[Akta cerai segera saya kirim sore ini.] pesan tersebut ditulis lengkap dengan bukti dokumen resmi dari pengadilan agama. Rasa yang dianggap khayalan beberapa hari lalu, kini terasa nyata. Dea terperangah melihat foto di roomchatnya. Beban di hatinya melayang begitu saja tanpa perlu ia berusaha. Perlahan pandangan matanya menghitam, semua gelap dan hanya terdengar suara Sinta yang histeris.Andre yang ada di depan kantor terperanjat mendengar kegaduhan para guru. Ia segera mendekat, mencari tau apa yang sedang terjadi. "Bu Dea?!" pekiknya. Ia langsung membopong tubuh wanita itu."Pak lebih baik kita antar Bu Dea pulang. Saya khawatir kalau sakit beliau kumat. Bu Rita sempat memberitahu saya untuk membawa Bu Dea pulang kalau terjadi apa-apa di sekolah," ujar Sinta dengan alis menekuk.Andre langsung mengangguk dan menjawab, "baik. Tolong Bu Sinta ambil kunci mobil di meja kerja saya." Sinta yang kalap langsung menyambar barang yang disebutkan kepala sekolahnya. Jono yang baru menyadari
Tanpa menunggu perintah orang lain, Andre segera menghubungi seseorang yang ia benci. Kondisi memaksanya menghubungi wanita itu. "Hallo Ndre, akhirnya kamu menghubungi aku. Ada apa Sayang?" jawab Michelle di seberang telepon."Siapkan ruang VIP! Ada korban penikaman yang aku bawa ke rumah sakitmu! Cepat!" Andre tak menghiraukan panggilan Sayang dari penerima teleponnya."W-what?! Siapa? Jadi kamu menghubungiku-""Gausah banyak tanya! Cepat siapkan! Darah korban keluar sangat deras." Andre mematikan telepon dan menancap gas lebih dalam. Ia tak ingin mengulur waktu sedetikpun. Sinta yang ada di kursi penumpang bersama Dea berusaha menghentikan darah yang bercucuran membasahi mobil. "Pak Andre tolong lebih cepat lagi," mohon Sinta. "Sepertinya Bu Dea tidak sadarkan diri lagi." Kali ini wanita itu menangis tersedu-sedu tak sanggup menahan rasa takut di hatinya."Tolong buat Dea tetap sadar Bu!" pinta Andre.Sinta berusaha keras menjalankan intruksi Andre. Keresahannya sedikit terobati k
Kevin mengerjapkan matanya beberapa kali. Lampu pijar yang ada di tengah ruangan membuat matanya tertusuk. Ada infus tertancap di tangannya. Ia melihat sekeliling tak ada siapapun. "Vin udah bangun lu?" tanya Nino yang baru masuk. Wajah lelaki itu tampak datar."Kok aku di sini?"Nino menyeret kursi dan mendekat padanya. "Lu pingsan.""Gimana Dea?" Satu-satunya nama yang terbesit dalam benak Kevin adalah mantan istrinya."Masih di operasi. Bopak Nyokap lu tadi lari ke sana." Kevin meresponnya dengan anggukan kecil. " Kata dokter Lu boleh langsung pulang kalau udah siuman, tapi lu mau pulang ke mana?" Nino penasaran dengan nasib sohibnya yang dirundung masalah. Kevin pun tertunduk dan menghela nafas sejenak. "Gua gak punya apa-apa sekarang. Ortu juga gak mau ketemu gua. Tinggal rumah Icha aja tempat gua nginap." Meskipun wanita itu penyebab semua masalah yang ia hadapi, tapi Kevin masih bersyukur bisa memiliki tempat bernaungan."Oke. Lu naik taksi online aja ya. Gua harus ketemuan
Tangan Seno gemetar melihat bintang di beberapa kerah para petugas tersebut. Pelipisjya menjadi basah karena panas dingin menjalar di setiap inci tubuhnya. Maya melotot ke arahnya dengan bibir komat-kamit tak jelas. Kevin membisu dengan tubuh kaku bak patung. Mereka dalam zona merah. "Sebentar, biar saya hubungi I-icha," ujar Seno menyahuti pertanyaan polisi. Andre yang ada di tengah para petugas menaikkan salah satu sudut bibirnya. Kevin yang tau semakin membungkam, tetapi kepalanya dipenuhi berbagai pertanyaan saat melihat ekspresi Andre. "Di mana?" tanya Seno pada salah satu anak buahnya. Decak kesal keluar dari mulut lelaki itu. "Paksa dia pulang sekarang! Sekarang juga!" Tanpa terasa Seno berteriak memerintah anak buahnya. "Bagaimana Pak Seno?" tanya polisi lagi. "I-itu, putri saya sedang keluar. Sebentar lagi akan pulang. mohon tunggu sebentar." Seno mencoba memohon sekaligus menutupi fakta bahwa putrinya sedang kabur ke Bali. Andre yang mengerti gelagat suami Maya segera
Icha berakhir pasrah ketika tangannya diborgol. Dia merasa percuma saat melawan gerakan para polisi yang bertugas. Anak buah Seno pun tak berkutik saat ia diringkus para polisi. Tubuhnya yang sintal sedikit kurus mengikuti semua perintah petugas saat masuk mobil. Seno, Maya, dan Kevin langsung menghampiri Icha di kantor polisi. Ketiga orang itu memiliki ekspresi yang berbeda. Kedatangan mereka bagaikan hidayah di tengah konflik yang menderai Icha. "Pa Ma, keluarin Icha dari sini," mohon wanita itu penuh belas kasih. Ia menatap suaminya dengan gembira, "Mas." Seno menyahuti putrinya dengan dingin, "Kita ikuti semua prosesnya. Papa tidak bisa membebaskan kamu. Kali ini yang kita hadapi bukan hanya keluarga wanita itu, tetapi ada pihak lain yang berusaha menjatuhkan Papa. Kamu sabar dulu, Papa akan berusaha meringankan hukumanmu. Jadi Papa mohon, untuk terakhir kalinya. Jadilah anak penurut, jangan membuat ulah selama masa hukuman." Lelaki paruh baya itu menggenggam erat kedua lenga
Dea yang terbaring di ranjang rumah sakit hanya bisa mengedipkan mata berkali-kali. Ia kewalahan mengatur pikiran yang kian hari sulit dikontrol. Tak jarang alisnya mengerut menjadi psikosomatis ketika jiwa terganggu. Berbagai kenangan selama menjalin pernikahan dengan Kevin selalu menghujami kepala Dea. Wanita yang baru berumur 26 tahun berusaha melawan rasa sakit yang ia derita.Derit pintu membuyarkan lamunan Dea, ekor matanya menangkap bayangan putih dengan rambut diikat cepol ke atas. Seulas senyum bertengger di wajah wanita yang baru masuk ruang inap Dea. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Monica lengkap dengan mata bulat bersih nan tulus.Mendapat perhatian dari dokter yang merawatnya membuat Dea harus ikut memamerkan senyum termanisnya. "Alhamdulillah sudah membaik."Tampak kelegaan di mata Monica. Ia sangat terkejut ketika mendapati Dea terkapar di mobil Andre. Wajah panik Andre dan Sinta masih teringat jelas di kepala wanita itu. Ia pun menganggap Dea sebagai teman. Mengingat saat
Andre menepis ucapan perempuan di hadapannya. Penebusan dosa di masa lalu? Itu hanya omong kosong! Dia sangat muak melihat wajah manis tetapi berhati iblis. Tanpa pikir panjang, ia membalikkan tubuh menghampiri Levi yang melenggang di koridor panjang."Hai! Mau kemana?" tanya kakak Dea sangat berseri."Aku harus pulang sekarang Mas." Andre mendekatkan bibirnya ke telingan Levi sembari membisik, "ada yang harus aku lakukan buat Seno."Pupil Levi melebar kemudian menjawab, "langsung hubungi aku kalau perlu bantuan." Seringai lebar terpatri di bibirnya. "Tidak! Besok malam, aku akan ke rumahmu. Kita diskusikan bersama. Ditambah Pak Gito ingin ikut dalam rencanamu."Andre menenggak salivanya karena tak percaya dengan penuturan Levi. Entah kenapa ia terkejut tiba-tiba ada sekutu mendekat. Levi yang paham segera menepuk pundak temannya. "Sudah, terima saja bantuan kami. Kita memiliki musuh yang sama, akan lebih efektif jika berkerjasama."Andre mengangguk senang. Dari belakang Monica menata
"Saya selaku kepala dinas harus memberhentikan Pak Kevin secara tidak terhormat karena telah melanggar kode etik dan mencoreng nama baik lembaga yang bersangkutan."Kevin hanya bisa memejamkan mata menerima keputusan tersebut. Tanpa berpamitan, semua barangnya sudah dikemas dalam kardus agar ia segera pergi dari dunia pendidikan. Tak ada senyuman yang ia dapat dalam perpisahan terpaksa ini. Dia dipandang dengan jijik oleh orang lain. Bahkan mobil istri siri yang ia pakai pun sudah dicoreng oleh cat hitam legam dan telur busuk. "SAMPAH MASYARAKAT!!!" tulisan besar di Mercedes Benz berwarna putih itu. Kevin berusaha menghapusnya dengan baju, tetapi sulit justru semakin lebar karena tergores ke sembarang arah."Huuu!!!" teriak banyak murid yang sengaja mengikutinya dari belakang.Kevin yang dirundung rasa malu segera pergi dari sekolah. Selama melakukan perjalanan banyak pengendara yang terheran-heran melihat mobil kotor melenggang di jalan. Kevin semakin dibuat malu segera pulang ke ru
"Perutku sakit banget, Sayang. Seperti kontraksi," jawab Dea dengan suara gemetar.Andre segera memeriksa jam tangannya. "Tapi ini belum waktunya, kan? Masih beberapa minggu lagi!" Namun, melihat ekspresi Dea yang pucat, ia tak berani menunda. "Kita ke rumah sakit sekarang. Tunggu sebentar, aku ambil kunci mobil."Dea mengangguk, meski tubuhnya terus menggeliat karena rasa sakit. Andre kembali dengan mantel dan payung, membantunya bangun dengan hati-hati.Di perjalanan menuju rumah sakit, Dea terus mencengkeram lengan suaminya. Pria itu pun dibuat kalap dengan satu tangan memegang kemudi. "Aduh, Mas sakit banget. Aku nggak kuat," keluhnya.Andre berusaha tetap tenang, meskipun dadanya terasa sesak melihat istrinya kesakitan. "Sayang, bertahan ya. Kita sebentar lagi sampai," katanya sambil mempercepat laju mobil.Setibanya di rumah sakit, para perawat langsung membawa Dea ke ruang bersalin. Andre mendampingi dengan wajah penuh kecemasan. Dokter masuk dan memeriksa kondisi Dea dengan ce
“Waalaikumsalam,” jawab Icha cepat-cepat sambil membuka pintu. Berdiri di sana, Kevin dengan setelan kerjanya yang rapi, wajahnya tampak lelah, tetapi ada senyum tipis yang terukir.“Kamu baru pulang?” tanya Icha langsung, nada suaranya sedikit tajam meski ia mencoba menahannya. Evan yang masih dalam gendongannya mulai merengek lagi, membuatnya semakin frustasi.Kevin mengangguk sambil melepas sepatu. “Iya, maaf lama. Ada kerjaan tambahan tadi. Stok baju menumpuk dan harus di display. Ditambah, aku juga menambah manekin sesuai idemu. Aku sudah memasang banyak setelan yang kamu atur.” Ia mendekati mereka, mengusap kepala Evan yang langsung melenguh kecil, tetapi tetap rewel.“Aku hampir gila sendiri di rumah, tahu nggak?” keluh Icha sambil membawa Evan ke ruang tamu. Namun, ada kebahagiaan sendiri karena ide yang sempat ia katakan pada Kevin, sekarang telah teralisasikan. Dia yang dulunya suka shopping dan selalu memakai outfit kece, ternyata bisa merembak ke bisnis toko baju yang mere
Beberapa hari setelah kabar kehamilan itu, Andre dan Dea memutuskan untuk mengundang kedua keluarga mereka untuk makan malam di rumah. Andre telah mengatur semuanya, dari makanan hingga dekorasi sederhana yang akan digunakan untuk menyampaikan kabar gembira tersebut.Dea berdiri di depan cermin, mengenakan gaun longgar yang sengaja dipilih karena ia mulai merasa tak nyaman dengan pakaian yang ketat di perut. Ia menyentuh perutnya yang masih datar dengan perasaan takjub, seolah tak percaya bahwa kehidupan baru tengah tumbuh di dalamnya.“Kamu cantik,” komentar Andre yang muncul dari balik pintu kamar. Ia mendekat, melingkarkan lengannya di pinggang Dea.“Kamu yakin mereka akan senang?” tanya Dea sambil menatap Andre lewat pantulan cermin.Andre tertawa kecil, mencium kening Dea dengan lembut. “Ayah dan Mama pasti akan sangat senang. Apalagi Oma. Dia sudah lama menunggu kabar seperti ini.”Dea mengangguk, meski hatinya tetap berdebar. Ia masih merasa gugup untuk menyampaikan kabar terse
Setelah hampir dua minggu menikmati bulan madu yang penuh kenangan di Maldives, Dea dan Andre akhirnya kembali ke rumah mereka yang megah. Malam itu, mereka tiba di bandara dengan suasana hati yang lelah tetapi bahagia.“Welcome home, Pak Andre, Bu Dea,” sapa seorang pelayan ketika mereka melangkah masuk ke dalam rumah. Bagi Dea rumah itu terasa lebih besar dari tempat yang selama ini ia tinggali, tetapi kehangatan dari staf yang menyambut mereka membuat Dea merasa nyaman.“Terima kasih,” jawab Andre singkat. Ia menoleh ke arah Dea, yang terlihat sedikit pucat. “Kamu capek? Mau langsung istirahat?”Dea mengangguk sambil tersenyum kecil. “Sepertinya begitu. Perjalanan panjang tadi bikin aku sedikit mual.”Andre mengernyit, menunjukkan kekhawatirannya. “Kamu yakin cuma capek? Jangan-jangan kamu sakit.”Wanita itu hanya tertawa kecil. “Nggak kok, mungkin hanya masuk angin. Besok juga pasti sembuh.”Andre menghela napas, tapi akhirnya mengangguk. “Kalau gitu, ayo naik. Aku bawakan kopermu
Tanpa menunggu lagi, sepasang pengantin yang baru saja melakukan malam pertama segera terbang ke luar negeri."Mas, kita mau ke mana?" tanya Dea. Ia sedari tadi hanya mengekori suaminya. Semua keperluan sudah diatur Andre dan staffnya. Jadi, wanita itu tidak tau mereka akan terbang ke mana. Suaminya pun hanya membalasnya dengan senyuman kecil. "Nanti juga tau," ujar lelaki itu sembari menoel hidung Dea.Namun, jawaban atas rasa penasaran wanita itu langsung terjawab ketika jet yang ia tumpangi landing di salah satu bandara yang ada di Maldives. Dea tak menyangka dan tak terpikirkan akan berada di negara ini. Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan sinar matahari lembut yang menerobos tirai kamar villa di atas laut. Dea membuka mata perlahan, menghirup aroma udara laut yang menyegarkan. Ia merasakan kain lembut selimut yang menyelimuti tubuhnya dan ketenang di sekitarnya.Ketika ia menoleh, Andre sudah duduk di teras luar, hanya memakai kemeja santai berwarna putih dan celana p
Kevin kehilangan kata-kata. Zahra hanya berdiri di tempatnya, matanya kembali berkaca-kaca, tetapi tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun.Icha mengusap air matanya dengan kasar, sambil tetap memeluk Evan. Suaranya gemetar saat ia melanjutkan, “Aku meninggalkan keluargaku demi kamu, Kevin. Aku melawan dan menghadapi dunia sendirian, bahkan saat aku melahirkan anak ini. Apa balasanmu? Kamu bawa perempuan lain masuk ke rumah kita!”“Icha, aku tahu aku salah,” Kevin berkata dengan nada putus asa. “Tapi aku ingin memperbaikinya. Demi Evan. Tolong beri aku kesempatan-”Kata-kata itu seperti palu godam yang menghantam Icha. Tubuhnya terasa lemas, dan ia hanya terpaku. Suaminya hanya memikirkan putra mereka, bukan dirinya. Zahra yang tak sanggup melihat perseteruan mereka, berbalik dan melangkah pergi tanpa berkata apa-apa.Icha menunduk, menatap bayi kecil di pelukannya yang akhirnya berhenti menangis. Ia mengusap lembut kepala Evan sambil berbisik, “Kita pergi dari sini, Nak. Kita tid
Kevin berdiri terpaku, jantungnya berdegup kencang. Kata-kata Icha tadi seperti pisau yang terus-menerus mengirisnya. Ia ingin mengejar wanita itu, tetapi tubuhnya terasa kaku. Di sebelahnya, Zahra menggenggam tangan di depan dada, matanya berkaca-kaca, penuh rasa bersalah.“Mas, mungkin aku seharusnya tidak datang ke sini,” Zahra berbisik pelan. “Kehadiranku hanya memperburuk keadaan.”Kevin menoleh, pandangannya gelap. “Zahra, ini bukan salahmu. Semua ini salahku. Aku yang mengambil keputusan bodoh, dan sekarang aku harus menanggung akibatnya.”Sebelum Zahra bisa menjawab, suara pintu yang dibanting terdengar keras dari arah kamar. Icha muncul kembali dengan sebuah koper besar di tangannya. Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Kevin atau Zahra, ia berjalan cepat menuju pintu depan.“Cha, tunggu!” Kevin akhirnya bergerak, berusaha menghentikan istrinya. Ia memegang lengan Icha, tetapi wanita itu menepisnya dengan kasar.“Jangan sentuh aku, Kevin!” seru Icha dengan air mata yang masih me
Kevin menatap Zahra sejenak. Pikirannya bergemuruh, tetapi bibirnya akhirnya lolos begitu saja mengungkapkan kenyataan yang selama ini dia sembunyikan. "Zahra adalah istriku, Cha. Dia madumu. Kami sudah menikah secara sah baik di mata hukum maupun agama."Pernyataan itu jatuh seperti petir di siang bolong. Icha menatap Kevin dengan mata membelalak, wajahnya memerah karena amarah yang langsung memuncak. Tubuhnya gemetar, hampir tak mampu berdiri.“Apa?!” jerit Icha dengan suara yang pecah. “Kamu bilang dia MADUKU?! Kamu sudah menikah lagi tanpa bilang apa-apa padaku?!”Pria itu menatap Icha selembut mungkin, berusaha menenangkan. Namun, kata-kata yang ia siapkan tak mampu menahan badai yang jelas sudah datang. “Cha, aku bisa jelaskan. Seharusnya bilang dari awal. Tapi-”“JELASKAN APA?!” potong Icha dengan teriakan melengking. “Kamu menikah lagi di belakangku, Kevin! Kamu mengkhianatiku! Kamu membawanya ke sini, dan kamu pikir aku akan menerima begitu saja?!”Zahra yang berdiri di sampi
Di ruang tamu, seorang wanita bergamis duduk dengan tenang. Sosok itu membuat darah Icha mendidih seketika.“Kamu?!” seru Icha dengan nada tinggi, tanpa mencoba menyembunyikan kemarahannya.Zahra, yang mengenakan gamis hitam bangkit perlahan. Meski matanya tampak tenang, tubuhnya sedikit gemetar karena situasi yang ia tahu akan sulit.“Iya, Mbak Icha,” jawab Zahra pelan. “Saya diminta Mas Kevin datang.”"Dasar perempuan gatel! Apa-apaan kamu tiba-tiba nggak pake cadar gitu. Mau menggoda suami saya, ya!" Icha melirik Kevin dengan tatapan penuh emosi. “Mas, kamu tega banget bawa dia ke sini?! ngapain kamu suruh datang ke rumah kita?!”“Cha, tenang dulu. Aku cuma—”“Tenang?!” potong Icha tajam. “Kamu mau aku tenang sementara kamu bawa perempuan ini ke rumah kita?! Aku istrimu, Kevin! Dia itu cuma... cuma-”“Saya cuma apa, Mbak?” Zahra menyela lembut, tetapi nadanya tegas. “Kalau saya hanya dianggap sebagai masalah, saya mohon maaf. Tapi saya di sini untuk menyelesaikan semuanya, biar ng