Levi yang baru mengecek ponselnya di pagi hari dibuat terkejut dengan nama kontak ayahnya di deretan klien yang menghubunginya. Di dalam pesan tersebut tertulis.[Besok datanglah ke sini. PENTING.]Jantung lelaki itu langsung berdegup kencang membacanya. Keringat dingin mulai menjalar di pelipisnya. "Ada apa ini? Apa Dea mengadukan pembicaraanku pada Ayah?" Ia menekan dahinya. Kepala terasa berdenyut, mata berkunang-kunang. Hidungnya sibuk menghirup udara, sedangkan mulutnya monyong mengeluarkan napas."Mas ini kemejanya," ucap Nina yang baru saja masuk ke kamar. Levi langsung menoleh ke arah istrinya dengan ekspresi tegang. Wanita itu tampak kebingungan dengan reaksi suaminya."Ada apa?" tanya Nina dengan alis berkerut."Hari ini aku tidak kerja. Kita harus ke rumah Ayah dan Mamaku."Tanpa sadar mata wanita itu memutar dan bibirnya sedikit maju."Kamu kok gitu?" tanya Levi yang tersinggung dengan reaksi istrinya."Aku akan siapkan sarapan. Mandi sana." Nina meninggalkan lelaki itu t
Ponsel Kevin tiba-tiba berdering. Jantungnya hampir copot karena suara yang nyaring dilanjut dengan munculnya nama Seno di layar membuat bulu kuduknya meremang. Ia menoleh ke arah istrinya yang menatapnya penasaran. Darah berdesir hebat ke kepalanya. Rasa denyutan mengalir ke seluruh tubuhnya.Tanpa pikir panjang, lelaki itu langsung mematikan ponselnya. Dea tak menanggapinya sedikitpun dan memilih mengacuhkannya dengan mematut jalanan kota Surabaya yang kian padat karena weekend.“Sial, kenapa dia tiba-tiba telpon sih! Bikin kesel aja,” rutuk Kevin dalam hati. Ia melirik istrinya yang acuh padanya. “Dea lihat atau tidak ya?” tebaknya tanpa bersuara.“Setelah check up. Kita ke rumah orangtuamu ya Sayang?” Rita bertanya pada menantunya dengan wajah berseri.“Iya Ma,” sahut Dea tanpa menoleh ke Rita yang sangat antusias menjalani hari ini.“Kalau begitu nanti sebelum ke rumah Mbak Nala. Kita mampir ke toko roti langganan Mama ya Vin.” Kali ini dia memerintah putranya. Kevin sibuk menar
Sesampainya di kediaman orangtua Dea. Tanpa diduga mereka bersamaan dengan Levi dan Nina. David dan Nala menyambut kedatangan mereka berlima dengan senyum semringah. Rita yang rempong langsung menghamburkan pelukan pada Nala. Kedua wanita itu nampak girang karena bisa bertemu. Dea yang baru saja turun menatap datar iparnya. Nina menurunkan pandangan seakan tak ingin berurusan dengannya.“Huh... sudah seharusnya kamu tau diri Nin,” lirih Dea ketika berjalan melewatinya. Nina menelan salivanya karena merasa atmosfer berubah menjadi tegang. Dia cukup terluka mendegar celetukan adik iparnya. Semenjak Dea tau kebusukannya, ia mendapat berbagai serangan psikis.“Sabar Nin, sebentar lagi semua selesai. Yang penting tujuanku sudah tercapai. Setelah itu hidup bahagia dengan Bimo dan anak ini,” batin wanita itu tak lupa menarik kedua sudut bibirnya. Hari ini ia memaksakan senyum palsu agar imagenya sebagai menantu kalem tak pupus dari padangan mertuanya. Berbeda dengan Levi, ia justru melirik
Gito dan David masuk dengan wajah yang semringah. Kedua orang itu nampak seperti sohib yang lama tidak bertemu. Rumah pun menjadi ramai karena jokes bapak-bapak dan kedua putra mereka. Para ibu sibuk dengan pembicaraan mereka sendiri, sedangkan Nina dan Dea memilih untuk bermain ponsel. Tanpa sadar mereka bercengkerama cukup lama hingga akhirnya makan siang sudah terhidang dengan rapi di meja makan.“Ayo Mbak Rita, Mas Gito makan dulu,” ajak David mempersilakan besannya menuju ruang makan.“Aduh repot-repot,” sahut Gito tak enak hati. Namun David segera mendekati lelaki itu dan berbisik, “setelah makan, saya ingin meminta tolong. Makan siang ini sebagai sogokan saja, jadi jangan sungkan.”“Ahahaha! Bisa aja Mas David ini.” Kekehan Gito menggelegar membuat mereka penasaran apa yang dibicarakan David sampai membuatnya seperti itu.“Ayo makan siang dulu Sayang,” ajak Nala kepada menantunya. Nina menganggukkan kepala dan segera berdiri. Dengan lembut wanita paruh baya itu membantunya berd
Nina menatap jengah kepergian suaminya. Ia hanya melirik sinis ke arah mereka yang tiba-tiba memisahkan diri dan mengatakan ada sesuatu yang perlu dibahas di keluarga inti. Wanita itu merasa sangat dibedakan dan tak dihormati karena tak turut andil dalam diskusi yang diinginkan mertuanya. Tapi Gito ayah Kevin, suami dari adik iparnya diajak bergabung dengan pertemuan tersebut.“Huhh apa mereka tidak menganggap aku keluarga?” kesal Nina dalam hati.Rita yang sebelumnya duduk berjarak darinya segera membereskan piring. Asisten rumah tangga langsung mencegahnya, “biar saya saja Bu.” Kebetulan orangtua Dea menyewa asisten rumah tangga yang pulang pergi jadi tidak menginap. “Kita lakukan sama-sama saja Mbak,” jawab Rita yang menumpuk piring kotor.Nina yang sadar diri berniat membantu mertua Dea. Tetapi baru mengangkat satu piring miliknya, Rita langsung mengambilnya. “Nina, kamu duduk saja Nak. Biar aku dan Mbak yang membereskannya. Kamu harus banyak istirahat.”“Aku ingin bantu Tante.”
David menaruh tas itu di atas meja. Levi langsung keringat dingin melihat benda itu. Deangkan salah satu alis Dea terangkat menunjukkan ia bingung dengan situasi ini. Apalagi ayahnya segera menatap papa mertuanya penuh harap. Gito yang sebelumnya asyik merokok kini sudah duduk dengan tegap menghormati tuan rumah."Seperti yang saya katakan tadi Mas. Saya ingin meminta tolong pada Mas Gito untuk menjadi mediasi dalam masalah keluarga saya. Saya sangat membutuhkan bantuan Mas, karena merasa tidak sanggup menghadapi ini sendiri," ucap David penuh harap.Gito menganggukkan kepala sebagai respon untuk ucapan besannya. "Iya Mas David, saya mengerti. Jadi kita mulai sekarang?" tanya Gito tak ingin bertele-tele. Lawan bicaranya pun menyetujui usulannya."Jadi apa masalahnya?" suara bass yang penuh wibawa itu menambah ketegangan di dalam pertemuan ini. Levi menyeka dahinya yang basah kuyup sedangkan Dea masih membisu karena tak tau topik apa yang akan dibawakan ayahnya."Begini Mas. Ibu mertua
Bentakan David membuat jantung Levi seakan terpental dari tempatnya. Tubuh lelaki itu bahkan terasa lemas karena berada di suasana yang tertekan. Gito yang ada di seberang besannya langsung menenangkan situasi.“Tenang Mas David, jangan terburu emosi,” ucapnya lembut tetapi tegas.Dada David naik turun merasakan emosi yang membuncah, Nala yang ada di sampingnya segera mengelus pundaknya. “Maaf Mas,” sesal David yang segera menyandarkan pundaknya. Keringat membasahi wajahnya, entah kenapa suasana terasa panas.Dea yang melihat situasi ikut tegang bahkan tanpa sadar ia gemetar.“Apa Mas Levi memiliki income lain selain pekerjaan sebagai notaris?” tanya Gito mengambil alih interograsi. Yang ditanyai langsung menggelengkan kepala. Jantungnya berdegup kencang karena mertua adiknya langsung melancarkan serangan dan tepat sasaran.“Lalu?” Lelaki paruh baya itu berusaha menggali informasi lebih dalam. Intuisinya yang jitu membuatnya mempertanyakan banyak hal apalagi pengakuan Levi terasa jang
Ketika semua orang sudah pergi dari kediaman orangtuanya, Levi terduduk lemas di ruang tamu. Nina yang bingung dengan kericuhan tersebut segera bertanya, "Pak David kenapa?""Shock," jawab Levi singkat. Ia meremas rambutnya dan mengacak-acaknya frustrasi."Memangnya ada apa?""Hah... Sudahlah, ayo pulang," ujar lelaki itu langsung keluar dari rumah. Dengan langkah yang tertatih Nina masuk ke dalam mobil. Bibirnya manyun karena merasa diacuhkan oleh suaminya. Sedangkan Levi terlena dengan pikirannya sendiri. "Aku harus mendapatkan uang secepat mungkin untuk mengganti semuanya," gumam lelaki itu yang tertangkap gendang telinga Nina. Suara berat itu membuat wajahnya semakin dongkol karena semalam mereka sudah menyerahkan beratus juta untuk Dea. Sampai sekarang Nina tak rela melakukannya.Di sisi lain, Dea cemas dengan keadaan ayahnya yang tertidur lemas di ranjang rumah sakit. Sedari tadi Nala tak henti-hentinya menangis melihat suaminya."Ayah sudah tidak apa-apa Ma," tenang Dea mengel