Rota meremas kertas pemberitahuan perceraian dari Kevin hingga bergetar. Matanya merah dan berair menahan amarah. Ia menatap tajam putra dan suaminya. "Hubungi pengacara Pa. Kita tidak bisa melepaskan Dea begini," ucap Rita. Gito pin mengangguk dan langsung melaksanakan perintah istrinya. Sedangkan Kevin masih tertunduk lesu, airmatanya tetap bercucuran setelah memberikan berkas pada Rita."Kamu Kevin. Nyalakan mobil, kita pergi ke rumah besan sekarang!" Ketiga orang itu berangkat dengan perasaan campur aduk. Pantas saja beberapa hari ini David dan Nala seakan mencari alasan untuk tidak berhubungan dengan mereka. Sering kali telepon Rita diabaikan, bahkan ketika berkunjung besannya sering mencari alasan mengakhiri pertemuan. "Mbak Nala! Mas David!" panggil wanita paruh baya tersebut mencari keberadaan besannya. "Dea!" Kali ini Rita berteriak cukup keras sampai membuat salah satu tetangga menghampiri."Permisi Bu. Keluarga Pak David tidak ada di rumah," ucap santun sang tetangga.Me
Icha mengelus lembut punggung suaminya. Sedari tadi Kevin hanya berdiam diri tak mengeluarkan suara sedikitpun. Wanita itu bisa memahami apa yang terjadi. Berita yang dibawa Seno sedang terjadi, dan ia menjalankan perintah tersebut sebaik mungkin. "Mas mau makan?" tawar wanita itu. Dia berusaha menjadi istri penuh perhatian untuk Kevin. Ini adalah waktu yang tepat untuk menunjukkan bahwa dia lebih baik daripada Dea. Kevin beranjak dari tempat tidur tanpa mengucapkan sepatah katapun. "Mau ke mana?" Tak ada sahutan dari lelaki itu. Icha segera mengekori Kevin yang keluar rumah. Motor sport berbodi gahar menggeber sangat kencang di komplek perumahannya. Icha hanya menghela napas melihat kepergian suaminya yang penuh emosi. "Sepertinya dia sangat terpukul," ujar Maya yang berdiri di ambang pintu. Icha menyetujui ucapan mamanya. Anggukan kecil ia berikan pada wanita paruh baya itu. "Sabarlah sedikit lagi Sayang. Sebentar lagi mereka akan bercerai." Maya memberikan pelukan hangat pada
Tubuh Kevin langsung lemas begitu telepon berakhir. Ancaman Seno sangat ampuh membuat kepala berdenyut. Rasanya ia ingin berteriak sekeras mungkin untuk melegakan rasa sakit yang menghantam dirinya. Satu persatu memori bersama Dea mengelilingi kepalanya. Janji suci ketika mengucapkan akad, bertukar cincin, sentuhan perdana, semua terasa hangat di kala itu. Sekarang akan sirna. "Aku ingin memeluknya," ucap Kevin dengan air mata deras membasahi pipinya. Bantal yang sebelumnya tertata rapi kini tergeletak di lantai. Bentuknya yang sebelumnya simetris berubah abstrak menggembung karena tinjuan sang empu. Keesokan paginya, keluarga Dea bersiap berangkat ke pengadilan di mana mereka harus mengurus perceraian yang terhambat karena ulah Rita dan Gito. Kedua orang itu enggan melepaskan menantu satu-satunya sehingga berbuat semaksimal mungkin untuk mempertahankan pernikahan Kevin. Begitu pula Nala dan David, mereka juga memutar otak agar proses penggugatan ini berjalan lancar. Kehidupan putri
"Kevin sangat menderita Mbak. Jadi aku mohon batalkan saja perceraian ini, demi putra putri kita," pinta Rita yang matanya semakin berlinang. "Lihat Mbak." Nala meminta besannya untuk melihat pergelangan tangan putrinya. Dea pasrah ketika ditarik mamanya, sedari tadi kepala wanita itu terasa kosong. Rita memerhatikan tangannya dengan mata melebar. "Ini gara-gara anakmu! Anakku hampir mati!" Nala mengatakannya dengan terisak. Rita membeku mendengar ucapan tersebut, ia menatap menantunya penuh rasa bersalah. Gito yang ada di belakang segera membuang muka menyembunyikan kesedihan yang menggerogoti dirinya. Perlahan KEvin mendekat. Setiap langkah lelaki itu mengeluarkan suara pedih. Dea meliriknya sendu. Semua orang terdiam. "Dik," pinggil Kevin lembut. Ia mengulurkan tangannya tetapi Dea segera menjauh. Tubuhnya meremang, pelipisnya berdenyut, napasnya mulai terengah. Nala segera mendekap tubuh putrinya. Dia menuntun Dea untuk menenangkan diri. Sedangkan David menepuk lembut pundak Gi
Rita menampar pipi putranya sangat keras. Matanya menatap nyalang dan napas memburu bak banteng menubruk matador dalam arena. "Anak tidak tau diuntung! Berani sekali kamu membohongi Mama!" Kekecewaan meraup harga dirinya hingga dasar. Tangan wanita itu sekali lagi melayang dan berteriak, "Pergi kamu dari sini! Jangan sekali-sekali menemui Mama! Mama tidak sudi punya anak sepertimu!"Wanita paruh baya tersebut berjalan cepat meninggalkan Kevin yang tersungkur di lantai. Ia menangis tersedu-sedu menerima akhiran yang menyedihkan. Wanita itu tak sanggup menjukkan wajah di depan besannya. Gito yang baru bercengkerama dengan pengacara segera mengampirinya dengan wajah datar. "Kemasi barang-barangmu dan jangan menunjukkan diri pada kami. Kamu bukan tanggung jawabku lagi. Mengerti?" tanya Gito dengan pupil bergetar. Di akhir babak argumentasi di ruang persidangan, pengara istrinya memberikan buti terbaru di mana Icha istri mudanya mengirim foto mesra mereka. Kevin merasa kecolongan karena t
Icha mengikuti suaminya dari kejauhan. Dia melajukan mobilnya perlahan tak peduli dengan pengendara lain yang mengumpat padanya karena memperlambat arus lalulintas kota. Kepuasan hatinya tercetak jelas pada raut wajahnya. Sudut bibirnya tak mau turun dari tadi. Ia membiarkan Kevin meluapkan amarah di pinggir jalan. Bahkan lelaki itu beberapa kali meraung kesetanan akibat kehilangan istri pertamanya. "Sekarang giliranku mengambil alih. Kamu jadi milikku seutuhnya Mas," puas Icha menghentikan mobil lalu menghampiri suaminya. "Ayo pulang Mas. Henyikan kesedihanmu itu, ada aku di sinii. Aku akan mengembalikan semua hartamu." Wanita itu menarik lengan suaminya tetapi tak diidahkan. Kevin masih saja tersedu-sedu merasakan rasa sakit yang tak terbendung. "Aku harus ke mana?" Tanya lelaki itu pada dirinya sendiri. Mendengar itu Icha langsung menghela napas. "Ayo pulang ke rumah! Kamu masih punya rumah!" Ia memberikan kode pada anak buah Seno yang mengintai. "Seret dia ke dalam mobilku!" Per
[Akta cerai segera saya kirim sore ini.] pesan tersebut ditulis lengkap dengan bukti dokumen resmi dari pengadilan agama. Rasa yang dianggap khayalan beberapa hari lalu, kini terasa nyata. Dea terperangah melihat foto di roomchatnya. Beban di hatinya melayang begitu saja tanpa perlu ia berusaha. Perlahan pandangan matanya menghitam, semua gelap dan hanya terdengar suara Sinta yang histeris.Andre yang ada di depan kantor terperanjat mendengar kegaduhan para guru. Ia segera mendekat, mencari tau apa yang sedang terjadi. "Bu Dea?!" pekiknya. Ia langsung membopong tubuh wanita itu."Pak lebih baik kita antar Bu Dea pulang. Saya khawatir kalau sakit beliau kumat. Bu Rita sempat memberitahu saya untuk membawa Bu Dea pulang kalau terjadi apa-apa di sekolah," ujar Sinta dengan alis menekuk.Andre langsung mengangguk dan menjawab, "baik. Tolong Bu Sinta ambil kunci mobil di meja kerja saya." Sinta yang kalap langsung menyambar barang yang disebutkan kepala sekolahnya. Jono yang baru menyadari
Tanpa menunggu perintah orang lain, Andre segera menghubungi seseorang yang ia benci. Kondisi memaksanya menghubungi wanita itu. "Hallo Ndre, akhirnya kamu menghubungi aku. Ada apa Sayang?" jawab Michelle di seberang telepon."Siapkan ruang VIP! Ada korban penikaman yang aku bawa ke rumah sakitmu! Cepat!" Andre tak menghiraukan panggilan Sayang dari penerima teleponnya."W-what?! Siapa? Jadi kamu menghubungiku-""Gausah banyak tanya! Cepat siapkan! Darah korban keluar sangat deras." Andre mematikan telepon dan menancap gas lebih dalam. Ia tak ingin mengulur waktu sedetikpun. Sinta yang ada di kursi penumpang bersama Dea berusaha menghentikan darah yang bercucuran membasahi mobil. "Pak Andre tolong lebih cepat lagi," mohon Sinta. "Sepertinya Bu Dea tidak sadarkan diri lagi." Kali ini wanita itu menangis tersedu-sedu tak sanggup menahan rasa takut di hatinya."Tolong buat Dea tetap sadar Bu!" pinta Andre.Sinta berusaha keras menjalankan intruksi Andre. Keresahannya sedikit terobati k
"Perutku sakit banget, Sayang. Seperti kontraksi," jawab Dea dengan suara gemetar.Andre segera memeriksa jam tangannya. "Tapi ini belum waktunya, kan? Masih beberapa minggu lagi!" Namun, melihat ekspresi Dea yang pucat, ia tak berani menunda. "Kita ke rumah sakit sekarang. Tunggu sebentar, aku ambil kunci mobil."Dea mengangguk, meski tubuhnya terus menggeliat karena rasa sakit. Andre kembali dengan mantel dan payung, membantunya bangun dengan hati-hati.Di perjalanan menuju rumah sakit, Dea terus mencengkeram lengan suaminya. Pria itu pun dibuat kalap dengan satu tangan memegang kemudi. "Aduh, Mas sakit banget. Aku nggak kuat," keluhnya.Andre berusaha tetap tenang, meskipun dadanya terasa sesak melihat istrinya kesakitan. "Sayang, bertahan ya. Kita sebentar lagi sampai," katanya sambil mempercepat laju mobil.Setibanya di rumah sakit, para perawat langsung membawa Dea ke ruang bersalin. Andre mendampingi dengan wajah penuh kecemasan. Dokter masuk dan memeriksa kondisi Dea dengan ce
“Waalaikumsalam,” jawab Icha cepat-cepat sambil membuka pintu. Berdiri di sana, Kevin dengan setelan kerjanya yang rapi, wajahnya tampak lelah, tetapi ada senyum tipis yang terukir.“Kamu baru pulang?” tanya Icha langsung, nada suaranya sedikit tajam meski ia mencoba menahannya. Evan yang masih dalam gendongannya mulai merengek lagi, membuatnya semakin frustasi.Kevin mengangguk sambil melepas sepatu. “Iya, maaf lama. Ada kerjaan tambahan tadi. Stok baju menumpuk dan harus di display. Ditambah, aku juga menambah manekin sesuai idemu. Aku sudah memasang banyak setelan yang kamu atur.” Ia mendekati mereka, mengusap kepala Evan yang langsung melenguh kecil, tetapi tetap rewel.“Aku hampir gila sendiri di rumah, tahu nggak?” keluh Icha sambil membawa Evan ke ruang tamu. Namun, ada kebahagiaan sendiri karena ide yang sempat ia katakan pada Kevin, sekarang telah teralisasikan. Dia yang dulunya suka shopping dan selalu memakai outfit kece, ternyata bisa merembak ke bisnis toko baju yang mere
Beberapa hari setelah kabar kehamilan itu, Andre dan Dea memutuskan untuk mengundang kedua keluarga mereka untuk makan malam di rumah. Andre telah mengatur semuanya, dari makanan hingga dekorasi sederhana yang akan digunakan untuk menyampaikan kabar gembira tersebut.Dea berdiri di depan cermin, mengenakan gaun longgar yang sengaja dipilih karena ia mulai merasa tak nyaman dengan pakaian yang ketat di perut. Ia menyentuh perutnya yang masih datar dengan perasaan takjub, seolah tak percaya bahwa kehidupan baru tengah tumbuh di dalamnya.“Kamu cantik,” komentar Andre yang muncul dari balik pintu kamar. Ia mendekat, melingkarkan lengannya di pinggang Dea.“Kamu yakin mereka akan senang?” tanya Dea sambil menatap Andre lewat pantulan cermin.Andre tertawa kecil, mencium kening Dea dengan lembut. “Ayah dan Mama pasti akan sangat senang. Apalagi Oma. Dia sudah lama menunggu kabar seperti ini.”Dea mengangguk, meski hatinya tetap berdebar. Ia masih merasa gugup untuk menyampaikan kabar terse
Setelah hampir dua minggu menikmati bulan madu yang penuh kenangan di Maldives, Dea dan Andre akhirnya kembali ke rumah mereka yang megah. Malam itu, mereka tiba di bandara dengan suasana hati yang lelah tetapi bahagia.“Welcome home, Pak Andre, Bu Dea,” sapa seorang pelayan ketika mereka melangkah masuk ke dalam rumah. Bagi Dea rumah itu terasa lebih besar dari tempat yang selama ini ia tinggali, tetapi kehangatan dari staf yang menyambut mereka membuat Dea merasa nyaman.“Terima kasih,” jawab Andre singkat. Ia menoleh ke arah Dea, yang terlihat sedikit pucat. “Kamu capek? Mau langsung istirahat?”Dea mengangguk sambil tersenyum kecil. “Sepertinya begitu. Perjalanan panjang tadi bikin aku sedikit mual.”Andre mengernyit, menunjukkan kekhawatirannya. “Kamu yakin cuma capek? Jangan-jangan kamu sakit.”Wanita itu hanya tertawa kecil. “Nggak kok, mungkin hanya masuk angin. Besok juga pasti sembuh.”Andre menghela napas, tapi akhirnya mengangguk. “Kalau gitu, ayo naik. Aku bawakan kopermu
Tanpa menunggu lagi, sepasang pengantin yang baru saja melakukan malam pertama segera terbang ke luar negeri."Mas, kita mau ke mana?" tanya Dea. Ia sedari tadi hanya mengekori suaminya. Semua keperluan sudah diatur Andre dan staffnya. Jadi, wanita itu tidak tau mereka akan terbang ke mana. Suaminya pun hanya membalasnya dengan senyuman kecil. "Nanti juga tau," ujar lelaki itu sembari menoel hidung Dea.Namun, jawaban atas rasa penasaran wanita itu langsung terjawab ketika jet yang ia tumpangi landing di salah satu bandara yang ada di Maldives. Dea tak menyangka dan tak terpikirkan akan berada di negara ini. Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan sinar matahari lembut yang menerobos tirai kamar villa di atas laut. Dea membuka mata perlahan, menghirup aroma udara laut yang menyegarkan. Ia merasakan kain lembut selimut yang menyelimuti tubuhnya dan ketenang di sekitarnya.Ketika ia menoleh, Andre sudah duduk di teras luar, hanya memakai kemeja santai berwarna putih dan celana p
Kevin kehilangan kata-kata. Zahra hanya berdiri di tempatnya, matanya kembali berkaca-kaca, tetapi tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun.Icha mengusap air matanya dengan kasar, sambil tetap memeluk Evan. Suaranya gemetar saat ia melanjutkan, “Aku meninggalkan keluargaku demi kamu, Kevin. Aku melawan dan menghadapi dunia sendirian, bahkan saat aku melahirkan anak ini. Apa balasanmu? Kamu bawa perempuan lain masuk ke rumah kita!”“Icha, aku tahu aku salah,” Kevin berkata dengan nada putus asa. “Tapi aku ingin memperbaikinya. Demi Evan. Tolong beri aku kesempatan-”Kata-kata itu seperti palu godam yang menghantam Icha. Tubuhnya terasa lemas, dan ia hanya terpaku. Suaminya hanya memikirkan putra mereka, bukan dirinya. Zahra yang tak sanggup melihat perseteruan mereka, berbalik dan melangkah pergi tanpa berkata apa-apa.Icha menunduk, menatap bayi kecil di pelukannya yang akhirnya berhenti menangis. Ia mengusap lembut kepala Evan sambil berbisik, “Kita pergi dari sini, Nak. Kita tid
Kevin berdiri terpaku, jantungnya berdegup kencang. Kata-kata Icha tadi seperti pisau yang terus-menerus mengirisnya. Ia ingin mengejar wanita itu, tetapi tubuhnya terasa kaku. Di sebelahnya, Zahra menggenggam tangan di depan dada, matanya berkaca-kaca, penuh rasa bersalah.“Mas, mungkin aku seharusnya tidak datang ke sini,” Zahra berbisik pelan. “Kehadiranku hanya memperburuk keadaan.”Kevin menoleh, pandangannya gelap. “Zahra, ini bukan salahmu. Semua ini salahku. Aku yang mengambil keputusan bodoh, dan sekarang aku harus menanggung akibatnya.”Sebelum Zahra bisa menjawab, suara pintu yang dibanting terdengar keras dari arah kamar. Icha muncul kembali dengan sebuah koper besar di tangannya. Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Kevin atau Zahra, ia berjalan cepat menuju pintu depan.“Cha, tunggu!” Kevin akhirnya bergerak, berusaha menghentikan istrinya. Ia memegang lengan Icha, tetapi wanita itu menepisnya dengan kasar.“Jangan sentuh aku, Kevin!” seru Icha dengan air mata yang masih me
Kevin menatap Zahra sejenak. Pikirannya bergemuruh, tetapi bibirnya akhirnya lolos begitu saja mengungkapkan kenyataan yang selama ini dia sembunyikan. "Zahra adalah istriku, Cha. Dia madumu. Kami sudah menikah secara sah baik di mata hukum maupun agama."Pernyataan itu jatuh seperti petir di siang bolong. Icha menatap Kevin dengan mata membelalak, wajahnya memerah karena amarah yang langsung memuncak. Tubuhnya gemetar, hampir tak mampu berdiri.“Apa?!” jerit Icha dengan suara yang pecah. “Kamu bilang dia MADUKU?! Kamu sudah menikah lagi tanpa bilang apa-apa padaku?!”Pria itu menatap Icha selembut mungkin, berusaha menenangkan. Namun, kata-kata yang ia siapkan tak mampu menahan badai yang jelas sudah datang. “Cha, aku bisa jelaskan. Seharusnya bilang dari awal. Tapi-”“JELASKAN APA?!” potong Icha dengan teriakan melengking. “Kamu menikah lagi di belakangku, Kevin! Kamu mengkhianatiku! Kamu membawanya ke sini, dan kamu pikir aku akan menerima begitu saja?!”Zahra yang berdiri di sampi
Di ruang tamu, seorang wanita bergamis duduk dengan tenang. Sosok itu membuat darah Icha mendidih seketika.“Kamu?!” seru Icha dengan nada tinggi, tanpa mencoba menyembunyikan kemarahannya.Zahra, yang mengenakan gamis hitam bangkit perlahan. Meski matanya tampak tenang, tubuhnya sedikit gemetar karena situasi yang ia tahu akan sulit.“Iya, Mbak Icha,” jawab Zahra pelan. “Saya diminta Mas Kevin datang.”"Dasar perempuan gatel! Apa-apaan kamu tiba-tiba nggak pake cadar gitu. Mau menggoda suami saya, ya!" Icha melirik Kevin dengan tatapan penuh emosi. “Mas, kamu tega banget bawa dia ke sini?! ngapain kamu suruh datang ke rumah kita?!”“Cha, tenang dulu. Aku cuma—”“Tenang?!” potong Icha tajam. “Kamu mau aku tenang sementara kamu bawa perempuan ini ke rumah kita?! Aku istrimu, Kevin! Dia itu cuma... cuma-”“Saya cuma apa, Mbak?” Zahra menyela lembut, tetapi nadanya tegas. “Kalau saya hanya dianggap sebagai masalah, saya mohon maaf. Tapi saya di sini untuk menyelesaikan semuanya, biar ng