”Dea mengangguk, meski hatinya tetap berdebar. Ia masih merasa gugup untuk menyampaikan kabar terse
Setelah hampir dua minggu menikmati bulan madu yang penuh kenangan di Maldives, Dea dan Andre akhirnya kembali ke rumah mereka yang megah. Malam itu, mereka tiba di bandara dengan suasana hati yang lelah tetapi bahagia.“Welcome home, Pak Andre, Bu Dea,” sapa seorang pelayan ketika mereka melangkah masuk ke dalam rumah. Bagi Dea rumah itu terasa lebih besar dari tempat yang selama ini ia tinggali, tetapi kehangatan dari staf yang menyambut mereka membuat Dea merasa nyaman.“Terima kasih,” jawab Andre singkat. Ia menoleh ke arah Dea, yang terlihat sedikit pucat. “Kamu capek? Mau langsung istirahat?”Dea mengangguk sambil tersenyum kecil. “Sepertinya begitu. Perjalanan panjang tadi bikin aku sedikit mual.”Andre mengernyit, menunjukkan kekhawatirannya. “Kamu yakin cuma capek? Jangan-jangan kamu sakit.”Wanita itu hanya tertawa kecil. “Nggak kok, mungkin hanya masuk angin. Besok juga pasti sembuh.”Andre menghela napas, tapi akhirnya mengangguk. “Kalau gitu, ayo naik. Aku bawakan kopermu
Tanpa menunggu lagi, sepasang pengantin yang baru saja melakukan malam pertama segera terbang ke luar negeri."Mas, kita mau ke mana?" tanya Dea. Ia sedari tadi hanya mengekori suaminya. Semua keperluan sudah diatur Andre dan staffnya. Jadi, wanita itu tidak tau mereka akan terbang ke mana. Suaminya pun hanya membalasnya dengan senyuman kecil. "Nanti juga tau," ujar lelaki itu sembari menoel hidung Dea.Namun, jawaban atas rasa penasaran wanita itu langsung terjawab ketika jet yang ia tumpangi landing di salah satu bandara yang ada di Maldives. Dea tak menyangka dan tak terpikirkan akan berada di negara ini. Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan sinar matahari lembut yang menerobos tirai kamar villa di atas laut. Dea membuka mata perlahan, menghirup aroma udara laut yang menyegarkan. Ia merasakan kain lembut selimut yang menyelimuti tubuhnya dan ketenang di sekitarnya.Ketika ia menoleh, Andre sudah duduk di teras luar, hanya memakai kemeja santai berwarna putih dan celana p
Kevin kehilangan kata-kata. Zahra hanya berdiri di tempatnya, matanya kembali berkaca-kaca, tetapi tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun.Icha mengusap air matanya dengan kasar, sambil tetap memeluk Evan. Suaranya gemetar saat ia melanjutkan, “Aku meninggalkan keluargaku demi kamu, Kevin. Aku melawan dan menghadapi dunia sendirian, bahkan saat aku melahirkan anak ini. Apa balasanmu? Kamu bawa perempuan lain masuk ke rumah kita!”“Icha, aku tahu aku salah,” Kevin berkata dengan nada putus asa. “Tapi aku ingin memperbaikinya. Demi Evan. Tolong beri aku kesempatan-”Kata-kata itu seperti palu godam yang menghantam Icha. Tubuhnya terasa lemas, dan ia hanya terpaku. Suaminya hanya memikirkan putra mereka, bukan dirinya. Zahra yang tak sanggup melihat perseteruan mereka, berbalik dan melangkah pergi tanpa berkata apa-apa.Icha menunduk, menatap bayi kecil di pelukannya yang akhirnya berhenti menangis. Ia mengusap lembut kepala Evan sambil berbisik, “Kita pergi dari sini, Nak. Kita tid
Kevin berdiri terpaku, jantungnya berdegup kencang. Kata-kata Icha tadi seperti pisau yang terus-menerus mengirisnya. Ia ingin mengejar wanita itu, tetapi tubuhnya terasa kaku. Di sebelahnya, Zahra menggenggam tangan di depan dada, matanya berkaca-kaca, penuh rasa bersalah.“Mas, mungkin aku seharusnya tidak datang ke sini,” Zahra berbisik pelan. “Kehadiranku hanya memperburuk keadaan.”Kevin menoleh, pandangannya gelap. “Zahra, ini bukan salahmu. Semua ini salahku. Aku yang mengambil keputusan bodoh, dan sekarang aku harus menanggung akibatnya.”Sebelum Zahra bisa menjawab, suara pintu yang dibanting terdengar keras dari arah kamar. Icha muncul kembali dengan sebuah koper besar di tangannya. Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Kevin atau Zahra, ia berjalan cepat menuju pintu depan.“Cha, tunggu!” Kevin akhirnya bergerak, berusaha menghentikan istrinya. Ia memegang lengan Icha, tetapi wanita itu menepisnya dengan kasar.“Jangan sentuh aku, Kevin!” seru Icha dengan air mata yang masih me
Kevin menatap Zahra sejenak. Pikirannya bergemuruh, tetapi bibirnya akhirnya lolos begitu saja mengungkapkan kenyataan yang selama ini dia sembunyikan. "Zahra adalah istriku, Cha. Dia madumu. Kami sudah menikah secara sah baik di mata hukum maupun agama."Pernyataan itu jatuh seperti petir di siang bolong. Icha menatap Kevin dengan mata membelalak, wajahnya memerah karena amarah yang langsung memuncak. Tubuhnya gemetar, hampir tak mampu berdiri.“Apa?!” jerit Icha dengan suara yang pecah. “Kamu bilang dia MADUKU?! Kamu sudah menikah lagi tanpa bilang apa-apa padaku?!”Pria itu menatap Icha selembut mungkin, berusaha menenangkan. Namun, kata-kata yang ia siapkan tak mampu menahan badai yang jelas sudah datang. “Cha, aku bisa jelaskan. Seharusnya bilang dari awal. Tapi-”“JELASKAN APA?!” potong Icha dengan teriakan melengking. “Kamu menikah lagi di belakangku, Kevin! Kamu mengkhianatiku! Kamu membawanya ke sini, dan kamu pikir aku akan menerima begitu saja?!”Zahra yang berdiri di sampi
Di ruang tamu, seorang wanita bergamis duduk dengan tenang. Sosok itu membuat darah Icha mendidih seketika.“Kamu?!” seru Icha dengan nada tinggi, tanpa mencoba menyembunyikan kemarahannya.Zahra, yang mengenakan gamis hitam bangkit perlahan. Meski matanya tampak tenang, tubuhnya sedikit gemetar karena situasi yang ia tahu akan sulit.“Iya, Mbak Icha,” jawab Zahra pelan. “Saya diminta Mas Kevin datang.”"Dasar perempuan gatel! Apa-apaan kamu tiba-tiba nggak pake cadar gitu. Mau menggoda suami saya, ya!" Icha melirik Kevin dengan tatapan penuh emosi. “Mas, kamu tega banget bawa dia ke sini?! ngapain kamu suruh datang ke rumah kita?!”“Cha, tenang dulu. Aku cuma—”“Tenang?!” potong Icha tajam. “Kamu mau aku tenang sementara kamu bawa perempuan ini ke rumah kita?! Aku istrimu, Kevin! Dia itu cuma... cuma-”“Saya cuma apa, Mbak?” Zahra menyela lembut, tetapi nadanya tegas. “Kalau saya hanya dianggap sebagai masalah, saya mohon maaf. Tapi saya di sini untuk menyelesaikan semuanya, biar ng