Mentari menyembul dari ufuk timur, silauan cahaya yang masuk merangsang pergerakan pupil Dea. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali.“Astaga, sudah jam berapa ini?” tanyanya serak. Bersamaan dengan itu, Rita menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Bibir merah mengembang membuat matanya berbentuk bulan sabit.“Sudah bangun Sayang?” tanya Rita dengan nada yang lembut.“Sekarang jam berapa Ma?” Dea berusaha mengumpulkan kesadarannya.“Jam 6.”“Ya ampun!” kejut Dea yang langsung terduduk.Rita mulai melangkahkan kaki mendekatinya.“Cepat mandi. Ini seragammu.” Wanita itu meletakkan setelan baju berwarna khaki di tepi ranjang. “Apa Mama ambilkan make-up juga?” tawar Rita dengan mata berbinar. Dea segera menggelengkan kepalanya, “Tidak Ma. Ada make up di tas kerja Dea.” Wanita itu segera masuk ke kamar mandi.“Mama tunggu di ruang makan ya!” teriak Rita ketika menantunya sudah menghilang dari pandangan. Ia langsung keluar menghampiri suaminya yang sibuk dengan buku catatan harian. Selain
Suara lembut itu terasa tajam di telinga Dea. Entah kenapa dadanya terasa panas melihat kedua orang tersebut. Tanpa pikir panjang, ia langsung membalikkan badan dan masuk ke ruang kantor. Salah satu tangan Andre sempat terangkat melihat kepergiannya, Dea pun menyadari itu. Namun hatinya berkata jika lebih baik ia tidak berurusan dengan mereka.“Sepertinya aku tidak sopan karena melengos begitu saja. Tapi ini pilihan terbaik, aku tidak mau ikut campur,” sesal Dea dalam hati. Ia menghela napasnya panjang. “Sayang? Apa dia kekasih Pak Andre? Pengheliatanku tidak salah kemarin lusa, aku kan liat dia lagi sama wanita itu. Jadi ini langkah yang dia ambil setelah buat aku merasa bersalah karena dia pikir aku menggantungnya. Ternyata semua cowok sama aja!” Ia meronta-ronta di dalam batinnya. Entah kenapa ada kekesalan sendiri di dalam sanubari wanita itu. Bahkan sedari tadi Dea meremas ujung hijabnya. Ketika ia sibuk dengan pikirannya, tiba-tiba Sinta menyenggol pundaknya. “Stt! Bu Dea!” pang
“Boleh duduk sini?” tanya wanita itu pada Dea. Wajah putih dan rambut lurus berwarna hitam membuat orang di depannya terpaku. Dea segera berdeham mengatur tenggorokannya yang tercekat.“Boleh, silakan,” jawab Dea. Ia memberikan senyum tipis pada tamu yang tak diundang tersebut.“Kenalin, aku Michelle.” Wanita pemilik nama Michelle itu menangkat tangannya untuk berjabat tangan dengan Dea.“Dea.” Ia menyambut jabatan tangan tersebut dengan kaku. Michelle sedari tadi melihatnya dengan senyum tipis dan mata berbinar. “Kamu cantik Dea,” pujinya tulus.Alis Dea terangkat sejenak. Ia tak menduga langsung mendapatkan pujian dari orang yang baru dikenalnya. “Terimakasih, kamu juga cantik.”Michelle menundukkan kepalanya seakan tersipu malu. Dea pun melanjutkan kegiatannya menyemili makanan. “Mau?” Ia menyondorkan salah satu snack ke arah Michelle. Dengan cepat wanita itu langsung memberikan penolakan gelengan kepala. “Tidak. Aku tidak bisa makan snack begini.”“Ah... sorry.” Dea langsung menar
“Ish! Wanita itu kenapa sih!” kesal Sinta yang baru saja duduk di samping Dea. Siang ini Dea memakan bekal yang dibuatkan mertuanya.“Siapa?” tanya Dea setelah menelan makanan yang ia kunyah.“Itu, perempuan yang sama Pak Andre. Masa dia sinis banget ke aku.”“Oh Michelle,” sahut Dea paham orang yang dimaksud rekan kerjanya.“Loh Mbak Dea kok bisa tau,” kaget Sinta.“Tadi sempat ngobrol di kantin.”“Mbak Dea ajak dia?”“Enggak. Dia tiba-tiba samperin aku di kantin.”“Ohh...” Sinta mengganggukkan kepala beberapa kali. “Gimana Mbak?” tanya Sinta penasaran.Alis Dea berkerut, tangannya sibuk memotong sosis di dalam kotak bekal. “Gimana apanya?”“Itu Michelle. Minta dikit.” Sinta mencicip capjaynya.“Biasa aja. Nih salad.” Dea menyodorkan kotak makan berisi salad buah yang dilumuri yogurt.“Masa biasa aja? Thanks.”“Ya nggak juga. Orangnya ramah, em... tapi nggak bisa dikatain ramah juga sih.” Dea menyipitkan mata mengoreksi penilaiannya tetang Michell.“Lah... terus gimana?” Sinta bingun
Sesampainya di rumah, Dea langsung masuk. Rita menyambutnya dengan senyum semringah. “Sudah pulang Sayang,” ujar wanita paruh baya tersebut. Dea memeluk tubuh mertuanya dengan erat, rasanya ia melepaskan beban yang ada di pundaknya begitu saja ketika merasakan kehangatan dari Rita.“Astaga putri Mama. Pasti capek ya seharian kerja,” celetuk Rita. Kevin yang baru saja masuk langsung menyalaminya. Wanita itu menerima ciuman di tangannya meskipun masih memeluk Dea.“Mas Kevin jemputnya lama. Aku capek nunggunya,” adu Dea dengan bibir mencebik. Mata Rita sontak melotot kemudian tangannya memukul lengan putranya.“Iya?!” kesal Rita.Kevin meringiskan bibir, rambutnya menjadi acak-acakan karena garukan tangannya. “Ada urusan sekolah Ma.” Tanpa menunggu lama, lelaki itu langsung berlari ke kamarnya. Ia tak ingin menjadi mangsa singa yang baru saja bangun tidur.“Huhft...” Ia mengelus dadanya. Rasanya seperti bermain roller coaster ketika berhadapan dengan ibu kandungnya. Apalagi Dea mengadu
Kevin mendaratkan pantatnya ke sofa dengan kikuk. Ia menelan ludahnya karena grogi melihat ekspresi Papanya. Rita dan Dea pun tampak murung mendapati kengerian Gito yang tidak bisa diartikan.“Ada apa Pa?” tanya Kevin.“Bisnis Papa gagal,” jawab Gito frustrasi. Ia meremas rambutnya dengan bibir meringis. Rita yang ada di samping Kevin pun menghela napas panjang.“Bisnis yang mana Pa?” Kevin menanykan hal yang lebih rinci karena kedua orangtuanya memiliki banyak bisnis yang dikelola jadi ia bingung sisi mana yang Gito maksud.“Bisnis yang Papa berikan ke Levi. Hari ini tiba-tiba semua suplier dan investor membatalkan kerja samanya.”“Kok bisa?”“Mereka tidak percaya pada Levi, padahal dari awal mereka pasrah dengan pengelolaannya. Jadi menurutku itu cuma alasan saja. Ditambah salah satu dari mereka mengaku diajak Seno untuk bergabung di bisnisnya. Kemungkinan besar, semua kolegaku ditarik dia. Kurang ajar!” Gito menjawab pertanyaan putranya dengan kepalan tangan yang kuat. Ekspresiny
Akhirnya Kevin mengangkat telepon tersebut setelah mengatur pernapasannya. Ia menghirup dan n mengeluarkan udara dari hidung ke mulut berkali-kali. Nama Seno sudah memporak-poranda perasaannya menjadi panas. Entah apa yang akan dikatakan lelaki itu, tetapi Kevin berasumsi jika Seno akan memberikan berita tak menyenangkan.“Hallo. Assalamualaikum,” salam Kevin.“Waalaikumsalam. Bagaimana Papamu? Khehehe...”Kevin memutar bola matanya dengan jengah. Belum apa-apa, Pak tua itu langsung to the point. Ia langsung tau apa yang dimaksud Seno pada papanya. Namun kali ini ia memilih bersikap polos seakan tidak tau apa-apa.“Maksudnya Pak?”“Bisnis Papamu. Bagaimana dia sekarang? Apa dia stress karena semua koleganya lari padaku?” tanya Seno dengan penuh percaya diri.“Oh bisnis. Tidak tau Pak. Tapi....” Ia menggantungkan kalimatnya.“Tapi apa?” Seno sangat penasaran dengan ucapan menantunya.“Em... tadi Papa kelihatan murung.”“Hahaha!” Gelak tawa menggelegar di sound ponsel Kevin. Lelaki itu
Dea yang menyelesaikan kan hajatnya langsung terduduk lemas di kursi kemudi. Jantung Kevin berdegup kencang karena takut ketahuan telah mengambil satu barang dari tas istrinya. Wanita itu melirik suaminya jengah, helaan kasar terdengar dari hidungnya. Mendengar itu Kevin salah tingkah."Ada yang salah?" tanya Kevin berusaha mencairkan suasana yang tegang."Tidak. Ayo." Dea meminta suaminya melanjutkan perjalanan yang tertunda. Bukannya sampai di sekolahan, mobil mereka justru tertahan di supermarket."Wait. Mas mau beli rokok dulu." Kevin langsung keluar tanpa menunggu jawaban istrinya. Dea hanya pasrah tak menggerutu sedikitpun karena tubuh bagian bawahnya terasa nyeri. Bibirnya meringis, kemudian matanya mulai berair."Kenapa aku datang bulan di pagi hari begini. Biasanya ketahuan kalau udah malam." Ia menyeka air di ujung matanya."Nih Dik. Minum dulu." Kevin langsung menyodorkan obat pereda nyeri haid dan beberapa snack kesukaan istrinya. Setidaknya ini sebagai antisipasi moodswin