Kevin langsung memperilakan tamunya masuk. Gito baru saja keluar langsung menyambut kakak menantunya dengan semringah. Dea yang mendengar kedatangan Levi masuk ke kamar tamu tempatnya dan Rita tidur. Melihat itu, Rita tak berkomentar apapun karena memang sedang ada masalah yang membuat menantunya kecewa."Om dengar kamu menjual semua produknya Lev?" tanya Giti membuka topik tentang binis mereka."Benar Pak," jawab Levi dengan santun. "Bagaimana respon pembeli soal barang kita?""Sangat bagus Om. Ngomong-ngomong soal harga, bagaimana bisa Om mendapat harga yang jauh dari harga pasar?""Itu kerjasama dari pabriknya langsung. Ditambah Om berani menjanjikan target penjualan pada mereka. Om hanya fokus di kuantitas penjualan jadi resiko harga murah dengan keuntungan tipis biar terjual semua. Tapi kalau ditotal keuntungannya juga tidak sedikit itu karena jumlah produknya yang sangat banyak."Mulut Levi membulat dan kepalanya terangguk. "Harganya sangat cocok untuk distributor. Kata reselle
Beberapa hari berlalu dengan tenang. Gito dan Rita menghentikan usahanya untuk mencari suplier. Sedangkan Kevin dan Dea menjalani hari seperti biasa. Tak ada yang aneh, hanya sedikit kewaspadaan Kevin terhadap temperamen istrinya. "Mas ke cafe dulu ya Sayang. Di sana ada Nino. Apa kamu mau ikut?" "Tidak. Adik mau tidur dulu. Tinggal beberapa hari lagi harus kerja." "Oke. Baik-baik di rumah, hubungi Mas kalau ada masalah. Mama sama Papa sudah tidak menginap lagi, jadi jaga diri ya." Dea mengangguk dan Kevin mengecup kening wanita itu dengan lembut. Kini tinggal wanita itu seorang diri di rumah. Ia hanya menonton film dan memainkan ponsel. Keheningan ini membuat suasana hanya tenang. Pikirannya benar-benar kosong, ia memutuskan tidur di kamar tamu. Dia lebih suka tidur di kamar ini ketimbang kamar utama. Kevin pun tak berkomentar apapun saat ia tidur di sini. Keesokan paginya ia terbangun dengan Kevin yang sudah bersandar di headboard ranjang. "Sudah bangun? Cepat mandi, Mbok Last
"Ma... Aku ingin cerai," ucap Dea sembari mengiris bawang di atas telenan. Nala menoleh ke arah putrinya dengan mata melebar.Setelah didiagnosis psikolog dan mendapat penanganan dari psikiater, mereka memutuskan untuk memboyong Dea ke rumah orangtuanya. Mengetahui kondisi psikis putrinya, ia dan Rita tak henti-hentinya meneteskan air mata karena rasa empati menahan banyak tekanan dari pihak luar. Bahkan wanita itu enggan melihat suaminya saat Kevin berkunjung ke rumah."Suruh Mas Kevin pulang Ma. Aku tidak mau melihat dia," ucap Dea dengan ekspresi datar. David dan Nala pun menuruti permintaan putrinya. Meskipun berat hati karena mengusir besannya, semua demi kesehatan Dea. Rasa sakit menjadi hebat saat kondisi menjadi kritis."Panggilkan aku pengacara Ma. Aku mau menggugat dia." Sekarang Dea enggan menyebut nama suaminya."Sayang, coba kamu pikirkan baik-baik." Nala mendekat dan mengelus lembut pundak putrinya.Dea menggelengkan kepala. "Ini yang terbaik Ma. Kalau aku sama dia terus
Kevin dan Seno sedang duduk bersama. Icha tak henti-hentinya mengembangkan senyum di wajahnya. "Jadi bagaimana?" tanya Seno setelah menelpon anak buahnya. "Dea sedang berada di rumah orangtuanya Pak." "Bagus. Berapa lama lagi kalian akan pisah?" Kevin menatap lurus dengan sendu. Bibirnya terasa kelu menjawab pertanyaan tersebut. Namun pada akhirnya ia pun mengeluarkan suara. "Secepatnya." Icha yang ada di sampingnya langsung tersenyum lebar. Dia ingin sekali melompat karena Kevin akan menjadi miliknya seutuhnya. "Bagus. Aku akan memberimu nominal tiga kali lipat dari sebelumnya. Dengan syarat, kamu harus menikahi putrinya secara negara," ucap Seno. "Baik Pak." Kevin pasrah dengan percakapan ini. Setidaknya keluarga istri keduanya tidak akan menggangu keluarganya dan Dea beberapa waktu ke depan. Melihat kondisi Dea yang semakin parah membuat ia merasa bersalah. Semua penyakit yang ada di tubuh wanita itu adalah karenanya. Di sisi lain, Rita dan Gito memaksanya untuk menjadi ba
Nala dan David yang melarikan putrinya ke rumah sakit, kini duduk termenung ketika sampai di rumah. Dea sudah tertidur pulas karena dibius oleh dokter. Mereka sengaja meminta ditindak seperti itu berharap akan ada ketenangan beberapa waktu.Levi mendekati kedua orangtuanya dengan gusar setelah mengecek keadaan adiknya. Tenggorokan yang tercekik ia paksa relaks agar mengeluarkan suara. "Ma... Yah," panggil lembut. Tanpa menyahuti, kedua orang itu melihatnya dengan sendu.Levi pun berinisiatif membuka topik pembicaraan. "Sebenarnya kenapa?" Nala menghela napasnya panjang kemudian menyerahkan ponsel putrinya. Levi menerima benda itu dengan alis berkerut. Ia melihat room chat yang terkirim pada sosial media Dea. Tak lama setelah puas membaca pesan tersebut, ia pun menghela napasnya sangat panjang."Levi," panggil Nala tegas."Iya Ma?" "Cari pengacara yang handal, kita gugat dia sekarang juga." Wanita itu berkata penuh penekanan. David membelalakkan mata lantas menyahuti, "Jangan gegaba
Seno memasuki rumah putrinya dengan riang. Maya menghampirinya penuh tanda tanya. Kedua sudut bibir suaminya yang terangkat menandakan ada hal bagus sore ini. Apalagi kedua tangan lelaki itu memegang pundaknya cukup erat dengan sorot mata menyejukkan."Di mana putri kita?" tanya Seno sembari celingak-celinguk mencari keberadaan Icha.Maya menarik suduk bibirnya dan menyipitkan mata. Ia mendekatkan bibir ke telinga suaminya, "di kamar sama suaminya."Mulut Seno lantas membulat mendengar jawaban itu. "Temui nanti saja. Biar mereka menghabiskan waktu bersama, jarang-jarang Kevin mau menghabiskan waktu dengan putri kita."Seno menganggukkan kepala dan mengikuti langkah istrinya ke kamar yang mereka tempati. "Ngomong-ngomong ada apa?" selidik Maya."Aku mendapat laporan dari anak buahku. Keluarga Dea bersiap menggugat cerai Kevin." Seno menjawabnya dengan sedikit berbisik. Respon pertama yang diperlihatkan Maya adalah mata melebar. "Beneran?!" pekik Maya yang langsung ditahan tangan sua
Rota meremas kertas pemberitahuan perceraian dari Kevin hingga bergetar. Matanya merah dan berair menahan amarah. Ia menatap tajam putra dan suaminya. "Hubungi pengacara Pa. Kita tidak bisa melepaskan Dea begini," ucap Rita. Gito pin mengangguk dan langsung melaksanakan perintah istrinya. Sedangkan Kevin masih tertunduk lesu, airmatanya tetap bercucuran setelah memberikan berkas pada Rita."Kamu Kevin. Nyalakan mobil, kita pergi ke rumah besan sekarang!" Ketiga orang itu berangkat dengan perasaan campur aduk. Pantas saja beberapa hari ini David dan Nala seakan mencari alasan untuk tidak berhubungan dengan mereka. Sering kali telepon Rita diabaikan, bahkan ketika berkunjung besannya sering mencari alasan mengakhiri pertemuan. "Mbak Nala! Mas David!" panggil wanita paruh baya tersebut mencari keberadaan besannya. "Dea!" Kali ini Rita berteriak cukup keras sampai membuat salah satu tetangga menghampiri."Permisi Bu. Keluarga Pak David tidak ada di rumah," ucap santun sang tetangga.Me
Icha mengelus lembut punggung suaminya. Sedari tadi Kevin hanya berdiam diri tak mengeluarkan suara sedikitpun. Wanita itu bisa memahami apa yang terjadi. Berita yang dibawa Seno sedang terjadi, dan ia menjalankan perintah tersebut sebaik mungkin. "Mas mau makan?" tawar wanita itu. Dia berusaha menjadi istri penuh perhatian untuk Kevin. Ini adalah waktu yang tepat untuk menunjukkan bahwa dia lebih baik daripada Dea. Kevin beranjak dari tempat tidur tanpa mengucapkan sepatah katapun. "Mau ke mana?" Tak ada sahutan dari lelaki itu. Icha segera mengekori Kevin yang keluar rumah. Motor sport berbodi gahar menggeber sangat kencang di komplek perumahannya. Icha hanya menghela napas melihat kepergian suaminya yang penuh emosi. "Sepertinya dia sangat terpukul," ujar Maya yang berdiri di ambang pintu. Icha menyetujui ucapan mamanya. Anggukan kecil ia berikan pada wanita paruh baya itu. "Sabarlah sedikit lagi Sayang. Sebentar lagi mereka akan bercerai." Maya memberikan pelukan hangat pada