Icha mengikuti suaminya dari kejauhan. Dia melajukan mobilnya perlahan tak peduli dengan pengendara lain yang mengumpat padanya karena memperlambat arus lalulintas kota. Kepuasan hatinya tercetak jelas pada raut wajahnya. Sudut bibirnya tak mau turun dari tadi. Ia membiarkan Kevin meluapkan amarah di pinggir jalan. Bahkan lelaki itu beberapa kali meraung kesetanan akibat kehilangan istri pertamanya. "Sekarang giliranku mengambil alih. Kamu jadi milikku seutuhnya Mas," puas Icha menghentikan mobil lalu menghampiri suaminya. "Ayo pulang Mas. Henyikan kesedihanmu itu, ada aku di sinii. Aku akan mengembalikan semua hartamu." Wanita itu menarik lengan suaminya tetapi tak diidahkan. Kevin masih saja tersedu-sedu merasakan rasa sakit yang tak terbendung. "Aku harus ke mana?" Tanya lelaki itu pada dirinya sendiri. Mendengar itu Icha langsung menghela napas. "Ayo pulang ke rumah! Kamu masih punya rumah!" Ia memberikan kode pada anak buah Seno yang mengintai. "Seret dia ke dalam mobilku!" Per
[Akta cerai segera saya kirim sore ini.] pesan tersebut ditulis lengkap dengan bukti dokumen resmi dari pengadilan agama. Rasa yang dianggap khayalan beberapa hari lalu, kini terasa nyata. Dea terperangah melihat foto di roomchatnya. Beban di hatinya melayang begitu saja tanpa perlu ia berusaha. Perlahan pandangan matanya menghitam, semua gelap dan hanya terdengar suara Sinta yang histeris.Andre yang ada di depan kantor terperanjat mendengar kegaduhan para guru. Ia segera mendekat, mencari tau apa yang sedang terjadi. "Bu Dea?!" pekiknya. Ia langsung membopong tubuh wanita itu."Pak lebih baik kita antar Bu Dea pulang. Saya khawatir kalau sakit beliau kumat. Bu Rita sempat memberitahu saya untuk membawa Bu Dea pulang kalau terjadi apa-apa di sekolah," ujar Sinta dengan alis menekuk.Andre langsung mengangguk dan menjawab, "baik. Tolong Bu Sinta ambil kunci mobil di meja kerja saya." Sinta yang kalap langsung menyambar barang yang disebutkan kepala sekolahnya. Jono yang baru menyadari
Tanpa menunggu perintah orang lain, Andre segera menghubungi seseorang yang ia benci. Kondisi memaksanya menghubungi wanita itu. "Hallo Ndre, akhirnya kamu menghubungi aku. Ada apa Sayang?" jawab Michelle di seberang telepon."Siapkan ruang VIP! Ada korban penikaman yang aku bawa ke rumah sakitmu! Cepat!" Andre tak menghiraukan panggilan Sayang dari penerima teleponnya."W-what?! Siapa? Jadi kamu menghubungiku-""Gausah banyak tanya! Cepat siapkan! Darah korban keluar sangat deras." Andre mematikan telepon dan menancap gas lebih dalam. Ia tak ingin mengulur waktu sedetikpun. Sinta yang ada di kursi penumpang bersama Dea berusaha menghentikan darah yang bercucuran membasahi mobil. "Pak Andre tolong lebih cepat lagi," mohon Sinta. "Sepertinya Bu Dea tidak sadarkan diri lagi." Kali ini wanita itu menangis tersedu-sedu tak sanggup menahan rasa takut di hatinya."Tolong buat Dea tetap sadar Bu!" pinta Andre.Sinta berusaha keras menjalankan intruksi Andre. Keresahannya sedikit terobati k
Kevin mengerjapkan matanya beberapa kali. Lampu pijar yang ada di tengah ruangan membuat matanya tertusuk. Ada infus tertancap di tangannya. Ia melihat sekeliling tak ada siapapun. "Vin udah bangun lu?" tanya Nino yang baru masuk. Wajah lelaki itu tampak datar."Kok aku di sini?"Nino menyeret kursi dan mendekat padanya. "Lu pingsan.""Gimana Dea?" Satu-satunya nama yang terbesit dalam benak Kevin adalah mantan istrinya."Masih di operasi. Bopak Nyokap lu tadi lari ke sana." Kevin meresponnya dengan anggukan kecil. " Kata dokter Lu boleh langsung pulang kalau udah siuman, tapi lu mau pulang ke mana?" Nino penasaran dengan nasib sohibnya yang dirundung masalah. Kevin pun tertunduk dan menghela nafas sejenak. "Gua gak punya apa-apa sekarang. Ortu juga gak mau ketemu gua. Tinggal rumah Icha aja tempat gua nginap." Meskipun wanita itu penyebab semua masalah yang ia hadapi, tapi Kevin masih bersyukur bisa memiliki tempat bernaungan."Oke. Lu naik taksi online aja ya. Gua harus ketemuan
Tangan Seno gemetar melihat bintang di beberapa kerah para petugas tersebut. Pelipisjya menjadi basah karena panas dingin menjalar di setiap inci tubuhnya. Maya melotot ke arahnya dengan bibir komat-kamit tak jelas. Kevin membisu dengan tubuh kaku bak patung. Mereka dalam zona merah. "Sebentar, biar saya hubungi I-icha," ujar Seno menyahuti pertanyaan polisi. Andre yang ada di tengah para petugas menaikkan salah satu sudut bibirnya. Kevin yang tau semakin membungkam, tetapi kepalanya dipenuhi berbagai pertanyaan saat melihat ekspresi Andre. "Di mana?" tanya Seno pada salah satu anak buahnya. Decak kesal keluar dari mulut lelaki itu. "Paksa dia pulang sekarang! Sekarang juga!" Tanpa terasa Seno berteriak memerintah anak buahnya. "Bagaimana Pak Seno?" tanya polisi lagi. "I-itu, putri saya sedang keluar. Sebentar lagi akan pulang. mohon tunggu sebentar." Seno mencoba memohon sekaligus menutupi fakta bahwa putrinya sedang kabur ke Bali. Andre yang mengerti gelagat suami Maya segera
Icha berakhir pasrah ketika tangannya diborgol. Dia merasa percuma saat melawan gerakan para polisi yang bertugas. Anak buah Seno pun tak berkutik saat ia diringkus para polisi. Tubuhnya yang sintal sedikit kurus mengikuti semua perintah petugas saat masuk mobil. Seno, Maya, dan Kevin langsung menghampiri Icha di kantor polisi. Ketiga orang itu memiliki ekspresi yang berbeda. Kedatangan mereka bagaikan hidayah di tengah konflik yang menderai Icha. "Pa Ma, keluarin Icha dari sini," mohon wanita itu penuh belas kasih. Ia menatap suaminya dengan gembira, "Mas." Seno menyahuti putrinya dengan dingin, "Kita ikuti semua prosesnya. Papa tidak bisa membebaskan kamu. Kali ini yang kita hadapi bukan hanya keluarga wanita itu, tetapi ada pihak lain yang berusaha menjatuhkan Papa. Kamu sabar dulu, Papa akan berusaha meringankan hukumanmu. Jadi Papa mohon, untuk terakhir kalinya. Jadilah anak penurut, jangan membuat ulah selama masa hukuman." Lelaki paruh baya itu menggenggam erat kedua lenga
Dea yang terbaring di ranjang rumah sakit hanya bisa mengedipkan mata berkali-kali. Ia kewalahan mengatur pikiran yang kian hari sulit dikontrol. Tak jarang alisnya mengerut menjadi psikosomatis ketika jiwa terganggu. Berbagai kenangan selama menjalin pernikahan dengan Kevin selalu menghujami kepala Dea. Wanita yang baru berumur 26 tahun berusaha melawan rasa sakit yang ia derita.Derit pintu membuyarkan lamunan Dea, ekor matanya menangkap bayangan putih dengan rambut diikat cepol ke atas. Seulas senyum bertengger di wajah wanita yang baru masuk ruang inap Dea. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Monica lengkap dengan mata bulat bersih nan tulus.Mendapat perhatian dari dokter yang merawatnya membuat Dea harus ikut memamerkan senyum termanisnya. "Alhamdulillah sudah membaik."Tampak kelegaan di mata Monica. Ia sangat terkejut ketika mendapati Dea terkapar di mobil Andre. Wajah panik Andre dan Sinta masih teringat jelas di kepala wanita itu. Ia pun menganggap Dea sebagai teman. Mengingat saat
Andre menepis ucapan perempuan di hadapannya. Penebusan dosa di masa lalu? Itu hanya omong kosong! Dia sangat muak melihat wajah manis tetapi berhati iblis. Tanpa pikir panjang, ia membalikkan tubuh menghampiri Levi yang melenggang di koridor panjang."Hai! Mau kemana?" tanya kakak Dea sangat berseri."Aku harus pulang sekarang Mas." Andre mendekatkan bibirnya ke telingan Levi sembari membisik, "ada yang harus aku lakukan buat Seno."Pupil Levi melebar kemudian menjawab, "langsung hubungi aku kalau perlu bantuan." Seringai lebar terpatri di bibirnya. "Tidak! Besok malam, aku akan ke rumahmu. Kita diskusikan bersama. Ditambah Pak Gito ingin ikut dalam rencanamu."Andre menenggak salivanya karena tak percaya dengan penuturan Levi. Entah kenapa ia terkejut tiba-tiba ada sekutu mendekat. Levi yang paham segera menepuk pundak temannya. "Sudah, terima saja bantuan kami. Kita memiliki musuh yang sama, akan lebih efektif jika berkerjasama."Andre mengangguk senang. Dari belakang Monica menata