Sesampainya di kediaman orangtua Dea. Tanpa diduga mereka bersamaan dengan Levi dan Nina. David dan Nala menyambut kedatangan mereka berlima dengan senyum semringah. Rita yang rempong langsung menghamburkan pelukan pada Nala. Kedua wanita itu nampak girang karena bisa bertemu. Dea yang baru saja turun menatap datar iparnya. Nina menurunkan pandangan seakan tak ingin berurusan dengannya.“Huh... sudah seharusnya kamu tau diri Nin,” lirih Dea ketika berjalan melewatinya. Nina menelan salivanya karena merasa atmosfer berubah menjadi tegang. Dia cukup terluka mendegar celetukan adik iparnya. Semenjak Dea tau kebusukannya, ia mendapat berbagai serangan psikis.“Sabar Nin, sebentar lagi semua selesai. Yang penting tujuanku sudah tercapai. Setelah itu hidup bahagia dengan Bimo dan anak ini,” batin wanita itu tak lupa menarik kedua sudut bibirnya. Hari ini ia memaksakan senyum palsu agar imagenya sebagai menantu kalem tak pupus dari padangan mertuanya. Berbeda dengan Levi, ia justru melirik
Gito dan David masuk dengan wajah yang semringah. Kedua orang itu nampak seperti sohib yang lama tidak bertemu. Rumah pun menjadi ramai karena jokes bapak-bapak dan kedua putra mereka. Para ibu sibuk dengan pembicaraan mereka sendiri, sedangkan Nina dan Dea memilih untuk bermain ponsel. Tanpa sadar mereka bercengkerama cukup lama hingga akhirnya makan siang sudah terhidang dengan rapi di meja makan.“Ayo Mbak Rita, Mas Gito makan dulu,” ajak David mempersilakan besannya menuju ruang makan.“Aduh repot-repot,” sahut Gito tak enak hati. Namun David segera mendekati lelaki itu dan berbisik, “setelah makan, saya ingin meminta tolong. Makan siang ini sebagai sogokan saja, jadi jangan sungkan.”“Ahahaha! Bisa aja Mas David ini.” Kekehan Gito menggelegar membuat mereka penasaran apa yang dibicarakan David sampai membuatnya seperti itu.“Ayo makan siang dulu Sayang,” ajak Nala kepada menantunya. Nina menganggukkan kepala dan segera berdiri. Dengan lembut wanita paruh baya itu membantunya berd
Nina menatap jengah kepergian suaminya. Ia hanya melirik sinis ke arah mereka yang tiba-tiba memisahkan diri dan mengatakan ada sesuatu yang perlu dibahas di keluarga inti. Wanita itu merasa sangat dibedakan dan tak dihormati karena tak turut andil dalam diskusi yang diinginkan mertuanya. Tapi Gito ayah Kevin, suami dari adik iparnya diajak bergabung dengan pertemuan tersebut.“Huhh apa mereka tidak menganggap aku keluarga?” kesal Nina dalam hati.Rita yang sebelumnya duduk berjarak darinya segera membereskan piring. Asisten rumah tangga langsung mencegahnya, “biar saya saja Bu.” Kebetulan orangtua Dea menyewa asisten rumah tangga yang pulang pergi jadi tidak menginap. “Kita lakukan sama-sama saja Mbak,” jawab Rita yang menumpuk piring kotor.Nina yang sadar diri berniat membantu mertua Dea. Tetapi baru mengangkat satu piring miliknya, Rita langsung mengambilnya. “Nina, kamu duduk saja Nak. Biar aku dan Mbak yang membereskannya. Kamu harus banyak istirahat.”“Aku ingin bantu Tante.”
David menaruh tas itu di atas meja. Levi langsung keringat dingin melihat benda itu. Deangkan salah satu alis Dea terangkat menunjukkan ia bingung dengan situasi ini. Apalagi ayahnya segera menatap papa mertuanya penuh harap. Gito yang sebelumnya asyik merokok kini sudah duduk dengan tegap menghormati tuan rumah."Seperti yang saya katakan tadi Mas. Saya ingin meminta tolong pada Mas Gito untuk menjadi mediasi dalam masalah keluarga saya. Saya sangat membutuhkan bantuan Mas, karena merasa tidak sanggup menghadapi ini sendiri," ucap David penuh harap.Gito menganggukkan kepala sebagai respon untuk ucapan besannya. "Iya Mas David, saya mengerti. Jadi kita mulai sekarang?" tanya Gito tak ingin bertele-tele. Lawan bicaranya pun menyetujui usulannya."Jadi apa masalahnya?" suara bass yang penuh wibawa itu menambah ketegangan di dalam pertemuan ini. Levi menyeka dahinya yang basah kuyup sedangkan Dea masih membisu karena tak tau topik apa yang akan dibawakan ayahnya."Begini Mas. Ibu mertua
Bentakan David membuat jantung Levi seakan terpental dari tempatnya. Tubuh lelaki itu bahkan terasa lemas karena berada di suasana yang tertekan. Gito yang ada di seberang besannya langsung menenangkan situasi.“Tenang Mas David, jangan terburu emosi,” ucapnya lembut tetapi tegas.Dada David naik turun merasakan emosi yang membuncah, Nala yang ada di sampingnya segera mengelus pundaknya. “Maaf Mas,” sesal David yang segera menyandarkan pundaknya. Keringat membasahi wajahnya, entah kenapa suasana terasa panas.Dea yang melihat situasi ikut tegang bahkan tanpa sadar ia gemetar.“Apa Mas Levi memiliki income lain selain pekerjaan sebagai notaris?” tanya Gito mengambil alih interograsi. Yang ditanyai langsung menggelengkan kepala. Jantungnya berdegup kencang karena mertua adiknya langsung melancarkan serangan dan tepat sasaran.“Lalu?” Lelaki paruh baya itu berusaha menggali informasi lebih dalam. Intuisinya yang jitu membuatnya mempertanyakan banyak hal apalagi pengakuan Levi terasa jang
Ketika semua orang sudah pergi dari kediaman orangtuanya, Levi terduduk lemas di ruang tamu. Nina yang bingung dengan kericuhan tersebut segera bertanya, "Pak David kenapa?""Shock," jawab Levi singkat. Ia meremas rambutnya dan mengacak-acaknya frustrasi."Memangnya ada apa?""Hah... Sudahlah, ayo pulang," ujar lelaki itu langsung keluar dari rumah. Dengan langkah yang tertatih Nina masuk ke dalam mobil. Bibirnya manyun karena merasa diacuhkan oleh suaminya. Sedangkan Levi terlena dengan pikirannya sendiri. "Aku harus mendapatkan uang secepat mungkin untuk mengganti semuanya," gumam lelaki itu yang tertangkap gendang telinga Nina. Suara berat itu membuat wajahnya semakin dongkol karena semalam mereka sudah menyerahkan beratus juta untuk Dea. Sampai sekarang Nina tak rela melakukannya.Di sisi lain, Dea cemas dengan keadaan ayahnya yang tertidur lemas di ranjang rumah sakit. Sedari tadi Nala tak henti-hentinya menangis melihat suaminya."Ayah sudah tidak apa-apa Ma," tenang Dea mengel
Sesampainya di rumah, Dea langsung masuk ke dalam kamar tamu yang ia tempati beberapa hari ini. tubuhnya lemas karena mengalami hari yang menguras emosinya. Kevin mengikutinya dengan bisu."Mau tidur?" tanya Kevin karena mendapatkan sinyal hal yang dilakukan istrinya bertolak belakang dengan perintah Mamanya."Ya. Aku capek Mas." Dea bersiap merebahkan tubuhnya."Minum obat dulu Dik."Wanita itu nampak jengah dengan ucapan suaminya. "Mama bilang aku harus memastikan kamu minum obat dulu. Setelah itu boleh tidur."Dea menganggukkan kepala. "Aku boleh tidur sepuasku?""Ya. Tapi minum obat dulu.""Oke. Setelah itu Mas jangan ganggu aku," perintah Dea."Ya," setuju Kevin yang langsung keluar mengambil makanan yang sudah ia beli sebelum sampai di rumah. Dea menyantap sebagian makanan tersebut kemudian meminum semua obat yang diresepkan dokter."Aku tidur dulu. Mas bisa keluar sekarang?""Iya Sayang. Tidurlah yang nyenyak." Kevin menarik selimut untuk menutupi sebagian tubuh istrinya, tak
Ekspresi congah kedua orang itu membuat Kevin bertanya-tanya, ‘apa maksudnya mereka menunjukkan logam mulia dan gepokan uang dalam koper itu?’Maya dan Seno saling melirik satu sama lain, mereka seakan puas membuat menantunya terperangah. Pameran yang membuat siapapun tergoda untuk menyentuhnya. Setitik ekspresi yang dikeluarkan Kevin sudah menumbuhkan kesombongan dan derajat mereka. Dengan begini Seno berpikir sudah mengembalikan posisinya yang ada di atas langit.“Ekhem!” deham Seno mencari perhatian semua orang. “Kita tunggu Icha dulu sebelum membahasnya.” Ia menatap menantunya ramah. Lubang hidungnya kembang kempis menyambar kesempatan untuk memperdaya Kevin. Lelaki yang lebih muda hanya menatapnya datar. Meskipun berkali-kali matanya menelisik jumlah uang yang ada di dalam koper.Tak berselang lama, Icha membawa nampan berisikan kopi dan jus.“Diminum Mas, aku sudah menyiapkan sesuai seleramu,” ucap Icha meminta suaminya agar menyesap minuman yang ia buat. Kevin menuruti perminta