Kevin mulai memutar kunci yang cocok dengan silinder laci, jantungnya berdegup kencang seakan lari maraton. Bahkan ketika benda berbahan besi itu berhasil melepaskan cengkeraman deadbolt, ia segera menariknya. Tangan kekar berwarna kecoklatan tersebut mulai memporak-poranda isi penyimpanan tersebut berkali-kali. Kepalanya yang tak gatal tergaruk kasar karena tak menemukan benda yang dia cari."Di mana dia menyembunyikan kunci kotak sialan itu," geram Kevin dengan bibir meringis. Setelah menggeledah isi kamar, hanya dua kunci ini yang ia temukan. Sedangkan tempat penyimpanan yang ia duga sebagai area kunci gembok, ternyata salah besar."Hah! Sulit sekali memecahkan teka-teki ini. Di mana dia menyimpannya."Lelaki itu terdiam cukup lama memikirkan kemungkinan istrinya mengamankan benda sakti tersebut. Tak berselang lama, tiba-tiba pintu kamar terketuk."Mas..." panggil istrinya dari luar. Matanya melotot mendengar suara tersebut. Buru-buru Kevin mengunci laci, dan lemari seperti semula.
"Levi sedang kesusahan. Jadi Papa bilang sama dia untuk membantu mengurus bisnis baru Papa. Nah, sebenarnya bisnis ini udah Papa tolak karena membutuhkan effort yang besar, Papa tidak sanggup. Nah, tadi Levi bilang kalau mau jalanin bisnis ini di luar waktu kerjanya sebagai notaris. Tapi..." Gito memotong kalimatnya untuk menghirup udara sebanyak mungkin ke dalam paru-parunya. Ia kemudian berdeham merelakskan tenggorokan. "Tapi bisnis ini perlu orang yang banyak, jadi Papa pengen kamu membantu Levi. Hanya sebagian pekerjaan saja, lainnya Levi yang urus.""Memang bisnis apa Pa?" tanya Kevin. "Distributor sembako sama produk kecantikan."Kevin langsung membulatkan bibir. "Kamu kan sudah berpengalaman soal bisnis. Meskipun sedikit berbeda dengan cafe, tapi secara garis besar kan sama saja. Bantu dia.""Kan jadi distributor mudah Pa. Memangnya Kevin harus bantu apa?" "Ya mudah bagi kamu. Tapi Levi kan belum pernah terjun di dunia bisnis. Dia mana tau masalah gini. Papa kasih opsi ini
Dea sangat bersyukur memiliki mertua Rita dan Gito. Mereka menjadi cahaya di tengah kepelikan hidupnya. Entah berapa kali ia merasa sungkan saat menerima bantuan dari kedua orang tersebut. Apalagi keluarga kandungnya pun mendapat uluran tangan yang tak terkira jumlahnya. Masalah Levi membuat wanita itu semakin runyam. Meskipun sudah mempunyai jalan keluar, tetapi beban di pundak Dea belum juga lepas. Ia justru semakin berat hati karena rencananya tak berjalan lancar. “Bagaimana cara aku lepas dari Kevin? Tapi aku tidak rela melepas Mama dan Papa,” sesalnya dalam hati. Dalam pikirannya ia tak ingin bersama suaminya, tetapi kalau bercerai itu sama saja memutuskan hubungan dengan Rita dan Gito. “Belum tentu aku bisa mendapatkan mertua seperti mereka. Tapi, kalau terus bersama Kevin rasanya sangat sesak.” Dia hanya bisa mengeluh dalam hati. Di dalam ketidaksadaran dirinya dan pandangan yang membaur, ada gerakan pelan di depan netranya. Perlahan tahan berkulit putih tersorot dalam retin
Mentari menyembul dari ufuk timur, silauan cahaya yang masuk merangsang pergerakan pupil Dea. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali.“Astaga, sudah jam berapa ini?” tanyanya serak. Bersamaan dengan itu, Rita menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Bibir merah mengembang membuat matanya berbentuk bulan sabit.“Sudah bangun Sayang?” tanya Rita dengan nada yang lembut.“Sekarang jam berapa Ma?” Dea berusaha mengumpulkan kesadarannya.“Jam 6.”“Ya ampun!” kejut Dea yang langsung terduduk.Rita mulai melangkahkan kaki mendekatinya.“Cepat mandi. Ini seragammu.” Wanita itu meletakkan setelan baju berwarna khaki di tepi ranjang. “Apa Mama ambilkan make-up juga?” tawar Rita dengan mata berbinar. Dea segera menggelengkan kepalanya, “Tidak Ma. Ada make up di tas kerja Dea.” Wanita itu segera masuk ke kamar mandi.“Mama tunggu di ruang makan ya!” teriak Rita ketika menantunya sudah menghilang dari pandangan. Ia langsung keluar menghampiri suaminya yang sibuk dengan buku catatan harian. Selain
Suara lembut itu terasa tajam di telinga Dea. Entah kenapa dadanya terasa panas melihat kedua orang tersebut. Tanpa pikir panjang, ia langsung membalikkan badan dan masuk ke ruang kantor. Salah satu tangan Andre sempat terangkat melihat kepergiannya, Dea pun menyadari itu. Namun hatinya berkata jika lebih baik ia tidak berurusan dengan mereka.“Sepertinya aku tidak sopan karena melengos begitu saja. Tapi ini pilihan terbaik, aku tidak mau ikut campur,” sesal Dea dalam hati. Ia menghela napasnya panjang. “Sayang? Apa dia kekasih Pak Andre? Pengheliatanku tidak salah kemarin lusa, aku kan liat dia lagi sama wanita itu. Jadi ini langkah yang dia ambil setelah buat aku merasa bersalah karena dia pikir aku menggantungnya. Ternyata semua cowok sama aja!” Ia meronta-ronta di dalam batinnya. Entah kenapa ada kekesalan sendiri di dalam sanubari wanita itu. Bahkan sedari tadi Dea meremas ujung hijabnya. Ketika ia sibuk dengan pikirannya, tiba-tiba Sinta menyenggol pundaknya. “Stt! Bu Dea!” pang
“Boleh duduk sini?” tanya wanita itu pada Dea. Wajah putih dan rambut lurus berwarna hitam membuat orang di depannya terpaku. Dea segera berdeham mengatur tenggorokannya yang tercekat.“Boleh, silakan,” jawab Dea. Ia memberikan senyum tipis pada tamu yang tak diundang tersebut.“Kenalin, aku Michelle.” Wanita pemilik nama Michelle itu menangkat tangannya untuk berjabat tangan dengan Dea.“Dea.” Ia menyambut jabatan tangan tersebut dengan kaku. Michelle sedari tadi melihatnya dengan senyum tipis dan mata berbinar. “Kamu cantik Dea,” pujinya tulus.Alis Dea terangkat sejenak. Ia tak menduga langsung mendapatkan pujian dari orang yang baru dikenalnya. “Terimakasih, kamu juga cantik.”Michelle menundukkan kepalanya seakan tersipu malu. Dea pun melanjutkan kegiatannya menyemili makanan. “Mau?” Ia menyondorkan salah satu snack ke arah Michelle. Dengan cepat wanita itu langsung memberikan penolakan gelengan kepala. “Tidak. Aku tidak bisa makan snack begini.”“Ah... sorry.” Dea langsung menar
“Ish! Wanita itu kenapa sih!” kesal Sinta yang baru saja duduk di samping Dea. Siang ini Dea memakan bekal yang dibuatkan mertuanya.“Siapa?” tanya Dea setelah menelan makanan yang ia kunyah.“Itu, perempuan yang sama Pak Andre. Masa dia sinis banget ke aku.”“Oh Michelle,” sahut Dea paham orang yang dimaksud rekan kerjanya.“Loh Mbak Dea kok bisa tau,” kaget Sinta.“Tadi sempat ngobrol di kantin.”“Mbak Dea ajak dia?”“Enggak. Dia tiba-tiba samperin aku di kantin.”“Ohh...” Sinta mengganggukkan kepala beberapa kali. “Gimana Mbak?” tanya Sinta penasaran.Alis Dea berkerut, tangannya sibuk memotong sosis di dalam kotak bekal. “Gimana apanya?”“Itu Michelle. Minta dikit.” Sinta mencicip capjaynya.“Biasa aja. Nih salad.” Dea menyodorkan kotak makan berisi salad buah yang dilumuri yogurt.“Masa biasa aja? Thanks.”“Ya nggak juga. Orangnya ramah, em... tapi nggak bisa dikatain ramah juga sih.” Dea menyipitkan mata mengoreksi penilaiannya tetang Michell.“Lah... terus gimana?” Sinta bingun
Sesampainya di rumah, Dea langsung masuk. Rita menyambutnya dengan senyum semringah. “Sudah pulang Sayang,” ujar wanita paruh baya tersebut. Dea memeluk tubuh mertuanya dengan erat, rasanya ia melepaskan beban yang ada di pundaknya begitu saja ketika merasakan kehangatan dari Rita.“Astaga putri Mama. Pasti capek ya seharian kerja,” celetuk Rita. Kevin yang baru saja masuk langsung menyalaminya. Wanita itu menerima ciuman di tangannya meskipun masih memeluk Dea.“Mas Kevin jemputnya lama. Aku capek nunggunya,” adu Dea dengan bibir mencebik. Mata Rita sontak melotot kemudian tangannya memukul lengan putranya.“Iya?!” kesal Rita.Kevin meringiskan bibir, rambutnya menjadi acak-acakan karena garukan tangannya. “Ada urusan sekolah Ma.” Tanpa menunggu lama, lelaki itu langsung berlari ke kamarnya. Ia tak ingin menjadi mangsa singa yang baru saja bangun tidur.“Huhft...” Ia mengelus dadanya. Rasanya seperti bermain roller coaster ketika berhadapan dengan ibu kandungnya. Apalagi Dea mengadu