[MAAF BU DEA. MEMANG BENAR MICHELLE MEMAKAINYA. SECEPATNYA AKAN SAYA MENGGANTINYA.]itu adalah kalimat yang ditulis Andre. Alis Kevin mengerut seusai membaca pesan tersebut. Ia hanya membacanya di bar notifikasi. Ia tak ingin membuka pesan tersebut tanpa izin istrinya."Ada apa ini? Apa istriku terkena masalah dengan Michelle?" terka Kevin yang gelagapan melihat siluet istrinya yang kembali dari kamar mandi. Dengan segera lelaki itu mengembalikan ponsel yang ia pegang sesaat. Dadanya berdegup kencang karena dikejutkan kedatangan istrinya. Terlihat Dea berjalan dengan wajah berseri ke arahnya. Senyum simpul dengan bibir pucat karena polesan lipstik yang luntur tak melunturkan kemanisan paras wanita tersebut. "Ayo Mas," ajak Dea yang tak menyadari apa yang disembunyikan suaminya. Ia menenteng tas dan berniat menggandeng Kevin."Hp kamu," peringat Kevin karena Dea tak menyentuh alat komunikasi tersebut."Oh iya!" Keduanya pun beriringan melangkahkan kaki menuju parkiran. Kevin menggan
Kevin gelagapan sedangkan Dea menunggu jawaban suaminya. Suasana dalam mobil berubah mencekam. Keringat dingin di pelipis lelaki itu semakin deras karena tekanan yang diberikan istrinya. Berkali-kali mulutnya ternganga tetapi tidak bisa mengeluarkan suara."T-tadi..." kata itu terucap dengan gagap. Dea pun menoleh ke Kevin dengan ekspresi datar. "Tadi apa?" sahut wanita itu karena tak kunjung mendapatkan jawaban."Seingatku Andre mau mengganti sesuatu yang dipakai Michelle. Hanya itu." Kevin berhasil menjawab setelah mengatur adrenalin yang melonjak pesat di dalam dirinya. "Oh..." Mereka kembali hening sampai mobil terparkir di garasi rumah. Dea tak langsung turun karena ada hal yang ingin ia katakan pada suaminya. Kevin pun tak memintanya turun, dia tak ingin menyulut emosinya karena melihat ponsel tanpa izin. Mungkin kebanyakan pasangan suami istri tak masalah mengakses ponsel satu sama lain, tetapi selama pernikahan Kevin dan Dea belum pernah melakukannya seakan masih menjadi p
"DEA! Berangkatmu mepet banget ya," sapa Michelle yang keluar dari ruang kepala sekolah. Dea yang baru saja melakukan presensi pun tersenyum tipis padanya. "Iya Chell." Dea menjawabnya dengan sangat kikuk. Entah mengapa hari ini ia dan Kevin tertidur sangat oulas sampai-sampai dibangunkan Lastri jam 6 lebih. Menyadari itu Kevin dan Dea pun tergopoh-gopoh menyiapkan diri berangkat ke sekolah. Untung kamar mandi di rumah mereka ada banyak sehingga tidak perlu menunggu satu sama lain. Untuk sarapan, Dea hanya membawakan roti tawar dan susu pada suaminya. Ia bahkan menyuapi Kevin saat berada di perjalanan. Tentunya ia ikut menyantap makanan itu karena dia sendiri belum sarapan."Nanti makan siang sama aku ya," ajak Michelle dengan antusias, rambut lurus berwarna pirang dengan polesan lipgloss pink memperlihatkan wajahnya terlihat cerah . Mata bulat berbinar terang seakan memancarkan laser kilat, membuat Dea tak sanggup menolaknya dan saat itu juga bel berdering yang artinya ia harus m
"Permisi Pak. Saya harus ke kelas sekarang, pungkas Dea yang tak betah berada di dekat Andre. Ia pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban dari empunya. Degup jantungnya berdetak dengan kencang. Suhu tubuh yang memanas merasuki hatinya.Andre melihat punggung wanita itu dalam diam. Tangannya menggantung begitu saja. Wajah yang sebelumnya cerah kini meredup seiring menjauhnya Dea. Berkali-kali ia mencoba berinteraksi, selalu gagal karena orang yang ia tuju menjauh. Tidak ada penolakan yang terlontar dari mulut Dea. Namun tingkah laku wanita itu seakan menjawab semuanya. Tak ada celah, seberusaha apapun Andre, ia tak mendapatkan hasilnya."Huft," hela lelaki itu yang kini berjalan dengan menundukkan kepala. Sedangkan Dea masuk ke dalam kelas dengan wajah yang memerah. ia berkali-kali menghela napas untuk mengatur emosi yang membeludak. "Untung saja aku bisa lolos," syukur wanita itu. Ia kemudian mulai mengucapkan salam kepada murid-muridnya yang menunggu dengan tenang. Tak ada masalah
Gerakan tangan Michelle yang cepat membuat Dea terperanjat. Wanita itu segera menarik kerudung Sinta yang dicengkeram Michelle. Lirikan tajam membuat kedua orang yang beradu emosi terdiam. Dengkusan terdengar dari hidung Dea, ia merasa tatapan penghuni kantin tertuju pada mereka."Kita lagi di kantin. Jangan buat keributan. Banyak orang memerhatikan kita," ucap Dea dengan alis yang berkerut. Moodnya langsung hancur karena dua orang yang ada di kanan dan kirinya menimbulkan kericuhan. Ditambah tatapan beberapa murid ke arah mereka memengaruhi statusnya sebagai pendidik di sekolahan ini. "Dia duluan De," adu Michelle. "Enak aja!" sewot Sinta langsung memalingkan wajah. "Tadi jelas-jelas kamu mencibir aku." Michelle merinding dirinya sebagai korban.Sinta menarik salah satu otok pipi dan bibirnya. "Siapa yang tidak gatal mencibir omongan julid gitu. Gak mikirin perasaan orang lain. Seenaknya sendiri kalau ngomong." Mata Michelle melebar mendengar jawaban Sinta."Julid? Kamu it-" "S
[Mas jemput aku jam 4.] Itu adalah pesan yang dikirim Dea pada suaminya. Ia menghela napasnya lega karena tak ada kesempatan untuk bercengkerama dengan Andre. Entah kenapa dia merasa tertekan ketika bertemu lelaki itu. Ditambah melihat keagresifan Michelle membuat Dea enggan berurusan lebih dalam dengan Andre. Tak berselang lama dia mendapat balasan dari Kevin. [Oke Sayang. Sekarang aku di perjalanan ke rumah Levi. Sebalum jam 4 aku akan sampai di sekolahmu.] "Bu Dea, ayo ke ruang latihan." Sinta menghampirinya setelah menunaikan ibadah. Alis Dea terangkat mendengar ajakan itu. "Loh... Tidak di sini saja?" ia sedikit bingung. Karena sebelumnya guru-guru akan berlatih paduan suara di ruang kantor. "Tidak. Karena beberapa guru juga bermain alat musik, jadi kita harus ke ruang ektrakuliler musik." Kedua wanita itu pun keluar dari ruang kantor. Namun Sinta terhenti ketika melihat Andre bersama Michelle. Menyadari kedatangan mereka, Michelle melambai tangan kepada Dea. Andre pun menol
Dugaannya yang benar membuat Kevin kegiarangan. Mata menyala dengan simbol dollar di maniknya membuat hatinya berdebar. "Syukurlah aku bisa ketemu kami di sini Bim," senang lelaki itu. Mendengar itu, Bimo menggaruk kepalanya dengan senyum meringis. "Ada apa ya Vin?" tanyanya pelan.Ketika akan menjawab, ia terkejut melihat wanita yang ada di kursi penumpang samping Bimo. Matanya berkedip beberapa kali memfokuskan pandangan."Vin." Bimo jadi kikuk karena temannya mematung."Eh iya. Soal duit," jawab Kevin yang masih penasaran dengan Nina yang bersiap keluar dari mobil temannya. "Oh..." Bimo buru-buru membuka ponselnya dan mencari aplikasi Mobile Banking. Ia mencari nomor rekening temannya yang sudah terpendam jauh di bawah. "Aku kembaliin segini dulu ya Vin," ucap Bimo menarik perhatian temannya dari Nina. "Oh sip!" Kevin memberikan jempol pada Bimo dan kembali menatap Nina. "Nin! Bilang Levi gua udah di depan ya!" pintanya ketika Nina mulai memasuki rumah. Wanita itu tak menggubri
Dengan malas Nina menuruti perintah Kevin yang bernotabe sebagai adik ipar sekaligus teman suami dan kakaknya. Ia berjalan dengan sedikit mengangkang karena volume perutnya yang semakin membesar. Melihat itu, Levi mendekatinya memastikan keamanannya ketika menuruni tangga di dalam gudang. Tak ada ekpresi bersahabat yang dikeluarkan wanita itu. Ia sangat jengah berada di dekat Levi. Namun bagaimana pun ia kesulitan melakukan perceraian."Apa?" tanya Nina sedikit nyolot."Lu kan punya banyak teman. Nah! Batuin suami lu cari reseller, semua rulles biar Levi yang urus. Lu cuma perlu sebarin recruitmen reseller doang. Terutama bidang kecantikan, nih ada make up sama skincare." Kevin menunjukkan beberapa produk berdus-dus di sana. Mata Nina pun mengikuti arah telunjuk lelaki itu."Tidak ada penawaran. Lu harus lakuin itu, besok lusa gua cek progress kalian." Kevin menekan perintahnya tanpa menunggu jawaban dari Nina. Wajah Levi yang sebelumnya gelap, kini berubah cerah karena mendapat bimbi