Sinta tergesa-gesa mendekati Dea. Alis wanita itu nampak berkerut dan matanya melirik ke kanan. Di sana terdapat Michelle yang berjalan sedikit lebih lambat darinya."Bu Dea... saya cari-cari ternyata ada di sini," ucap Sinta membuka percakapan. Mendengar itu, Dea sontak menyahuti, "ada apa Bu?""Saya tiba-tiba punya ide. Pak Andre juga sudah menyetujuinya."Michelle memasang telinganya matang-matang. Sinta duduk mempet pada rekan kerjanya. "Ayo buat paduan suara.""Paduan suara?" Alis Dea terangkat."Iya paduan suara khusus guru-guru muda." Sinta menganggukkan kepala dengan semangat. "Siapa saja?""Kita berdua, Pak Andre, Pak Fadil, Bu Khasanah..." Sinta menyebut nama-nama itu secara runtut. Bahkan jarinya terlipat satu persatu mengikuti hitungannya."Eh Dea. Lihat ini deh..." Michelle merogoh sesuatu dari balik kerahnya. Alis Dea mengerut dan matanya mengerling. Sedangkan Sinta yang sebelumnya tengah mengabsen anggota paduan suara berubah mencebik dan mendengkus.Michelle tersenyum
"Eh eh... Ngapain tarik-tarik suami saya!" Sosor Icha berusaha melepaskan Kevin dari dua orang tersebut."Maaf Bu. Suami ibu tidak seharusnya berkeliaran seperti ini di jam kerja. Apalagi jelas-jelas memakai seragam PNS. Kami harus membawanya ke kantor dinas untuk dimintai keterangan." Lelaki bertubuh sangar itu menjelaskan perkara dengan santun. Namun alis Icha semakin berkerut. "Enak aja main bawa-bawa suami saya! BAPAK TIDAK TAU SIAPA SAYA?!" bentak Icha. Kedua laki-laki yang mencengkeram Kevin saling bertatapan. "Maaf Bu. Sesuai prosedur, saya harus membawa Pak ini ke kantor.""KURANG AJAR! AKU INI ANAKNYA DEWAN SENO! Lepaskan suamiku!" Nafasnya memburu seperti banteng.Teriakan Icha tak digubris oleh kedua orang tersebut. Ia segera memvideo call papanya. Untungnya Seno menjawab panggilannya dengan cepat. "HALLO, ada apa Nak?" tanya Seno lembut."Papa suamiku dibawa dua orang itu!" adu Icha dengan ekspresi panik. Ia mengejar suaminya yang jauh di depan."HEY! Liat ini!" Icha men
Dea berjalan lunglai ke ruang kantor. Ekspresinya yang sendu, memilukan perasaannya. Sepeninggalan Andre menyisakan ruang sepi di hatinya. Entah apa yang pria itu lakukan, langkah yang tergopoh-gopoh membuat atmosfer di sekitarnya terasa beku. "Dia mau ngapain ya? Tiba-tiba pergi gitu aja," batin wanita itu. Sedari tadi helaan napas keluar dari hidungnya. Ia hanya bisa menyandarkan wajahnya pada salah satu tangan. Mematut pintu masuk tempat berlalu lalang guru dan murid sekolahan ini."Bu Dea," panggil Sinta yang baru saja masuk. Dea merespon dengan naiknya kedua alis."Mulai besok kita latihan ya? Lusa kan sudah ujian. Waktu kita hanya seminggu. Kecuali kalau weekend sukarela ikut latihan." Wanita itu mendekatkan diri pada Dea. "Mau ya? Semua orang nanyain Bu Dea.""Em..." Dea bergumam, Sinta menunggu harap-harap cemas. Melihat ekspresi rekan kerjanya yang menggemaskan membuat Dea tersenyum. Wanita itu lantas menjawab, "Iya Bu. Besok pulang sekolah atau gimana?""Besok kan banyak j
"Ayo!" jawab Dea penuh antusias. Mata wanita berbinar terang disambut senyum lebar suaminya. Kevin mematut kedua pupil istrinya dengan hangat. Karena tak ada sahutan dari suaminya, Dea pun melanjutkan dengan pertanyaan, "kita liburan ke mana Mas?" Alisnya yang terangkat masih menyadarkan seberapa besar gelora di hati wanita tersebut."Bali." Jawaban yang singkat itu melebarkan netra Dea."Terus kita lanjut ke Nusa Tenggara. Di sana banyak destinasi baru, terutama ke pantai pink yang kamu inginkan dari lama."Jantung Dea berdegup kencang, pipinya memanas, dan rasanya ia ingin berteriak. Namun ia tahan, memilih memeluk lengan suaminya dengan gemas."Beneran Mas?" Dea menatap penuh harap. "Iya Sayang. Kapan sih Mas bohong sama kamu."Wanita itu langsung menyipitkan matanya. Kemudian Kevin membisu merasa ada kesalahan yang ia lupakan. "Sebelumnya Mas hanya diam, tidak menceritakannya saja sampai kamu tau sendiri, hehe...," kekeh lelaki itu sembari menggaruk kepala. Dea mendengkus sebe
[MAAF BU DEA. MEMANG BENAR MICHELLE MEMAKAINYA. SECEPATNYA AKAN SAYA MENGGANTINYA.]itu adalah kalimat yang ditulis Andre. Alis Kevin mengerut seusai membaca pesan tersebut. Ia hanya membacanya di bar notifikasi. Ia tak ingin membuka pesan tersebut tanpa izin istrinya."Ada apa ini? Apa istriku terkena masalah dengan Michelle?" terka Kevin yang gelagapan melihat siluet istrinya yang kembali dari kamar mandi. Dengan segera lelaki itu mengembalikan ponsel yang ia pegang sesaat. Dadanya berdegup kencang karena dikejutkan kedatangan istrinya. Terlihat Dea berjalan dengan wajah berseri ke arahnya. Senyum simpul dengan bibir pucat karena polesan lipstik yang luntur tak melunturkan kemanisan paras wanita tersebut. "Ayo Mas," ajak Dea yang tak menyadari apa yang disembunyikan suaminya. Ia menenteng tas dan berniat menggandeng Kevin."Hp kamu," peringat Kevin karena Dea tak menyentuh alat komunikasi tersebut."Oh iya!" Keduanya pun beriringan melangkahkan kaki menuju parkiran. Kevin menggan
Kevin gelagapan sedangkan Dea menunggu jawaban suaminya. Suasana dalam mobil berubah mencekam. Keringat dingin di pelipis lelaki itu semakin deras karena tekanan yang diberikan istrinya. Berkali-kali mulutnya ternganga tetapi tidak bisa mengeluarkan suara."T-tadi..." kata itu terucap dengan gagap. Dea pun menoleh ke Kevin dengan ekspresi datar. "Tadi apa?" sahut wanita itu karena tak kunjung mendapatkan jawaban."Seingatku Andre mau mengganti sesuatu yang dipakai Michelle. Hanya itu." Kevin berhasil menjawab setelah mengatur adrenalin yang melonjak pesat di dalam dirinya. "Oh..." Mereka kembali hening sampai mobil terparkir di garasi rumah. Dea tak langsung turun karena ada hal yang ingin ia katakan pada suaminya. Kevin pun tak memintanya turun, dia tak ingin menyulut emosinya karena melihat ponsel tanpa izin. Mungkin kebanyakan pasangan suami istri tak masalah mengakses ponsel satu sama lain, tetapi selama pernikahan Kevin dan Dea belum pernah melakukannya seakan masih menjadi p
"DEA! Berangkatmu mepet banget ya," sapa Michelle yang keluar dari ruang kepala sekolah. Dea yang baru saja melakukan presensi pun tersenyum tipis padanya. "Iya Chell." Dea menjawabnya dengan sangat kikuk. Entah mengapa hari ini ia dan Kevin tertidur sangat oulas sampai-sampai dibangunkan Lastri jam 6 lebih. Menyadari itu Kevin dan Dea pun tergopoh-gopoh menyiapkan diri berangkat ke sekolah. Untung kamar mandi di rumah mereka ada banyak sehingga tidak perlu menunggu satu sama lain. Untuk sarapan, Dea hanya membawakan roti tawar dan susu pada suaminya. Ia bahkan menyuapi Kevin saat berada di perjalanan. Tentunya ia ikut menyantap makanan itu karena dia sendiri belum sarapan."Nanti makan siang sama aku ya," ajak Michelle dengan antusias, rambut lurus berwarna pirang dengan polesan lipgloss pink memperlihatkan wajahnya terlihat cerah . Mata bulat berbinar terang seakan memancarkan laser kilat, membuat Dea tak sanggup menolaknya dan saat itu juga bel berdering yang artinya ia harus m
"Permisi Pak. Saya harus ke kelas sekarang, pungkas Dea yang tak betah berada di dekat Andre. Ia pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban dari empunya. Degup jantungnya berdetak dengan kencang. Suhu tubuh yang memanas merasuki hatinya.Andre melihat punggung wanita itu dalam diam. Tangannya menggantung begitu saja. Wajah yang sebelumnya cerah kini meredup seiring menjauhnya Dea. Berkali-kali ia mencoba berinteraksi, selalu gagal karena orang yang ia tuju menjauh. Tidak ada penolakan yang terlontar dari mulut Dea. Namun tingkah laku wanita itu seakan menjawab semuanya. Tak ada celah, seberusaha apapun Andre, ia tak mendapatkan hasilnya."Huft," hela lelaki itu yang kini berjalan dengan menundukkan kepala. Sedangkan Dea masuk ke dalam kelas dengan wajah yang memerah. ia berkali-kali menghela napas untuk mengatur emosi yang membeludak. "Untung saja aku bisa lolos," syukur wanita itu. Ia kemudian mulai mengucapkan salam kepada murid-muridnya yang menunggu dengan tenang. Tak ada masalah
"Perutku sakit banget, Sayang. Seperti kontraksi," jawab Dea dengan suara gemetar.Andre segera memeriksa jam tangannya. "Tapi ini belum waktunya, kan? Masih beberapa minggu lagi!" Namun, melihat ekspresi Dea yang pucat, ia tak berani menunda. "Kita ke rumah sakit sekarang. Tunggu sebentar, aku ambil kunci mobil."Dea mengangguk, meski tubuhnya terus menggeliat karena rasa sakit. Andre kembali dengan mantel dan payung, membantunya bangun dengan hati-hati.Di perjalanan menuju rumah sakit, Dea terus mencengkeram lengan suaminya. Pria itu pun dibuat kalap dengan satu tangan memegang kemudi. "Aduh, Mas sakit banget. Aku nggak kuat," keluhnya.Andre berusaha tetap tenang, meskipun dadanya terasa sesak melihat istrinya kesakitan. "Sayang, bertahan ya. Kita sebentar lagi sampai," katanya sambil mempercepat laju mobil.Setibanya di rumah sakit, para perawat langsung membawa Dea ke ruang bersalin. Andre mendampingi dengan wajah penuh kecemasan. Dokter masuk dan memeriksa kondisi Dea dengan ce
“Waalaikumsalam,” jawab Icha cepat-cepat sambil membuka pintu. Berdiri di sana, Kevin dengan setelan kerjanya yang rapi, wajahnya tampak lelah, tetapi ada senyum tipis yang terukir.“Kamu baru pulang?” tanya Icha langsung, nada suaranya sedikit tajam meski ia mencoba menahannya. Evan yang masih dalam gendongannya mulai merengek lagi, membuatnya semakin frustasi.Kevin mengangguk sambil melepas sepatu. “Iya, maaf lama. Ada kerjaan tambahan tadi. Stok baju menumpuk dan harus di display. Ditambah, aku juga menambah manekin sesuai idemu. Aku sudah memasang banyak setelan yang kamu atur.” Ia mendekati mereka, mengusap kepala Evan yang langsung melenguh kecil, tetapi tetap rewel.“Aku hampir gila sendiri di rumah, tahu nggak?” keluh Icha sambil membawa Evan ke ruang tamu. Namun, ada kebahagiaan sendiri karena ide yang sempat ia katakan pada Kevin, sekarang telah teralisasikan. Dia yang dulunya suka shopping dan selalu memakai outfit kece, ternyata bisa merembak ke bisnis toko baju yang mere
Beberapa hari setelah kabar kehamilan itu, Andre dan Dea memutuskan untuk mengundang kedua keluarga mereka untuk makan malam di rumah. Andre telah mengatur semuanya, dari makanan hingga dekorasi sederhana yang akan digunakan untuk menyampaikan kabar gembira tersebut.Dea berdiri di depan cermin, mengenakan gaun longgar yang sengaja dipilih karena ia mulai merasa tak nyaman dengan pakaian yang ketat di perut. Ia menyentuh perutnya yang masih datar dengan perasaan takjub, seolah tak percaya bahwa kehidupan baru tengah tumbuh di dalamnya.“Kamu cantik,” komentar Andre yang muncul dari balik pintu kamar. Ia mendekat, melingkarkan lengannya di pinggang Dea.“Kamu yakin mereka akan senang?” tanya Dea sambil menatap Andre lewat pantulan cermin.Andre tertawa kecil, mencium kening Dea dengan lembut. “Ayah dan Mama pasti akan sangat senang. Apalagi Oma. Dia sudah lama menunggu kabar seperti ini.”Dea mengangguk, meski hatinya tetap berdebar. Ia masih merasa gugup untuk menyampaikan kabar terse
Setelah hampir dua minggu menikmati bulan madu yang penuh kenangan di Maldives, Dea dan Andre akhirnya kembali ke rumah mereka yang megah. Malam itu, mereka tiba di bandara dengan suasana hati yang lelah tetapi bahagia.“Welcome home, Pak Andre, Bu Dea,” sapa seorang pelayan ketika mereka melangkah masuk ke dalam rumah. Bagi Dea rumah itu terasa lebih besar dari tempat yang selama ini ia tinggali, tetapi kehangatan dari staf yang menyambut mereka membuat Dea merasa nyaman.“Terima kasih,” jawab Andre singkat. Ia menoleh ke arah Dea, yang terlihat sedikit pucat. “Kamu capek? Mau langsung istirahat?”Dea mengangguk sambil tersenyum kecil. “Sepertinya begitu. Perjalanan panjang tadi bikin aku sedikit mual.”Andre mengernyit, menunjukkan kekhawatirannya. “Kamu yakin cuma capek? Jangan-jangan kamu sakit.”Wanita itu hanya tertawa kecil. “Nggak kok, mungkin hanya masuk angin. Besok juga pasti sembuh.”Andre menghela napas, tapi akhirnya mengangguk. “Kalau gitu, ayo naik. Aku bawakan kopermu
Tanpa menunggu lagi, sepasang pengantin yang baru saja melakukan malam pertama segera terbang ke luar negeri."Mas, kita mau ke mana?" tanya Dea. Ia sedari tadi hanya mengekori suaminya. Semua keperluan sudah diatur Andre dan staffnya. Jadi, wanita itu tidak tau mereka akan terbang ke mana. Suaminya pun hanya membalasnya dengan senyuman kecil. "Nanti juga tau," ujar lelaki itu sembari menoel hidung Dea.Namun, jawaban atas rasa penasaran wanita itu langsung terjawab ketika jet yang ia tumpangi landing di salah satu bandara yang ada di Maldives. Dea tak menyangka dan tak terpikirkan akan berada di negara ini. Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan sinar matahari lembut yang menerobos tirai kamar villa di atas laut. Dea membuka mata perlahan, menghirup aroma udara laut yang menyegarkan. Ia merasakan kain lembut selimut yang menyelimuti tubuhnya dan ketenang di sekitarnya.Ketika ia menoleh, Andre sudah duduk di teras luar, hanya memakai kemeja santai berwarna putih dan celana p
Kevin kehilangan kata-kata. Zahra hanya berdiri di tempatnya, matanya kembali berkaca-kaca, tetapi tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun.Icha mengusap air matanya dengan kasar, sambil tetap memeluk Evan. Suaranya gemetar saat ia melanjutkan, “Aku meninggalkan keluargaku demi kamu, Kevin. Aku melawan dan menghadapi dunia sendirian, bahkan saat aku melahirkan anak ini. Apa balasanmu? Kamu bawa perempuan lain masuk ke rumah kita!”“Icha, aku tahu aku salah,” Kevin berkata dengan nada putus asa. “Tapi aku ingin memperbaikinya. Demi Evan. Tolong beri aku kesempatan-”Kata-kata itu seperti palu godam yang menghantam Icha. Tubuhnya terasa lemas, dan ia hanya terpaku. Suaminya hanya memikirkan putra mereka, bukan dirinya. Zahra yang tak sanggup melihat perseteruan mereka, berbalik dan melangkah pergi tanpa berkata apa-apa.Icha menunduk, menatap bayi kecil di pelukannya yang akhirnya berhenti menangis. Ia mengusap lembut kepala Evan sambil berbisik, “Kita pergi dari sini, Nak. Kita tid
Kevin berdiri terpaku, jantungnya berdegup kencang. Kata-kata Icha tadi seperti pisau yang terus-menerus mengirisnya. Ia ingin mengejar wanita itu, tetapi tubuhnya terasa kaku. Di sebelahnya, Zahra menggenggam tangan di depan dada, matanya berkaca-kaca, penuh rasa bersalah.“Mas, mungkin aku seharusnya tidak datang ke sini,” Zahra berbisik pelan. “Kehadiranku hanya memperburuk keadaan.”Kevin menoleh, pandangannya gelap. “Zahra, ini bukan salahmu. Semua ini salahku. Aku yang mengambil keputusan bodoh, dan sekarang aku harus menanggung akibatnya.”Sebelum Zahra bisa menjawab, suara pintu yang dibanting terdengar keras dari arah kamar. Icha muncul kembali dengan sebuah koper besar di tangannya. Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Kevin atau Zahra, ia berjalan cepat menuju pintu depan.“Cha, tunggu!” Kevin akhirnya bergerak, berusaha menghentikan istrinya. Ia memegang lengan Icha, tetapi wanita itu menepisnya dengan kasar.“Jangan sentuh aku, Kevin!” seru Icha dengan air mata yang masih me
Kevin menatap Zahra sejenak. Pikirannya bergemuruh, tetapi bibirnya akhirnya lolos begitu saja mengungkapkan kenyataan yang selama ini dia sembunyikan. "Zahra adalah istriku, Cha. Dia madumu. Kami sudah menikah secara sah baik di mata hukum maupun agama."Pernyataan itu jatuh seperti petir di siang bolong. Icha menatap Kevin dengan mata membelalak, wajahnya memerah karena amarah yang langsung memuncak. Tubuhnya gemetar, hampir tak mampu berdiri.“Apa?!” jerit Icha dengan suara yang pecah. “Kamu bilang dia MADUKU?! Kamu sudah menikah lagi tanpa bilang apa-apa padaku?!”Pria itu menatap Icha selembut mungkin, berusaha menenangkan. Namun, kata-kata yang ia siapkan tak mampu menahan badai yang jelas sudah datang. “Cha, aku bisa jelaskan. Seharusnya bilang dari awal. Tapi-”“JELASKAN APA?!” potong Icha dengan teriakan melengking. “Kamu menikah lagi di belakangku, Kevin! Kamu mengkhianatiku! Kamu membawanya ke sini, dan kamu pikir aku akan menerima begitu saja?!”Zahra yang berdiri di sampi
Di ruang tamu, seorang wanita bergamis duduk dengan tenang. Sosok itu membuat darah Icha mendidih seketika.“Kamu?!” seru Icha dengan nada tinggi, tanpa mencoba menyembunyikan kemarahannya.Zahra, yang mengenakan gamis hitam bangkit perlahan. Meski matanya tampak tenang, tubuhnya sedikit gemetar karena situasi yang ia tahu akan sulit.“Iya, Mbak Icha,” jawab Zahra pelan. “Saya diminta Mas Kevin datang.”"Dasar perempuan gatel! Apa-apaan kamu tiba-tiba nggak pake cadar gitu. Mau menggoda suami saya, ya!" Icha melirik Kevin dengan tatapan penuh emosi. “Mas, kamu tega banget bawa dia ke sini?! ngapain kamu suruh datang ke rumah kita?!”“Cha, tenang dulu. Aku cuma—”“Tenang?!” potong Icha tajam. “Kamu mau aku tenang sementara kamu bawa perempuan ini ke rumah kita?! Aku istrimu, Kevin! Dia itu cuma... cuma-”“Saya cuma apa, Mbak?” Zahra menyela lembut, tetapi nadanya tegas. “Kalau saya hanya dianggap sebagai masalah, saya mohon maaf. Tapi saya di sini untuk menyelesaikan semuanya, biar ng