"Situasi macam apa ini?" tanya Dea dalam hati. Kevin sibuk memanggang daging dan sosis di atas kompor. Michelle memasukkan berbagai isian tomyum ke dalam panci berkuah merah. Sedangkan ia dan Andre hanya mengamati kegiatan mereka dalam diam. Kedua orang tersebut sedari tadi membeku karena tersebut arus tak terduga. "Aaa..." Kevin menyodorkan sepotong daging setelah meniupnya beberapa kali. "Ayo, Aaa...," pinta lelaki itu sekali lagi karena Dea tak bereaksi apapun. Pada akhirnya Dea melahap makanan itu. Andre melihat sepasang suami istri tersebut hanya bisa menelan ludah. Michelle yang paham juga berusaha menyuapinya, tetapi langsung ditepis dengan mengambil garbu yang menusuk daging di atasnya."Kebiasaan kalau disuapi gak mau. Jangan gengsi gengsi dong Mas," celetuk Michelle yang kembali sibuk dengan masakannya. Dea melirik Andre yang tertunduk lemas. Sedangkan Kevin langsung menyahuti, " Tidak perlu sungkan Ndre. Kan kita udah kenal lama. Santai aja, iya kan Dik?" Kevin meminta pem
Selama di perjalanan, Dea tertidur dengan satu tanganmenutupi wajahnya. Lipstik di bibir sudah memudar karena saus dan kuah makanan yang ia lahap beberapa waktu lalu. Perutnya kenyang, tapi pinggangnya terasa nyeri. Kevin yang ada di kursi kemudi meliriknya beberapa kali memastikan keadaannya baik-baik saja. Meskipun kenyataannya Dea tengah tepar karena nyeri haid, setidaknya itu bukan sesuatu yang parah. Keringat dingin mulai bercucuran di dahi wanita itu. Rem yang mendadak karena ada pengendara ngawur, dan hentakan polisi tidur membuat Dea mengerutkan dahinya berkali-kali. Bahkan bibirnya meringis menahan rintihan."Apa kita ke rumah sakit saja Dik?" Kevin bertanya dengan suara yang lembut, tak ingin membangunkan singa yang tertidur. "Tidak. Langsung pulang aja. Aku pengen tidur." Dea sudah terbiasa melewati nyeri haid seperti ini. Jadi pilihan terbaik adalah dengan tidur."Mau aku telponin Mama nggak?" tawar suaminya."Tidak usah. Mama kan lagi sibuk."Alis Kevin mengerut. "Tadi
Kevin mengeluarkann satu-persatu barang yang ada di dalamnya. Sesuai dugaannya ketika menggoyang kotak tersebut, semua element yang dia katakan benar. Namun itu hanya bahan dasaranya.“Apa ini?” Ia meneliti benda terbuat dari plastik lengkap dengan lensa kaca. “Kamera?”Kemudian beralih benda ke dua, “Perhiasan? Sejak kapan istriku punya perhiasan ini?” Kevin menerka-nerka kapan Dea membeli perhiasan tersebut, karena selama ini ia hanya mengantar istrinya membeli perhiasan dua kali. Dan ketika membuka laci lemari semua lengkap di sana. Model perhiasan dalam kotak ini sangat sederhana tetapi memiliki gram yang berat. Ditambah beberapa balok logam mulia murni.“Kartu memori?” Kali ini jari lelaki itu menyincing plastik hitam kecil. “Hardisk? Terus ini... kamera lagi? Buat apa ini semua?”Dia sangat penasaran tetapi perhatiannya langsung teralihkan oleh dokumen yang menumpuk di area bawah. Ia membolak-balikkan dokumen itu satu persatu.“Ternyata dia sudah membalikkan semua aset atas nama
Seorang wanita dengan wajah yang putih, bibir pucat, dan rambut awut-awutan seperti singa menatapnya tajam. Jantung Kevin berhenti begitu melihatnya. Matanya bahkan melotot dan bulu kuduknya berdiri. Tungkuk lelaki itu terasa meremang dan hampir pingsan.“Mas ngapain?” tanya Dea dengan ekspresi datar. Tak ada lengkungan dibibir ataupun mata.“A-aku...” Kevin tergagap karena spot jantungnya yang tak terkontrol. Dea segera melirik ke pangkuan suaminya, kemudian beralih ke netra lelaki itu. Sorot matanya semakin tajam hingga membuat lawannya menelan ludah.“Aku tidak sengaja menemukan kotak ini, jadi...”“Tidak sengaja?” tanya Dea memastikan. “Iya tidak sengaja,” sahut Kevin dengan cepat.“Tidak mungkin,” tampik Dea. Lelaki itu hanya terdiam.“Ambil saja Mas. Segila itukah kamu dengan harta?” Dea langsung menjauh karena ia tak ingin suaminya melihat matanya yang memanas dan mulai mengeluarkan air. Kevin langsung menahannya.“Dengarkan aku dulu.”“Apalagi!? Omong kosong apalagi yang mau k
Mata Kevin menelusuri keadaan sekitar. Tampak sepi, menyadari itu ia segera masuk ke dalam mobil yang sempat mengklaksonnya beberapa kali. Seorang wanita menyambutnya dengan senyum semringah.“Ngapain kamu ke sini?” tanya Kevin kesal.Bukannya menjawab, wanita itu justru duduk di pangkuannya. Sebelum Kevin masuk, sandaran kursi ia turunkan sehingga dengan posisi ini ia bisa memaksa suaminya untuk berbaring.“Cha! Malu dilihat orang,” protes Kevin ketika Icha mencondongkan tubuhnya.“Di sini tidak ada orang Sayang. Lagian kaca mobilku gelap, tidak ada yang bisa mengintip kita.” Icha membelai pipi suaminya penuh nafsu. Wajah lelaki itu bahkan berubah merah seperti kepiting rebus karena godaan yang ia diberikannya.“Ck! Berhenti,” tolak Kevin yang langsung menjauhkan tubuh Icha. Wanita itu berusaha membuka kerah bajunya.“Sedikit aja,” pinta Icha dengan mata berbinar dan bibir sedikit manyun.“Bukankah aku sudah memberimu jatah kemarin lusa?”“Kurang...” Icha berusaha mencium bibir suam
Icha keluar dari mobil menghampiri Kevin. Wanita itu mengetuk-ngetuk kaca jendela meminta suaminya keluar.“Kenapa lagi?” sungut lelaki itu dengan wajah tertekuk.“Satu jam. Ayo ke rumahku satu jam aja Mas.” Icha memohon.“Tidak. Hari ini aku harus kerja.”“Izin saja beberapa jam, please... Habis ini kita tidak ketemu beberapa minggu loh Mas.”“Ya sudah. Terus kenapa?”“Ck! Kamu ini selalu saja cuek sama aku!” kesal wanita itu dengan menghentakkan kakinya. “Habis umroh aku mau ke UK. Mama ajak liburan ke sana. Jadi ayo habiskan waktu satu jam saja. Setelah itu kamu bisa bebas kan, aku tidak akan mengganggu.”Bukannya menjawab, Kevin langsung menghempaskan tangan istrinya. Ia berniat masuk tapi Icha langsung bersimpuh memegang kakinya. Adegan itu jelas menjadi perhatian umum karena mereka ada di pinggir jalan.“Cha ngapain sih!” seru Kevin berusaha mendirikan Icha.“Aku tidak mau lepasin kamu sebelum kamu turuti permintaanku.”Kevin meremas wajahnya dengan kasar. “Oke oke! Sekarang lep
Sinta tergesa-gesa mendekati Dea. Alis wanita itu nampak berkerut dan matanya melirik ke kanan. Di sana terdapat Michelle yang berjalan sedikit lebih lambat darinya."Bu Dea... saya cari-cari ternyata ada di sini," ucap Sinta membuka percakapan. Mendengar itu, Dea sontak menyahuti, "ada apa Bu?""Saya tiba-tiba punya ide. Pak Andre juga sudah menyetujuinya."Michelle memasang telinganya matang-matang. Sinta duduk mempet pada rekan kerjanya. "Ayo buat paduan suara.""Paduan suara?" Alis Dea terangkat."Iya paduan suara khusus guru-guru muda." Sinta menganggukkan kepala dengan semangat. "Siapa saja?""Kita berdua, Pak Andre, Pak Fadil, Bu Khasanah..." Sinta menyebut nama-nama itu secara runtut. Bahkan jarinya terlipat satu persatu mengikuti hitungannya."Eh Dea. Lihat ini deh..." Michelle merogoh sesuatu dari balik kerahnya. Alis Dea mengerut dan matanya mengerling. Sedangkan Sinta yang sebelumnya tengah mengabsen anggota paduan suara berubah mencebik dan mendengkus.Michelle tersenyum
"Eh eh... Ngapain tarik-tarik suami saya!" Sosor Icha berusaha melepaskan Kevin dari dua orang tersebut."Maaf Bu. Suami ibu tidak seharusnya berkeliaran seperti ini di jam kerja. Apalagi jelas-jelas memakai seragam PNS. Kami harus membawanya ke kantor dinas untuk dimintai keterangan." Lelaki bertubuh sangar itu menjelaskan perkara dengan santun. Namun alis Icha semakin berkerut. "Enak aja main bawa-bawa suami saya! BAPAK TIDAK TAU SIAPA SAYA?!" bentak Icha. Kedua laki-laki yang mencengkeram Kevin saling bertatapan. "Maaf Bu. Sesuai prosedur, saya harus membawa Pak ini ke kantor.""KURANG AJAR! AKU INI ANAKNYA DEWAN SENO! Lepaskan suamiku!" Nafasnya memburu seperti banteng.Teriakan Icha tak digubris oleh kedua orang tersebut. Ia segera memvideo call papanya. Untungnya Seno menjawab panggilannya dengan cepat. "HALLO, ada apa Nak?" tanya Seno lembut."Papa suamiku dibawa dua orang itu!" adu Icha dengan ekspresi panik. Ia mengejar suaminya yang jauh di depan."HEY! Liat ini!" Icha men