"Permisi Pak. Saya harus ke kelas sekarang, pungkas Dea yang tak betah berada di dekat Andre. Ia pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban dari empunya. Degup jantungnya berdetak dengan kencang. Suhu tubuh yang memanas merasuki hatinya.Andre melihat punggung wanita itu dalam diam. Tangannya menggantung begitu saja. Wajah yang sebelumnya cerah kini meredup seiring menjauhnya Dea. Berkali-kali ia mencoba berinteraksi, selalu gagal karena orang yang ia tuju menjauh. Tidak ada penolakan yang terlontar dari mulut Dea. Namun tingkah laku wanita itu seakan menjawab semuanya. Tak ada celah, seberusaha apapun Andre, ia tak mendapatkan hasilnya."Huft," hela lelaki itu yang kini berjalan dengan menundukkan kepala. Sedangkan Dea masuk ke dalam kelas dengan wajah yang memerah. ia berkali-kali menghela napas untuk mengatur emosi yang membeludak. "Untung saja aku bisa lolos," syukur wanita itu. Ia kemudian mulai mengucapkan salam kepada murid-muridnya yang menunggu dengan tenang. Tak ada masalah
Gerakan tangan Michelle yang cepat membuat Dea terperanjat. Wanita itu segera menarik kerudung Sinta yang dicengkeram Michelle. Lirikan tajam membuat kedua orang yang beradu emosi terdiam. Dengkusan terdengar dari hidung Dea, ia merasa tatapan penghuni kantin tertuju pada mereka."Kita lagi di kantin. Jangan buat keributan. Banyak orang memerhatikan kita," ucap Dea dengan alis yang berkerut. Moodnya langsung hancur karena dua orang yang ada di kanan dan kirinya menimbulkan kericuhan. Ditambah tatapan beberapa murid ke arah mereka memengaruhi statusnya sebagai pendidik di sekolahan ini. "Dia duluan De," adu Michelle. "Enak aja!" sewot Sinta langsung memalingkan wajah. "Tadi jelas-jelas kamu mencibir aku." Michelle merinding dirinya sebagai korban.Sinta menarik salah satu otok pipi dan bibirnya. "Siapa yang tidak gatal mencibir omongan julid gitu. Gak mikirin perasaan orang lain. Seenaknya sendiri kalau ngomong." Mata Michelle melebar mendengar jawaban Sinta."Julid? Kamu it-" "S
[Mas jemput aku jam 4.] Itu adalah pesan yang dikirim Dea pada suaminya. Ia menghela napasnya lega karena tak ada kesempatan untuk bercengkerama dengan Andre. Entah kenapa dia merasa tertekan ketika bertemu lelaki itu. Ditambah melihat keagresifan Michelle membuat Dea enggan berurusan lebih dalam dengan Andre. Tak berselang lama dia mendapat balasan dari Kevin. [Oke Sayang. Sekarang aku di perjalanan ke rumah Levi. Sebalum jam 4 aku akan sampai di sekolahmu.] "Bu Dea, ayo ke ruang latihan." Sinta menghampirinya setelah menunaikan ibadah. Alis Dea terangkat mendengar ajakan itu. "Loh... Tidak di sini saja?" ia sedikit bingung. Karena sebelumnya guru-guru akan berlatih paduan suara di ruang kantor. "Tidak. Karena beberapa guru juga bermain alat musik, jadi kita harus ke ruang ektrakuliler musik." Kedua wanita itu pun keluar dari ruang kantor. Namun Sinta terhenti ketika melihat Andre bersama Michelle. Menyadari kedatangan mereka, Michelle melambai tangan kepada Dea. Andre pun menol
Dugaannya yang benar membuat Kevin kegiarangan. Mata menyala dengan simbol dollar di maniknya membuat hatinya berdebar. "Syukurlah aku bisa ketemu kami di sini Bim," senang lelaki itu. Mendengar itu, Bimo menggaruk kepalanya dengan senyum meringis. "Ada apa ya Vin?" tanyanya pelan.Ketika akan menjawab, ia terkejut melihat wanita yang ada di kursi penumpang samping Bimo. Matanya berkedip beberapa kali memfokuskan pandangan."Vin." Bimo jadi kikuk karena temannya mematung."Eh iya. Soal duit," jawab Kevin yang masih penasaran dengan Nina yang bersiap keluar dari mobil temannya. "Oh..." Bimo buru-buru membuka ponselnya dan mencari aplikasi Mobile Banking. Ia mencari nomor rekening temannya yang sudah terpendam jauh di bawah. "Aku kembaliin segini dulu ya Vin," ucap Bimo menarik perhatian temannya dari Nina. "Oh sip!" Kevin memberikan jempol pada Bimo dan kembali menatap Nina. "Nin! Bilang Levi gua udah di depan ya!" pintanya ketika Nina mulai memasuki rumah. Wanita itu tak menggubri
Dengan malas Nina menuruti perintah Kevin yang bernotabe sebagai adik ipar sekaligus teman suami dan kakaknya. Ia berjalan dengan sedikit mengangkang karena volume perutnya yang semakin membesar. Melihat itu, Levi mendekatinya memastikan keamanannya ketika menuruni tangga di dalam gudang. Tak ada ekpresi bersahabat yang dikeluarkan wanita itu. Ia sangat jengah berada di dekat Levi. Namun bagaimana pun ia kesulitan melakukan perceraian."Apa?" tanya Nina sedikit nyolot."Lu kan punya banyak teman. Nah! Batuin suami lu cari reseller, semua rulles biar Levi yang urus. Lu cuma perlu sebarin recruitmen reseller doang. Terutama bidang kecantikan, nih ada make up sama skincare." Kevin menunjukkan beberapa produk berdus-dus di sana. Mata Nina pun mengikuti arah telunjuk lelaki itu."Tidak ada penawaran. Lu harus lakuin itu, besok lusa gua cek progress kalian." Kevin menekan perintahnya tanpa menunggu jawaban dari Nina. Wajah Levi yang sebelumnya gelap, kini berubah cerah karena mendapat bimbi
Dea yang sudah hafal dengan suara itu segera menoleh. Jantungnya sempat terperanjat karena tak menyangka ada orang yang melihat interaksinya bersama Andre. Namun ia sangat bersyukur itu adalah suaminya bukan orang lain. Seandainya guru, staff, atau murid sekolah ini bisa saja ada desas-desus menyebalkan yang tersebar. Ditambah kepala sekolahnya kali ini bertindak berlebihan kepadanya. Cengkeraman tangan yang mendadak membuat tubuhnya membeku. Ia tak menyangkal sedang merasa resah berada di ruangan yang sama dengan lelaki itu ditambah hanya berdua."Mas..." ucap Dea yang lega karena itu Kevin. Ia segera menarik tangannya dari cengkeraman Andre tetapi tak terlepas. Kepala sekolah tersebut menatap ia dengan sendu. Matanya tampak sedikit berlinang saat melihat ke arahnya."Maaf Pak. Saya izin pulang dulu karena suami saya sudah menjemput," akhir Dea. Namun Andre tak kunjung melepas tangannya. Justru cengkeraman tersebut semakin kuat hingga membuat alis wanita itu mengerut. "Pak. Tangan sa
Kevin dan Dea duduk berhadapan. Makanan yang mereka pesan sudah tersaji sangat cantik di atas meja. Sedari tadi Kevin sibuk dengan ponselnya. Sedangkan Dea menunggu suaminya mengatakan sesuatu penting. Entah apa itu, tetapi kesabaran Dea sudah habis dan dia langsung bertanya, "ada apa Mas? Kenapa kamu jadi cuekin aku." Alis wanita itu mengerut dan bibirnya sedikit maju karena memendam kekesalan. "Sebentar Sayang. Aku masih balas chatnya Levi." Jari tangan lelaki itu bergerak sangat gesit menyentuh layar ponsel dalam genggamannya. Wajah yang serius terjerumus pikiran yang dalam ketika menyalin satu persatu kata dari otaknya. "Huft," hela wanita itu. Kevin bahkan tidak menatapnya ketika menjawab. Kali ini Dea benar-benar diacuhkan. Akhirnya ia memilih menyantap makanannya terlebih dahulu. Meskipun dengan dentingan sendok yang cukup keras karena kekesalannya pada Kevin tetapi itu tak mengganggu pelanggan lain. Suasana di rumah makan kali ini sangat ramai, hiruk pikuk manusia memenuhi u
Mengingat kejadian kemarin sore, hari ini Kevin memutuskan untuk menunggu istrinya latihan paduan suara. Ia tak ingin memberikan peluang pada orang lain mendekati istrinya. Jika lengah sedikit saja, Andre dan Dea akan semakin dekat. Ditambah lelaki yang sempat menjadi calon suami istrinya tersebut masih gencar mendekati. Meskipun Dea tak menggubris, tetapi hati Kevin dalam mode waspada. Rumah tangganya yang retak membuatnya sensitif. Dia tak ingin menambah masalah, sekarang prioritasnya adalah membuat Dea menetap dengan dirinya.[Sayang. Mas sekarang di lobi sekolahmu.] tulis lelaki itu. Tak berselang lama Dea sudah membalas pesannya.[Latihanku masih 30 menit lagi Mas. Ga masalah kan?][Iya Sayang. Mas tunggu di sini sambil main game.][Oke Mas. Sebentar ya.]Kevin tak membalas pesan tersebut. Ia memilih login salah satu game kesukaannya. Hari yang semakin sore membuat bangunan ini sepi. Sebelumnya ada beberapa murid yang lewat, tapi semakin bertambahnya waktu tak seorang pun lewat d
"Perutku sakit banget, Sayang. Seperti kontraksi," jawab Dea dengan suara gemetar.Andre segera memeriksa jam tangannya. "Tapi ini belum waktunya, kan? Masih beberapa minggu lagi!" Namun, melihat ekspresi Dea yang pucat, ia tak berani menunda. "Kita ke rumah sakit sekarang. Tunggu sebentar, aku ambil kunci mobil."Dea mengangguk, meski tubuhnya terus menggeliat karena rasa sakit. Andre kembali dengan mantel dan payung, membantunya bangun dengan hati-hati.Di perjalanan menuju rumah sakit, Dea terus mencengkeram lengan suaminya. Pria itu pun dibuat kalap dengan satu tangan memegang kemudi. "Aduh, Mas sakit banget. Aku nggak kuat," keluhnya.Andre berusaha tetap tenang, meskipun dadanya terasa sesak melihat istrinya kesakitan. "Sayang, bertahan ya. Kita sebentar lagi sampai," katanya sambil mempercepat laju mobil.Setibanya di rumah sakit, para perawat langsung membawa Dea ke ruang bersalin. Andre mendampingi dengan wajah penuh kecemasan. Dokter masuk dan memeriksa kondisi Dea dengan ce
“Waalaikumsalam,” jawab Icha cepat-cepat sambil membuka pintu. Berdiri di sana, Kevin dengan setelan kerjanya yang rapi, wajahnya tampak lelah, tetapi ada senyum tipis yang terukir.“Kamu baru pulang?” tanya Icha langsung, nada suaranya sedikit tajam meski ia mencoba menahannya. Evan yang masih dalam gendongannya mulai merengek lagi, membuatnya semakin frustasi.Kevin mengangguk sambil melepas sepatu. “Iya, maaf lama. Ada kerjaan tambahan tadi. Stok baju menumpuk dan harus di display. Ditambah, aku juga menambah manekin sesuai idemu. Aku sudah memasang banyak setelan yang kamu atur.” Ia mendekati mereka, mengusap kepala Evan yang langsung melenguh kecil, tetapi tetap rewel.“Aku hampir gila sendiri di rumah, tahu nggak?” keluh Icha sambil membawa Evan ke ruang tamu. Namun, ada kebahagiaan sendiri karena ide yang sempat ia katakan pada Kevin, sekarang telah teralisasikan. Dia yang dulunya suka shopping dan selalu memakai outfit kece, ternyata bisa merembak ke bisnis toko baju yang mere
Beberapa hari setelah kabar kehamilan itu, Andre dan Dea memutuskan untuk mengundang kedua keluarga mereka untuk makan malam di rumah. Andre telah mengatur semuanya, dari makanan hingga dekorasi sederhana yang akan digunakan untuk menyampaikan kabar gembira tersebut.Dea berdiri di depan cermin, mengenakan gaun longgar yang sengaja dipilih karena ia mulai merasa tak nyaman dengan pakaian yang ketat di perut. Ia menyentuh perutnya yang masih datar dengan perasaan takjub, seolah tak percaya bahwa kehidupan baru tengah tumbuh di dalamnya.“Kamu cantik,” komentar Andre yang muncul dari balik pintu kamar. Ia mendekat, melingkarkan lengannya di pinggang Dea.“Kamu yakin mereka akan senang?” tanya Dea sambil menatap Andre lewat pantulan cermin.Andre tertawa kecil, mencium kening Dea dengan lembut. “Ayah dan Mama pasti akan sangat senang. Apalagi Oma. Dia sudah lama menunggu kabar seperti ini.”Dea mengangguk, meski hatinya tetap berdebar. Ia masih merasa gugup untuk menyampaikan kabar terse
Setelah hampir dua minggu menikmati bulan madu yang penuh kenangan di Maldives, Dea dan Andre akhirnya kembali ke rumah mereka yang megah. Malam itu, mereka tiba di bandara dengan suasana hati yang lelah tetapi bahagia.“Welcome home, Pak Andre, Bu Dea,” sapa seorang pelayan ketika mereka melangkah masuk ke dalam rumah. Bagi Dea rumah itu terasa lebih besar dari tempat yang selama ini ia tinggali, tetapi kehangatan dari staf yang menyambut mereka membuat Dea merasa nyaman.“Terima kasih,” jawab Andre singkat. Ia menoleh ke arah Dea, yang terlihat sedikit pucat. “Kamu capek? Mau langsung istirahat?”Dea mengangguk sambil tersenyum kecil. “Sepertinya begitu. Perjalanan panjang tadi bikin aku sedikit mual.”Andre mengernyit, menunjukkan kekhawatirannya. “Kamu yakin cuma capek? Jangan-jangan kamu sakit.”Wanita itu hanya tertawa kecil. “Nggak kok, mungkin hanya masuk angin. Besok juga pasti sembuh.”Andre menghela napas, tapi akhirnya mengangguk. “Kalau gitu, ayo naik. Aku bawakan kopermu
Tanpa menunggu lagi, sepasang pengantin yang baru saja melakukan malam pertama segera terbang ke luar negeri."Mas, kita mau ke mana?" tanya Dea. Ia sedari tadi hanya mengekori suaminya. Semua keperluan sudah diatur Andre dan staffnya. Jadi, wanita itu tidak tau mereka akan terbang ke mana. Suaminya pun hanya membalasnya dengan senyuman kecil. "Nanti juga tau," ujar lelaki itu sembari menoel hidung Dea.Namun, jawaban atas rasa penasaran wanita itu langsung terjawab ketika jet yang ia tumpangi landing di salah satu bandara yang ada di Maldives. Dea tak menyangka dan tak terpikirkan akan berada di negara ini. Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan sinar matahari lembut yang menerobos tirai kamar villa di atas laut. Dea membuka mata perlahan, menghirup aroma udara laut yang menyegarkan. Ia merasakan kain lembut selimut yang menyelimuti tubuhnya dan ketenang di sekitarnya.Ketika ia menoleh, Andre sudah duduk di teras luar, hanya memakai kemeja santai berwarna putih dan celana p
Kevin kehilangan kata-kata. Zahra hanya berdiri di tempatnya, matanya kembali berkaca-kaca, tetapi tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun.Icha mengusap air matanya dengan kasar, sambil tetap memeluk Evan. Suaranya gemetar saat ia melanjutkan, “Aku meninggalkan keluargaku demi kamu, Kevin. Aku melawan dan menghadapi dunia sendirian, bahkan saat aku melahirkan anak ini. Apa balasanmu? Kamu bawa perempuan lain masuk ke rumah kita!”“Icha, aku tahu aku salah,” Kevin berkata dengan nada putus asa. “Tapi aku ingin memperbaikinya. Demi Evan. Tolong beri aku kesempatan-”Kata-kata itu seperti palu godam yang menghantam Icha. Tubuhnya terasa lemas, dan ia hanya terpaku. Suaminya hanya memikirkan putra mereka, bukan dirinya. Zahra yang tak sanggup melihat perseteruan mereka, berbalik dan melangkah pergi tanpa berkata apa-apa.Icha menunduk, menatap bayi kecil di pelukannya yang akhirnya berhenti menangis. Ia mengusap lembut kepala Evan sambil berbisik, “Kita pergi dari sini, Nak. Kita tid
Kevin berdiri terpaku, jantungnya berdegup kencang. Kata-kata Icha tadi seperti pisau yang terus-menerus mengirisnya. Ia ingin mengejar wanita itu, tetapi tubuhnya terasa kaku. Di sebelahnya, Zahra menggenggam tangan di depan dada, matanya berkaca-kaca, penuh rasa bersalah.“Mas, mungkin aku seharusnya tidak datang ke sini,” Zahra berbisik pelan. “Kehadiranku hanya memperburuk keadaan.”Kevin menoleh, pandangannya gelap. “Zahra, ini bukan salahmu. Semua ini salahku. Aku yang mengambil keputusan bodoh, dan sekarang aku harus menanggung akibatnya.”Sebelum Zahra bisa menjawab, suara pintu yang dibanting terdengar keras dari arah kamar. Icha muncul kembali dengan sebuah koper besar di tangannya. Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Kevin atau Zahra, ia berjalan cepat menuju pintu depan.“Cha, tunggu!” Kevin akhirnya bergerak, berusaha menghentikan istrinya. Ia memegang lengan Icha, tetapi wanita itu menepisnya dengan kasar.“Jangan sentuh aku, Kevin!” seru Icha dengan air mata yang masih me
Kevin menatap Zahra sejenak. Pikirannya bergemuruh, tetapi bibirnya akhirnya lolos begitu saja mengungkapkan kenyataan yang selama ini dia sembunyikan. "Zahra adalah istriku, Cha. Dia madumu. Kami sudah menikah secara sah baik di mata hukum maupun agama."Pernyataan itu jatuh seperti petir di siang bolong. Icha menatap Kevin dengan mata membelalak, wajahnya memerah karena amarah yang langsung memuncak. Tubuhnya gemetar, hampir tak mampu berdiri.“Apa?!” jerit Icha dengan suara yang pecah. “Kamu bilang dia MADUKU?! Kamu sudah menikah lagi tanpa bilang apa-apa padaku?!”Pria itu menatap Icha selembut mungkin, berusaha menenangkan. Namun, kata-kata yang ia siapkan tak mampu menahan badai yang jelas sudah datang. “Cha, aku bisa jelaskan. Seharusnya bilang dari awal. Tapi-”“JELASKAN APA?!” potong Icha dengan teriakan melengking. “Kamu menikah lagi di belakangku, Kevin! Kamu mengkhianatiku! Kamu membawanya ke sini, dan kamu pikir aku akan menerima begitu saja?!”Zahra yang berdiri di sampi
Di ruang tamu, seorang wanita bergamis duduk dengan tenang. Sosok itu membuat darah Icha mendidih seketika.“Kamu?!” seru Icha dengan nada tinggi, tanpa mencoba menyembunyikan kemarahannya.Zahra, yang mengenakan gamis hitam bangkit perlahan. Meski matanya tampak tenang, tubuhnya sedikit gemetar karena situasi yang ia tahu akan sulit.“Iya, Mbak Icha,” jawab Zahra pelan. “Saya diminta Mas Kevin datang.”"Dasar perempuan gatel! Apa-apaan kamu tiba-tiba nggak pake cadar gitu. Mau menggoda suami saya, ya!" Icha melirik Kevin dengan tatapan penuh emosi. “Mas, kamu tega banget bawa dia ke sini?! ngapain kamu suruh datang ke rumah kita?!”“Cha, tenang dulu. Aku cuma—”“Tenang?!” potong Icha tajam. “Kamu mau aku tenang sementara kamu bawa perempuan ini ke rumah kita?! Aku istrimu, Kevin! Dia itu cuma... cuma-”“Saya cuma apa, Mbak?” Zahra menyela lembut, tetapi nadanya tegas. “Kalau saya hanya dianggap sebagai masalah, saya mohon maaf. Tapi saya di sini untuk menyelesaikan semuanya, biar ng