“Bagaimana keadaan Dea? Apa dia sudah makan dan minum obat?” tanya Rita di seberang telepon. Kevin yang duduk di teras gemetar hebat karena mendapat panggilan dari mamanya. Apalagi di depan mertuanya yang congah.“Baik Ma. Tadi udah Kevin kasih makan sama obatnya. Sekarang dia sedang tidur.”“Coba liat.” Rita meminta untuk melakukan video call.“Mampus!” batin Kevin. Sekarang dia sedang di luar jadi bagaimana bisa menunjukkan istriya yang sedang tidur?“Kevin lagi di luar Ma.” Ia ingin sekali mengatakan itu, tapi rentetan pertanyaan dan amukan akan keluar dari mulut mamanya. Pada akhirnya ia memilih menekan mode pesawat agar internet terhenti sehingga panggilan telepon berakhir tanpa harus ia putuskan sepihak.Tanpa banyak ulah, ia kembali masuk. Seno, Maya, dan Icha yang melihatnya tergopoh-gopoh sontak penasaran.“Ada apa Mas?” tanya Icha.“Aku harus segera pulang. Mama sama papa mencariku,” jawab Kevin mengambil kunci mobil dan mencium kedua tangan mertuanya.“Maaf Pak Bu, saya h
Kevin menelisik kotak itu dengan hati-hati. Ia berniat membukanya, tetapi terhalang gembok kecil. Tak ada celah untuk bisa mengintip isi kotak itu. Perlahan ia mengocok kotak berukuran 35cm x 25cm. Cukup besar sehingga memudahkannya memudah benda apa saja yang ada di dalam.“Seperti ada suara besi,” gumamnya dikocokan pertama, ia lanjut menggoyangkan benda tersebut. “Plastik?” tebaknya dengan alis berkerut. “Kertas?” Ia menatap kotak itu penasaran. “Wait...” ia mengocok lebih keras. “Ada suara berat di sana. Apa itu?” Rasa penasarannya semakin membuncah menerka barang atau sesuatu yang ada di dalamnya.“Besi, plastik, kertas, dan suara beda aneh. Sepertinya bukan hanya satu tapi banyak. Kenapa aku baru tau ada kotak ini di lemari?”Ia meletakkan kembali kotak itu di tempatnya. Helaan napas berat terdengar dari hidung Kevin. Tangannya mengelus gembok yang tergantung. “Aku harus mencari kunci gembok ini. Dengan begitu, aku bisa melihat isi di kotak ini.”Ia bertekad penuh keyakinan meme
Rita yang baru saja masuk kamar mengelus pipi menantunya lembut. Gerakan kecil tersebut mengganggu tidur nyenyak Dea.“Mama?” panggil Dea dengan mata yang terkejap.Suara serak itu membuat Rita tersenyum. “Iya Sayang. Mama baru pulang.”“Bagaimana keadaan Ayah?”“Sekarang masih dalam masa pengawasan dokter. Besok kita akan tau hasilnya, jadi lanjutkan tidurmu. Mama mau mandi,” ucap wanita itu beranjak dari tempat tidur.Karena Dea masih berada dalam pengaruh, tak butuh waktu lama untuknya kembali terlelap.Di sisi lain, Kevin melanjutkan pekerjaannya mencari kunci lemari. Tekad lelaki itu sangat kuat untuk memusnahkan rasa penasarannya terhadap kotak hitam.“Sial! Di mana dia menyembunyikan kunci lemari ini!” kesal Kevin menghantamkan kepalanya di atas bantal.Keesokan pagi, semua anggota keluarga berkumpul menikmati sarapan. Dengan penuh perhatian Kevin melayani istrinya. Rita hari ini tidak turun tangan karena merasa perlu memberikan waktu berdua untuk putra dan menantunya.“Kevin,”
"Mbak Dea. Semua baju sudah saya lipat. Apa perlu saya masukkan ke kamar utama?" tanya Lastri pada majikannya. Dea yang sedang mengoreksi hasil ulangan siswa siswinya segera menoleh. "Biar aku aja."Ia langsung beranjak dari tempat duduknya. Selama Lastri bekerja di rumahnya, dia tidak pernah mengizinkan wanita itu masuk ke kamar utama kecuali urgent seperti dia sakit, atau insiden tragis beberapa waktu lalu. Dea bisa menghitung jari berapa kali wanita itu masuk ke kamarnya.Karena baju yang terlipat bejibun, Lastri meletakkan di keranjang agar Dea bisa mudah membawanya."Makasih Mbok," ujar Dea mengangkat keranjang tersebut. Dengan langkah tertatih karena keranjangnya sangat berat, ia membuka pintu.Sejenak wanita itu merenung melihat kamarnya yang porak poranda. Handuk di atas kasur, beberapa gelas di atas nakas, plastik Snack yang berserakan."Astaghfirullahaladzim..." desis Dea. Perlahan ia masuk ke kamar yang tidak ia tempat berhari-hari. Ia mulai memasukkan semua baju ke dalam l
"Aku akan menunggunya 15 menit lagi. Kalau Levi tidak muncul juga, lebih baik aku pulang," pasrah Gito yang kesabarannya menipis. Ia menyandarkan kepalanya dengan lemas. Matanya menerawang jauh mencari peluang yang bisa mendatangkan rezeki untuk anak besannya. "Alhamdulillah..." syukurnya setelah mendapat beberapa ide. "Ada beberapa pekerjaan yang bisa dilakukan anak itu untuk menyelesaikan masalah ini." Gito menyeka wajahnya.Dari dalam rumah yang sedang diintai lelaki itu ada seseorang tergopoh-gopoh membuka gerbang. Sosoknya menjadi kelegaann untuk Gito. Dengan pakaian tidur, Levi berlari kecil ke arah mobil Gito. Dengan segera lelaki itu keluar menyambut seseorang yang ia cari."Maaf Pak Gito, saya baru bangun. Semalam saya lembur." Levi langsung menunduk, mencium tangan pria di depannya. Gito tersenyum simpul kemudian menepuk pundaknya lembut."Tidak apa-apa Levi. Untungnya saya belum pergi." Dengan mata yang berair karena merasa bersalah, Levi mempersilakan tamunya masuk ke da
Kevin mulai memutar kunci yang cocok dengan silinder laci, jantungnya berdegup kencang seakan lari maraton. Bahkan ketika benda berbahan besi itu berhasil melepaskan cengkeraman deadbolt, ia segera menariknya. Tangan kekar berwarna kecoklatan tersebut mulai memporak-poranda isi penyimpanan tersebut berkali-kali. Kepalanya yang tak gatal tergaruk kasar karena tak menemukan benda yang dia cari."Di mana dia menyembunyikan kunci kotak sialan itu," geram Kevin dengan bibir meringis. Setelah menggeledah isi kamar, hanya dua kunci ini yang ia temukan. Sedangkan tempat penyimpanan yang ia duga sebagai area kunci gembok, ternyata salah besar."Hah! Sulit sekali memecahkan teka-teki ini. Di mana dia menyimpannya."Lelaki itu terdiam cukup lama memikirkan kemungkinan istrinya mengamankan benda sakti tersebut. Tak berselang lama, tiba-tiba pintu kamar terketuk."Mas..." panggil istrinya dari luar. Matanya melotot mendengar suara tersebut. Buru-buru Kevin mengunci laci, dan lemari seperti semula.
"Levi sedang kesusahan. Jadi Papa bilang sama dia untuk membantu mengurus bisnis baru Papa. Nah, sebenarnya bisnis ini udah Papa tolak karena membutuhkan effort yang besar, Papa tidak sanggup. Nah, tadi Levi bilang kalau mau jalanin bisnis ini di luar waktu kerjanya sebagai notaris. Tapi..." Gito memotong kalimatnya untuk menghirup udara sebanyak mungkin ke dalam paru-parunya. Ia kemudian berdeham merelakskan tenggorokan. "Tapi bisnis ini perlu orang yang banyak, jadi Papa pengen kamu membantu Levi. Hanya sebagian pekerjaan saja, lainnya Levi yang urus.""Memang bisnis apa Pa?" tanya Kevin. "Distributor sembako sama produk kecantikan."Kevin langsung membulatkan bibir. "Kamu kan sudah berpengalaman soal bisnis. Meskipun sedikit berbeda dengan cafe, tapi secara garis besar kan sama saja. Bantu dia.""Kan jadi distributor mudah Pa. Memangnya Kevin harus bantu apa?" "Ya mudah bagi kamu. Tapi Levi kan belum pernah terjun di dunia bisnis. Dia mana tau masalah gini. Papa kasih opsi ini
Dea sangat bersyukur memiliki mertua Rita dan Gito. Mereka menjadi cahaya di tengah kepelikan hidupnya. Entah berapa kali ia merasa sungkan saat menerima bantuan dari kedua orang tersebut. Apalagi keluarga kandungnya pun mendapat uluran tangan yang tak terkira jumlahnya. Masalah Levi membuat wanita itu semakin runyam. Meskipun sudah mempunyai jalan keluar, tetapi beban di pundak Dea belum juga lepas. Ia justru semakin berat hati karena rencananya tak berjalan lancar. “Bagaimana cara aku lepas dari Kevin? Tapi aku tidak rela melepas Mama dan Papa,” sesalnya dalam hati. Dalam pikirannya ia tak ingin bersama suaminya, tetapi kalau bercerai itu sama saja memutuskan hubungan dengan Rita dan Gito. “Belum tentu aku bisa mendapatkan mertua seperti mereka. Tapi, kalau terus bersama Kevin rasanya sangat sesak.” Dia hanya bisa mengeluh dalam hati. Di dalam ketidaksadaran dirinya dan pandangan yang membaur, ada gerakan pelan di depan netranya. Perlahan tahan berkulit putih tersorot dalam retin