Kevin dan Seno sedang duduk bersama. Icha tak henti-hentinya mengembangkan senyum di wajahnya. "Jadi bagaimana?" tanya Seno setelah menelpon anak buahnya. "Dea sedang berada di rumah orangtuanya Pak." "Bagus. Berapa lama lagi kalian akan pisah?" Kevin menatap lurus dengan sendu. Bibirnya terasa kelu menjawab pertanyaan tersebut. Namun pada akhirnya ia pun mengeluarkan suara. "Secepatnya." Icha yang ada di sampingnya langsung tersenyum lebar. Dia ingin sekali melompat karena Kevin akan menjadi miliknya seutuhnya. "Bagus. Aku akan memberimu nominal tiga kali lipat dari sebelumnya. Dengan syarat, kamu harus menikahi putrinya secara negara," ucap Seno. "Baik Pak." Kevin pasrah dengan percakapan ini. Setidaknya keluarga istri keduanya tidak akan menggangu keluarganya dan Dea beberapa waktu ke depan. Melihat kondisi Dea yang semakin parah membuat ia merasa bersalah. Semua penyakit yang ada di tubuh wanita itu adalah karenanya. Di sisi lain, Rita dan Gito memaksanya untuk menjadi ba
Nala dan David yang melarikan putrinya ke rumah sakit, kini duduk termenung ketika sampai di rumah. Dea sudah tertidur pulas karena dibius oleh dokter. Mereka sengaja meminta ditindak seperti itu berharap akan ada ketenangan beberapa waktu.Levi mendekati kedua orangtuanya dengan gusar setelah mengecek keadaan adiknya. Tenggorokan yang tercekik ia paksa relaks agar mengeluarkan suara. "Ma... Yah," panggil lembut. Tanpa menyahuti, kedua orang itu melihatnya dengan sendu.Levi pun berinisiatif membuka topik pembicaraan. "Sebenarnya kenapa?" Nala menghela napasnya panjang kemudian menyerahkan ponsel putrinya. Levi menerima benda itu dengan alis berkerut. Ia melihat room chat yang terkirim pada sosial media Dea. Tak lama setelah puas membaca pesan tersebut, ia pun menghela napasnya sangat panjang."Levi," panggil Nala tegas."Iya Ma?" "Cari pengacara yang handal, kita gugat dia sekarang juga." Wanita itu berkata penuh penekanan. David membelalakkan mata lantas menyahuti, "Jangan gegaba
Seno memasuki rumah putrinya dengan riang. Maya menghampirinya penuh tanda tanya. Kedua sudut bibir suaminya yang terangkat menandakan ada hal bagus sore ini. Apalagi kedua tangan lelaki itu memegang pundaknya cukup erat dengan sorot mata menyejukkan."Di mana putri kita?" tanya Seno sembari celingak-celinguk mencari keberadaan Icha.Maya menarik suduk bibirnya dan menyipitkan mata. Ia mendekatkan bibir ke telinga suaminya, "di kamar sama suaminya."Mulut Seno lantas membulat mendengar jawaban itu. "Temui nanti saja. Biar mereka menghabiskan waktu bersama, jarang-jarang Kevin mau menghabiskan waktu dengan putri kita."Seno menganggukkan kepala dan mengikuti langkah istrinya ke kamar yang mereka tempati. "Ngomong-ngomong ada apa?" selidik Maya."Aku mendapat laporan dari anak buahku. Keluarga Dea bersiap menggugat cerai Kevin." Seno menjawabnya dengan sedikit berbisik. Respon pertama yang diperlihatkan Maya adalah mata melebar. "Beneran?!" pekik Maya yang langsung ditahan tangan sua
Rota meremas kertas pemberitahuan perceraian dari Kevin hingga bergetar. Matanya merah dan berair menahan amarah. Ia menatap tajam putra dan suaminya. "Hubungi pengacara Pa. Kita tidak bisa melepaskan Dea begini," ucap Rita. Gito pin mengangguk dan langsung melaksanakan perintah istrinya. Sedangkan Kevin masih tertunduk lesu, airmatanya tetap bercucuran setelah memberikan berkas pada Rita."Kamu Kevin. Nyalakan mobil, kita pergi ke rumah besan sekarang!" Ketiga orang itu berangkat dengan perasaan campur aduk. Pantas saja beberapa hari ini David dan Nala seakan mencari alasan untuk tidak berhubungan dengan mereka. Sering kali telepon Rita diabaikan, bahkan ketika berkunjung besannya sering mencari alasan mengakhiri pertemuan. "Mbak Nala! Mas David!" panggil wanita paruh baya tersebut mencari keberadaan besannya. "Dea!" Kali ini Rita berteriak cukup keras sampai membuat salah satu tetangga menghampiri."Permisi Bu. Keluarga Pak David tidak ada di rumah," ucap santun sang tetangga.Me
Icha mengelus lembut punggung suaminya. Sedari tadi Kevin hanya berdiam diri tak mengeluarkan suara sedikitpun. Wanita itu bisa memahami apa yang terjadi. Berita yang dibawa Seno sedang terjadi, dan ia menjalankan perintah tersebut sebaik mungkin. "Mas mau makan?" tawar wanita itu. Dia berusaha menjadi istri penuh perhatian untuk Kevin. Ini adalah waktu yang tepat untuk menunjukkan bahwa dia lebih baik daripada Dea. Kevin beranjak dari tempat tidur tanpa mengucapkan sepatah katapun. "Mau ke mana?" Tak ada sahutan dari lelaki itu. Icha segera mengekori Kevin yang keluar rumah. Motor sport berbodi gahar menggeber sangat kencang di komplek perumahannya. Icha hanya menghela napas melihat kepergian suaminya yang penuh emosi. "Sepertinya dia sangat terpukul," ujar Maya yang berdiri di ambang pintu. Icha menyetujui ucapan mamanya. Anggukan kecil ia berikan pada wanita paruh baya itu. "Sabarlah sedikit lagi Sayang. Sebentar lagi mereka akan bercerai." Maya memberikan pelukan hangat pada
Tubuh Kevin langsung lemas begitu telepon berakhir. Ancaman Seno sangat ampuh membuat kepala berdenyut. Rasanya ia ingin berteriak sekeras mungkin untuk melegakan rasa sakit yang menghantam dirinya. Satu persatu memori bersama Dea mengelilingi kepalanya. Janji suci ketika mengucapkan akad, bertukar cincin, sentuhan perdana, semua terasa hangat di kala itu. Sekarang akan sirna. "Aku ingin memeluknya," ucap Kevin dengan air mata deras membasahi pipinya. Bantal yang sebelumnya tertata rapi kini tergeletak di lantai. Bentuknya yang sebelumnya simetris berubah abstrak menggembung karena tinjuan sang empu. Keesokan paginya, keluarga Dea bersiap berangkat ke pengadilan di mana mereka harus mengurus perceraian yang terhambat karena ulah Rita dan Gito. Kedua orang itu enggan melepaskan menantu satu-satunya sehingga berbuat semaksimal mungkin untuk mempertahankan pernikahan Kevin. Begitu pula Nala dan David, mereka juga memutar otak agar proses penggugatan ini berjalan lancar. Kehidupan putri
"Kevin sangat menderita Mbak. Jadi aku mohon batalkan saja perceraian ini, demi putra putri kita," pinta Rita yang matanya semakin berlinang. "Lihat Mbak." Nala meminta besannya untuk melihat pergelangan tangan putrinya. Dea pasrah ketika ditarik mamanya, sedari tadi kepala wanita itu terasa kosong. Rita memerhatikan tangannya dengan mata melebar. "Ini gara-gara anakmu! Anakku hampir mati!" Nala mengatakannya dengan terisak. Rita membeku mendengar ucapan tersebut, ia menatap menantunya penuh rasa bersalah. Gito yang ada di belakang segera membuang muka menyembunyikan kesedihan yang menggerogoti dirinya. Perlahan KEvin mendekat. Setiap langkah lelaki itu mengeluarkan suara pedih. Dea meliriknya sendu. Semua orang terdiam. "Dik," pinggil Kevin lembut. Ia mengulurkan tangannya tetapi Dea segera menjauh. Tubuhnya meremang, pelipisnya berdenyut, napasnya mulai terengah. Nala segera mendekap tubuh putrinya. Dia menuntun Dea untuk menenangkan diri. Sedangkan David menepuk lembut pundak Gi
Rita menampar pipi putranya sangat keras. Matanya menatap nyalang dan napas memburu bak banteng menubruk matador dalam arena. "Anak tidak tau diuntung! Berani sekali kamu membohongi Mama!" Kekecewaan meraup harga dirinya hingga dasar. Tangan wanita itu sekali lagi melayang dan berteriak, "Pergi kamu dari sini! Jangan sekali-sekali menemui Mama! Mama tidak sudi punya anak sepertimu!"Wanita paruh baya tersebut berjalan cepat meninggalkan Kevin yang tersungkur di lantai. Ia menangis tersedu-sedu menerima akhiran yang menyedihkan. Wanita itu tak sanggup menjukkan wajah di depan besannya. Gito yang baru bercengkerama dengan pengacara segera mengampirinya dengan wajah datar. "Kemasi barang-barangmu dan jangan menunjukkan diri pada kami. Kamu bukan tanggung jawabku lagi. Mengerti?" tanya Gito dengan pupil bergetar. Di akhir babak argumentasi di ruang persidangan, pengara istrinya memberikan buti terbaru di mana Icha istri mudanya mengirim foto mesra mereka. Kevin merasa kecolongan karena t