“Ish! Wanita itu kenapa sih!” kesal Sinta yang baru saja duduk di samping Dea. Siang ini Dea memakan bekal yang dibuatkan mertuanya.“Siapa?” tanya Dea setelah menelan makanan yang ia kunyah.“Itu, perempuan yang sama Pak Andre. Masa dia sinis banget ke aku.”“Oh Michelle,” sahut Dea paham orang yang dimaksud rekan kerjanya.“Loh Mbak Dea kok bisa tau,” kaget Sinta.“Tadi sempat ngobrol di kantin.”“Mbak Dea ajak dia?”“Enggak. Dia tiba-tiba samperin aku di kantin.”“Ohh...” Sinta mengganggukkan kepala beberapa kali. “Gimana Mbak?” tanya Sinta penasaran.Alis Dea berkerut, tangannya sibuk memotong sosis di dalam kotak bekal. “Gimana apanya?”“Itu Michelle. Minta dikit.” Sinta mencicip capjaynya.“Biasa aja. Nih salad.” Dea menyodorkan kotak makan berisi salad buah yang dilumuri yogurt.“Masa biasa aja? Thanks.”“Ya nggak juga. Orangnya ramah, em... tapi nggak bisa dikatain ramah juga sih.” Dea menyipitkan mata mengoreksi penilaiannya tetang Michell.“Lah... terus gimana?” Sinta bingun
Sesampainya di rumah, Dea langsung masuk. Rita menyambutnya dengan senyum semringah. “Sudah pulang Sayang,” ujar wanita paruh baya tersebut. Dea memeluk tubuh mertuanya dengan erat, rasanya ia melepaskan beban yang ada di pundaknya begitu saja ketika merasakan kehangatan dari Rita.“Astaga putri Mama. Pasti capek ya seharian kerja,” celetuk Rita. Kevin yang baru saja masuk langsung menyalaminya. Wanita itu menerima ciuman di tangannya meskipun masih memeluk Dea.“Mas Kevin jemputnya lama. Aku capek nunggunya,” adu Dea dengan bibir mencebik. Mata Rita sontak melotot kemudian tangannya memukul lengan putranya.“Iya?!” kesal Rita.Kevin meringiskan bibir, rambutnya menjadi acak-acakan karena garukan tangannya. “Ada urusan sekolah Ma.” Tanpa menunggu lama, lelaki itu langsung berlari ke kamarnya. Ia tak ingin menjadi mangsa singa yang baru saja bangun tidur.“Huhft...” Ia mengelus dadanya. Rasanya seperti bermain roller coaster ketika berhadapan dengan ibu kandungnya. Apalagi Dea mengadu
Kevin mendaratkan pantatnya ke sofa dengan kikuk. Ia menelan ludahnya karena grogi melihat ekspresi Papanya. Rita dan Dea pun tampak murung mendapati kengerian Gito yang tidak bisa diartikan.“Ada apa Pa?” tanya Kevin.“Bisnis Papa gagal,” jawab Gito frustrasi. Ia meremas rambutnya dengan bibir meringis. Rita yang ada di samping Kevin pun menghela napas panjang.“Bisnis yang mana Pa?” Kevin menanykan hal yang lebih rinci karena kedua orangtuanya memiliki banyak bisnis yang dikelola jadi ia bingung sisi mana yang Gito maksud.“Bisnis yang Papa berikan ke Levi. Hari ini tiba-tiba semua suplier dan investor membatalkan kerja samanya.”“Kok bisa?”“Mereka tidak percaya pada Levi, padahal dari awal mereka pasrah dengan pengelolaannya. Jadi menurutku itu cuma alasan saja. Ditambah salah satu dari mereka mengaku diajak Seno untuk bergabung di bisnisnya. Kemungkinan besar, semua kolegaku ditarik dia. Kurang ajar!” Gito menjawab pertanyaan putranya dengan kepalan tangan yang kuat. Ekspresiny
Akhirnya Kevin mengangkat telepon tersebut setelah mengatur pernapasannya. Ia menghirup dan n mengeluarkan udara dari hidung ke mulut berkali-kali. Nama Seno sudah memporak-poranda perasaannya menjadi panas. Entah apa yang akan dikatakan lelaki itu, tetapi Kevin berasumsi jika Seno akan memberikan berita tak menyenangkan.“Hallo. Assalamualaikum,” salam Kevin.“Waalaikumsalam. Bagaimana Papamu? Khehehe...”Kevin memutar bola matanya dengan jengah. Belum apa-apa, Pak tua itu langsung to the point. Ia langsung tau apa yang dimaksud Seno pada papanya. Namun kali ini ia memilih bersikap polos seakan tidak tau apa-apa.“Maksudnya Pak?”“Bisnis Papamu. Bagaimana dia sekarang? Apa dia stress karena semua koleganya lari padaku?” tanya Seno dengan penuh percaya diri.“Oh bisnis. Tidak tau Pak. Tapi....” Ia menggantungkan kalimatnya.“Tapi apa?” Seno sangat penasaran dengan ucapan menantunya.“Em... tadi Papa kelihatan murung.”“Hahaha!” Gelak tawa menggelegar di sound ponsel Kevin. Lelaki itu
Dea yang menyelesaikan kan hajatnya langsung terduduk lemas di kursi kemudi. Jantung Kevin berdegup kencang karena takut ketahuan telah mengambil satu barang dari tas istrinya. Wanita itu melirik suaminya jengah, helaan kasar terdengar dari hidungnya. Mendengar itu Kevin salah tingkah."Ada yang salah?" tanya Kevin berusaha mencairkan suasana yang tegang."Tidak. Ayo." Dea meminta suaminya melanjutkan perjalanan yang tertunda. Bukannya sampai di sekolahan, mobil mereka justru tertahan di supermarket."Wait. Mas mau beli rokok dulu." Kevin langsung keluar tanpa menunggu jawaban istrinya. Dea hanya pasrah tak menggerutu sedikitpun karena tubuh bagian bawahnya terasa nyeri. Bibirnya meringis, kemudian matanya mulai berair."Kenapa aku datang bulan di pagi hari begini. Biasanya ketahuan kalau udah malam." Ia menyeka air di ujung matanya."Nih Dik. Minum dulu." Kevin langsung menyodorkan obat pereda nyeri haid dan beberapa snack kesukaan istrinya. Setidaknya ini sebagai antisipasi moodswin
Kevin yang baru saja mengantar istrinya, kini sudah tiba di sekolahan tempatnya mengajar. Ia melihat siluet Nino yang baru masuk ke ruang kantor. Dengan langkah cepat ia menghampiri sahabat karibnya. "Hei No," sapa Kevin dengan senyum lebar. Ekspresinya sangat bertolak belakang dengan Nino. "Hm?" hanya dehaman itu yang menjadi balasan."Kenapa Lu?" "Gapapa." Jawaban yang singkat itu menunjukkan seberapa parah masalah yang dilalui sahabatnya."Sini cerita," celetuk Kevin mengambil perhatian Nino. Namun hanya gelengan halus yang ia terima. "Masalah Adik lu?" Kevin tak berputus asa dengan sikap sahabatnya.Nino yang sangat mengenal Kevin hanya bisa menghela napas pasrah. Kegigihan lelaki itu tak bisa digunakan oleh siapapun, jadi pilihan terbaik adalah dengan menuruti kemuannya. Setidaknya setelah Kevin puas, tidak ada penggangu di hari yang melelahkan ini."Ya," jawab Nino singkat. "Emang Adik lu ngapain sih No?" Kali ini Kevin. entahlah dengan sedikit emosi karena tak habis fikir d
"Situasi macam apa ini?" tanya Dea dalam hati. Kevin sibuk memanggang daging dan sosis di atas kompor. Michelle memasukkan berbagai isian tomyum ke dalam panci berkuah merah. Sedangkan ia dan Andre hanya mengamati kegiatan mereka dalam diam. Kedua orang tersebut sedari tadi membeku karena tersebut arus tak terduga. "Aaa..." Kevin menyodorkan sepotong daging setelah meniupnya beberapa kali. "Ayo, Aaa...," pinta lelaki itu sekali lagi karena Dea tak bereaksi apapun. Pada akhirnya Dea melahap makanan itu. Andre melihat sepasang suami istri tersebut hanya bisa menelan ludah. Michelle yang paham juga berusaha menyuapinya, tetapi langsung ditepis dengan mengambil garbu yang menusuk daging di atasnya."Kebiasaan kalau disuapi gak mau. Jangan gengsi gengsi dong Mas," celetuk Michelle yang kembali sibuk dengan masakannya. Dea melirik Andre yang tertunduk lemas. Sedangkan Kevin langsung menyahuti, " Tidak perlu sungkan Ndre. Kan kita udah kenal lama. Santai aja, iya kan Dik?" Kevin meminta pem
Selama di perjalanan, Dea tertidur dengan satu tanganmenutupi wajahnya. Lipstik di bibir sudah memudar karena saus dan kuah makanan yang ia lahap beberapa waktu lalu. Perutnya kenyang, tapi pinggangnya terasa nyeri. Kevin yang ada di kursi kemudi meliriknya beberapa kali memastikan keadaannya baik-baik saja. Meskipun kenyataannya Dea tengah tepar karena nyeri haid, setidaknya itu bukan sesuatu yang parah. Keringat dingin mulai bercucuran di dahi wanita itu. Rem yang mendadak karena ada pengendara ngawur, dan hentakan polisi tidur membuat Dea mengerutkan dahinya berkali-kali. Bahkan bibirnya meringis menahan rintihan."Apa kita ke rumah sakit saja Dik?" Kevin bertanya dengan suara yang lembut, tak ingin membangunkan singa yang tertidur. "Tidak. Langsung pulang aja. Aku pengen tidur." Dea sudah terbiasa melewati nyeri haid seperti ini. Jadi pilihan terbaik adalah dengan tidur."Mau aku telponin Mama nggak?" tawar suaminya."Tidak usah. Mama kan lagi sibuk."Alis Kevin mengerut. "Tadi