Tubuh Kevin langsung lemas begitu telepon berakhir. Ancaman Seno sangat ampuh membuat kepala berdenyut. Rasanya ia ingin berteriak sekeras mungkin untuk melegakan rasa sakit yang menghantam dirinya. Satu persatu memori bersama Dea mengelilingi kepalanya. Janji suci ketika mengucapkan akad, bertukar cincin, sentuhan perdana, semua terasa hangat di kala itu. Sekarang akan sirna. "Aku ingin memeluknya," ucap Kevin dengan air mata deras membasahi pipinya. Bantal yang sebelumnya tertata rapi kini tergeletak di lantai. Bentuknya yang sebelumnya simetris berubah abstrak menggembung karena tinjuan sang empu. Keesokan paginya, keluarga Dea bersiap berangkat ke pengadilan di mana mereka harus mengurus perceraian yang terhambat karena ulah Rita dan Gito. Kedua orang itu enggan melepaskan menantu satu-satunya sehingga berbuat semaksimal mungkin untuk mempertahankan pernikahan Kevin. Begitu pula Nala dan David, mereka juga memutar otak agar proses penggugatan ini berjalan lancar. Kehidupan putri
"Kevin sangat menderita Mbak. Jadi aku mohon batalkan saja perceraian ini, demi putra putri kita," pinta Rita yang matanya semakin berlinang. "Lihat Mbak." Nala meminta besannya untuk melihat pergelangan tangan putrinya. Dea pasrah ketika ditarik mamanya, sedari tadi kepala wanita itu terasa kosong. Rita memerhatikan tangannya dengan mata melebar. "Ini gara-gara anakmu! Anakku hampir mati!" Nala mengatakannya dengan terisak. Rita membeku mendengar ucapan tersebut, ia menatap menantunya penuh rasa bersalah. Gito yang ada di belakang segera membuang muka menyembunyikan kesedihan yang menggerogoti dirinya. Perlahan KEvin mendekat. Setiap langkah lelaki itu mengeluarkan suara pedih. Dea meliriknya sendu. Semua orang terdiam. "Dik," pinggil Kevin lembut. Ia mengulurkan tangannya tetapi Dea segera menjauh. Tubuhnya meremang, pelipisnya berdenyut, napasnya mulai terengah. Nala segera mendekap tubuh putrinya. Dia menuntun Dea untuk menenangkan diri. Sedangkan David menepuk lembut pundak Gi
Rita menampar pipi putranya sangat keras. Matanya menatap nyalang dan napas memburu bak banteng menubruk matador dalam arena. "Anak tidak tau diuntung! Berani sekali kamu membohongi Mama!" Kekecewaan meraup harga dirinya hingga dasar. Tangan wanita itu sekali lagi melayang dan berteriak, "Pergi kamu dari sini! Jangan sekali-sekali menemui Mama! Mama tidak sudi punya anak sepertimu!"Wanita paruh baya tersebut berjalan cepat meninggalkan Kevin yang tersungkur di lantai. Ia menangis tersedu-sedu menerima akhiran yang menyedihkan. Wanita itu tak sanggup menjukkan wajah di depan besannya. Gito yang baru bercengkerama dengan pengacara segera mengampirinya dengan wajah datar. "Kemasi barang-barangmu dan jangan menunjukkan diri pada kami. Kamu bukan tanggung jawabku lagi. Mengerti?" tanya Gito dengan pupil bergetar. Di akhir babak argumentasi di ruang persidangan, pengara istrinya memberikan buti terbaru di mana Icha istri mudanya mengirim foto mesra mereka. Kevin merasa kecolongan karena t
Icha mengikuti suaminya dari kejauhan. Dia melajukan mobilnya perlahan tak peduli dengan pengendara lain yang mengumpat padanya karena memperlambat arus lalulintas kota. Kepuasan hatinya tercetak jelas pada raut wajahnya. Sudut bibirnya tak mau turun dari tadi. Ia membiarkan Kevin meluapkan amarah di pinggir jalan. Bahkan lelaki itu beberapa kali meraung kesetanan akibat kehilangan istri pertamanya. "Sekarang giliranku mengambil alih. Kamu jadi milikku seutuhnya Mas," puas Icha menghentikan mobil lalu menghampiri suaminya. "Ayo pulang Mas. Henyikan kesedihanmu itu, ada aku di sinii. Aku akan mengembalikan semua hartamu." Wanita itu menarik lengan suaminya tetapi tak diidahkan. Kevin masih saja tersedu-sedu merasakan rasa sakit yang tak terbendung. "Aku harus ke mana?" Tanya lelaki itu pada dirinya sendiri. Mendengar itu Icha langsung menghela napas. "Ayo pulang ke rumah! Kamu masih punya rumah!" Ia memberikan kode pada anak buah Seno yang mengintai. "Seret dia ke dalam mobilku!" Per
[Akta cerai segera saya kirim sore ini.] pesan tersebut ditulis lengkap dengan bukti dokumen resmi dari pengadilan agama. Rasa yang dianggap khayalan beberapa hari lalu, kini terasa nyata. Dea terperangah melihat foto di roomchatnya. Beban di hatinya melayang begitu saja tanpa perlu ia berusaha. Perlahan pandangan matanya menghitam, semua gelap dan hanya terdengar suara Sinta yang histeris.Andre yang ada di depan kantor terperanjat mendengar kegaduhan para guru. Ia segera mendekat, mencari tau apa yang sedang terjadi. "Bu Dea?!" pekiknya. Ia langsung membopong tubuh wanita itu."Pak lebih baik kita antar Bu Dea pulang. Saya khawatir kalau sakit beliau kumat. Bu Rita sempat memberitahu saya untuk membawa Bu Dea pulang kalau terjadi apa-apa di sekolah," ujar Sinta dengan alis menekuk.Andre langsung mengangguk dan menjawab, "baik. Tolong Bu Sinta ambil kunci mobil di meja kerja saya." Sinta yang kalap langsung menyambar barang yang disebutkan kepala sekolahnya. Jono yang baru menyadari
Tanpa menunggu perintah orang lain, Andre segera menghubungi seseorang yang ia benci. Kondisi memaksanya menghubungi wanita itu. "Hallo Ndre, akhirnya kamu menghubungi aku. Ada apa Sayang?" jawab Michelle di seberang telepon."Siapkan ruang VIP! Ada korban penikaman yang aku bawa ke rumah sakitmu! Cepat!" Andre tak menghiraukan panggilan Sayang dari penerima teleponnya."W-what?! Siapa? Jadi kamu menghubungiku-""Gausah banyak tanya! Cepat siapkan! Darah korban keluar sangat deras." Andre mematikan telepon dan menancap gas lebih dalam. Ia tak ingin mengulur waktu sedetikpun. Sinta yang ada di kursi penumpang bersama Dea berusaha menghentikan darah yang bercucuran membasahi mobil. "Pak Andre tolong lebih cepat lagi," mohon Sinta. "Sepertinya Bu Dea tidak sadarkan diri lagi." Kali ini wanita itu menangis tersedu-sedu tak sanggup menahan rasa takut di hatinya."Tolong buat Dea tetap sadar Bu!" pinta Andre.Sinta berusaha keras menjalankan intruksi Andre. Keresahannya sedikit terobati k
Kevin mengerjapkan matanya beberapa kali. Lampu pijar yang ada di tengah ruangan membuat matanya tertusuk. Ada infus tertancap di tangannya. Ia melihat sekeliling tak ada siapapun. "Vin udah bangun lu?" tanya Nino yang baru masuk. Wajah lelaki itu tampak datar."Kok aku di sini?"Nino menyeret kursi dan mendekat padanya. "Lu pingsan.""Gimana Dea?" Satu-satunya nama yang terbesit dalam benak Kevin adalah mantan istrinya."Masih di operasi. Bopak Nyokap lu tadi lari ke sana." Kevin meresponnya dengan anggukan kecil. " Kata dokter Lu boleh langsung pulang kalau udah siuman, tapi lu mau pulang ke mana?" Nino penasaran dengan nasib sohibnya yang dirundung masalah. Kevin pun tertunduk dan menghela nafas sejenak. "Gua gak punya apa-apa sekarang. Ortu juga gak mau ketemu gua. Tinggal rumah Icha aja tempat gua nginap." Meskipun wanita itu penyebab semua masalah yang ia hadapi, tapi Kevin masih bersyukur bisa memiliki tempat bernaungan."Oke. Lu naik taksi online aja ya. Gua harus ketemuan
Tangan Seno gemetar melihat bintang di beberapa kerah para petugas tersebut. Pelipisjya menjadi basah karena panas dingin menjalar di setiap inci tubuhnya. Maya melotot ke arahnya dengan bibir komat-kamit tak jelas. Kevin membisu dengan tubuh kaku bak patung. Mereka dalam zona merah. "Sebentar, biar saya hubungi I-icha," ujar Seno menyahuti pertanyaan polisi. Andre yang ada di tengah para petugas menaikkan salah satu sudut bibirnya. Kevin yang tau semakin membungkam, tetapi kepalanya dipenuhi berbagai pertanyaan saat melihat ekspresi Andre. "Di mana?" tanya Seno pada salah satu anak buahnya. Decak kesal keluar dari mulut lelaki itu. "Paksa dia pulang sekarang! Sekarang juga!" Tanpa terasa Seno berteriak memerintah anak buahnya. "Bagaimana Pak Seno?" tanya polisi lagi. "I-itu, putri saya sedang keluar. Sebentar lagi akan pulang. mohon tunggu sebentar." Seno mencoba memohon sekaligus menutupi fakta bahwa putrinya sedang kabur ke Bali. Andre yang mengerti gelagat suami Maya segera