Nina menatap jengah kepergian suaminya. Ia hanya melirik sinis ke arah mereka yang tiba-tiba memisahkan diri dan mengatakan ada sesuatu yang perlu dibahas di keluarga inti. Wanita itu merasa sangat dibedakan dan tak dihormati karena tak turut andil dalam diskusi yang diinginkan mertuanya. Tapi Gito ayah Kevin, suami dari adik iparnya diajak bergabung dengan pertemuan tersebut.“Huhh apa mereka tidak menganggap aku keluarga?” kesal Nina dalam hati.Rita yang sebelumnya duduk berjarak darinya segera membereskan piring. Asisten rumah tangga langsung mencegahnya, “biar saya saja Bu.” Kebetulan orangtua Dea menyewa asisten rumah tangga yang pulang pergi jadi tidak menginap. “Kita lakukan sama-sama saja Mbak,” jawab Rita yang menumpuk piring kotor.Nina yang sadar diri berniat membantu mertua Dea. Tetapi baru mengangkat satu piring miliknya, Rita langsung mengambilnya. “Nina, kamu duduk saja Nak. Biar aku dan Mbak yang membereskannya. Kamu harus banyak istirahat.”“Aku ingin bantu Tante.”
David menaruh tas itu di atas meja. Levi langsung keringat dingin melihat benda itu. Deangkan salah satu alis Dea terangkat menunjukkan ia bingung dengan situasi ini. Apalagi ayahnya segera menatap papa mertuanya penuh harap. Gito yang sebelumnya asyik merokok kini sudah duduk dengan tegap menghormati tuan rumah."Seperti yang saya katakan tadi Mas. Saya ingin meminta tolong pada Mas Gito untuk menjadi mediasi dalam masalah keluarga saya. Saya sangat membutuhkan bantuan Mas, karena merasa tidak sanggup menghadapi ini sendiri," ucap David penuh harap.Gito menganggukkan kepala sebagai respon untuk ucapan besannya. "Iya Mas David, saya mengerti. Jadi kita mulai sekarang?" tanya Gito tak ingin bertele-tele. Lawan bicaranya pun menyetujui usulannya."Jadi apa masalahnya?" suara bass yang penuh wibawa itu menambah ketegangan di dalam pertemuan ini. Levi menyeka dahinya yang basah kuyup sedangkan Dea masih membisu karena tak tau topik apa yang akan dibawakan ayahnya."Begini Mas. Ibu mertua
Bentakan David membuat jantung Levi seakan terpental dari tempatnya. Tubuh lelaki itu bahkan terasa lemas karena berada di suasana yang tertekan. Gito yang ada di seberang besannya langsung menenangkan situasi.“Tenang Mas David, jangan terburu emosi,” ucapnya lembut tetapi tegas.Dada David naik turun merasakan emosi yang membuncah, Nala yang ada di sampingnya segera mengelus pundaknya. “Maaf Mas,” sesal David yang segera menyandarkan pundaknya. Keringat membasahi wajahnya, entah kenapa suasana terasa panas.Dea yang melihat situasi ikut tegang bahkan tanpa sadar ia gemetar.“Apa Mas Levi memiliki income lain selain pekerjaan sebagai notaris?” tanya Gito mengambil alih interograsi. Yang ditanyai langsung menggelengkan kepala. Jantungnya berdegup kencang karena mertua adiknya langsung melancarkan serangan dan tepat sasaran.“Lalu?” Lelaki paruh baya itu berusaha menggali informasi lebih dalam. Intuisinya yang jitu membuatnya mempertanyakan banyak hal apalagi pengakuan Levi terasa jang
Ketika semua orang sudah pergi dari kediaman orangtuanya, Levi terduduk lemas di ruang tamu. Nina yang bingung dengan kericuhan tersebut segera bertanya, "Pak David kenapa?""Shock," jawab Levi singkat. Ia meremas rambutnya dan mengacak-acaknya frustrasi."Memangnya ada apa?""Hah... Sudahlah, ayo pulang," ujar lelaki itu langsung keluar dari rumah. Dengan langkah yang tertatih Nina masuk ke dalam mobil. Bibirnya manyun karena merasa diacuhkan oleh suaminya. Sedangkan Levi terlena dengan pikirannya sendiri. "Aku harus mendapatkan uang secepat mungkin untuk mengganti semuanya," gumam lelaki itu yang tertangkap gendang telinga Nina. Suara berat itu membuat wajahnya semakin dongkol karena semalam mereka sudah menyerahkan beratus juta untuk Dea. Sampai sekarang Nina tak rela melakukannya.Di sisi lain, Dea cemas dengan keadaan ayahnya yang tertidur lemas di ranjang rumah sakit. Sedari tadi Nala tak henti-hentinya menangis melihat suaminya."Ayah sudah tidak apa-apa Ma," tenang Dea mengel
Sesampainya di rumah, Dea langsung masuk ke dalam kamar tamu yang ia tempati beberapa hari ini. tubuhnya lemas karena mengalami hari yang menguras emosinya. Kevin mengikutinya dengan bisu."Mau tidur?" tanya Kevin karena mendapatkan sinyal hal yang dilakukan istrinya bertolak belakang dengan perintah Mamanya."Ya. Aku capek Mas." Dea bersiap merebahkan tubuhnya."Minum obat dulu Dik."Wanita itu nampak jengah dengan ucapan suaminya. "Mama bilang aku harus memastikan kamu minum obat dulu. Setelah itu boleh tidur."Dea menganggukkan kepala. "Aku boleh tidur sepuasku?""Ya. Tapi minum obat dulu.""Oke. Setelah itu Mas jangan ganggu aku," perintah Dea."Ya," setuju Kevin yang langsung keluar mengambil makanan yang sudah ia beli sebelum sampai di rumah. Dea menyantap sebagian makanan tersebut kemudian meminum semua obat yang diresepkan dokter."Aku tidur dulu. Mas bisa keluar sekarang?""Iya Sayang. Tidurlah yang nyenyak." Kevin menarik selimut untuk menutupi sebagian tubuh istrinya, tak
Ekspresi congah kedua orang itu membuat Kevin bertanya-tanya, ‘apa maksudnya mereka menunjukkan logam mulia dan gepokan uang dalam koper itu?’Maya dan Seno saling melirik satu sama lain, mereka seakan puas membuat menantunya terperangah. Pameran yang membuat siapapun tergoda untuk menyentuhnya. Setitik ekspresi yang dikeluarkan Kevin sudah menumbuhkan kesombongan dan derajat mereka. Dengan begini Seno berpikir sudah mengembalikan posisinya yang ada di atas langit.“Ekhem!” deham Seno mencari perhatian semua orang. “Kita tunggu Icha dulu sebelum membahasnya.” Ia menatap menantunya ramah. Lubang hidungnya kembang kempis menyambar kesempatan untuk memperdaya Kevin. Lelaki yang lebih muda hanya menatapnya datar. Meskipun berkali-kali matanya menelisik jumlah uang yang ada di dalam koper.Tak berselang lama, Icha membawa nampan berisikan kopi dan jus.“Diminum Mas, aku sudah menyiapkan sesuai seleramu,” ucap Icha meminta suaminya agar menyesap minuman yang ia buat. Kevin menuruti perminta
Kevin mencengkeram celananya sangat erat. Tawaran yang sangat menggiurkan,membuat hatinya bimbang. Di situasi yang tidak memegang uang sepeserpun, rasanya gila melihat nominal fantastis. Ia dibuat mabuk kepayang dengan pemandangan koper berwarna merah dan emas. Kilatan dari logam mulia menstimulus nafsu dalam dirinya.Bahkan ia harus menghela napas berkali-kali menjadikan lubang hidungnya kembang kempis, pundaknya naik turun, keringat dingin membasahi pelipisnya. Jantung berdebar hebat membuat tubuhnya semakin panas.“S-saya...” ia sedari tadi belum mampu melanjutkan ucapannya. Ternggorokannya seakan tercekat. Runtutan kata terjebak di epiglotis menyisakan udara tanpa suara.“Jawab Mas!” sentak Icha yang tak sabar. Ia gemas mendapati suaminya tergagap ketika ngobrol dengan Papanya.Seno menarik satu sudut bibirnya ke atas. Matanya menyala menatap menantunya yang tak berdaya. Istrinya pun bergeliat kesenangan karena sukses membuat Kevin bingung.“Saya menolak!” teriak Kevin. Ia berjuan
“Bagaimana keadaan Dea? Apa dia sudah makan dan minum obat?” tanya Rita di seberang telepon. Kevin yang duduk di teras gemetar hebat karena mendapat panggilan dari mamanya. Apalagi di depan mertuanya yang congah.“Baik Ma. Tadi udah Kevin kasih makan sama obatnya. Sekarang dia sedang tidur.”“Coba liat.” Rita meminta untuk melakukan video call.“Mampus!” batin Kevin. Sekarang dia sedang di luar jadi bagaimana bisa menunjukkan istriya yang sedang tidur?“Kevin lagi di luar Ma.” Ia ingin sekali mengatakan itu, tapi rentetan pertanyaan dan amukan akan keluar dari mulut mamanya. Pada akhirnya ia memilih menekan mode pesawat agar internet terhenti sehingga panggilan telepon berakhir tanpa harus ia putuskan sepihak.Tanpa banyak ulah, ia kembali masuk. Seno, Maya, dan Icha yang melihatnya tergopoh-gopoh sontak penasaran.“Ada apa Mas?” tanya Icha.“Aku harus segera pulang. Mama sama papa mencariku,” jawab Kevin mengambil kunci mobil dan mencium kedua tangan mertuanya.“Maaf Pak Bu, saya h